5 | Demi Eta Terangkanlah Cintaku

5
Demi Eta Terangkanlah Cintaku
⛅⛅⛅

"Lo ngasih pelet apa sih, sama Eta, sampe dia nempel banget sama lo?"

Tanpa salam, tanpa sapaan. Begitu pintu di hadapannya terbuka, pertanyaan konyol itu langsung Angkasa utarakan.

Sang lawan bicara, tuan rumah—pemilik apartemen yang Angkasa datangi—memutar bola mata jengah. Ia mundur dua langkah sembari melebarkan celah pintu masuk. "Assalamualaikum," sarkasnya.

"Waalaikumsalam! Kok, lo sih yang buka?" Angkasa berdecak. Ia melangkah masuk sebelum dipersilakan. Berjalan cepat ke ruang tengah dengan wajah cemberut. Kemudian menjatuhkan diri di sana. Remot di atas meja kopi diambilnya, kemudian dipencet asal hingga layar persegi yang menempel di dinding itu menyala. Menampilkan acara pagi tivi swasta yang membosankan.

Iya, pagi. Di hari Minggu. Doa bahkan belum sempat sarapan di rumah dan sesudah bertandang ke rumah orang. Keperluan Angkasa memang sepenting itu datang kemari. Gara-gara pesan Mentari tadi malam.

"Udah dateng nggak pake salam. Main nyelonong aja lagi. Tamu yang sopan." Rinai menutup kembali pintu apartemen. Kemudian mengekori Angkasa. Berdiri di samping sofa tempat duduk kakak iparnya yang tampak tak semangat Minggu pagi ini. "Mau minum apa?"

Secepat dirinya bisa, Angkasa memutar kepala. Menatap Rinai dengan satu alis terangkat. Adik iparnya yang dulu seperti lady boy a.k.a banci itu kini terlihat begitu ayu dengan kerudung instan seperut dengan warna senada gamisnya.

Angkasa jadi makin curiga. Sebenarnya pesona apa yang Semesta punya hingga bisa membuat Rinai begitu penurut? Enam bulan lalu saja, Angkasa masih belum bisa membayangkan sosok Rinai semanis ini. Mantan pengasuh Meda itu bahkan lebih tampan darinya. Tapi, lihat sekarang. The power of Semesta. Atau, the power of love? Atau juga the power of Mak Lilah—mengingat dia yang berhasil membuat Rinai benar-benar menjadi perempuan, mirip Nisa Subhan versi lebih dewasa. Tapi, sikapnya? Ini jelas bukan Rinai sekali. Terlalu ... manis.  Dan kata manis bersanding dengan Rinai itu sama sekali tidak cocok. Tawuran atau baku hantam, baru cocok.

"Serius lo nawarin gue minuman?" tanya Angkasa tak yakin. Rinai mendengus.

"Ya, kali aku becanda, Ang."

Aku? Remot yang Angkasa pegang praktis jatuh ke lantai. Mata laki-laki itu membulat sempurna. Mulutnya bahkan makin lebar menganga.

Angkasa Muda Wiratmadja, adalah sahabat Rinai sejak belum bisa berbicara. Dia saksi hidup betapa jantan dan bringasnya Rinai Rainia. Dia mana pernah mau bersopan ria kecuali pada yang jauh lebih tua. Pada pamannya saja ber-lo-gue.

Lalu ... lalu sekarang ... aku? Pada Angkasa? Ini benar-benar keajaiban dunia.

Baru berapa lama Angkasa tidak kemari? Dua Minggu? Tiga Minggu? Sepertinya belum sampai satu setengah bulan. Tapi, lihat perubahan Rinai sekarang?

"Aku? Serius?"

"Angkasa!" tegur Rinai sebal. Ia melirik sebuah pintu di ujung ruang tamu sekilas. "Please, jangan bikin kesel."

"Wow ...!" Angkasa benar-benar takjub. "Dididik gimana lo selama tiga bulan ini sama si Mesta? Bisa banget berubah gitu? Pake aku-kamu sama gue. Dan lagi, basanya kalo gue namu lo suguhin angin doang. Pas minta minum disuruh ambil sendiri ke dapur," di akhir kalimat, sengaja ia mencibir.

