8 | Eta, Terangkanlah Masa Lalumu

8
Eta, Terangkanlah Masa Lalumu
🌤️🌤️🌤️

"Kamu serius menyukai Mentari?"

Angkasa memang seniat itu. Baru kemarin pagi dia kemari, sekarang sudah berkunjung lagi. Alasannya hanya untuk menumpang makan. Pulang kantor langsung mampir. Beruntung Semesta ada di rumah, mengingat akhir-akhir ini adiknya itu sibuk mengurus izin praktik yang belum juga didapat.

Entah mengapa, Angkasa merasa kalau hanya membesarkan otot tak akan lantas membuat Mentari suka. Sebab jikalau dipikir-pikir, bukan hanya fisik dan kekayaan yang dicari Mentari. Karena kalau memang iya, ayolah ... Angkasa calon penerus Surya. Uangnya jauh lebih banyak dari pada Semesta yang bahkan baru merintis karier kedokterannya yang luar biasa susah itu. Tampangnya juga tidak bisa dikatakan biasa. Di antara sepuluh sampai seratus, nilai Angkasa 85, sedang Semesta 95. Hanya selisih sepuluh poin, kan?

Namun, Mentari masih menolaknya. Dengan berbagai alasan konyol yang bahkan tak masuk akal. Belum sebulan mereka berhubungan, cewek itu sudah memutuskannya hanya karena Angkasa tak membayarkan tagihan belanjaan terakhir yang ternyata hanya sejumlah ratusan ribu. Yang angkasa yakin hanyalah akal-akalan Eta agar hubungan mereka berakhir. Karena sejak awal Mentari memang tak menginginkannya. Tapi, angkasa masih belum mau menyerah. Perjuangannya baru tiga bulan, dulu saja Mentari mengejar Semesta nyaris separuh usianya. Dan berakhir dengan ditinggal kawin. Barangkali saat ini dia tak ingin jatuh cinta pada orang yang salah lagi hingga membuat berbagai alasan untuk menolak kumbang yang hendak hinggap. Hanya saja alasannya tadi pagi tak bisa Angkasa terima. Dia merasa tertolak, terhina dan penasaran sekaligus.

Angkasa ingat betul ekspresi sendu si Anu saat ia menghadangnya sebelum berhasil mencapai gerbang kediaman keluarga Zachwilli yang berada persis di seberang jalan komplek rumahnya. Entah apa yang ia bicarakan dengan Damai sampai membuatnya yang biasa ceria bisa mendadak layu.

Gadis itu tersentak, kaget. Tapi dasar ratu drama, dengan mudah Mentari mengubah ekspresi secepat dirinya membalik telapak tangan.

Angkasa hapal tingkahnya, sehapal ia pada jadwal terbit dan tenggelam matahari. Karena Eta sudah biasa melakukan itu pada Semesta. Menjaga sikap hanya agar putra Surya yang lain itu mau melihatnya. Bahkan dia juga rela berpenampilan lebih dewasa dari usianya hanya karena Semesta pernah mengatakan bahwa laki-laki itu menyukai perempuan matang. Dalam artian pemikiran, tapi Eta salah mengartikan.

"Lo ke rumah nyari gue, kan?" Aang merentangkan satu tangan. Menghalangi Mentari dari akses masuk menuju istana yang berdiri pongah dengan tiga lantai.

Yang ditanya mengerjap. Setengah linglung. Bulbul yang semula bergelung dalam pelukannya bahkan sampai melompat turun. Entah kaget atau trauma karena Angkasa telah menyakitinya kemarin.

"Iya!" seru Mentari lantang. Dua tangannya dikepal dan agak ditarik ke bawah. Dia mendongak. Menatap tepat ke manik mata Angkasa dengan kobar emosi yang ... sedikit berlebihan. "Gue emang nyariin lo. Gue mau bikin perhitungan sama lo, Be!"

"Ciyeeee ... kangen, ya?" Menurunkan tangan yang terentang, Angkasa mengerling nakal, yang praktis membuat Eta berdecih jengkel. "Mau bikin perhitungan apa? Aku tambah kamu sama dengan anak kita?"

