PART 23
Dinda duduk di sebelah Reza dengan menjulurkan tangannya menyentuh dahi cowok itu pelan.
"Maksud lo apasih? Tadi malam buat gue bahagia. Dan sekarang lo buat gue khawatir." Gerutu Dinda saat merasakan tubuh Reza yang masih hangat.
"Lo pasti gak makan tepat waktu, kan? Makanya maag kambuh. Tekanan darah rendah karena sering begadang." Analisa Dinda dengan tepat sambil memperhatikan selang infus yang terpasang di tangan kiri Reza.
"Lo juga!" Tunjuk Dinda ke arah Rian, "Saudara macam apa gak bisa jagain adiknya?"
"Gak usah bawel deh."
"Gue bawel karena khawatir sama lo kunyuk."
"Tapi gue malah tambah sakit denger ocehan lo!"
"Biasanya juga lo bakalan sembuh kalau udah lihat gue!" Ejek Dinda, "Lupa pas zaman SD? Lo meraung sambil nangis-nangis cuma mau ketemu sama gue pas lagi sakit?"
"Itu dulu. Sekarang beda."
"Tapi menurut gue sama. Lo masih Reza gue yang dulu."
"Suka-suka lo deh!" Kata Reza mengakhiri perdebatan kecil itu.
Perdebatan singkat yang terjadi juga disaksikan langsung oleh Nara dan teman-temannya. Adegan itu membuat mereka bingung tentang hubungan antara Reza dan Dinda. Pun dengan Dita yang baru saja mengetahui bahwa Rian dan Reza adalah saudara, meskipun beda Ibu dan Ayah. Kenyataan yang menyebabkan Dita semakin tak mengenal Rian. Dan sekarang, menyaksikan kedekatan Dinda dan Reza membuat dirinya sedikit khawatir dengan Nara yang diam-diam menghela napas.
"Ya udah deh, gue ke bawah dulu bantuin tante buat makanan. Supaya yang lain juga bisa ngomong sama lo."
Pamit Dinda yang diikuti Rian, keluar dari kamar Reza.
"Hai Reza." Sapa intan pertama tanpa menambahkan embel-embel 'monyet mesum' atau semacamnya. "Kasian juga gue liat lo lemah gini. Gue jadi merasa bersalah karena sering ngatain lo. Maaf yee." Tutur Intan dengan meminta maaf.
"Semoga cepat mati!" Lanjutnya lagi.
"Intan!!"
"Semoga cepat mati penyakitnya maksud gue. Ya elah, belum juga gue selesai ngomong."
"Makasih do'anya orang utan." Lirih Reza.
"Cihh... Kali ini gue izinin lo manggil gue kayak gitu."
"Eh Reza." Dita tiba-tiba bersuara, "Lo ada hubungan apa sama si Dinda? Kelihatannya dekat banget?!"
Reza sekilas melirik Nara, kemudian sedikit terkekeh merespon pertanyaan Dita. "Mau tahu aja atau mau tempe banget?"
"Ahh dasar. Gue serius nih!"
"Lo kesini mau jenguk gue atau mau ngorek tentang kehidupan pribadi gue?"
"Jenguk lo lah. Ya tapi kan sebagai calon ipar yang baik, gue harus tahu tentang keluarga calon suami gue. Gue baru tahu kalau kalian itu saudaraan. Jadi baik-baik lo sama calon kakak ipar."
"Yakin banget lo bakalan jodoh sama dia. Siapa tahu minggu depan putus. Hahaa."
"Lo lagi sakit, tapi tetap ngeselin yah."
"Yang jelas hubungan gue sama Dinda gak bakalan ganggu hubungan lo sama Rian, puas?"
"Tapi ganggu hubungan lo sama Nara."
Reza diam dan kemudian memandang Nara yang kini tengah mengernyitkan dahi ke Dita.
"Maksudnya?"
"Gak ada. Cuma becanda doang. Peace!" Dita cengengesan sambil menunjukkan dua jarinya membentuk V. Ini bukan salam dua jari loh ya!
"Hai Ai. Kamu gak mau nyapa aku nih?"
Sapa Reza sehingga berhasil mengalihkan pandangan Nara. Tatapan mereka bertemu. Hanya sepersekian detik. Tatapan itu terputus seiring dengan celutukan Lala, yang lagi lagi membuat Nara mengehla napas.
"Iya nih si Nara. Tadi aja di sekolah, dia rempong sendiri buat jenguk lo. Gak sabaran banget mau kesini. Nah, sekarang dia mati gaya setelah ketemu lo."
