9 | Pemilik Detak Jantung
9
Pemilik Detak Jantung
🌤️🌤️🌤️
"Mau ke mana lagi kita?" Malam Sabtu. Seperti biasa, ini adalah jadwal kencan Rafdi dan putri kesayangannya, Mentari. Ayah dan anak itu melangkah berangkulan. Keluar dari ruang bioskop, usai menyaksikan film The LEGO Movie 2. Sebenarnya Eta ingin sekali menonton film Dilan yang yang sedang marak diperbincangkan di media sosial. Tapi, Rafdi menolak. Lebih tepatnya melarang.
Jangan tanya kenapa. Karena ayahnya memang tak pernah suka Eta menonton film-film romantis macam itu. Terlebih film genre roman dari luar negeri. Sampai usia 27 tahun ini pun, si pemilik nama lengkap Mentari Anugrah belum pernah sama sekali menyaksikan movie legendaris Titanic. Rafdi bilang, Eta masih terlalu kecil, belum pantas. Sedang Bias yang dua belas tahun lebih muda darinya bahkan sudah melahap series Mr. Grey—dan selalu ia ceritakan pada Eta dulu untuk membanding-bandingkan, betapa romantisnya Christian pada Ana, tidak seperti Semesta yang luar biasa kaku.
Ya, Mentari memang dijaga seluar biasa itu oleh ayahnya. Semua yang ada di ponsel Eta, Rafdi hafal mati—kecuali chat dengan Angkasa yang selalu langsung Eta hapus, karena sejak pertunangannya gagal, Rafdi melarangnya terlalu dekat dengan keluarga Wiratmadja. Beliau rutin memeriksa riwayat pencarian di gugel dan yutup handphone-nya. Melihat siapa saja yang Mentari ikuti di akun Instagram dan Twitter. Serta status apa saja yang Eta unggah di Facebook.
Tak hanya ponsel, laptop pun demikian. Semua hal tentang Eta harus selalu ada dalam pengawasan sang ayah. Beruntung Rafdi tak mempekerjakan bodyguard demi menjaganya setiap menit, itu pun berkat Nina yang mati-matian menolak. Agar Eta punya waktu luang bebas dari pengawasan.
"Eta masih marah sama Papa!" Gadis itu melepas rangkulan Rafdi dari bahunya. Melangkah menghentak dan mendahului sambil bersedekap dada.
"Oh, ayolah, Ta. Apa bagusnya sih si Dilan-Dilan itu? Papa bahkan lebih ganteng. Lebih romantis. Lebih—"
"Mana Eta tahu kalo Papa lebih romantis dari Dilan. Eta aja belum pernah nonton filmnya."
"Tanya aja sama Mama."
"Emang Mama udah pernah nonton?"
"Minggu kemarin sama Pa-sssshhh!" Rafdi keceplosan. Ia langsung meringis dan melirik Eta yang sudah cemberut maksimal. Langkahnya terhenti demi menyerong dan menatapnya marah. "Ta—"
"Padi emang nggak pernah adil kan, sama aku?" Mentari menghentak sekali lagi, hendak melanjutkan langkah, tapi pergelangan tangannya berhasil ditangkap Rafdi.
"Jangan ngambek, dong."
"Eta mau nonton Dilan!"
"Oke, Minggu depan—"
"Maunya sekarang!"
"Oke, kita streaming—"
"Bioskop, Pa!"
Rafdi memijit pelipis lelah. Setengah dongkol menghadapi Mentari yang sedang merajuk hanya karena Dilan. Terlebih di tempat umum begini. Malu menjadi tontonan. Menurunkan tangan kembali ke sisi tubuh, ia sempat melirik beberapa pasang mata yang menatap mereka penuh cemooh. Bahkan seseorang ada yang berbisik pada temannya tentang om-om mata keranjang dan pelakor sambil menatap sinis mereka.
Yeah, Rafdi yang tak lagi seksi sejak menikah, serta Mentari yang wajahnya seperti remaja belasan. Usia keduanya hanya selisih 19 tahun. Siapa percaya bahwa mereka adalah sepasang ayah dan anak? Apalagi dengan interaksi yang agak ... mesra mungkin?