Mentari tertawa mendengus. Menatap Angkasa penuh ejekan. "Najis banget sih, lo! Gue nyari cuma buat minta bentuk tanggung jawab lo doang tahu!"

"Tanggung jawab?" Aang berlaga sok kaget. Dia bahkan membekap mulutnya dramatis. Sama sekali tak merasa sakit hati dengan kalimat pedas sang lawan bicara. "Lo hamil, Ta? Ya ... Allah, padahal kita belum wikwikwik, ya. Kok bisa? Atau ini hasil dari mimpi-mimpi gue tiap ma—"

"Mimpi apa lo tiap malem?" potong Mentari cepat. Dua tangannya bahkan sudah naik ke pinggang begitu menyadari arah pembicaraan tak senonoh ini. Sedang yang ditanya langsung kicep. Nyaris saja dia keceplosan. Ah, tapi memang sudah setengah keceplosan. Terlanjur basah, nyemplung saja sekalian.

Maka dengan tampang penuh senyum, ia menjawab jujur, "Mimpi basah."

Dan serta-merta semu merah itu muncul di wajah Mentari yang seputih susu. Membikin ia tampak makin cantik saja. Terlebih dengan telaga bening sewarna samudra yang yang membundar lucu. Angkasa terpesona. Ini kali pertama Mentari merona karenanya. "Dasar otak mesum! Siapa yang lo mimpiin, hah?!"

"Ya, lo lah, Nu—" belum selesai kalimat Angkasa terucap, satu geplakan sekuat tenaga Mentari arahkan pada bahunya yang ternyata lumayan keras. "Aw! Sakit tahu! Ini namanya kekerasan dalam rumah tangga."

"Siapa yang mau berumah tangga sama lo?"

"Lo, kan?"

"Jangan ngimpi!"

"Terus gimana sama kandungan lo?" Masih dengan wajah sepolos pantat bayinya, Angkasa menunjuk perut Eta yang rata. Perut rata, pinggang kecil. Ugh, Angkasa tak bisa menatap bagian itu lama-lama kalau tak ingin mandi lagi sebelum berangkat ke kantor. Cara teraman adalah dengan terus memandang wajah jelita yang sedang menahan emosi itu saja.

"Demi, Tuhan, Be! Gue nggak hamil!" geram Eta kecil, takut tukang sayur yang sedang menjajakkan dagangannya di sekitar mereka mendengar. Bisa berbuntut panjang nanti. Dan Eta ogah membuat skandal dengan salah seorang Wiratmadja lagi, terutama sulungnya.

"Lah, lo minta tanggung jawab apa dong, dari gue?"

"Lo yang nyabut kumis Bulbul, kan?"

Crap! Angkasa langung bungkam. Bagaimana si Anu bisa tahu?

Ah, Bias sialan! Pasti dia yang membocorkan rahasianya. Ternyata 250 ribu belum berhasil membungkam mulutnya. Angkasa harus membuat perhitungan dengan bocah itu nanti.

Tak mau ambil masalah dengan menyangkal, ia pun kengangkat tangan kirinya setinggi kepala, membentuk huruf V sebagai tanda perdamaian. "Sori, gue nggak tahu kalo itu kucing lo, Nu. Sumpah!" Cengiran kuda khasnya dipamerkan. Berharap Mentari memaafkannya, karena kalau tidak, angkasa khawatir gadis ini meminta tebusan uang atas beberapa helai kumis Bulbul yang tercabut kemarin.

"Oh," wajah Mentari bertambah galak, "jadi kalau Bulbul bukan kucing gue, lo bakal semena-mena nyabut kumisnya gitu? Dasar manusia nggak berperikekucingan. Hewan juga punya hati tahu! Punya perasaan juga. Kalau kumis lo dicabut paksa rasanya sakit, Bulbul juga!"

Angkasa meringis, bukan karena kalimat Mentari yang makjleb, tapi lantaran kupingnya nyaris pengang mendengar suara cemprengnya yang naik dua oktaf. Beberapa orang yang lewat saja sampai menoleh pada mereka dengan penuh tanya, yang Angkasa tanggapi dengan anggukan tak enak hati.

