3 | Kencan yang Gagal

BAB 3
Kencan yang Gagal
⛅⛅⛅

Ekspektasi Angkasa pada kencan pertamanya dengan Mentari malam ini adalah:

1. Makan enak dengan harga terjangkau di kafe mal.

2. Nonton film (film apa saja, asal jangan horor. Karena film horor Indonesia lebih banyak tanda kutipnya. Angkasa takut lemah iman, kemudian nekat berbuat khilaf—seolah-olah Eta mau saja diajak berkhilaf ria dengannya—akan lebih baik kalau yang mereka tonton adalah film komedi romantis. Kali saja Mentari akan terbawa perasaan dan perasaan itu ditumpahkan pada Angkasa).

3. Menunggu malam di rooftop sambil melihat bintang—barangkali ada.

4. Berbincang dari hati ke hati (walau sesekali mungkin akan kena nyinyir sama cewek itu).

5. Mengakhiri kencan pertama dengan ... wajah semringah dan senyum malu-malu. Ahayyy ...!

Sempurna, kan?

Yah ... sayangnya semua itu hanya bisa terjadi dalam angan. Mentari menghancurkan segalanya semudah membalik telapak kanan. Gadis berbi berpenampilan heboh (baca: berdandan berlebihan) itu menolak keras makan malam di mal. Dia dengan sombongnya mengatakan hanya ingin makan malam di restoran mahal. Minimal tempat makan sekelas milik ayahnya.

Gila saja!

Restoran Rafdi bukan tempat makan biasa. Hanya kaum berpakaian seharga minimal 500 dollar yang mampu menikmati hidangan di sana. Porsi sedikit harga selangit. Angkasa pernah dinner bersama rekan bisnis beberapa kali di tempat calon ayah mertuanya itu. Dan kalau bukan untuk pertemuan formal, ia ogah datang lagi. Dua porsi di restoran papa Mentari, belum bisa mengisi separuh bagian perutnya. Dan ini fakta!

"Tapi, Nu—" Angkasa ingin membantah. Otaknya sibuk menghitung, berapa rupiah yang akan hangus dari saldonya malam ini. Padahal budgetnya setengah juta. Dan itu sudah lebih dari cukup mengingat total belanjaan online per bulan yang harus ia keluarkan untuk gadis ini sebagai salah satu syarat selain memutuskan pacar-pacarnya. Tapi bila mentari ngotot makan di restoran mahal, alamat satu juta itu akan hangus hanya untuk satu porsi makanan.

Angkasa bukan manusia pelit. Sama sekali bukan—menurutnya. Dia hanya berpikir, daripada menghabiskan satu juta untuk makanan yang bahkan bisa didapat dengan harga di bawah 100 ribuan di tempat lain, lebih baik uangnya disumbangkan untuk korban bencana. Seperti Lombok, Palu dan Donggala yang baru saja mengalami musibah. Atau disumbangkan untuk pembangunan mesjid agak kelak ia punya bekal di akhirat sekalian. Bukan untuk membeli menu yang ... ah, sudahlah. Hanya Mentari dan mahluk sejenisnya yang tahu di mana letak perbedaan rasa pasta seharga 500 ribu dan pasta instan indomaret yang 50 ribu saja dapat beberapa bungkus, karena menurutnya sama saja. (Lupakan kenyataan bahwa Angkasa bahkan setuju untuk membiayai belanjaan tak penting gadis itu selama pendekatan bahkan tanpa berpikir. Anggap saja itu modal untuk mendapatkan sulung Nina sebagai istri. Seperti prinsip ekonomi yang selama ini ia pelajari. Untuk mendapat sesuatu, harus ada sesuatu yang lain untuk dikorbankan yang sama berharganya dengan yang diinginkan. Bagi Angkasa, uang itu berharga. Tapi, Mentari jauh melampaui itu).

Hanya saja kali ini Angkasa salah perhitungan. Ia kira, Mentari masih bisa diajak makan di tempat biasa seperti mal atau minimal kafe biasa. Karena saat bersama Semesta, dia tidak banyak mau. Diajak makan di rumah saja sudah berjingkrak-jingkrak kesenangan.

"Gue nggak menerima penolakan ya, Be. Jawabannya cuma dua. Iya, atau nggak? Kalo lo nggak mampu bawa gue makan di tempat yang gue mau, kita batal jalan aja. Mumpung masih di sini." Gadis itu melipat tangan di dada. Menatap Angkasa dengan mata menyipit dan dengusan tak kentara di akhir kalimat. Rambut pendeknya yang nerwarna cokelat dan diblow rapi tampak berkilau tertimpa cahaya lampu jalan yang berdiri pongah di dekat taman komplek. Menambah kecantikan paripurnanya yang tak terelakkan. Lebih-lebih kelereng sebiru samudera warisan Rafdi Zachwilli itu mampu menenggelamkan Angkasa perlahan hingga ia tak lagi kuasa menolak.

