Part 26

Warning !!!

Part ini mengandung kata-kata yang belum diedit sebagaimana mestinya, jadi maaf kalau typo bertebaran dan alur cerita yang mungkin tidak anda sukai.

Jangan lupa vote dan komen ^_^

Happy Reading :)

*

*

*

Usai peristiwa itu, Reza segera dibawa ke Puskesmas terdekat untuk mendapatkan perawatan. Sekarang, cowok itu tengah duduk di kasur dan merelakan punggungnya disentuh oleh seorang pria berjas putih. Sementara itu, Nara yang ada disampingnya menggigit bibir, meringis ketika beberapa luka kecil dipunggung Reza dibersihkan dan kemudian diperban, seolah gadis itu ikut merasakan perih. "Lukanya tidak parah. Hanya perlu diberikan desinfektan saja." Ucap Dokter setelah menempelkan perban terkahir dipunggung Reza.

"Terima kasih Dokter!" Ujar Pak Haris.

"Terima kasih Dokter!" Diikuti oleh Nara.

Lalu dokter itu tersenyum dan berjalan meninggalkan mereka setelah menyampaikan beberapa hal.

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Pak Haris pada Reza.

Seperti biasa, Reza cengengesan dan mengangguk, mengiyakan pertanyaan sang guru.

"Syukurlah. Kalau begitu Bapak ke resepsionis dulu."

Reza dan Nara sama-sama mengangguk.

Kepergian Pak Haris menyebabkan pandangan Reza beralih ke cewek yang ada disampingnya itu. Manik mata Reza tepat mengarah ke tangan kiri Nara.

"Kamu tidak apa-apa?" Tanya Reza melihat ada perban di tangan itu.

Nara mengikuti arah tatapan Reza. Lalu kembali beralih ke Reza.

"Seharusnya aku yang bertanya, apa itu sakit?" Tunjuk Nara ke punggung Reza dengan dagunya.

Luka ini gak seberapa ketimbang luka yang kamu torehkan karena membiarkanku berharap tanpa kejelasan.

"Luka ini gak berarti. Nggak usah khawatir." Ucap Reza gamblang berbeda dengan isi hatinya sembari mengenakan kembali seragamnya, menutupi kaos putih yang ia pakai.

"Itupun jika kamu khawatir, atau mungkin hanya merasa bersalah?" Selidik Reza dengan alis terangkat setelah seragamnya berhasil terpakai.

"Tentu saja aku merasa bersalah dan juga khawatir." Jawab Nara apa adanya. "Mmmm... Maaf dan Terima kasih ya." Lanjutnya pelan.

"Apa tidak ada kata lain, selain maaf dan terima kasih?"

"Terus aku harus bilang apa?" Tanya Nara polos.

"Misalnya I love you, gitu?" Goda Reza sambil tersenyum ketika melihat Nara melototkan matanya.

"Apa semudah itu seorang laki-laki mengumbar kata cinta?" Pertanyaan Nara berhasil menghentikan senyuman di wajah Reza, kini terganti oleh dahi yang mengerut.

"Maka tidak heran jika nantinya laki-laki itu juga bisa mengucapkan kata yang sama pada perempuan yang berbeda."

"Tidak semua laki-laki seperti itu." Ungkap Reza tak sependapat.

"Aku tahu. Dan aku menginginkan laki-laki yang menjadikan kata cinta sebagai komitmen bukan sekedar lelucon."

"Ayolah Ai, nggak usah seserius itu. kita masih terlalu muda untuk membicarakan komitmen. Senang-senang aja dulu."

"Kesimpulannya, secara sadar atau nggak sadar kalian menganggap perempuan sebagai mainan yang membuat kalian senang. Realitanya memang seperti itu, kan?"