Tak jarang setiap jalan berdua, Mentari dikira selingkuhan Rafdi. Bahkan pasien Nina yang mengenal wajah suaminya, pernah menyiram Eta di salah satu restoran Kemang lantaran mengira Mentari sebagai perempuan simpanan laki-laki itu. Membikin Rafdi murka. Dia mengakui Mentari anaknya, tapi pasien Nina malah makin lantang mencela. Sampai menunjuk-nunjuk Eta di depan umum dan membuatnya menangis. Karena yang orang-orang tahu, anak pertama Nina adalah Bias. Kesal, akhirnya Rafdi menelepon Nina untuk menjaga nama baik putri mereka, me-loudspeaker ponselnya agar semua telinga bisa mendengar penjelasan sang istri yang kemudian mengonfirmasi bahwa Mentari adalah anak Mina.
Anak Mina.
Demi Tuhan, Rafdi sempat kecewa saat itu. Tapi, kenyataan memang demikian. Secara hukum, Mentari anak Ramina Ekasaki dan Jonathan Felix. Bukan putri sulung Hanina Dwisaki dan Rafdi Zachwilly.
Ah, tapi setidaknya itu lebih baik. Keluarga Saki masih mau mempertahankan Eta dan mengakuinya, meski harus memanipulasi kenyataan hanya demi menutup aib. Tidak seperti keluarganya yang ... sudahlah. Rafdi malas membahas masa lalu.
"Ta, jangan mulai!" Rafdi berusaha bersikap sedikit keras. Suaranya rendah tapi tegas. Membuat Eta tambah merenggut, namun tak berani protes. Tak diindahkannya anggapan orang-orang pada mereka, toh tidak ada yang mereka kenal. "Jam berapa sekarang?"
Masih dengan bibirnya yang cemberut, Eta menjawab, "Sembilan."
"Pukul berapa kita harus pulang?"
"Sepuluh."
"Sisa berapa jam waktu kencan kita?"
"Satu."
"Berarti sekarang waktunya apa?"
Eta makin merenggut. Membikin Rafdi gemas ingin menguncinya dengan karet gelang. "Makan!" ketusnya.
"Jadi?" Rafdi mengangkat satu alis, yang tampak sangat menyebalkan di mata putrinya. Menahan diri untuk tak menjerit, Eta meraih lengan kanan sang ayah, kemudian dibelit erat sambil menyandarkan kepala pada bahu bidang itu, lalu melanjutkan langkah menuju salah satu foodcourd. Dan demi melampiaskan kekesalannya, Eta gigit lengan Rafdi yang mulai berlemak keras-keras. Yang disambut gelak tawa pelan ayahnya sambil meringis sakit.
"Eta benci sama Padi. Eta benciiiiiiii!" gumamnya sepenuh hati.
"Kalo benci Padi, sayangnya sama siapa dong?"
"Eta sayang Daddy Jo aja!"
"Yakin sama Daddy Jo?" Rafdi menggoda jahil sambil menoel-noel pipi Eta yang dikembungkan lucu.
"Yakin!"
"Mau dibawa pulang lagi ke Singapura?"
"Boleh! Biar Padi nggak punya princess lagi!"
Obrolan-obrolan receh itu terus berlangsung sampai mereka pulang. Rafdi mengernyit saat tak lagi mendengar ocehan Eta yang sudah seperti radio. Tiada henti. Saat menoleh, didapatinya sang putri di jok penumpang depan yang sudah pulas, sambil sesekali bergumam tak jelas. Melihatnya, Rafdi menghentikan mobil di bahu jalan demi menurunkan kursi Eta agar putrinya bisa tidur lebih nyaman, lalu menyelimutinya dengan jaket denim yang ia kenakan.