"Okey!" Angkasa mengalah. Mendesah, ia menyuruh Mang Dirman untuk mulai menjalankan mobil secara perlahan. Keluar dari komplek perumahan mereka dengan berbagai macam hal berkecamuk dalam batok kepalanya. Ugh, ia bahkan sampai tak napsu bicara. "Lo mau makan di mana? Gue nggak tahu tempat makan mahal yang bagus." Dia tidak sepenuhnya bohong. Hidup belasan tahun dengan ekonomi pas-pasan membuatnya lebih menghargai uang. Padahal kalau ditanya, saldo tabungan dan depositonya sudah bisa membuat ia hidup nyaman selama sepuluh tahun tanpa bekerja.

"Sushi Ichi!" jawab Mentari mantap dengan dagu terangkat.

Fix, kalau begini caranya, harta Surya akan habis sebelum tiga turunan. Pantas saja Eta berpakaian semi formal malam ini, ternyata tempat mainnya jauh dari kata sederhana. Gaun selutut berwarna biru elektrik berlengan pendek serta sepatu hak hitam. Gincu merah yang menepel di bibirnya membuat Angkasa menahan diri mati-matian agar tak menyerang. Blush on tipis di bawah matanya mempertegas kelereng birunya yang menawan.

Mentari memang jelmaan bidadari yang nyasar ke bumi. Sayang saja bidadari ini berhati mimi peri. Bikin dongkol.

"Amuz aja, ya?" Angkasa mencoba menawar. "Atau di Ruth's." Meski sama-sama mahal, setidaknya dua restoran yang barusan ia sebut memiliki menu di bawah lima ratus ribu.

"Gue maunya makan shusi!" Mentari keras kepala. Matanya memicing saat menyadari ada sesuatu yang janggal di dashboar mobil. Sedikit memajukan tubuh demi melihat gambar dalam bingkai mini di sana, kelereng birunya membola.

Itu ... itu fotonya? Kapan dia pernah berpose jelek begitu? Bibir tanpa lipstik dengan rambut awut-awutan dan pakaian lecek. Bukan Mentari sekali!

"Oke kita makan shusi. Tapi di tempat lain, ya? Banyak resto Jepang yang enak kok selain Shusi Ichi," ujar Angkasa lebih ceria. Berharap kali ini bujukannya dipertimbangkan Eta. Oh tidak, bukan dipertimbangkan, tapi disetujui.

"Gue maunya yang masih seger." Setelah berhasil memastikan bahwa gambar di dasbor memang dirinya, ia kembali bersandar pada jok mobil. Hendak memprovokasi Angkasa perihal potret itu.

Namun sebelum bibirnya kembali sempat membuka, Angkasa sudah kembali bicara. "Emang cuma di Sushi Ichi yang seger? Yang lain sama aja kali."

Dan semua kata yang tadi mengantre di ujung lidah Mentari kembali tertelan. Berganti puluhan kata lain yang langsung terlontar tanpa pikir panjang. "Ya bedalah, Be. Lo gimana, sih? Ada harga, ada kualitas. Sushi Ichi mengimpor bahan-bahannya langsung dari jepang setiap hari. Setiap hari!" tekannya di akhir kalimat, "Sementara restoran lain cuma dua kali doang seminggu. Keliatan kan bedanya?"

"Toh, rasanya sama aja sih, Nu. Yang namanya sushi yang rasanya gitu-gitu aja."

"Bilang aja kalo lo nggak mampu bayarin makan gue di sana. Miskin mah miskin aja. Nggak usah soksokan ngajak kencan kalo cuma modal kacang!"

Ugh, cukup sudah! Kelopak Angkasa menekan, berusaha menahan malu pada Mang Dirman yang diam-diam melirik melalui spion depan dengan tatapan kasihan. Menggeram rendah,  ia tekan pahanya dengan kepalan tangan sebagai pelampiasan rasa kesal.

"Oke! Kita ke Sushi Ichi. Jangankan seporsi, lima porsi juga gue jabanin!" Bersamaan dengan kalimat ini terlontar, hatinya menangis meraung-raung.

Rip isi dompet!

⛅⛅⛅

Lima juta hangus semalam!

Angkasa bejalan gontai memasuki kamar. Kemudian mengempas tubuh lelahnya ke ranjang sembari menatap saldo rekeningnya nanar.

Sialan si Anu! Ia menggeram kesal, kemudian melempar ponselnya ke arah bantal.

Kencan malam ini gagal total! Gagal makan kenyang. Gagal nonton. Gagal menikmati bintang. Dan gagal segala-galanya. Ugh!

Kalian mau tau apa yang terjadi? Oke, dengan senang hati Angkasa ceritakan.