Reza memandang lekat Nara yang berusaha menghindari tatapannya. Pikiran cowok itu berkelana mencari sangkalan atas realita yang memang benar adanya. Dan akhirnya Ia pun mengiyakan argument cewek itu. Hubungan yang diatas namakan sebagai pacaran bukanlah jalan yang tepat untuk mencintai perempuan. Reza pun tahu bahwa Tuhan tidak pernah melarangnya untuk jatuh cinta, tapi tuhan selalu mengingatkan bahwa pacaran tidak akan menjamin jalan cerita mereka berdua.

Hingga akhirnya Reza pun berpikir, Ia telah berbuat terlalu jauh. Padahal Ia tahu bahwa cewek dihadapannya ini adalah seseorang yang tak bisa Ia miliki. Setidaknya untuk saat ini.

"Reza..."

Tatapan Reza terputus, kemudian menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Begitu pun dengan Nara.

"Kenapa sih lo harus ngelukain diri lo sendiri hanya untuk melindungi orang yang gak pernah peduli sama lo?" Dinda menatap Nara penuh benci, kemudian berakhir di mata Reza.

"Karena berbuat baik gak harus melihat orang itu peduli atau enggak sama lo. Sama seperti Rasulullah yang berbuat baik pada laki-laki buta yang mencaci bahkan meludahi beliau." Terang Reza dengan mengambil contoh dari sikap manusia termulia di dunia ini.

"I know, but..."

Ucapan Dinda terputus karena Reza kembali bersuara.

"Orang yang terlihat nggak peduli belum tentu seperti itu, pun sebaliknya, mereka yang terlihat peduli belum tentu benar-benar peduli."

"Tapi gue khawatir sama lo. Gue takut lo luka seperti dulu waktu nolongin gue." Mata Dinda berkaca-kaca lagi. Kecelakaan waktu masa kecil masih membayanginya.

Reza mengerti keadaan Dinda saat ini, Ia pun berdiri dan mencoba menghibur cewek itu.

"Lo lihat sendiri, gue gak kenapa-kenapa, kok." Reza mendongakkan kepala Dinda yang menunduk, lalu mendekatkan wajahnya dengan menampilkan senyuman yang menjelaskan bahwa ia baik-baik saja.

"Lo baik-baik aja, kan?" Tanya Reza sembari meraih tubuh cewek itu, mengamatinya, khawatir jika Dinda juga terluka.

"Nggak. Gue sakit."

Reza menyatukan alis, bingung karena Ia tak menemukan luka di tangan, lengan ataupun di wajah Dinda.

"Tepatnya sakit hati karena lo lebih pilih dia ketimbang gue!" Lanjut cewek itu menjawab kebingungan Reza.

"Maafin gue." Entah mengapa Reza merasa bersalah, "Tapi gue nolongin Nara karena jarak gue ke dia lebih dekat dibanding lo. Seandainya lo di posisi Nara, gue juga pasti nolongin lo. Bukan karena apa-apa. Jadi gak usah berpikiran aneh deh."

Rupanya pernyataan itu berhasil menghibur Dinda, terbukti dengan lengkungan sempurna yang kini tercetak di wajah bulatnya. Pelan Reza mengacak rambut cewek itu. Hingga matanya tak sengaja menangkap keberadaan Nara yang masih berdiri tak jauh di belakang Dinda.

Nara terkesiap ketika mata mereka bertemu sebelum akhirnya cewek itu berbalik meninggalkan ruangan. Ia berjalan di koridor Puskesmas, tapi entah mengapa pikirannya masih tersangkut dengan percakapan yang baru saja terjadi.

Orang yang terlihat nggak peduli belum tentu seperti itu, pun sebaliknya, mereka yang terlihat peduli belum tentu benar-benar peduli.

Apa kamu benar-benar peduli atau cuma pura-pura peduli sama aku?

Nara bertanya-tanya tentang ucapan Reza pada dirinya sendiri. Pikiran itu kemudian langsung Ia enyahkan ketika Pak Haris datang dan mengatakan bahwa mereka harus segera kembali ke sekolah.