Rafdi terdiam sebentar demi mengamati wajah Mentari lamat-lamat yang tampak begitu polos. Tanpa riasan seperti yang biasa dikenakannya sehari-hari—karena sang ayah tak suka. Bahkan dia hanya memakai kaus putih dan celana jeans overall. Rambut pendeknya diikat sebagian di puncak kepala.
Ekspresinya berubah sendu kala mengingat perkataan Eta di food court usai makan malam tadi. Putrinya itu menunduk. Menatap jari-jemari tangan kiri Rafdi yang ia mainkan. Satu tangan yang lain digunakan untuk mengaduk sisa minuman yang tinggal seperempat dan serpihan es batu.
"Pa, kalau Eta nggak pernah nikah, Papa nggak Papa?"
Rafdi yang tengah menghabiskan tetes terakhir jus jeruknya, kontan tersedak. Nyaris menyemburkan cairan kuning yang terlanjur diseruput jika tak buru-buru ia telan paksa hingga saluran pernapasannya terasa pedih lantaran salah jalur.
Melihat ayahnya tampak kesakitan, Eta buru-buru berdiri. Mengambilkan beberapa lembar tisu untuk membersihkan bibirnya yang basah serta menepuk-nepuk pelan punggung lebar lelaki 46 tahun itu. "Makanya, kalau minum itu hati-hati, Pa. Jangan cuma nasehatin aku sama adik-adik biar makan dan minum pelan-pelan. Padi juga harus nyontohin. Untung cuma ada aku di sini. Coba sama Mama. Udah kena omel tuh. Emang Padi sehaus apa sih? Kalo minumnya kurang, punya Eta masih ada tuh."
Mendapat nasihat panjang kali lebar tersebut dari putrinya, Rafdi mendelik. Siapa yang membuat ia tersedak?
"Maksud kamu apa tadi?" Alih-alih menyahuti, Rafdi balik bertanya. Yang praktis menghentikan elusan Eta di punggungnya.
Gadis itu mendesah pendek. Tersenyum secerah matahari pagi dan kembali ke tempat duduknya. "Cuma nanya aja. Emang nggak boleh?"
"Dan kenapa kamu bisa bertanya begitu?"
Eta tak menyahut. Dia kembali memainkan tangan Rafdi yang dibiarkan tergeletak di atas meja. Tapi, Rafdi sempat melihat pancaran luka di mata sang lawan bicara, kendati lengkungan bibirnya belum turun.
Hati Rafdi tercubit. Pancaran mata Eta sama persis seperti saat menerima penolakan pertama kali dari Richard Zachwilly saat ia membawa Mentari kecil untuk diperkenalkan pada orangtuanya. Pun saat ia memaksakan diri tampak baik-baik saja di hari pernikahan Semesta.
Mentari bisa saja menipu orang-orang dengan senyum lebar, mata bundar, dan ocehan tak pentingnya, tapi tidak dengan Rafdi. Ia jauh lebih mengenal Eta dari pada dirinya sendiri. Dan saat sang putri terluka, hati Rafdi jauh lebih merana.
"Nggak apa-apa, Padi. Eta beneran cuma nanya. Karena kan nggak semua manusia punya jodoh di dunia. Sebagian ada yang menua sendiri karena jodohnya sudah Allah panggil duluan ke surga, bahkan sebelum keduanya saling bertemu. Kali aja salah satunya adalah jodoh Eta. Kita kan nggak pernah tahu." Menarik napas panjang, Mentari meneruskan, "Eta kita jodoh Eta itu Mesta. Pacaran lima tahun, tunangan hampir lima tahun juga. Tapi, ternyata Eta cuma jagain jodoh si Rinai. Lucu, ya?" Gadis itu tertawa kecil di ujung kalimat. Tawa yang sama sekali tak Rafdi sambut. Lelaki itu justru merengkuh jari-jemari kecil Mentari dengan erat. Eta mendongak, tatapannya langsung mengarah lurus pada telaga bening sang ayah yang sewarna miliknya.
"Kamu masih punya banyak waktu untuk mencari. Setelah batal nikah dari Mesta, aturan Papa kembali berlaku. Kamu hanya boleh menikah setelah umur tiga puluh. Dan sekalipun benar jodoh kamu sudah di surga, jangan lupa kalau Papa sudah menyiapkan empat pengawal setia untuk menjaga kamu selama hidup di dunia."
