PART 15
"Hai. Kenalin aku Adinda Putri Siregar. Teman-teman bisa panggil aku Dinda. Aku pindahan dari SMAN 1 Narmada. Semoga kita bisa berteman dengan baik." Dinda, sang murid baru mengakhiri perkenalannya dengan membungkukkan punggungnya sebagai tanda hormat. Setelahnya, Bu Isni mempersilahkan Dinda duduk di bangku kosong yang berada disebelah Reza. Dengan senyum mengembang, Dinda pun melangkah menuju bangku paling belakang.
"Hai Reza. Lama tidak berjumpa." Dinda duduk dan meletakkan tasnya di atas meja. "Makin ganteng aja lo!" Lanjutnya lagi.
Reza hanya tersenyum tipis saat Dinda memujinya. "Gue gak nyangka lo bakalan muncul lagi."
***
"Hai. Gue boleh gabung sama kalian?" Dinda muncul dengan nampan berisi makanan.
"Tentu saja. Duduklah." Kata Nara dengan ramah mempersilahkan Dinda duduk di sebelahnya.
"Makasih." Dinda meletakkan makanannya, dan kemudian menatap satu persatu wajah yang ada dihadapannya. "Ohh Hai Dita. Kita bertemu lagi." Dinda tersenyum ketika mengenal salah satu diantara mereka, yakni Dita.
"Kalian saling kenal?" Tanya Nara heran.
"Dia temannya Rian." Jawab Dita singkat.
Gadis berjilbab itu hanya mengangguk dan ber-oh-ria mendengar jawaban Dita yang singkat dan terdengar sedikit ketus. Nara hampir saja tersedak dari minuman yang baru saja diteguknya karena tiba-tiba saja sebuah kotak berada diatas kepalanya. Dengan sigap, Nara menahan kotak itu agar tidak jatuh. Kemudian menoleh mencari tahu siapa gerangan yang memberinya kotak yang entah berisi apa. Cewek itu menyipitkan mata menatap punggung Reza yang berlalu begitu saja usai menaruh kotak di atas kepalanya.
"Lo pacaran sama Reza?" Tanya Dinda heran melihat perlakuan Reza terhadap Nara.
"Hahh?? Tidak. Kami hanya berteman!"
"Bagus deh, berarti aku punya kesempatan dong." Ucapnya antusias sembari melahap nasi goreng yang sangat menggugah selera itu.
Tanpa Dinda sadari, ucapannya itu mengundang perhatian dari yang lain. Cewek itu mengangkat kepalanya, dan merasa aneh saat ditatap oleh Nara dan yang lain. "Ada apa? Apa ada yang salah sama ucapan gue?"
"Apa yang lo maksud dengan kesempatan?" Cerca Dita menuntut penjelasan.
"Siapa sih yang nggak suka sama cowok kayak Reza? Dia itu ganteng, tajir, tinggi, jago main basket lagi. Bukan hanya itu, dia juga pintar mengaji, kalau kalian mendengarkan Reza saat melantunkan ayat suci Al-quran, dijamin deh kalian bakal klepek-klepek. Pokoknya Reza itu suami idaman banget deh." Ujar Dinda, seolah-olah dia mengenal Reza luar dalamnya. "Dan karena Nara tidak ada hubungan apa-apa sama Reza, itu berarti gue masih punya kesempatan dong buat ngedeketin Reza. Gue gak salah, kan?"
"Salah banget. Salah karena lo terlalu berharap. Reza itu suka sama Nara dan hanya Nara. Jadi lo jangan mimpi ketinggian deh buat dapetin hatinya Reza."
"Gitu ya? Emmm... Kita lihat aja nanti! Kalau nggak Reza, Rian pun boleh tuh." Dinda memamerkan senyumannya, lebih tepatnya senyuman mengejek kepada Dita. Tentu saja hal ini menyulut api kemarahan dalam diri Dita.
"Loh tu ya...."
"Gue udah selesai makan, duluan yah." Dinda memotong ucapan Dita sembari bangkit dari duduknya. "Oh ya, gue saranin lo ya Ra, jangan pernah berpikir hati cowok selamanya lurus. Tidak selamanya Reza akan perhatian sama lo, karena cowok juga butuh kepastian. Jadi, mending lo ungkapin perasaan lo yang sebenarnya kalau gak mau Reza berpaling hatinya ke gue."
Nara tertegun mendengar penuturan cewek berambut gelombang itu. 'Cowok juga butuh kepastian' entah kenapa kata-kata itu terngiang-ngiang memenuhi kepalanya. Tanpa Nara mau, otaknya kembali memutar memori tempo dulu saat beberapa kali Reza mengungkapkan perasaan cinta kepada dirinya. Namun, bukan kepastian yang Ia beri dan hal itu membuat dirinya sedikit takut karena mendengar ucapan Dinda yang tepat sasaran. Karena dia sendiri pun masih bingung dengan perasaannya.
