PART 17
Setelah seharian berada di luar rumah, Reza akhirnya memutuskan untuk pulang kerumahnya. Namun kini Ia menyesali keputusan itu saat melihat pemandangan yang tidak menyenangkan sama sekali untuknya. Di meja makan, terlihat Rendy, Aisha dan Rian sedang menikmati makan malam mereka dengan sesekali berbincang dengan hangatnya. Mereka terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia. Tentu saja pemandangan ini memberikan luka di pihak Reza.
Beberapa menit cowok itu memandang ke meja makan dengan tatapan sendu. Matanya mulai berkaca-kaca saat bayangan masa lalu tergambar jelas disana. Ia seolah melihat Ibundanya yang sedang sibuk menyiapkan makan malam, lalu melihat papanya yang baru pulang sambil membawa buku baru untuknya, dan kemudian Aila yang memarahi dan menjitak dahinya karena malas saat belajar maupun menghafal al-quran. Bayangan itu berganti dengan kehangatan yang terjadi di ruang keluarga. Sibuk berbincang-bincang sambil tertawa bersama merupakan hal yang paling indah bagi Reza dulu.
Kenangan itu hadir kembali dan berhasil membuat Reza tersenyum, namun dalam senyuman itu tersimpan bulir air mata yang perlahan keluar dan jatuh membasahi pipinya. Bayangan-bayangan yang baru saja Ia lihat perlahan memudar seakan membawa Reza kembali kepada kenyataan pahit yang sampai saat ini belum bisa diterimanya. Kehangatan demi kehangatan yang dulu Ia rasakan kini telah sirna. Reza pun hanya bisa melewati setiap malamnya dengan kesendirian dan kedinginan. Namun rasa sepi itu sedikit terobati karena kehadiran Nara. Entah mengapa Ia melihat sosok kakak perempuannya dalam diri gadis itu. Caranya tersenyum, caranya berbicara dan matanya yang bening selalu mengingatkan Reza dengan Aila. Ia menjadi teringat kembali dengan perkataan Nara tadi pagi. Apa mungkin dia benar-benar mencinta Nara atau mungkin dia mencintainya karena melihat sosok Aila dalam diri gadis itu. Entahlah....
Reza menyeka air mata yang sempat merembas keluar dari kelopak matadengan punggung tangannya, lalu berbalik meninggalkan ruang makan. Saat itu juga Aisha menangkap kehadiran Reza dan spontan memanggilnya. Namun panggilan itu sama sekali tak menghentikan langkah Reza.
***
"Reza...." Rian berusaha mengejar saudara tirinya itu. "Sampai kapan lo bersikap kekanak-kanakan seperti ini, hah? Lo nggak kasihan sama papa lo sendiri?"
"Sampai lo benar-benar musnah dari kehidupan gue!" Balas Reza kejam.
"Apa yang harus gue lakuin untuk mendapatkan kata maaf dari lo Za?"
"Lo nggak perlu melakukan apapun, cukup dengan menghilang dari hadapan gue. Karena saat gue melihat lo, gue selalu teringat dengan bajingan yang dengan sadisnya telah membunuh dua orang yang gue sayangi. Bahkan meskipun lo bersujud dihadapan gue, semuanya tidak akan mengubah keadaan yang telah terjadi."
"Semuanya tidak akan mengubah keadaan yang sudah terjadi, lantas apa gunanya lo merusak diri lo sendiri seperti ini? Merusak mimpi dan cita-cita lo? Melukai perasaan laki-laki yang tanpa lo ketahui selalu memikirkan lo setiap hari yaitu papa?"
"Jangan berbicara seolah-olah gue yang salah disini, karena lo gak tahu bagaimana rasanya kehilangan dua orang yang lo sayangi diwaktu yang bersamaan." Geram Reza sambil menarik kerah baju Rian. "Gue benci semua hal yang berhubungan dengan lo dan keluarga lo. Dan kebencian gue semakin bertambah saat mengetahui Ai suka sama lo. Dari sekian banyak cowok di dunia ini, kenapa harus elo yang dia suka? Kenapa hidup gue selalu berhubungan dengan lo?"
Rian mengerutkan dahinya, "Maksud lo? Apa maksud lo dengan Ai menyukai gue?"
Saat mendapatkan pertanyaan seperti itu, Reza segera melepas genggamannya dikerah baju milik Rian. Cowok itu bergegas pergi dari tempat itu tanpa mau memperpanjang apa yang ia lontarkan barusan.
Sementara itu, Rian masih termangu di tempat, Ia tak menyangka dengan ucapan terakhir dari Reza. "Nara suka sama gue?" Ucapan yang terdengar seperti pertanyaan pada dirinya sendiri.
"Seandainya kamu jujur Ra, mungkin aku nggak akan menyakiti perasaan siapapun." Ujar cowok itu sambil menatap langit yang kelam seolah Ia ingin menyampaikan pesan melalui milyaran bintang yang bersinar menghiasi langit yang gelap.