***

Tangannya bergerak merapatkan jaket, sisa udara dingin masih sanggup menggigit kulit tubuh Nara yang terbungkus seragam putih abu-abu. Cewek itu melangkah memasuki sekolah yang masih sepi. Tentu saja, karena hari ini Nara berangkat pagi-pagi sekali untuk mengecek kelengkapan sebelum acara dimulai. Maka tidak heran jika di pelataran parkiran dan lobby sekolah belum ada aktivitas yang berarti. Kecuali seorang cowok tinggi yang tengah mengamati lekat pohon yang disiapkan panitia untuk menggantung harapan kelas 12 tahun ini.

"Ada masalah dengan pohon harapan?"

Cowok itu menoleh lalu tersenyum. "Pagi Ra!" Sapanya, "Tidak ada masalah." Lanjutnya lagi.

"Pagi juga. Baguslah."

"Ra, apa gue bisa bertanya sesuatu?"

"Bukankah saat ini lo sedang bertanya ke gue?"

"Benar juga." Ucap Rian sedikit terkekeh. "Ini tentang gue, lo dan juga Dita!" Lanjutnya lagi.

"Kok gue?" Nara mengerutkan dahi, "Lo butuh bantuan gue soal Dita?"

Nara tahu bahwa hubungan Rian dan Dita saat ini sedang merenggang. Tapi cewek itupun tak tahu persis alasannya. Satu hal yang Ia tahu bahwa sahabatnya itu merasa Rian menghindar dan mencoba menyembunyikan sesuatu.

Kenyataan ini membuat Nara sedih dan juga bahagia bersamaan. Sedih, karena setiap hari harus melihat Dita tak semangat karena sikap Rian. Sampai-sampai cewek itu meminta saran ke dirinya. Nara yang tak pernah pacaran tentu saja bingung harus menjawab apa. Jawaban pasti yang bisa ia berikan adalah 'udah putusin aja'. Jawaban yang ujung-ujungnya membuat Dita semakin uring-uringan. Di lain sisi Nara juga bahagia. Iya. Dia bahagia. Nara tak munafik bahwa Ia menyukai cowok dihadapannya ini. Tapi Ini bukan tentang persoalan itu, melainkan karena jika putus setidaknya Dita tak perlu lagi galau karena cowok. Toh, sekarang Nara tak lagi memendam rasa yang sama. Ia pun tak tahu sejak kapan. Namun sikapnya yang biasa seperti layaknya teman terhadap Rian, membuktikan bahwa perasaan itu sudah tergantikan.

"Sederhana. Dita cuma mau lo jujur sama dia!" Ungkap Nara.

Rian diam sejenak. Tenggelam dengan pikiran dalam beberapa detik. Kemudian angkat suara setelah beberapa hari belakangan Ia memikirkan hal ini.

"Dan gue mau jujur soal perasaan kalau gue..."

"Eheeemmm."

Deheman seseorang menghentikan ucapan Rian. Kemudian Nara dan Rian sama-sama menoleh dan menemukan Aldo berjalan menghampiri mereka. "Pagi-pagi udah berduaan aja!" Lanjut cowok itu.

Rian tak menggubris karena tepat saat itu juga ponselnya berbunyi. Satu panggilan masuk tertera di layar benda persi panjang itu.

"Iya?" Jawab Rian santai membuka percakapan.

"Apa??" Wajah santai itu berubah menegang, terlihat dari dahi Rian yang tiba-tiba mengkerut dan mulut ternganga, seolah tak percaya dengan seseorang yang berada di ujung telepon.

"Rian akan segera kesana!"

Cowok itu pun menutup percakapan, kemudian memandang Nara dan Aldo bergantian.

"Do, Ra. Sorry banget. Gue harus pergi, ada urusan mendesak. Gue bakalan balik nanti, telpon aja kalau ada masalah. Oke?"

"Oke. Lo hati-hati ya!" Ucap Nara tanpa banyak tanya, pun dengan Aldo yang mengisyaratkan hal yang sama.

Rian mengangguk dan sedikit berlari keluar dari lobby.