Namun Nara justru tersenyum mendengar saran Dinda tersebut. "Terimakasih atas sarannya. Tapi sayang cara kita memandang cinta itu berbeda. Karena Aku percaya bahwa Allah tidak pernah kehabisan cara untuk menyatukan yang berjodoh dan memisahkan yang tidak berjodoh. Lantas, apa yang harus dirisaukan?" Ada perasaan takut dalam hatinya, namun rasa takut itu terkalahkan oleh keyakinannya akan janji Allah. Jodoh pasti bertemu.
Dinda mengangkat sebelah alisnya, terlihat tak menyangka dengan jawaban yang keluar dari bibir mungil seorang Nara. "Woow, gue salut dengan prinsip lo. Gue udah peringatin lo dari awal, jadi jangan nyesal nantinya." Dinda berlalu meninggalkan Nara yang terdiam ditempat.
***
Nara berjalan melewati koridor sekolah setelah keluar dari ruang guru untuk mengumpulkantugas. Cewek itu melangkah sambil memperhatikan buku bacaan yang ada ditangan kanannya. Langkanya mendadak terhenti ditengah-tengah saat dilihatnya Erin bersama kedua temannya muncul tepat didepannya, menghalangi dirinya yang ingin kembali ke kelas.
"Lo makin hari makin nggak tahu diri ya."
Nara mengerutkan keningnya, "Maksud kakak?" Nara menatap bingung kearah mereka. "Nggak tahu diri gimana?"
"Gak usah sok polos deh lo!" Erin menatap Nara dengan tajam. "Selama ini lo sering diantar pulang Reza, kan? Dan kemarin lo diam-diam ketemuan sama Reza ditaman. Jadi cewek jangan kecentilan dong." Ucapnya dengan amarah yang menyala-nyala.
Perasaan Nara semakin nggak enak, firasatnya benar nih. Bakalan ada perang sekolah jika melihat aura ketiga orang yang di depannya saat ini. Nara menelan ludah, kakinya mundur selangkah tapi tangan Erin segera mencengkram lengannya erat-erat. "Ikut gue! Sekarang!" Tanpa meminta persetujuan, ditariknya tangan Nara secara paksa. Berhubung bel masuk belum berbunyi, koridor masih ramai akan murid-murid yang lalu-lalang, tatapan mereka tertuju pada Nara dan Erin, tapi tidak ada satupun yang berani angkat bicara. Tidak ada yang berani melawan Erin kecuali Intan.
Dua teman Erin yang doyan ikut kemana pun tuh cewek pergi juga ikut-ikutan membawa Nara ke sebuah tempat. Ternyata tujuannya adalah gedung belakang sekolah yang sepi di jam siang seperti ini. "Sini lo!" Didorongnya tubuh Nara sampai punggung cewek itu membentur tembok keras.
Nara meringis kesakitan, mengusap bahunya yang tiba-tiba terasa nyeri. "Kakak mau ngapain?" Tanyanya dengan polos.
"Menurut lo?" Tercetak seculas senyum manis di ujung bibir Erin. "Spertinya lo perlu dikasih pelajaran dikit, biar gak ngelunjak jadi junior." Erin maju hingga tubuhnya yang langsing benar-benar tidak berjarak dengan Nara.
Tubuh Nara semakin menciut, mau teriak nggak bakalan mungkin. Yang ada justru di bakalan makin habis disini! Nara melirik kekanan dan kekiri, ada dua cecunguk Erin yang juga ikut berjaga-jaga. Memblokade posisi Nara dalam posisi yang tidak menguntungkan. "Saya nggak pernah ketemuan sama Reza kak, Dia tiba-tiba aja datang." Nara mencoba menjelaskan dengan nada suara yang gemetar.
"Gue nggak butuh penjelasan lo!"
"Terus mau kakak apa?" Nara memberontak, sadar bahwa dirinya tidak salah apa-apa. Erinlah yang salah! Dating tanpa diundang dan menariknya tanpa izin. " Saya nggak pernah cari perhatian ataupun ketemuan sama Reza, dia aja yang mau sendiri."
Krekkk...
Erin menarik jilbab yang digunakan Nara sampai peniti yang mengaitkan dua sisi jilbabnya dibawah dagu terbuka. Kepala cewek itu terhuyung ke belakang, puncak kepalanya terasa panas dan gatal di waktu yang bersamaan setelah tangan Erin benar-benar menjambaknya sempurna. Tarikan dijilbabnya bukan hanya sakit, tapi juga mengejutkan. Nara berusaha memegangi jilbabnya agar tidak terbuka lebih lebar lagi. Nara nyaris menangis, matanya sudah memerah ketakutan. Sementara itu, Erin menyeringai melihat reaksi Nara, cewek itu bersiul puas.
"Erin, sadar Rin! Jangan main fisik gitu." Teman Erin segera menahan tangan Erin yang masih bertengger di jilbab pramuka Nara. "Ini sekolah, kalau lo mau ngelakuin hal aneh-aneh jangan disini. Panjang ntar urusannya."