Tak ingin tuli di usia muda, ia pun mengalah. Pasrah saja kalau pun Mentari mau meminta tebusan.

"Oke, gue harus apa supaya lo maafin?"

Eta tak langsung menjawab. Satu tangannya turun ke sisi tubuh. Sedang tangan yang lain masih betah di pinggang. Uh, oh, Ang! Jangan lihat pinggangnya! seru salah satu suara dari dalam batok kepala Angkasa yang mulai pening.

"Jauhin gue aja bisa?" jawab Mentari dengan tanya, dalam satu tarikan napas yang berhasil membikin Angkasa nyaris jantungan mendengarnya.

"Apa?"

"Denger, Ang!" Mata sebiru samudra itu menatap Angkasa dalam. Mentari jarang memanggil namanya dengan benar, kecuali dalam keadaan yang serius. Pun ekspresi sungguh-sungguh yang Angkasa lihat tampak pada raut cantiknya. Membuat laki-laki itu mau tak mau berhenti main-main sebentar demi mendengar permintaan Mentari agar mau mekaafkannya. Dan ... sepertinya ini buruk.

"Sampai kapan pun gue nggak bakal suka sama lo. Hati gue cuma buat Mesta. Nggak bakal ada yang bisa gantiin posisi dia. Lo sekalipun. Jadi, tolong berhenti ngejar gue. Masih banyak kok cewek di luar sana yang mau sama lo. Lo nggak jelek-jelek banget juga. Lagian lo kan mantan playboy, pasti gampang buat lo nyari ganti gue, kan?" lanjutnya, tak lagi menggunakan nanda tinggi. Malah terkesan lembut, tapi berhasil mengoyak sesuatu yang berdenyut di balik dada Angkasa.

Yah. Benar-benar buruk.

Rahang Angkasa mengetat. Ia mendesah pendek sebelum mengalihkan tatapan pada jalanan komplek yang cukup ramai oleh beberapa kendaraan. Juga beberapa pembantu rumah tangga yang sibuk bergosip di depan rumah Pak RT yang tak begitu jauh dari posisi keduanya.

Angkasa sudah membuka mulut, hendak menyahut, tapi Mentari lebih dulu menambahkan.

"Sori karena udah terkesan melorotin lo selama ini. Kalo lo mau, gue bakal ganti semuanya kok. Lo tinggal totalin doang, nanti kirim ke gue berapa yang mesti gue bayar. Tapi, gue nggak bisa bayar pas itu juga. Paling nanti awal bulan, setelah jatah bulanan gue dikasih sama Pa—"

"Apa yang dia punya dan gue nggak?" sela Angkasa jengah. Toh, intinya hanya Mentari ingin agar ia menyerah. Ini memang bukan kali pertama Mentari memintanya menjauh, tapi baru kali ini saja Mentari begitu sungguh-sungguh. Sampai sudi menyebut namanya. Sampai mau bertutur halus padanya. Sampai memohon dan ... meminta maaf.  Dua kata yang tak sembarangan Mentari ucapkan pada seseorang.  Dan hal itu yang membuatnya ... sakit.

Angkasa masih enggan membalas tatapan mata Eta. Dia memandang pada kejauhan di sisi kiri. Pada petugas kebersihan yang sedang menyapu pinggir jalan komplek mereka. Seragam oranye yang dikenakan petugas tersebut tampak penuh bercak kotoran yang menempel kuat. Dan entah mengapa, saat ini penampilan kucel petugas kebersihan itu jauh lebih menarik daripada wajah cantik Mentari dengan ekspresi seriusnya.

"Masa lalunya."

Sudut bibir Angkasa terangkat. Ia menoleh pada pemilik suara cempreng itu dengan tatapan terluka. "Karena gue pernah miskin?"

Eta bungkam. Ia mengedip beberapa kali. Tak lagi berani menatap telaga bening Angkasa yang beda warna.

"Emang sebagus apa masa lalu lo, sampe lo nggak bisa nerima catatan masa lalu gue yang pernah miskin?"

