Part 22

Reza mengayuh sepeda sambil bersenandung ria. Menikmati setiap hembusan angin yang menerpa dengan Dinda berada dibelakangnya. Mengantar gadis itu pulang dan kemudian melanjutkan perjalanan. Saat tiba di depan gerbang, Reza menyipitkan mata melihat kakaknya, Aila turun dari mobil yang dikemudikan seorang cowok. Aila melangkah disaat mobil itu berlalu. Dan sektika itu pula Ia terkejut dengan kehadiran Reza yang membeku di sisi sepeda.

"Siapa dia?" Tanya Reza saat Aila mendekat.

"Bukan siapa-siapa!" Tandas Aila santai, "Ayok masuk." Ajaknya lagi.

Reza yang polos mempercayai perkataan Aila begitu saja. Namun, cowok itu mulai curiga ketika tanpa sengaja mendengar Aila menelpon tengah malam. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh kakaknya. Kecurigaan itu kian membuncah saat menemukan ponsel Aila dengan deretan kata sandi. Aneh. Sebelumnya Aila tak pernah mengunci ponsel dan membiarkan Reza memainkan game sesukanya hatinya. Pasti ada yang disembunyikan, pikir Reza.

"Kakak pacaran, kan?" Akhirnya Reza memberanikan diri untuk bertanya.

"Kamu ngomong apa sih, dek?"

"Kakak gak usah bohong deh. Reza udah tahu!"

Aila diam sejenak. Tak tahu harus menjawab apa.

"Iya. Kakak pacaran." Setelah didesak Reza, akhirnya Aila mengakui.

"Astagfirullah. Papa kan larang Kak Aila pacaran. Lagian kata kakak pacaran itu gak boleh."

Pacaran itu gak boleh. Begitulah nasehat yang Aila katakan ketika Dinda merengek mau jadi pacar Reza. Aila menghembuskan napas. Menunduk karena Ia telah menjilat lidahnya sendiri.

"Iya. Kakak tahu. Kakak juga mau putus." Terang Aila yang sekarang tengah menatap Reza yang masih berdiri di depannya. "Jadi kamu tenang aja. Mending fokus sama perlombaan yang tinggal dua minggu lagi." Kata Aila mencoba menenangkan Reza.

Reza mengangguk. Sekali lagi percaya dengan kakaknya.

"Dan satu lagi. Jangan kasi tahu papa ya! Janji?" Aila menjulurkan jari kelingkingnya.

"Janji!" Reza pun menyambut uluran itu dan mengaitkannya dengan jari telunjuknya sebagai tanda perjanjian.

"Duh jagoan kakak." Aila tersenyum dan membawa Reza kedalam pelukannya sambil membelai lembut rambut Reza.

"Ihh kakak. Jangan peluk kayak anak kecil. Reza udah besar tahu!" Sergah Reza, menjauhkan tubuhnya.

"Pilih mana, kakak peluk kamu atau pacar?" Goda Aila.

Spontan Reza menghamburkan diri ke dalam rengkuhan kakaknya.

"Pokoknya gak boleh peluk cowok selain Reza sama papa!" Seru Reza otoriter. "Dan kakak juga harus putus."

"Siap boss!"

Dua minggu berlalu.

Reza pulang dengan senyum mengembang di wajahnya. Ia berlari ketika turun dari mobil dengan membawa sebuah piala. Iya, Reza baru saja memenangkan perlombaan Musabaqah Tilawatil Qur'an tingkat provinsi mewakili sekolahnya. Cowok itu rupanya tak sabar memberikan kabar bahagia itu kepada Aila. Reza memanggil-manggil Aila ketika tak ditemukannya di dalam kamar. Hingga Ia pun mencari di ruang baca yang khusus disiapkan papa untuk mereka. Disana, Aila juga tak ada.

Reza terus menyusuri jalan menuju taman belakang rumah. Ia akan berbalik menuju ruang tamu saat tak melihat keberadaan Aila. Namun diurungkan ketika indera penglihatannya menangkap sesuatu. Reza mendekat dan seketika membeku di tempat. Mulut ternganga dengan wajah yang pucat pasi. Tubuhnya bergetar hebat. Pun dengan kakinya yang lemas dan perlahan mundur untuk mencari pegangan. Tak menemukan pegangan hingga akhirnya Reza ambruk bersamaan dengan piala yang terlepas. Pandangannya mulai mengabur seiring dengan bulir bening yang mengembun. Dan Air mata itu tumpah juga. Reza merangkak dengan sesak, mencoba menggapai tubuh Aila yang bermandikan darah.