Tadi, barusan, beberapa puluh menit lalu, usai makan malam, Mentari mengajak pulang.

Demi sempak Firaun, dia mengajak pulang setelah perut kenyang. Dan Angkasa yang tidak rela lima jutanya terbuang percuma, mencoba membujuk si pacar sialan agar mau lanjut jalan. Demi Tuhan satu pun rencana Angkasa belum ada yang terealisasikan.

"Masih sore kali, Nu. Kita nonton ajalah dulu. Jalan ke mana kek. Lo kayak bocah aja jam segini udah minta pulang. Cinderella aja sampe tengah malem."

Yang diajak bicara mengelap sudut bibirnya dengan gerakan super anggun. Saking anggunnya, Angkasa sampai gatal ingin bantu mengelap bibir Mentari dengan bibirnya sendiri—andai saja mereka sudah halal.

Meletakkan tisu bekas pakai ke atas meja, gadis itu menatap Angkasa. "Cinderella nggak punya papa. Nggak ada yang larang-karang dia selain mak tirinya yang cerewet! Sedang gue punya Papa. Papa ngelarang gue keluar rumah lebih dari jam sepuluh, Be. Katanya, nggak baik cewek keluyuran malem-malem. Gimana kalu ada yang nyulik? Terus diperkosa? Ngeri tahu! Kalo lo mau, lo bisa anterin gue pulang duluan, terus lo bisa lanjut jalan," cerocosnya panjang lebar. "Oh, dan gue lebih suka  Jasmine timbang Cinderella miskin itu. Bajunya compang-camping. Nggak banget! Gadis miskin yang dapet cowok kaya. Mimpi tahu, nggak?!"

Satu alis Angkasa naik. Perasaan dia tadi hanya mengajak Eta tak langsung pulang. Kenapa jawabannya panjang kali lebar kali tinggi begini? Ia sampai lupa point utama dari topik sebelumnya. Tapi juga gatal untuk menangapi. "Aladin juga dari keluarga miskin. Jasmine tuan putri kaya raya. Apa bedanya?"

"Ya beda, dong. Aladin punya jin yang bisa bikin dia kaya."

Senyum setan Angkasa muncul. Ia memajukan tubuh ke depan. Memangkas jaraknya dengan Mentari agar tak terlalu panjang. Lalu berkata jemawa, "Bilang aja lo suka Jasmine karena kisahnya kayak kita."

"Maksud lo?" pekik Eta tertahan sembari menjauhkan punggung sampai mentok ke sandaran kursi. Menghindar sejauh mungkin dari cowok yang pernah miskin itu. Sesekali ia celangak-celinguk kanan kiri. Memastikan bahwa pekikannya tidak senyaring itu sampai bisa menarik perhatian pengunjung lain. Napas lega terembus dari lubang hidungnya begitu mendapati semua pelanggan sibuk dengan piring masing-masing.

"Lo si tuan putri kaya. Dan gue, si miskin yang jadi kaya berkat Jin Surya."

Kelopak Mentari membuka makin lebar mendengar penuturan Angkasa yang gila. Ayahnya sendiri dia sebut jin? Sinting! Dan apa katanya tadi? Seperti mereka? Ogah. "Mimpi aja sana!" desisnya. "Sampai negara api menyerang, gue nggak mau sama lo! Nggak akan pernah." Tisu yang tadi ia gunakan untuk mengelap sudut bibirnya, diambil kembali kemudian dilempar ke arah muka Angkasa yang praktis bergerak mundur.

"Kalo akhirnya lo suka gue, lo mau apa?"

"Kalo gue sampai suka sama lo ... gue bakal ... mmm, gue bakal ...." Mentari bingung. Ia sibuk memikirkan hukuman bagi dirinya sendiri bila benar suatu hari jatuh hati pada si sulung Wiratmadja ini. Hukuman yang sekiranya tidak akan pernah memberatkan hidupnya. Sebenarnya ini mudah. Eta yakin sampai mati tidak akan pernah jatuh cinta pada si tengil Aang. Tapi mengingat tak ada yang mustahil di kolong langit, kepalanya mendadak pening.

Tak mendapat jawaban dari otak kecilnya, ia pun menyerah dengan mengalihkan topik pembicaraan. "Tau ah, gue mau pulang! Males sama lo lama-lama!"

Angkasa berdecak. Ia mengempas punggung ke sandaran kursi. "Ayolah, Nu. Nonton dulu ya ...."

"Nggak! Gue ogah digantung Papa. Kalo lo mau, jalan aja sendiri!"

"Ya mana seru jalan sendiri?"

"Ajakin temen lah."

"Nu, gue mutusin empat pacar gue demi lo. Terus siapa yang bisa gue ajak jalan selain lo?"

"Temen cowok?"

"Lo kira gue maho?"