"Jadi, kamu mau minum nggak, nih?" Alih-alih menjawab, Rinai kembali bertanya. Setengah dongkol menghadapi Angkasa yang sama menyebalkan dengan adiknya—Andromeda.

Angkasa berdecak. "Nggak asik banget lo sekarang. Kaku. Kayak kanebo kering. Ya udah gue minta air putih aja, deh!"

Tanpa menyahut lagi, Rinai langsung melenggang ke dapur untuk mengambilkan air mineral. Dari ruang tengah. Angkasa yang ditinggalkan, menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Dia makin yakin kalau Semesta punya rahasia cara membuat perempuan termehek-mehek! Rinai yang keras saja bisa berubah kalem begitu. Apalagi Mentari yang sudah kalem dari sana. Mmm ... setengah kalem maksudnya. Tak sabar ingin menanyakan rahasia yang Semesta simpan, ia berteriak, "By the way, laki lo mana, woy!"

"Di sini."

"Allahuakbar!" Angkasa nyaris terjengkang begitu mendengar suara berat Semesta yang menyerbu gendang telinganya tanpa tadeng aling-aling.

"Ngagetin aja, sih!"

Semesta, cetak biru Surya Wiratmadja itu keluar dari salah satu pintu ruang tengah dengan peluh bercucuran, membasahi sebagian besar kaus pas badan yang ia kenakan. Rambutnya yang mulai memanjang acak-acakan. Napasnya terengah-engah. Ia menjatuhkan diri beberapa meter dari Angkasa. Duduk berselonjor di lantai. Dua tangannya ditumpukan ke belakang.

Melihatnya, Angkasa meringis. Diam-diam ia melirik jam yang menempel di atas televisi ruang tengah apartemen adiknya. Pukul delapan lewat lima belas. Dan Semesta baru selesai. "Dari jam berapa lo olahraga?"

"Enam."

Ludah kelat, Angkasa telan paksa. Ia meneliti tubuh Semesta dari ujung rambut sampai kaki. Kemudian melirik tubuhnya sendiri.

Hah, pantas saja badan adiknya bagus. Dia olahraga lebih dua jam tiap ....

"Tiap Minggu?" tanyanya lagi.

"Seminggu tiga kali."

Angkasa makin tercekat. Setiap tiga kali seminggu. Oh, perut buncit! Ia mendesah dalam hati.

Akhir-akhir ini, Angkasa memang sudah rajin olahraga. Tiga kali seminggu juga. Tapi, durasinya cuma tiga puluh menit. Dan menurutnya itu sudah terlalu lama.

Selama setengah bulan ini perut Angkasa mengecil dua sentimeter, tapi gara-gara ditraktir Rendi makan di restoran Padang kemarin, Angkasa kalap dan makan sepuasnya. Mumpung gratis, pikirnya. Sampai di rumah, dirinya harus menerima kenyataan perutnya membuncit lima senti!

Ugh!

"Minuman kamu." Rinai kembali. Membawa sebuah baki berisi gelas dan dua toples camilan. Angkasa hanya melirik malas. Hausnya mendadak hilang. Sudah reda setelah menelan ludah berkali-kali begitu melihat sosok Semesta dan tubuh sehatnya dengan otot-otot yang pas. Perut kotak-kotak yang tercetak dari kausnya yang basah, juga otot lengannya yang tidak terlalu besar.

Ini kali pertama Angkasa benar-benar memperhatikan tubuh Semesta. Itu pun karena Mentari. Aang juga ingin tahu, sebab apa yang membuat Eta selalu dibayang-bayangi adiknya yang memang tampan itu.