Di waktu yang sama namun ditempat yang berbeda, Nara juga sedang menatap langit yang gelap namun bersinar karena kehadiran bintang dan bulan. Ia menerawang jauh ke belakang hingga cewek itu mengingat sebuah tulisan yang mampu menggelitik perasaannya.
Dia cinta pertamaku dan berharap akan menjadi cinta terakhirku.
Tapi nyatanya, itu hanyalah mimpi indah yang hadir disetiap tidurku.
Aku mencintainya, dan akan selalu mencintainya.
Aku bodoh...karena berpikir dia menyimpan rasa yang sama.
Namun sayang, aku tidaklah lebih dari sekedar teman baginya.
Sudah kukatakan, aku memang bodoh.
Terlalu bodoh karena aku Tetap mencintainya
Yang jelas-jelas tak mencintaku.
Sakittttt??? Yaaa, ini sungguh menyakitkan.....
Tapi Inilah pengharapan tak berputus,
Yang Berharap suatu hari nanti
Dia akan membalas perasaan ku ini......
Nara tersenyum miris ketika mengingat tulisannya satu tahun yang lalu saat untuk pertama kalinya Ia merasakan perasaan yang aneh. Perasaan aneh yang muncul karena melihat keramahan dan kebaikan cowok itu. Cowok yang juga saat ini telah menjadi pacar sahabatnya. Bukannya Ia mau merebut dia dari Dita, namun cinta tak bisa disalahkan karena Ia hadir tanpa diminta.
Lamunan cewek itu buyar ketika ponselnya tiba-tiba bergetar diatas tembok tempat tangannya bertumpu. Satu pesan masuk dari nomer yang tak asing lagi baginya.
Apa yang sedang kau pikirkan? Apa sedang memikirkanku, heh?
Nara yang sedang berada di rooftop rumahnya hanya mengernyitkan dahi membaca pesan itu. Ia lalu meletakkan ponsel itu tanpa membalas dan kembali bersenda gurau bersama langit. Nara mulai menghitung satu persatu bintang, yang merupakan kebiasannya sejak kecil. Mungkin orang menganggapnya gila karena menghitung benda langit yang tak terhitung. Namun bagi Nara menghitung bintang membuat dirinya menyadari kelemahannya sendiri. Membuat Ia sadar bahwa Ia hanyalah manusia kecil tanpa ada apa-apanya di hadapan sang Maha Kuasa. Hingga Ia bisa belajar bersyukur dengan nikmat dan rahmat Tuhan yang tak bisa terhitung pula. Ketika melihat langit Nara akan selalu teringat dengan salah satu ayat dalam surat Ar-Rahman, Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan???
Nara menghela napas lagi, saat ponselnya kembali bergetar kencang. Sepotong pesan tertera kembali di layar ponsel itu.
Gue cemburu sama langit! Apa hebatnya mandangin langit? Coba deh sekali-kali kamu melihat kearahku, siapa tau bisa cinta?!
Kali ini, Nara menyadari sesuatu yang ada dibalik pesan tersebut. Dari mana dia tau kalau aku sedang menatap langit, pikir cewek itu. Baru saja ia ingin mengetik balasan, akan tetapi diurungkan saat sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
Tanpa pikir panjang, Nara mengangkat panggilan itu.
"Kamu dimana? Kenapa bisa tau kalau..." Ucapan Nara terpotong dengan balasan dari seberang telepon.
"Assalamu'alaikum cantik."
"Wa'alaikumussalam."
"Segitu kangennya sama aku, sampai-sampai lupa mengucapkan salam?" Goda Reza sambil terkekeh.
Nara menghela napas, "Kamu dimana?" Tanyanya sekali lagi.
"Dihatimu."
Nara memejamkan mata lalu menghela napas sebelum mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan Reza. "Reza.... Aku...." Saat Ia menoleh kebawah, Ia melihat Reza bersandar pada motornya di seberang jalan depan rumah Nara. Cewek itu melotot karena terkejut dengan kehadiran Reza, namun justru dibalas dengan lambaian tangan dari Reza terhadap dirinya.
"Apa yang kamu lakukan di depan rumah ku?"
"Mau ngapelin kamu!" Jawab Reza santai dan langsung memutus panggilan.
Hah??
Dan tak lama kemudian, "Ai, Ada temannya yang nyariin nih!" Itu suara Ummi-nya yang memberitahukan kehadiran Reza.
Arghhh.... Nara menggerutu kesal, Ia tak menyangka dengan kenekatan Reza yang datang kerumahnya malam-malam seperti ini. Entah apa yang akan cowok itu lakukan, tapi yang jelas tak semudah itu Ia bisa berkunjung mengingat Abbi Nara yang tegas. Dengan kesal bin malas, Nara mengangkat kakinya menuruni anak tangga untuk menemui Reza.
TBC.
*****
No Edit, Sorry kalau jelek.
Udah ngantuk banget. See you next part.
Happy Reading.
Kamis, 24 Desember 2015.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top