"Kak Ailaaaa...." Teriak Reza Histeris.

Beberapa minggu setelah kematian Aila, polisi terus mengusut kasus ini dan akhirnya mulai menemukan titik terang. Kasus itu merupakan pembunuhan berencana. Sang tersangka yang merupakan pacar Aila mengaku bahwa Ia dibayar oleh seseorang untuk mendekati dan kemudian membunuh Aila. Seseorang tersebut tak lain dan tak bukan adalah ayah Rian. Polisi pun mengatakan bahwa motif dari kasus itu adalah karena kebencian dan dendam terhadap papa Reza.

Semenjak saat itu, Reza mulai berubah. Menjadi lebih pendiam dan dingin. Ia tak berbicara dengan sahabatnya, baik itu Dinda ataupun Aldo terlebih lagi denga Rian. Reza tetap menjauh seberapa kuat pun usaha Dinda untuk mendekat. Cowok itu melangkah terlalu jauh, meninggalkan jati dirinya. Hingga cara memberontak pun dipilihnya untuk menyembunyikan luka yang ingin dilupakannya.

Luka itu hadir karena Reza menyalahkan dirinya atas kematian Aila. Dan semakin membesar ketika Mamanya tergeletak di kamar mandi dan harus terbaring tak berdaya di rumah sakit karena serangan jantung. Reza semakin jatuh ke dalam lubang bernama kesedihan. Ia tak memiliki pegangan untuk bangkit lagi ketika sang Papa mulai berubah. Hingga akhirnya Reza pun memilih mengubur semua tentang dirinya bersama kenangan pahit yang membawa lara. Bahkan melepaskan diri dari perlombaan MTQ tingkat nasional. Lalu bertransformasi menjadi Reza yang terlihat kuat dari luar, namun rapuh di dalam.

***

"Mah... Mama. Jangan tinggalkan Reza, Mah. Mama..."

Reza membuka mata, terbangun dengan keringat yang membanjiri sekujur wajahnya. Napasnya memburu. Ternyata mimpi, dan mimpi itu terasa begitu nyata. Seolah kejadian 2 tahun silam baru terjadi kemarin. Entah mengapa mimpi itu hadir lagi disaat Ia mulai mencoba untuk berubah. Semakin Ia melupakan, justru kenangan itu semakin menggerubung datang lalu menghancurkannya perlahan-lahan. Satu hal yang belum Reza pahami yaitu bagaimana cara berdamai dengan masa lalu. Ia pun memutuskan untuk melibatkan Dinda ke dalam hidupnya lagi.

Reza menghembuskan napas, mengatur kembali laju udara yang masuk ke dalam paru-paru. Lalu tangannya bergerak memijat kepala yang tiba-tiba terasa pusing. Reza ingin beranjak dari tempat tidur saat pintu kamarnya terbuka. Aisha masuk dengan membawa makanan beserta satu gelas air minum yang menjadi tujuan Reza bangun dari tempat tidur. Aisha meletakkan makanan itu di atas meja tanpa mengucapkan sepatah kata. Ia menoleh ke Reza dan terkejut saat melihat wajah cowok itu pucat dan berkeringat.

"Kamu lagi sakit?" Tanya Aisha hati-hati dan mendekati Reza yang sedang duduk lemah di pinggir ranjang. Kemudian menjulurkan tangannya untuk menyentuh dahi cowok itu. Namun segera ditepis Reza.

"Aku baik-baik saja!" Reza bangkit dengan tubuh yang tak bertenaga. Berjalan gontai untuk meraih segelas air putih. Aisha yang mengamati Reza setelah tadi merasakan badan Reza yang panas, tidak bisa menghalau rasa khawatirnya. Wanita itu lalu menarik tangan Reza yang baru saja minum ke tempat tidurnya lagi. Meskipun Reza menolak. Tentu saja karena kondisinya yang sedang lemah, Reza tak bisa melawan tenaga wanita itu. Hingga kini Ia telah berbaring kembali.

"Kamu selalu mengatakan baik-baik saja. Berhenti berbohong pada dirimu sendiri. Hah dasar anak bandel!"

Reza terkesiap. Untuk pertama kalinya Reza mendengar wanita itu berkata demikian. Persis seperti mamanya jika sedang marah, pikir Reza.