"Jangan liatin suamiku gitu, dong! Kamu nggak napsu sama dia, kan?" Rinai berdiri tepat di depan Semesta. Menghalangi arah pandang Angkasa yang sejak tadi meneliti tubuh suaminya dengan tatapan mendamba. Dua tangannya diangkat ke pinggang dan menampilkan ekspresi garang. Tapi, dehaman kecil dari belakang membikin Rinai cemberut dan cepat-cepat menurunkan tangan kembali ke sisi-sisi tubuhnya. Iya, Rinai memang sepenurut itu sama Semesta. Sebagaimana Semesta yang tak pernah menolak setiap hal yang dia mau—selama masih normal dan masuk akal.

Uh, oh, the power of love itu memang mengerikan.

"Gue masih normal kali," sungut Angkasa tak terima. Masih dengan wajah tertekuk, ia bangkit berdiri. Dirinya merasa sudah tahu apa yang membuat Rinai dan Mentari kelepek-kelepek pada Semesta. Pasti karena wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang bagus. Juga isi kantongnya tentu saja—ini yang utama.

Jadi, tiga hal daya tarik utama rivalnya—ugh, kenapa Angkasa harus selalu berival dengan Semesta? Kenapa tidak yang lain saja yang lebih manusiawi, keluhannya dalam hati.

Untuk dua poin lainnya, sudah Angkasa kantongi.

Tampang. Ceklis. Dia juga tampan sekalipun ketampanannya satu tingkat di bawah Semesta.

Beruang. Ceklis. Ini yang paling aman. Uanganya lebih banyak dari Semesta. Walau ia tak yakin setelah menikah dengan Mentari isi kantongnya masih akan aman atau tidak.

Badan. Oke, ini PR.

Untuk sekarang, cukup tiga hal itu dulu yang harus Angkasa penuhi. Setelahnya, baru datangi Semesta lagi untuk mendapat pencerahan selanjutnya.

"Gue pulang. Assalamualaikum!" Angkasa beranjak. Melangkah penuh semangat menuju pintu keluar.

Semesta yang tak mengerti dengan tingkahnya mengangkat satu alis sembari berdiri. Menarik pinggang Rinai dan menatap istrinya penuh tanya. Yang dibalas Rinai dengan mengedikkan bahu.

"Terus air sama camilannya gimana?" desis Rinai kesal.

"Lain kali aja, deh. Gue buru-buru."

"Kalau buru-buru ngapain mampir?"

"Buat mastiin sesuatu aja, sih. Udah, ah, gue pulang." Angkasa menarik handel pintu. Kemudian membukanya dengan gerakan kasar. Saat hendak melangkah keluar, ekor matanya tak sengaja menangkap kegiatan pasutri di dalam sana.

Semesta tengah mencuri ciuman dari Rinai. Yang kontan membuat sahabatnya itu merona, lalu membalas tindakan Semesta dengan mencubit perut kotak-kotak suaminya—yang pasti gagal.

Mendengus, Angkasa berseru iri, "Yang mau mesra-mesraan, get room, please!"

"Yang jomblo, get out, please," balas Semesta. Berbeda dengan ekspresi hangat penuh senyum yang ia tunjukkan pada Rinai, saat menoleh pada Angkasa, wajah itu kembali datar. Pun Nada suaranya yang menyebalkan seperti biasa.

Mendengus lebih keras, Angkasa menutup pintu apartemen itu setengah membanting.

Semesta dan Rinai saling pandang. Lagi-lagi penuh tanya. Detik kemudian mereka sama-sama mengedik acuh, lalu tertawa.

"Teman kamu itu kenapa?" Semesta ambil suara.

"Adik kamu! Mana aku tahu mau ngapain dia ke sini. Tadi sih, nanya kamu. Katanya, kamu punya pelet apa sampe Eta nempel banget?"

"Hah?"

"Aang kayaknya suka sama mantan kamu itu. Kamu nggak cemburu, kan?"

Secepat kilat, Semesta menyambar bibir Rinai. Mengecup sekilas hingga mulut perempuan itu terkatup. "Ngapain aku cemburu, kalau sudah ada bidadari secantik kamu di sisiku?"

Aih, manisnya .... Bagaimana Rinai tidak kelepek-kelepek pada laki-laki ini. Laki-laki yang dingin menghadapi dunia dan hangat pada keluarganya?