Rafdi menatap langit-langit mobilnya yang temaram. Ia menembuskan napas berat sebelum menoleh lagi pada putri tidur di samping kemudi. "Andai bisa," gumamnya, "Papa ingin hidup seratus tahun demi bisa merawat dan menyayangi Eta sampai menua dan kembali pada-Nya. Karena demi Tuhan, Sayang, tidak akan ada laki-laki yang akan bisa sabar dan mencintaimu melebihi Papa," bisiknya di samping telinga Mentari sebelum menjatuhkan kecupan di kening sang putri yang makin jatuh terlelap. "Lupakan si berengsek Semesta dan jangan sampai jatuh cinta pada playboy tengik itu!" lanjut Rafdi sebelum melajukan kembali sedan hitamnya membelah jalanan Ibukota yang masih padat merayap di waktu menjelang tengah malam kala itu.
🌤️🌤️🌤️
"Cantika Kusuma."
Angkasa menatap layar ponselnya yang menampilkan serabut wajah ayu seorang gadis berhijab ungu. Adik Prama Kusuma, pemilik Zach Hotel & Resort, salah satu kenalan ayahnya.
Siang tadi, Surya mengajak Aang meeting di salah satu restoran di daerah SCBD dengan salah satu investor dari Surabaya. Dan setelahnya, mereka bertemu Prama yang kebetulan juga selesai makan dengan adiknya, Cantika.
Mereka sempat berbincang. Tak bisa dikatakan sebentar karena baik Surya maupun Prama sampai memesan satu meja lagi. Dia pun dikenalkan pada si gadis ayu berhijab biru yang juga mengenakan blus putih dan rok megar senada kerudungnya. Saat Angkasa mengulurkan tangan, Cantika dengan halus menolak dan menangkup jari-jari mungilnya di depan dada dengan wajah tertunduk dan pipi merona.
Jujur saja, Angkasa merasa takjub. Dan sedikit grogi. Sikap Cantika manis sekali.
Sepanjang obrolan Surya dan Prama, Angkasa hanya sedikit menimbrung. Lebih banyak memperhatikan si gadis ayu yang selalu diam. Menjawab hanya bila ditanya.
Dan entah bagaimana ceritanya, Surya malah bertanya apakah Cantika sudah ada yang punya. Angkasa nyaris tersedak ludahnya sendiri mendengar pertanyaan itu. Dia menatap Surya penuh selidik. Tapi sang ayah justru terkekeh dan berkata, "Kalau belum, mau tidak pada anak saya ini?"
Demi Tuhan! Kalau tadi Angkasa hanya tersedak, kini ia nyaris mati berdiri.
"Maksud Papa apa?" desisnya setengah malu. Angkasa merasa dirinya tampan, jadi tak perlu ditawar-tawarkan begitu. Toh, tanpa merayu pun sudah banyak yang mau.
"Kamu kan jomlo. Sudah dua tujuh, loh. Usia yang cukup matang untuk menikah."
Angkasa merenggut. Malas menyahut. Justru Prama yang malah menimpali.
"Cantika masih sendiri. Umurnya sudah dua puluh enam, tahun ini."
"Oh, ya?" Mata Surya membulat penuh binar, sedang Angkasa tak begitu peduli untuk menyimak. Hanya saja kalimat Surya selanjutnya membuat ia terpaksa acuh. Melotot pada sang papa yang dengan entengnya berkata, "Bila Cantika berkenan, bagaimana kalau mereka kita jodohkan?"
"Pa!" protes Angkasa spontan. Ia ingin terang-terangan menolak. Tapi, tak enak hati pada Prama yang menatap penuh harap. Pun Cantika yang menunduk makin dalam dengan senyum kecil yang berhasil Angkasa tangkap.
Angkasa jadi berpikir. Apa perempuan itu menyukainya? Secepat itu? Di hari pertama mereka bertemu?