"Aku akan menelpon dokter."

"Tidak perlu. Nanti juga sembuh sendiri."

Aisha menghela napas. Kemudian melengos pergi. Reza memandang punggung Aisha. Entah mengapa, cowok itu sedikit merasa kecewa saat wanita itu benar-benar pergi. Ia berusaha memejamkan mata. Berharap setelah bangun nanti, suhu tubuhnya bisa turun. Matanya terbuka kembali ketika Aisha masuk dengan baskom di tangan kanan dan kotak obat di tangan kiri.

"Setidaknya ini akan meredakan panasmu. Kali ini aku benar-benar memaksamu. Jadi jangan menolak!" Ucap Aisha memperingati Reza sambil mencelupkan handuk kecil ke dalam baskom berisi air dingin.

"Jangan pikir aku tidak bisa melawanmu." Seru Aisha lagi. Wanita itu meletakkan handuk tadi ke atas dahi Reza. "Dasar anak bandel! Kenapa kamu gak pernah mendengarkan kata-kata ku, hah?" Lanjutnya.

"Kamu tidak bisa menganggapku sebagai Ibu, setidaknya anggaplah aku pembantumu. Itu lebih baik daripada kamu selalu bersikap dingin. Haishh. Kali ini aku benar-benar muak."

"Melihatmu seperti ini, Varisha pasti menyalahkan aku karena tidak bisa mengurus jagoannya. Kamu pikir, aku perhatian seperti ini karena kamu? Bukan. Ini semua demi sahabatku, Varisha."

Setiap omelan yang keluar dari mulut seorang ibu adalah bentuk kasih sayang mereka terhadap anaknya. Pun dengan omelan Aisha yang membuat Reza sedikit tersenyum. Diam-diam cowok itu memperhatikan Aisha. Mengingatkan dirinya kepada sang mama saat dulu merawat tubuhnya. Kepingan kenangan itu kembali menyeruak, omelan Varisha menggema disudut kepalanya yang kian berdenyut. Mulai dari omelan sang Mama karena Ia telat makan, tidur tengah malam karena memainkan game kesukaannya. Hingga berakhir pada kenyataan bahwa Reza tak bisa minum obat yang membuat Mamanya jengkel. Persis seperti yang dilakukan Aisha saat ini.

"Badan aja yang gede, tapi minum obat sebesar upil aja gak bisa!" Dumel Aisha yang saat ini sedang berusah menghaluskan obat pereda demam dengan menggunakan sendok.

Malam ini. Reza seolah menemukan kehangatan kembali.

Merasakan kehangatan melalui kenangan yang tuhan hadirkan.

Apapun itu, Reza tak mau lagi jatuh terlalu dalam.

Mungkin sudah saatnya untuk Ia memaafkan .

***

"Bisa sakit juga lo!" Tandas Arya begitu masuk ke kamar Reza diikuti oleh Angga, Bagas dan Bayu. Mereka datang menjenguk Reza dengan masih menggunakan seragam sekolah.

Reza sedikit terkekeh, "Lo pikir gue robot?" Ujarnya pelan sembari mengambil posisi sedikit menyadar di kepala kasur.

"Gila! kamar lo luas banget. Lo hutang cerita sama kita. Bisa-bisanya lo gak cerita kalau Rian saudara lo!" Bayu mengamati sekelilingnya dan berdecak kagum.

Arya yang dari awal sudah mengetahui rahasia ini menyikut lengan Bayu. Memperingatkan cowok itu untuk tidak membahas masalah pribadi Reza.

"Sakit apa lo? Jangan-jangan sakit hati gegara gak kunjung diterima Nara. Hahaa." Celutuk Bayu mengalihkan pembicaraan.

"Atau jangan-jangan lo dilema antara Nara dan Dinda?" Lanjut Angga.

"Tai lo pada. Teman lagi sakit juga, malah diejek!" Kali ini Bagas yang menimpali.

"Dasar gentong. Serius amat hidup lo!" Bayu melempar bantal ke arah Bagas yang duduk bersila di dekat kaki Reza. "Orang sakit itu kalau diseriusin malah tambah sakit. Sama kayak patah hati, kalau diseriusin bikin tambah nyesek. Seperti itu." Ucap Bayu lagi.

"Geli banget gue denger lo!" Timpal Reza.