"Nih anak harus dikasih pelajaran biar bisa jaga mulutnya! Supaya paham posisinya disini!" Erin ingin mengangkat tangannya berniat menampar Nara dan gerakannya terhenti di udara sesaat sebelum tangan itu berhasil mendarat di pipi Nara. "Lepasin tangan gue, nih anak harus dikasih tahu suapaya paham!" Erin memberontak dan menoleh kebelakang, seketika matanya tertegun begitu dilihatnya siapa yang muncul dan menahan tangannya. Yang jelas, bukan salah satu dianatar kedua temannya.
Reza menatap Erin dengan tajam, dicengkramnya telapak tangan itu keras-keras hingga Erin meringis kesakitan.
"Lepasin tangan gue!" Teriak Erin kalap.
"Gue yang cinta sama Nara, terus lo mau apa?" Balas Reza sarkatis!
Erin membeku ditempat. Tangannya yang semula memberontak mendadak terdiam dan berhenti bergerak. "Gue yang ngejar-ngejar dia, gue yang cinta sama dia, dan sekarang lo mau apa? Kenapa lo gak nyakitin gue dan malah nyakitin Nara, hah?" Dihempaskannnya tangan Erin dengan kasar.
"Gue gak peduli lo suka sama dia ato nggak. Yang gue tahu lo itu milik gue!"
"Emang gila lo!" Reza memajukan wajahnya hingga Erin menhan napas saat saat wajah Reza berada tepat didepan matanya. " Lo tinggal menghitung bulan di sekolah ini. Jadi mending lo pikir-pikir lagi kalau mau cari masalah. Seharusnya gue ngerekan kelakuan lo tadi. Supaya junior yang lain bisa lihat gimana kelakuan lo disekolah ini. Jadi lo gak perlu lagi capek-capek unjuk senioritas." Reza terdengar santai, tapi efeknya dahsyat hingga mampu membungkam Erin yang sekarang diam tanpa suara.
Reza melirik Nara yang ada di belakang punggung Erin. "Jangan kira gue bakal diem aja kalau lo ngapa-ngapain Nara lagi!" Ancamnya. "Ahh gue lupa, satu hal lagi. Dengar baik-baik, Gue bukan barang yang seenaknya bisa lo miliki!"
"Dasar cowok brengsek!"
"Hahaa.... Lo lucu yah. Udah tau gue brengsek, terus kenapa lo masih suka?" Reza melemparkan senyum ejekkan.
Wajah Erin memerah mendengar sindiran itu. Dan kemudian berlari meninggalkan Reza dengan perasaan malu yang diikuti oleh kedua temannya yang lain.
Reza mendekati Nara yang saat ini terduduk di depan tembok sambil mengaitkan jilbabnya dibawah dagu dengan tangannya. Cewek itu menundukkan kepala, matanya tampak berkabut dengan selaput tipis menggenang di kelopak mata. Tes. Sebulir air mata jatuh ke pipinya, makin ditundukkan wajah itu dalam-dalam supaya Reza tidak melihat lapisan bening yang tampak jelas karena pantulan sinar matahari.
Sambil menarik napas panjang, Reza menyejajarkan posisinya. Diulurkan tangan kanannya, berniat menghapus bekas air mata Nara. Namun, niat itu segera Ia urungkan diganti dengan sebuah sapu tangan yang diulurkan ke Nara. Cewek itu menerima sapu tangan pemberian Reza dalam keheningan yang entah sejak kapan sudah tercipta. Yang jelas dari keduanya tidak ada yang berbicara, karena diam lebih baik dibanding berkata-kata untuk saat ini. Nara yang membisu dan Reza yang berubah menjadi kaku.
Nara bangkit dari duduknya. "Makasih," Lirihnya.
Reza ikut berdiri, ditahannya lengan Nara sebelum gadis itu benar-benar pergi dan lari. "Kasih gue kepastian, sebenarnya kamu suka aku atau enggak?"
Bel masuk berdering nyaring bersamaan dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut Reza. "Udah bel, aku duluan." Nara yang pertama kali berbalik meninggalkan Reza di belakangnya yang hanya mampu menghela napas sambil menatap punggung itu dengan gamang sampai tubuh Nara menghilang di koridor.
Kasih gue kepastian. Kasih gue kepastian. Kata-kata Reza menggema dipojok pikiran Nara, mengecoh dan mengoyak konsentrasinya. Nara berjalan ke arah kelasnya dengan setengah kesadaran, karena setengah kesadarannya ia gunakan untuk berpikir, memikirkan ucapan Dinda tadi pagi dan juga pertanyaan Reza.
"Jangan pernah berpikir hati cowok selamanya lurus. Tidak selamanya Reza akan perhatian sama lo, karena cowok juga butuh kepastian."
"Kasih gue kepastian."
Kata-kata itu datang silih berganti di pikiran Nara, menyeruak dan menghancurkan akal sehatnya tanpa Ia minta. Biarlah waktu yang menjawab, Seru batin cewek yang sejatinya juga sedang bingung dengan hatinya ini.
***
Alhamdulillah update lagi.... Maaf lama!
Happy Reading yah, semoga suka.
Happy monday guys, and see ya.
Senin, 16 November 2015.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top