Mentari mengangkat bahu tak acuh. "Kan lagi musim. Cowok ganteng berbadan keker biasanya gitu. Lo nggak liat akun lambe turah emang? Kemarin ada yang kecyduk lagi goyang-goyang. Mana ganteng-ganteng lagi." Angkasa nyaris tersenyum mendengar penuturan Mentari. Cowok ganteng dan kekar katanya? Namun sebelum sempat ia menimpali, Mentari sudah melanjutkan, "Ah, gue lupa lo tampang pas-pasan. Badan juga cuma one pack, ya? Mmm ... kayaknya sedikit buncit juga. Dari body sih, lo normal."

Dan senyum Angkasa hilang secepat datangnya. Gadis iniiii ... kenapa jujur sekali? Padahal menurut mantan-mantannya, Angkasa itu manis, lucu dan menggemaskan. Bahkan kata Damai, tidak ada laki-laki tampan selain dia. Surya dan Semesta saja lewat. Baru Mentari yang mengatakan tampangnya pas-pasan. Tapi untuk bentuk tubuh, Angkasa sependapat dengan kesayangan Rafdi ini. Ia memang amat malas olahraga. Ia terlalu lelah bekerja selama delapan jam sehari. Sabtu minggu biasanya ia gunakan untuk tidur dan bermain dengan Meda. Padahal di rumah peralatan gym cukup lengkap milik ayahnya.

Lupakan dulu masalah tampang dan tubuh. Yang Angkasa butuh saat ini adalah kepastian tentang rencana jalan mereka. "Jadi, bisa kita lanjut jalan abis ini?"

Gelengan mantap, Mentari berikan sebagai jawaban. Angkasa menggeram di tempat duduknya.

"Kecuali lo bisa pamitin gue sama Papa."

Dan Angkasa merasa lebih baik ia kehilangan uang lima juta secara cuma-cuma daripada kehilangan kakinya. Karena saat Mentari menelepon ayahnya agar ia bisa memintakan izin, kalimat pertama yang terdengar dari seberang saluran telepon berhasil membuat bulu roman Angkasa meremang. Katanya, "Pulang sekarang atau Papa kasih pelajaran sama siapa pun yang ngajak kamu keluar sampai selarut ini," bahkan sebelum Angkasa bilang halo.

Angkasa paham betul, pelajaran yang dimaksud Rafdi bukan satu tambah satu sama dengan dua. Melainkan pelajaran yang melibatkan fisik seperti kalau diserempet mobil bisa membuatmu berbaring berbulan-bulan di ranjang. Semesta pernah menempuh pelajaran ini hampir satu semester. Dan Angkasa ogah mengikuti jejak adiknya. Ia masih merasa kaki tangannya jauh lebih berharga dari Mentari yang cerewet ini.

"Gimana?" tanya Mentari dengan ekspresi wajah mengejek begitu sambungan terputus, bahkan sebelum Angkasa sempat menyahut. Barangkali dia tahu apa yang papanya bilang. Atau bahkan mungkin sudah terlalu hapal.

Ugh, padahal baru mau jam sepuluh dan Rafdi sudah bilang ini larut. Pasti bule paruh baya itu pakai jam Timor Leste!

"Dulu lo bisa pulang sampe pukul sebelas bareng Semesta itu gimana cara izinnya?" Angkasa balik bertanya. Enggan menjawab pertanyaan retoris sang lawan bicara.

"Itu karena Ayang Mesta calon suami gue."

"Oke, kalo lo setuju lusa gue lamar," ujar Angkasa sambil menyerahkan kembali ponsel Mentari pada sang empunya. Yang dibalas Eta dengan dengusan kasar. Terang-terangan meremehkan.

"Gue tunggu kalau gitu. Jam berapa? Biar gue bisa dandan cantik? Khusus buat lo."

"Kalau gue lamar, lo positif nerima kan?"

Mentari mengedipkan satu mata. "In your dream," ia berujar sembari mendorong kursinya ke balakang, kemudian melimbai santai menuju pintu keluar. Ujung gaun biru elektriknya berkibar-kibar mengikuti gerak langkah gadis itu. Betisnya yang ramping dililit tali sepatu berhak hitam yang tampak menggoda membuat Angkasa mendesah seraya mengumpat. Bisa tidak sih, Mentari memakai hijab seperti Damai, pakai cadar sekalian agar tidak ada yang bisa melihat bagian tubuhnya yang indah itu selain Angkasa nanti?

"Kalo pada akhirnya lo bukan jodoh gue, rugi berat gue, Nu!" desahnya lesu.

⛅⛅⛅

Banyak typo? Harap maklum ya. Saya ngantuk banget nih. Males edit😭😭😭

Mau langsung bobo aja.

Esto bule dhin dhika, Cah😘

Pamekasan, 03 Okt 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top