"Udah si, di tolak ya ditolak aja. Gak usah pake curhat segala." Ledek Angga. Cowok itu bersama Arya sedang memakan buah yang tadi dibawanya sebagai bekal menjenguk Reza di kursi yang tak jauh dari tempat tidur.

"Buset dah. Kalian bawa buah buat gue, atau buat lo makan sendiri?" Ledek Reza.

"Lo kan sakit, jadi gak boleh makan buah!"

"Terus kenapa tadi lo suruh gue beli buah? Pakek uang gue lagi!" Sergah Bagas.

"Gue kan gak pernah bilang buah ini buat Reza. Lo si oon, percaya aja sama akal-akalan kami. Hahaa." Angga menoleh ke Arya sambil memainkan alisnya. Lalu tertawa dan bertos ria karena rencana mereka berhasil.

"Ahh kampret lo!" Bagas menimpuk mereka dengan bantal yang tadi Bayu lempar. "Pada ngutang semua lo!"

"Gak mau bayar."

"Gak mau bayar."

"Gak mau bayar." Bayu menjawab terakhir. Mengambil posisi rebahan di samping Reza dan menyebabkan bajunya terangkat, sedikit memperlihatkan celana dalamnya.

Arya melotot dan menghentikan mengunyah, "Hei. Apa ini celana dalam gue?" Menunjuk ke arah Bayu.

Bayu melongok ke bawah, Lalu memperbaiki bajunya yang terangkat "Apa maksud lo? Apapun yang gue pakai ya punya gue!"

Cowok itu bangkit dari tempat tidur. Berdiri dengan santai dan siap lari. Namun terlambat ketika Arya lebih dulu menangkapnya. "Kamprett. Lo nyuri celana dalam gue juga!"

"Apa yang mau lo lakukan?" Sergah Bayu saat Arya mencoba meraih resleting celananya.

"Lepaskan. Ayok cepat!"

"Hei jangan bergerak. Nanti lo salah pegang."

Arya telah berhasil meraih resleting yang dipertahankan Bayu. Tentu saja cowok itu tak mau kalah dengan Arya. Ia memberontak hingga tubuhnya tersungkur ke belakang. Jatuh ke kasur dengan kaki menggelantung di atas.

"Bodo amat. Cepat buka." Arya tetap teguh. Tak mau melepaskan cengkramannya di celana Bayu.

"Berhenti. Berhenti. Ya kali gue lepas disini bahlul!"

Krekkk.

Pintu terbuka. Spontan mereka menoleh ke pintu dan diam diposisi. Lalu mereka saling memandang dalam keadaan yang gak pantas dilihat. Bayu di bawah, Arya di atas dengan tangan yang masih setia di pinggang Bayu. Sementara disana, Nara dan teman-temannya yang datang bersama Rian sedang menyaksikan dengan mulut ternganga.

Haissh... Arya mendesis, kemudian menarik Bayu hingga jatuh ke lantai. Cowok itu mengaduh kesakitan, tapi tak dihiraukan oleh Arya yang kini pamitan dan dengan muka malu meninggalkan ruangan. Sampai-sampai Ia lupa dengan tasnya. Arya pun dengan terpaksa harus kembali sambil cengengesan yang mengundang gelak tawa teman-temannya. Selain Arya, Angga Bagas dan Bayu juga ikut pamitan setelah say 'hello' ke Nara and the genk. Mereka keluar dengan Bayu yang masih mengusap-usap pantat kesayangannya.

Nara dan teman-temannya melangkah saat tiba-tiba seseorang datang mendahului mereka. Menyeruak dengan suara yang menggelegar.

"Reza!"

Dinda datang.

Kemudian duduk di samping Reza yang menghela napas.

***

Assalamu'alaikum semua.

Part ini di post tanpa dicek ulang. maafkan kalau banyak typo dan maaf kalau jelek.

Sebenarnya ini masih ada kelanjutannya. tapi, aku potong sampai disini dulu ya. udah gak tahan nulis soalnya. entah kenapa, aku nulis adegan Reza yang sakit, ehh aku malah ikutan sakit.

Jodoh kali ya! Wkwkwk ^^

Kabur dulu....

Sebelum digebukin sama Nara dan Dinda.


Ehhh bentar, ada yang kelupaan. Jangan lupa vote dan komennya ya. Vomment kalian bikin aku tambah semangat nyelesein nih cerita. Wkwkkk.

Oke deh. Aku kabur dulu. Sampai jumpa :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top