"Justru itu." Mentari menelan ludah kelat. Ia menunduk sambil memilin bagian depan baju tidur merah delimanya yang berlengan panjang. "Gue bisa aja nerima masa lalu lo. Tapi, lo sama ... orangtua lo belum tentu bisa nerima masa lalu gue."

⛅⛅⛅

"Kalau nggak serius, Ngapain gue nanya sama lo gimana dapetin si Eta!" Angkasa menjawab pertanyaan Mesta sewot. Semata demi menutupi gengsi lantaran diam-diam menyimpan rasa pada mantan calon adik ipar sendiri.

Di hadapannya, Semesta mendesah pendek. "Sejak kapan?" tanyanya lagi.

Angkasa tak langsung menyahut. Ya kali dia mau jujur kalau menyukai Mentari bahkan sejak sebelum mereka bertunangan. Maka pilihan terbaik adalah, "Mana inget dari kapan. Tahu-tahu suka aja, sih."

"Usaha apa saja yang sudah kamu lakukan untuk kendapatkan hatinya?"

Angkasa sudah mulai kesal. Sungguh. Ia merasa bukan bertanya pada rival, melainkan calon ayah mertuanya sendiri. Terlalu banyak pertanyaan. Hanya saja, kalau Rafdi tak akan sekalem ini. Alih-alih mengajak bicara, yang ada sebelum niatnya terutarakan, bule itu sudah menjadikannya samsak hidup. "Demi Tuhan, ya, Ta! Lo belibet banget. Tinggal bilang aja ada apa dengan masa lalu Eta sampe gue nggak bisa nerima. Lagian cewek manja kelahiran putri raja kayak dia paling-paling masa lalu terburuknya main sama kece—"

"Eta itu anak di luar pernikahan."

"—bong." Ponsel yang sedari tadi Angkasa putar-putar dengan tangan kanan, spontan jatuh ke lantai. Menimbulkan bunyi 'pletak' keras di ruang tamu apartemen Semesta yang mendadak sunyi.

Sang pemilik rumah menunggu respon atas informasi yang baru ia utarakan. Sedang si tamu kehilangan kata-kata. Terlalu syok untuk percaya.

Dilihat dari wajah polos dan sikap Nina yang luar biasa baik, tidak mungkin beliau memiliki masa lalu buruk hingga bisa mengandung Mentari di luar pernikahan. Kecuali dia diperkosa. Tapi, masa iya Nina mau mempertahankan janin hasil pemerkosaan dan menikah dengan laki-laki yang menggagahinya paksa? Sinetron sekali. Yang ada, Rafdi sudah pasti mendekam di penjara mengingat keluarga Nina termasuk orang-orang yang berpengaruh di negeri ini.

"Lo pasti bohong!" tanggap Angkasa beberapa saat setelah berhasil menemukan suaranya yang sempat hilang seraya bersandar pada punggung sofa. Kopi di meja rendah yang dibuatkan Rinai tak lagi mengepulkan asap. Dan Angkasa sama sekali tak tertarik untuk menyentuhnya.

"Saya tidak meminta kamu untuk percaya. Saya hanya menjawab pertanyaan kamu sebelumnya."

Ludah Angkasa mendadak sulit ditelan. Tinggal satu atap bertahun-tahun dengan Semesta, ia tahu adiknya bukan seorang pembohong. Setiap omongannya bisa dipercaya. Hanya saja, untuk yang satu ini ... akal sehat Angkasa sulit untuk bisa menerima. Tapi, masuk akal juga. Rafdi dan Nina terlalu muda untuk memiliki putri berusia 27 tahun. Bias lebih cocok menjadi anak pertama mereka.

"Papa tahu tentang hal ini?"

Semesta kendesah pendek. Dia menggeleng kemudian. "Yang Papa tahu, Mentari itu anak rekan bisnisnya. Mr. Jo. Pengusaha asal Singapura yang menikah dengan saudara Tante Nina. Makanya dulu dia sempat memaksa saya untuk jangan pernah menyakiti Mentari."

Angkasa makin pusing mendengar penjelasan Semesta yang ... sulit dimengerti. "Intinya aja, deh. Dia anak siapa?"