⛅⛅⛅

Jam sepuluh lewat lima belas menit. Angkasa sudah berdiri di depan gerbang rumah si Barbie yang setengah terbuka dengan menenteng barbel lima kiloan di tangan kanan dan kirinya, mengenakan kaus hitam—sedikit kedodoran karena belum percaya diri memakai kaus ketat mengingat kondisi one pack-nya.

Dia berlari mondar mandir seperti setrikaan di jalan komplek yang menjadi jarak antara rumahnya dan kediaman keluarga Zachwilly. Di halaman bangunan tiga tingkat itu, tampak Bias tengah memandikan motornya. Dan saat melihat Angkasa yang entah sejak kapan berlari-lari kecil di jalan sambil mengangkat burble dengan napas ngos-ngosan, dia bertanya, "Ngapain, Bang?"

"Mau gedein otot," balas Angkasa singkat, lebih pada napasnya yang nyaris putus. Padahal belum juga sepuluh kali bolak-balik di depan rumah Mentari, tapi dia sudah merasa hampir mati.

"Oh," Bias menanggapi singkat, "kenapa nggak ke lapangan depan aja?" Dia menyemprotkan sabun ke motor besarnya. Sesekali melirik Angkasa yang kini sudah menjatuhkan barbel ke aspal, pun bokongnya yang sudah mendarat sempurna ke bumi. Tak lagi mondar-mandir seperti tadi.

"Peka dong, lo. Gue lagi caper ini!" Aang mengelap sisi kiri kepalanya yang sudah kuyup bagai kehujanan. Kausnya pun basah semua.

Mendengar jawaban Angkasa, Bias yang hendak meratakan sabun di motornya, menggantungkan tangan yang menggenggam spon di udara. Dia menatap Aang yang tampak nelangsa dengan dada naik turun, nyaris terkapar di atas aspal. Mata biru remaja itu melotot ngeri. "Lo nggak lagi caper sama gue kan, Bang?" tudingnya.

"Gue normal, keles!" sungut Angkasa emosi. Sepagian ini sudah dua kali dia dikira homo.

"Alhamdulillah, kirain." Bias mengelus dada dramatis, lantas melanjutkan kegiatannya. Membersihkan debu-debu yang menempel di bagian bawah motornya. "Terus lo caper sama siapa? Mina, ya, pengasuh baru si Aram? Cantik sih dia. Masih muda gitu. Tapi, jangan ketipu sama umurnya yang masih belum genap dua puluh, Bang. Gitu-gitu dia udah janda. Ditinggal selingkuh sama suaminya. Makanya dia merantau ke Jakarta." Bias menanggapi panjang lebar. Sedang yang diajak bicara nyaris menjatuhkan rahang mendengar ocehannya yang sok tahu.

"Memang tampang kayak gue cocoknya sama pembantu aja, ya?" tanyanya nelangsa. Bias yang tak paham dengan pertanyaannya menoleh bingung.

"Maksud Abang?"

"Emang gue nggak cocok banget sama kakak lo?" Saat mengatakan kalimat ini, Angkasa sengaja mengecilkan nada suara. Takut ada telinga lain yang mendengar selain Bias.

"Eh?" Bias menoleh serius. "Bang Sa ngomong apa, dah?"

"Gue suka sama kakak lo. Si Barbie hidup itu!"

Bias lupa pada cucian motornya begitu paham maksud perkataan Angkasa. Melempar spon di tangan, dia keluar dari gerbang rumah. Meninggalkan motor yang masih penuh busa, pun tanpa memedulikan kedua tangannya yang kotor.

Remaja 16 tahun itu berjongkok di samping mantan calon kakak ipar kakaknya dengan tatapan serius. Kemudian bertanya sungguh-sungguh. "Lo suka sama Kak Eta?" Sebelum mengajukan pertanyaan tersebut, Bias menoleh kanan-kiri. Memastikan Rafdi yang kemungkinan besar masih pacaran dengan sang mama di dalam rumah tak dapat mendengar obrolan mereka.