"Kapan aku kayak gitu? Itu mah kalian aja yang lebay." Kata Nara menghela napas.
"Cepat sembuh Za." Lanjutnya singkat.
"Cepat sembuh Za. Sekolah sepi kalau gak ada lo, gue kan jadi kangen. Bilang aja gitu." Ledek Intan.
"Itu sih kamu Tan. Gak ada teman bertengkar di sekolah." Ucap Nara membantah prasangka Intan.
"Yah, padahal gue berharapnya gitu. Gue bakalan cepat sembuh kalau kalimat itu dari kamu."
"Tuh kan. Buat orang sembuhkan pahala, Ra. Sekali-kali boleh lah, selagi gue ngijinin lo sama dia."
"Kalau emang kamu maunya kayak gitu, ya udah anggap aja kayak gitu."
Jawab Nara polos. Membayangkan Nara merindukan dirinya saja cukup membuat cowok itu tersenyum. Bibirnya terangkat membentuk lengkungan. Hanya sesaat, karena Ia sadar itu hayalan bukan kenyataan.
***
"Dia sudah makan?"
"Jam 08.00 Aisha bawa makanan sama obatnya, Mas."
"Dia gak bisa minum obat!"
"Aisha udah hancurin obatnya."
Sayup-sayup Reza mendengar percakapan di luar kamarnya. Cowok itu melirik jam dinding yang menggantung menghiasi salah satu sisi tembok. Jam menunjukkan pukul setengah satu malam. Reza tiba-tiba terbangun saat merasakan keringat dingin membasahi dahi dan lehernya. Pelan tangannya bergerak menyeka keringat yang merupakan efek dari kerja obat yang diminumnya.
Fokus Reza teralihkan dengan percakapan di luar sana. Derap kaki terdengar semakin dekat dengan kamarnya. Benar saja, pintu kamar terbuka. Rendy masuk dengan Aisha di sampingnya.
Tidak mau bertemu dengan Rendy dalam keadaan sakit, Reza dengan cepat menutup matanya kembali. Berpura-pura tidur untuk mengelabui amarah sang papa.
Hal pertama yang cowok itu dengar adalah helaan napas berat saat Rendy mendekat ke ranjang. Seolah pria paruh baya itu memiliki beban berat yang dipanggul di punggungnya.
Kedua, Reza merasakan tangan yang begitu dingin menyentuh dahinya. Beberapa detik bertengger disana, dan Reza menikmati sensasi hangat yang dihasilkan. Sedikit merasa kehilangan saat tangan ditarik kembali.
Ketiga, tubuh cowok itu sedikit terguncang saat Rendy memperbaiki posisi selimut yang Ia kenakan.
Beberapa menit berlalu.
Tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari Rendy. Sesuatu yang aneh menurut Reza, mengingat sikap kasar pria itu ketika berhadapan dengan dirinya.
"Cepat sembuh jagoan Papa."
Satu kalimat akhirnya berhasil lolos setelah beberapa lama kata-kata itu terperangkap dalam pita suara. Ucapan itu meluncur seiring dengan tepukan menenangkan di tangan kanan Reza yang tergeletak di atas perut.
Setelahnya, tak ada kalimat lagi yang terdengar. Reza justru mendengar langkah kaki yang bergerak menjauh dari indera pendengarannya.
Reza terdiam dengan mata masih tertutup.
Pelan tapi pasti. Kalimat singkat itu rupanya berhasil meluluh lantahkan hati Reza.
Satu tetes bulir bening diam-diam mendesak keluar dari kelopak mata tertutup. Tanpa izin darinya, Air mata itu meleleh membasuh kedua pipi.
Reza tidak bisa membedakan dunia mimpi dan dunia nyata yang sedang dijalaninya. Cowok itu tak mau membuka mata. Ia takut akan kehilangan mimpi indah itu, masih ingin terjebak dalam dunia mimpi yang lebih menyenangkan baginya.
Tuhan, apakah ini nyata? Atau hanya sebuah mimpi? Jika memang ini kenyataan, bisahkah aku berdo'a agar waktu berhenti? Aku tidak ingin moment ini berlalu dengan cepat. Dan jika ini mimpi, bisakah aku berharap untuk tidak bangun dari mimpi indah ini? Aku terlalu sering terluka hingga terkadang lupa bagaimana rasanya bahagia.
***
Aku sengaja cut sampai disini. Tapi tenang, lanjutannya bakalan aku post bentar lagi.
Sebelum lanjut ke part selanjutnya, jangan lupa tekan bintang dan komen yes!
Happy reading^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top