18. Duda Aneh

POV Zia alias Rani

"Apa-apaan, Mas Gusti? Aneh sekali tiba-tiba minta ditemani makan. Sama Mba Hanin saja gak begitu amat. Mungkin saat mereka berdua iya, aku percaya. Lah, ini, dengan orang lain yang baru dikenal, sudah sok ngatur mintanya banyak. Masa gara-gara tidur bersama jadi sok ngatur. Ya ampun, mesum sekali ternyata suami jadi-jadianku itu!" Sekilas aku melirik pintu kamar. Berharap ia tidak mendobrak masuk dan kembali menyerangku. Walau tidak apa-apaan sebenarnya karena aku masih istrinya, tetapi tetap saja, Mas Gusti menganggapku pembantu Pak Desta. Orang lain yang tidur bersama.

Tok! Tok!

"Duh! Apa lagi ini orang?" aku menelan ludah sambil meraba dada yang berdebar karena pintu diketuk tiba-tiba olehnya. Lekas aku turun dari tempat tidur dan berjalan untuk membukakan pintu.

"Ada apa, Pak?" tanyaku tanpa senyuman.

"Mm... kamu gak ngapain gitu di luar?"

"Hah? Ngapain apa?" aku menganga tidak mengerti maksud ucapannya yang absurd.

"Koprol, kayang, yoga, pilates? Apa?!" cecarku sambil melotot. Kalau bisa bola mata itu dilepas, ingin sekali aku menimpuk pupil itu agar tidak selalu menatapku dengan intens. Mas Desta tertawa, lalu kedua kakinya malah maju beberapa langkah, hingga otomatis membuatku mundur sambil menahan napas.

"A-ada apa, Pak?" tanyaku semakin tidak mengerti. Perut ini bahkan tiba-tiba mulas dan ingin buang angin. Pria itu tidak menjawab, tetapi ia terus memandangiku dengan kedua bola mata hitamnya yang indah. Beruntung sekali aku menjadi Rani, sehingga bisa melihat dengan dekat wajah suamiku. Sepertinya ia belum bercukur. Karena kumis, janggut, dan hutan kemarin di bawah sana sama rimbunnya. Aku memejamkan mata saat pikiran mesum masuk ke otakku.

"Pak, kalau gak ada yang mau dibicarakan, cuma lihatin muka saya terus, lebih baik Bapak pulang. Ini bukan rumah Bapak. Ini rumah Pak Desta. Dua orang berlainan jenis jika terlalu lama berdua, maka akan ada setan yang menjadi orang ketiga. Paham kan maksud saya?"

"Apakah kamu menyukaiku, Rani?"

Tuuuut!

Suara ban kempes terdengar dari pantat tak senonoh ini.

"Itu jawabannya, Pak. Permisi, saya mules. Kalamaan berdiri di sini, saya bisa cepirit!"

Blam

Aku berlari masuk ke kamar mandi dengan mengulum senyum. Sekian detik kemudian, aku tertawa cekikikan karena Mas Gusti malah mendengar jawaban dari pantatku.

Masa bodo dengan pikirannya tentangku. Pokoknya aku harus membatasi diri dengan Mas Gusti, agar ia tidak semakin dekat padaku. Bisa-bisa Zia benar-benar hilang dari hidupnya. Tidak, aku tidak bisa menjadi Rani sampai bertahun-tahun lamanya. Suatu hari nanti, memang bukan sekarang atau besok, aku harus memberitahu Mas Gusti bahwa aku adalah Zia, bukan Rani.

Setelah puas dengan hajatan kamar mandi, aku pun keluar dan sudah waktunya untuk mengantar makanan Pak Desta. Kugambar lingkaran dengan menggunakan uang koin lima ratusan. Lalu akut timpa dengan eye liner hitam yang waterproof, sehingga aku tidak perlu ketahuan saat tompel itu luntur.

Saat kubuka pintu, rumah dalam keadaan hening. Aku pun menghela napas lega karena Mas Gusti sepertinya sudah kembali ke rumahnya.

Aku bisa kembali fokus mengerjakan pekerjaan ART di rumah Pak Desta, tanpa terbebani dengan duda aneh seperti Mas Gusti. Sebenarnya tidak  bisa dibilang duda juga, karena ia masih memiliki istri bernama Zia.

Sayur asem, sambal, dan teman-temannya sudah rapi di dalam kotak bekal. Tinggal aku mengganti pakaian untuk segera berangkat.

Baju favoritku sedikit longgar, mungkin karena satu minggu ini aku begitu tertekan dengan meninggalnya Mbak Hanin dan juga sikap Mas Gusti. Sebentar aku berputar di depan cermin, memastikan semua penampilanku sudah pas. Walau wajahku ndeso, tidak seperti tokoh utama novel yang cantik-cantik, tetapi rambut palsu ini benar-benar menyelematkanku dari banyak musibah dan fitnah.

Siang ini, setelah mengantar bekal, aku berniat berziarah ke makam Mbak Hanin. Semoga saja tidak ada Mas Gusti di sana. Jika ada, maka aku harus segera putar balik. Sebuah selendang panjang, lebih mirip pasmina yang ada di lemari bajuku, entah punya siapa, aku pinjam saja. Lalu buku yasin yang aku masukkan ke dalam tas selempangku.

Siang pukul dua belas lebih empat puluh lima menit, matahari memang sedang tampan-tampannya. Dengan menggunakan helem dan sweeter, aku berangkat dengan motor matic Pak Desta.