Angkasa mengangguk dua kali sebagai jawaban. Ia yang semula berselonjor, mengganti posisi duduknya dengan bersila. Dua manusia kurang kerjaan itu serius nangkring di pinggir jalan. Satu dua motor dan mobil sesekali melintas di hadapan mereka. Pun Kang Sayur yang mulai menjajakan dagangannya.

"Hah? Serius?"

"Becanda! Ya serius lah, Bi."

"Apes banget sih, lo." Bias menggeleng kasihan. "Jatuh cinta sama Kak Eta itu tuh petaka, Bang. Gue saranin lo nyari yang lain aja deh. Jangan dia."

"Kenapa?"

"Sini, gue bisikin rahasia." Adik pertama Mentari mendekatkan bibirnya ke telinga Angkasa. Tapi, sulung Wiratama itu malah menjauh karena takut disangka homo lagi oleh tukang sayur keliling yang nangkring di depan rumah Pak RT yang berjarak dua rumah dari posisi mereka dan sesekali melirik curiga padanya.

"Bisik aja, tapi jangan deket-deket." Ia mengikuti perut Bias agar menjaga jarak. Yang dituruti remaja itu sambil mendengus.

"Papa tuh nggak mau nikahin Kak Eta sama orang sembarangan. Apa lagi sama Bang Sa yang sodaraan sama Bang Ta." Sampai di sini, Bias berhenti demi melihat ekspresi Angkasa yang begitu serius. Tak menyadari sudut bibir Bias yang berkedut geli. Ada rencana yang diam-diam mulai tersusun dalam otak ekonominya. "Malah, Papa lebih senang Kak Eta ngelajang seumur hidup timbang didapetin sama orang yang salah."

"Terus?"

"Ya, nggak terus-terus. Makanya Bang Sa cari yang lain aja, deh."

"Kalo gitu doang mah, gue udah tahu kali, Bi!" Angkasa mendengus pendek. Ia meraih satu barbel di dekat dengkul kakinya, lali kembali diayun dengan tangan kanan. Seringkali ia melirik balkon kamar di lantai dua yang jendelanya terbuka. Kamar Mentari. Tapi, sejak tadi yang ditunggu tak juga keluar.

"Kalau udah tahu, Bang Sa berarti udah siap ngadepin risiko dong, ya."

"Iyalah. Demi Eta terangkatlah cintaku itu, apa sih yang nggak? Kalau hati Mbak lo udah kecantol sama gue, jangankan Om Rafdi, dunia aja nggak akan sanggup menghalangi kami." Angkasa kembali mendongak dramatis. Menatap balkon kosong itu lagi. Membayangkan Mentari ada di sana. Tengah berdiri dengan rambut cokelat pendeknya yang tergerai indah tertiup angin. Menikmati pagi yang membiaskan sinar ke wajah jelitanya. Membikin dia tambah cantik dipandang mata. Lalu menoleh pada Angkasa dengan senyum terkembang. Melambaikan tangan penuh penantian dan tatapan berlumur kasih sayang.

Sayang, semua itu hanya harapan Angkasa. Dan tenguran Bias setelahnya berhasil membuat semua bayangan itu runtuh seketika.

"Jiaahh... gombal banget sih lo, Bang." Bias menampilkan ekspresi pura-pura muntah. "Emang Kak Eta udah bisa bales perasaan Bang Sa?"

"Kalau udah, gue udah lama dari lama kali! Bantuin dong, biar kakak lo yang cerewet itu mau sama gue."

"Boleh." Bias mengangguk antusias. Dia duduk menghadap Angkasa. Ikut bersila di hadapannya. Ini yang dia tunggu-tunggu dari tadi.

"Serius lo mau bantuin?" Barbel di tangannya, Angkasa lempar menjauh, hingga bergelinding di aspal dan mengenai kaki Bulbul yang hendak menyeberang mengejar serangga yang kabur dari rumah.

Kucing hitam itu kontan melonjak, kaget. Ia mencakar-cakar barbel abu-abu itu gemas sebelum melirik sinis pada Angkasa. Namun yang dilirik penuh permusuhan sama sekali tak menyadarinya, malah antusias menatap Bias penuh harap.