Yang ditanya tak langsung menjawab. Tampak hendak membuka mulut, tapi urung. Seperti segan membocorkan sesuatu yang sangat ingin Angkasa tahu.

"Lo nggak mungkin nyaris menikahi Mentari sementara keluarga kita nggak tahu secara gamplang semua hal tentang calon mempelai perempuannya kan, Ta?"

"Kamu mungkin iya, tapi saya tidak harus. Kamu belum lupa kan, kalau saya juga anak di luar pernikahan? Dan Papa tidak akan bisa mengusik setiap hal yang menjadi keputusan saya."

Ah, ya. Angkasa tentu sangat tahu. Seperti Mentari yang dibesarkan layaknya tuan putri, Semesta pun demikian. Dia diperlakukan seperti putra mahkota oleh Surya. Nyaris semua kemauannya dituruti, karena ayah mereka sungkan padanya. Barangkali karena Semesta memang jarang meminta. Dan terlalu keras kepala. Juga karena Surya sudah terlalu banyak merampas kebahagiaannya.

Sebenarnya, dilihat dari sisi mana pun, Semesta dan Mentari itu cocok. Yang satu tampan maksimal, yang lain cantik fenomenal. Semesta yang pendiam dan Mentari yang banyak omong bisa saling mengisi. Semesta yang pintar dan Eta dengan kapasitas otak pas-pasan. Sayang takdir tak memihak pada mereka. Cinta mentari bertepuk sebelah tangan.

"Gue ... bingung." Menatap langit-langit ruangan, Aang memijat dua sisi kepalanya yang terasa berputar-putar. Ssmua hal tentang Mentari selalu berhasil menyita seluruh perhatian. Andai bisa memilih, sudah pasti Angkasa tak ingin menjatuhkan hati pada gadis kelewat manja dan cerewet itu. Tapi, panah cinta sudah terlanjur menancap di dadanya, sekalipun mau dicabut paksa, bekasnya akan tetap ada. Selamanya.

"Keputusan ada di tangan kamu, Ang. Memilih Mentari memang penuh risiko."

"Lalu kenapa lo milih dia dulu?"

"Karena sebelum Rain, hanya dia satu-satunya yang benar-benar tulus mencintai saya. Andai Mentari mau memberi saya kesempatan kedua untuk belajar mencintainya, yang saat ini sibuk di dapur tentu bukan Rain, tapi dia."

Menjauhkan tangan dari sisi kepala, Angkasa tatap Semesta dengan kening berkerut dalam. "Maksud lo? Bukannya lo yang mutusin pertunangan?"

Semesta tersenyum samar. Menarik napas, laki-laki tampan itu berdiri. Dia melangkah mendekati Angkasa di seberang meja hanya untuk menepuk pundaknya dua kali tanpa benar-benar memberi jawaban pasti. "Mentari perempuan yang baik sebenarnya. Kalau kamu benar-benar bisa menerima dia, perjuangkan. Kalau tidak, lepaskan sebelum dia terbiasa dengan kehadiran kamu. Karena sesungguhnya, Mentari itu mudah jatuh cinta dan sangat setia."

Setelahnya, Semesta pergi. Melangkah ringan menuju dapur apartemen tempat Rinai berkutat dengan berbagai macam alat masak yang samar-samar terdengar berdenting. Sedang Angkasa diam. Selain sibuk memikirkan Mentari, dia juga baru menyadari bahwa ini kali pertama dirinya dan Semesta benar-benar bisa duduk berdua. Berbicara seperti saudara tanpa ada unsur ejekan atau saling hantam.

Dan kesadaran lainnya, ternyata Angkasa tak benar-benar mengenal siapa Eta.

Oh ... Eta, terangkanlah masa lalumu!

🌤️🌤️🌤️

Wkwkwkwk ....
Mulai mode serius tuh!

Gimana, panjang kan?
2300san kata loh. Nggak tahu kenapa, kalau ngetik si Eta selalu kebablasan. Padahal biasanya Pak Surya sama Semesta, nyampe 1500 kata itu udah alhamdulillah banget😂

06 Maret 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top