Maka pesona Angkasa bagian mana yang bisa didustakan? Sombongnya dalam hati.
Tak mengindahkan protes putranya, Surya kembali bertanya, "Cantika mau sama anak Om?"
Gadis itu tak menjawab. Dan kakaknya yang menjadi juru bicara, "Diamnya perempuan berarti mau."
Cantika mungkin bersedia. Tapi, Angkasa belum memberi kepastian. Karena sungguh, satu-satunya perempuan yang pernah ia bayangkan menempati ruang kosong di sisi tempat tidurnya setiap kali membuka mata adalah Mentari yang tersenyum jenaka dengan mata biru yang bulat dan rambut acak-acakan. Rinai tidak masuk hitungan karena baginya mantan calon istrinya itu bukan perempuan.
Mendesah, Angkasa lempar ponselnya tanpa membalas chat terakhir dari Prama yang mengatakan sudah siap menyambut kedatangan keluarga Wiratmadja di rumahnya.
Ugh, untuk apa jauh-jauh datang ke Tebet untuk meminang, kalau di seberang jalan saja ada gadis cantik yang belum termiliki seseorang?
Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, Angkasa bangkit berdiri dari ranjang. Melangkah gontai menuju balkon kamar. Menatap jendela kamar Mentari yang belum tertutup di seberang sana. Seharian ini, Aang belum melihat delikan maut, pun suara cemprengnya yang biasa memekak telinga. Oh, bukan sejak pagi, tapi sejak beberapa hari lalu usai Eta meminta pertanggungjawaban atas kumis Bulbul.
Andai hatinya belum jatuh pada si berbi bermata biru itu, Angkasa sudah pasti mengangguki perjodohannya dengan Cantika tanpa ragu. Hanya saja, degub jantungnya sudah ada yang punya. Pemilik kamar di seberang sana.
Hendak berbalik kembali ke ranjang, telinga Angkasa menangkap deru halus mesin mobil mendekat. Yang kontan membuatnya batal berbalik. Menunduk, ia dapati sedan Rafdi memasuki gerbang tinggi istana si berbi. Angkasa menelan ludah kala pria paruh baya itu keluar dari mobil, memutari kap depan dan membuka pintu penumpang. Kemudian mengeluarkan seseorang dari sana. Seseorang yang dari kemilau rambutnya saja Angkasa kenal. Seseorang yang diam-diam Angkasa rindukan.
Rafdi menggendongnya. Membawa gadis pencuri hati Angkasa menghilang di balik pintu depan. Tak lama kemudian, tampak lagi memasuki kamar bernuansa merah jambu yang sedari tadi Angkasa perhatikan.
Kaki laki-laki itu mendadak bagai jeli begitu Rafdi tak sengaja menatapnya saat akan menutup jendela kamar sang putri. Dapat Angkasa lihat kilat tak suka dari mata calon mertuanya itu. Angkasa berusaha tetap berdiri. Entah berapa lama. Yang pasti kakinya sapai kesemutan demi meladeni Rafdi yang berusaha membunuhnya dengan tatapan tajam itu.
Iya, membunuh. Karena jantung Angkasa langsung berdetak puluhan kali lebih cepat dari biasanya. Bahkan melebihi detakan saat bersama Eta. Ia sempat berpikir bahwa organ pemompa darah itu akan copot sebentar lagi.
Beruntung Rafdi tak setega itu, karena menit kemudian beliau langsung menarik kasar kain gorden hingga tatapan mereka terputus. Membuat Angkasa langsung meluruh ke lantai dan mengembuskan napas lewat mulut.
Menggeleng dramatis, ia bergumam tak yakin. "Kuat nggak sih gue jadi mantu tuh orang?"
🌤️🌤️🌤️
Telat, yes😂 gapapalah yang penting apdet. Banyak pula ini. Lagi2 lebih dari 2K kataaaaaa ....
Gimana-gimana?
Saingan Eta muncul nih. Kalian dukung sama siapa? Sama saya aja ya😋
11 Maret 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top