***

Jam menunjukkan pukul 07.05. Di lapangan, beberapa panitia yang sudah datang terlihat sibuk mempersiapkan acara yang akan dimulai tepat pukul 7.30. Sementara itu, di dalam kelas yang berhadapan langsung dengan lapangan, Reza dan teman-temannya sibuk mengobrol. Mulai dari live interview oleh Arya tentang kesiapan Reza hari ini. Sampai berujung pada curhatan Bayu tentang tetangga sekaligus teman masa kecil yang ditaksirnya dan kabarnya cewek itu baru jadian tiga hari yang lalu.

"Lo sih kelamaan mendam perasaan. Si Siti udah diembat cowok lain, baru tahu rasa deh lo!" Ujar Arya yang sedang memantul-mantulkan bola pingpong di tembok.

"Ya elah, gue udah sering bilang suka kali. Tapi ya gitu, Dia selalu jawab, Siti juga suka Bayu kok, sama seperti Siti suka si hunhun," Bela bayu sambil menirukan ucapan Siti tempo dulu. "Masak Dia nyamain gue sama kelinci peliharaannya? Emang ya cewek susah banget peka!"

"Tau deh yang terjebak animalzone. Hahaa." Ledek Arya dengan tubuh bergetar karena tertawa terbahak-bahak. Pun dengan Reza yang menyandarkan tubuhnya di meja tempat Arya duduk.

"Anjirr. Animalzone. Ckckc...Ngenes banget hidup lo!" Reza memalingkan wajah dari ponselnya untuk melihat tampang kekesalan Bayu.

"Belagu lo pada!" Bayu melempar penghapus yang tergeletak di meja guru ke Arya dan Reza yang meledeknya. Namun sayang, hal tersebut tak berhasil karena mereka berdua menghindar dengan sempurna. "Kayak kalian gak ngenes aja. Kalau gue animalzone berarti kalian php-zone, korban php cewek. Hahaa. Apa bedanya gue sama kalian? Sama-sama dikasih harapan tapi ujungnya cuma teman. Weekkk..." Kini giliran Bayu yang meledek.

Hingga akhirnya obrolan itu terhenti ketika mata mereka menangkap kehadiran seorang cewek yang berdiri kaku diambang pintu. Cewek itu memejamkan mata lalu menghembuskan napas. Ia memberanikan diri melangkah menghampiri mereka, tepatnya menghampiri Reza.

"Ini buat kamu!" Hanya kalimat itu yang terucap sebelum cewek itu berbalik dan berjalan meninggalkan ruangan tanpa menghiraukan ekspresi mereka.

"Whoahh... Gue gak percaya ini." Bayu segera bangkit dan berjalan mendekati meja, tempat benda persegi itu tergolek dengan mata yang berbinar. Lalu berusaha menyentuhnya tapi segera ditepis oleh Reza.

"Akhirnya... Pajak jadian jangan lupa lo ya!" Goda Bayu.

Reza menoleh sebentar, aneh dengan perubahan sikap Bayu yang sangat cepat. Tadi galau, sekarang malah happy kebangetan. Kemudian cowok itu kembali memandang kotak makanan dengan selembar kertas diatasnya.

Aku memang gak bisa ngucapin kata selain makasih untuk semuanya dan cuma ini yang bisa aku kasi. Good luck untuk hari ini!

Reza mengerjapkan mata beberapa kali, masih tak percaya dengan benda yang beberapa menit lalu diberikan oleh Nara tepat disampingnya. Kejadian itu begitu cepat bahkan Reza pun belum sempat mengucapkan sepatah kata karena Nara sudah keburu kabur.

"Momen langka ini harus diabadikan." Ujar Arya sembari merebut ponsel yang ada di tangan Reza.

"Gue yang dikasi, kok kalian yang malah kegirangan, sih? Heran deh!"

Cekrek...

Satu foto berhasil ditangkap.

Mendadak layar ponsel milik Reza itu berubah yang kemudian menampilkan panggilan masuk dari Bagas. Arya mengernyitkan dahi sebelum menekan tombol hijau.