"Tapi, ada syaratnya, dong!" Bias bersedekap. Mulai sok jual mahal.

"Yaelah, kirain gratis." Ekspresi antusias di wajah Angkasa langsung lenyap.

"Yaelah, Bang. Jaman sekarang mana ada yang gratis? Kencing mandi aja di wc umum kudu bayar. Mandi kencing noh, baru gratis!"

Angkasa melengos. Tak lagi tertarik meminta bantuan pada Bias yang sama mata duitan dengan kakaknya. Membungkuk, ia julurkan tangannya ke sisi jalan untuk mengambil barbelnya yang teronggok malang di tengah aspal. Namun belum sampai tangannya menyentuh benda beban itu, satu cakaran manis mendarat di lengannya. Membuatnya melenguh. Saat menoleh, Angkasa temukan kucing hitam berwajah sangar menggeram marah.

Kesal, Angkasa tarik kumis panjangnya keras hingga copot dua helai. Si Bulbul menjerit kencang. Bias yang baru menyadari perbuatannya Angkasa kontan membulatkan mata.

"Rasain, lo! Nyakar gue sih. Kumis lo ronyok, kan!" serunya dongkol sambil mengibaskan tangan agar kucing tadi pergi. Tapi, Bias justru meraih si ringkih berbulu itu ke dalam gendongan kemudian mendesis.

"Kenapa Abang kasar banget sih, sama kucing?"

"Dia ngajarin lengan gue!" Tak terima disalahkan Angkasa amengulurkan tangan demi memperlihatkan bekas luka akibat cakaran si hitam yang kini mengeong pilu dalam dekapan Bias.

"Ya, tapi jangan tarik kumisnya juga. Nyari perkara banget sih, lo!"

"Oh, ini kucing lo?" terorisnya, sama sekalian tak merasa bersalah.

"Sialnya, ini kucing Kak Eta. Namanya Bulbul. Kemarin kumis yang Bang Sa cabut itu baru dirapiin sama Kak Eta ke salon. Dan gara-gara Bang Sa, kumis kirinya nyaris gundul!"

Mendengar penjelasan Bias, kerongkongan Angkasa mendadak kerontang. Satu kata yang kala itu langsung keluar dari batok kepalanya.

Mampus!

Lagian, sejak kapan Mentari punya kucing hitam?

"Aku bakal aduin ini ke Kak Eta." Dengan tampangnya yang entah sejak kapan berubah datar, Bias berbalik badan. Hendak kembali masuk ke halaman rumahnya. Tapi, cepat-cepat Angkasa tahan.

"Yaelah, Bi. Lo nggak seru banget, sih. Gitu doang masa diaduin?"

"Karena Kak Eta bisa sembarangan tuduh nanti kalo pas tahu kumis kucingnya nyaris gundul begini. Aku nggak mau dong dituduh sama dia. Jadi, satu-satunya cara ya kudu jujur."

"Oke, lo mau apa, asal jangan aduin gue sama dia." Angkasa menyerah kalah. Pada akhirnya, dia memang harus meminta bantuan pada si tengil satu ini. Salah satu bibit Rafdi yang luar biasa perhitungan. Dalam hati berusaha menahan diri agar tak mengumpati si Bulbul yang menatapnya dari gendongan bias dengan wajah jeleknya.

"Dua ratus lima puluh ribu. Baru gue tutup mulut!"

Dan umpatan yang Angkasa tahan mati-matian, lolos juga dari katup bibirnya begitu mendengar nominal yang Bias ucapkan penuh senyum. "Sialan lo!"

⛅⛅⛅

Demi apa saya ngetik 2500 kata lebiihhh .... Daebaakkk .... tapi nggak ada Eta😝

Dan buat kalian yang kangen sama Ronai Mesra, nih mereka nongol. Tapi, saya kangennya sama Meda. Sayang belum ada momen yang pas. Sabar aja yes. Feeling saya, cerita ini bakal lebih panjang dari Mesta😣

Selamat membaca aja, deh. Doain si Ilham nggak ilang2 lagi.

19 Februari 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top