Jangan menoleh, Zia. Ada Gusti di depan teras rumahnya. Lirikan mataku menangkap sosok Mas Gusti yang siang hari bolong tengah bengong di kursi teras. Aku melewati rumah itu dengan kecepatan tinggi, agar Mas Gusti tidak memperhatikan saat aku lewat.

"Bos, ini bekalnya!" Aku tersenyum manis pada Pak Desta.

"Ish, saya udah nunggu daritadi. Ngapain aja sih di rumah? Jangan bilang Mas Gusti ganggu kamu lagi. Ganggu istrinya send.... " Lekas kututup rapat mulut Pak Desta yang terlalu keras berbicara tentangku.

"Awas ada yang dengar, Pak! Kalau bicara tentang identitas saya, pelan-pelan saja!" Bisikku memberitahunya. Pak Desta mengangguk paham. Barulah aku melepas bekapan tangan ini dari mulutnya.

Aku duduk di kursi plastik di samping Pak Desta. Lalu kubuka bungkusan makanan yang sudah kubawa.

"Ini, Pak, mohon maaf kalau rasanya kurang pas," mataku padanya.

"Aku yakin kamu pasti chef handal. Buktinya Mbak Hanin dan Hilmi sangat menyukai masakanmu," balas Pak Desta. Aku tersenyum sambil mengangguk.

"Tapi ada satu manusia yang tidak suka dengan masakan saya, yaitu Mas Gusti." Pak Desta menertawakanku saat ia kembali dari wastafel yang berada di dekat ruangannya.

"Sabar ya, kamu harus sabar dengan Mas Gusti dan jangan pernah berpikir untuk lepas darinya. Bukankah Mbak Hanin sangat menyukaimu dan ia juga sangat sayang suaminya. Bertahanlah, Rani, saya yakin, suatu hari Mas Gusti akan bucin sama kamu."

"Pak, tapi saya mau minta tolong, saya merasa risih juga kalau Mas Gusti terus memperhatikan saya. Khawatir Mas Gusti mengenali saya. Seperti hari ini, Mas Gusti numpang makan sayur asem di rumah sambil minta ditemani." Aku bercerita dengan wajah sangat-sangat kesal. Namun, Lagi-lagi Pak Desta hanya tertawa.

"Ya ga papa kalau temani suami makan. Bisa dapat pahala tanpa ia ketahui," komentar Pak Desta sambil mengunyah makanan buatanku. Aku pun setuju dalam hati. Hanya saja, aku tidak mau nanti jadi ke-GR-an. Saat identitas ku terkuak dan Mas Gusti tahu bahwa Rani adalah Zia. Maka aku bisa pastikan ia akan kembali mengirimkanku ke penjara.

"Gak ah, nanti orangnya malah tambah sering numpang makan. Ya sudah, saya mau ke makan Mbak Hanin dulu ya, Pak."

"Oh, mau ziarah. Ya sudah, hati-hati. Jalanan ke daerah sana banyak razia istri yang terlunta-lunta, ha ha ha... " puas sekali tawa Pak Desta karena meledekku.

"Kalian ini sama saja!" Aku mencebik. Lalu segera keluar dari toko bangunan itu.

Begitu sampai di pemakaman Mbak Hanin, hatiku bergetar hebat. Air mata turun tanpa permisi  padahal motor belum juga aku parkir dengan benar. Pemakaman sangat sepi, begitu juga jalanan di sekitarnya, sehingga aku memutuskan untuk memarkirkan motor di sebuah toko kelontongan. Tidak ada mobil Mas Gusti ataupun motor besarnya. Berarti Mas Gusti tidak ada di makam.

"Bu, nitip parkir boleh ya? Saya mau ke makam," ujarku pada wanita setengah baya itu pemilik warung.

"Oh, iya, Mbak, silakan."

"Terima kasih, Bu." Aku tersenyum.

"Kalau mau wudhu, di samping ada keran air, Mbak, pakai saja," kata ini warung padaku.
"Alhamdulillah, Terima kasih, Bu." Aku pun berwudhu setelah merapikan rambutku dengan diikat tingg. Lalu memakai selendang yang aku ambil dari dalam tas. Kugenggam erat buku yasin kecil yang sudah sangat siap aku baca di depan makam nanti.

"Assalamu'alaika ya ahli qubur." Salam itu kuucapkan untuk semua  yang berada di dalam tanah. Kaki kanan melangkah lebih dahulu saat masuk ke area pemakaman. Makam Mbak Hanin terlihat tidak begitu jelas dari gapura masuk, karena dilindungi oleh akar pohon kamboja yang sangat subur. Bunga-bunga berwarna merah muda di atas Makam Mbak Hanin, membuat makam itu  sangat spesial.

Aku berjongkok di sela-sela kuburan Mbak Hanin dan kuburan di sampingnya.

"Assalamu'alaikum, Mbak, apa kabar." Baru menanyakan kabar saja aku sudah terisak.

"Semoga Mbak Hanin dan dedek bayi sudah berada di surga dan gak kesakitan lagi. Mohon maaf atas kelalaian saya yang.... " Aku tak sanggup melanjutkan ucapanku karena dada ini semakin sesak. Segera kubuka surah yasin untuk mengaji dan juga mendoakan Mbak Hanin.

"Zia, ternyata kamu di sini!" Aku mendelik kaget saat mendengar suara terkejut Mas Gusti yang sudah berada di belakang tubuhku.

Bersambung

Hayoloh, apakah Rani alias Zia akan benar-benar ketahuan??

Yuk, mampir di aplikasi KBM atau beli e-book nya di play store ya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top