"Ada apa gentong? Kangen gue?" Sergah Arya dengan candaannya.

"....."

"Apa? Sekarang lo dimana?"

"....."

"Oke. Gue bakalan segera kesana!"

Reza segera bertanya setelah Arya menutup panggilan itu, "Ada apa?"

"Mereka dihadang sama geng Liam, mantan kakaknya Angga."

Arya menjelaskan bahwa sepertinya Liam masih menyimpan dendam sama Angga akibat penyergapan kasus perselingkuhan satu bulan yang lalu.

"Sialan..."

Reza mengumpat, mengingat teman-temannya sedang menghadapi malasah. Apalagi Angga sekarang sedang bersama Bagas yang notabene-nya gak bisa berkelahi. Mereka pun memutuskan pergi menyusul Angga dan Bagas.

"Mau kemana kalian?" Nara yang kebetulan masih berada di dekat ruangan itu dan mendengar percakapan mereka, berusaha mencegat, "Berkelahi lagi?" Tanyanya.

"Inikah yang hanya bisa dipikirkan dan dilakukan laki-laki?" Cewek itu mengernyitkan dahi, tidak habis pikir dengan jalan pikiran laki-laki yang ada dihadapannya ini.

"Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Ai!" Reza angkat bicara.

"Lalu apa? Berkelahi tidak menyelesaikan masalah. Lantas apa tujuan kalian? Supaya dianggap tangguh atau jagoan?" Tanya Nara meremehkan, "Cukup dengan mengendalikan amarah saja sudah cukup membuktikan bahwa kalian orang kuat." Cewek itu coba memperingati mereka dengan salah satu hadist yang sering dibacanya yaitu 'Orang kuat bukanlah yang kuat dalam bergulat, namun orang yang mampu menguasai dirinya tatkala Marah (HR. Muttafaq 'Alaih)'.

Reza diam. Ia menelan ludah karena tercekat dengan kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Nara. Kemudian cowok itu bertukar pandangan dengan Arya dan Bayu.

"Bagaimana kami bisa diam ketika ada teman yang membutuhkan kami?" Tanya Arya balik.

"Kami berkelahi bukan untuk dicap sebagai jagoan, tapi untuk menyelamatkan orang yang berharga yaitu teman." Jelas Reza.

Kalimat itu berhasil membuat Nara tak berkutik. Cewek itu diam, berusaha mencerna kata-kata yang terurai. Mereka ingin menyelamatkan teman. Ya. Mereka yang terlihat berandalan terkadang memiliki persahabatan yang lebih kental dibandingkan mereka yang menganggap diri mereka suci.

"Ayo!"

Ajakan Reza kepada teman-temannya itu membuat Nara tersadar dari pikirannya yang berkecamuk. Cowok itu berjalan melewati Nara yang tiba-tiba kembali angkat suara.

"Lalu bagaimana dengan acaranya? Sebentar lagi akan dimulai Reza!"

Cowok itu berhenti, kemudian berbalik. "Maaf. Kali ini gue harus pergi, karena teman tidak akan meninggalkan temannya." Ucap Reza menyesal. Namun disisi yang lain, Ia juga telah membulatkan tekad untuk pergi.

Reza melangkah dan benar-benar pergi meninggalkan Nara yang hanya menghela napas berat karena tak mampu mencegahnya.

***

Assalamu'alaikum semua. 

Apa kabar??? Semoga sehat selalu ya :)

Btw, udah dua minggu gue gak update dan baru bisa lanjut sekarang (Berharap masih ada yang nunggu nih cerita ^_^ ). Gue mah gitu, kalau udah fokus sama satu hal jadi lupa sama yang lain (tipikel cewek setia, wkwkwk). Dan kalau ada ide baru kadang suka gak tahan buat langsung ditulis, hehee.  Imbasnya cerita yang lain dicuekin. So, Doa'kan gue ya supaya bisa nyelesain cerita ini.

Udah deh curcolnya. Semoga suka ya sama part ini.

Don't forget to vote n comment gaess.

See you *_*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top