21 | Ponsel Butut Untuk Eta
21
Ponsel Butut Untuk Eta
⛅⛅⛅
Angkasa memarkirkan sepeda motor bututnya di depan gerbang tinggi sebuah rumah mewah yang berdiri kokoh di kawasan komplek perumahan elit Jakarta Selatan. Ia mengambil ponselnya di kantong kemeja. Membuka aplikasi pesan, mencocokkan kembali alamat yang Damai kirimkan dengan tempatnya berada kini.
Sama. Berarti benar, Bang Sueb, tetangga sebelah rumahnya, bekerja di sini sebagai sopir. Dan Damai berjanji akan mengirimkan makan siang untuknya hari ini sebagai balasan atas bantuan Bang Sueb yang sudah membantu membetulkan gerobak beberapa hari lalu. Jadi di sinilah Angkasa sekarang. Duduk di atas jok motor bebek bututnya sambil geleng-geleng kepala. Sesekali ia berdecak kagum. Dalam hati berdoa, semoga kelak ia mampu membangunkan rumah senyaman ini untuk Damai.
Tapi ... Bang Sueb di mana? Angkasa turun dari motor dan celingukan kanan-kiri, mencoba mengintip dari celah besi gerbang yang dengan sombongnya berdiri angkuh. Menghalangi akses masuk menuju istana besar yang berada di balik sana.
Ingat jika dirinya memiliki kontak Bang Sueb, segera Angkasa menekan tombol on pada ponselnya yang masih dalam genggaman.
Belum sempat nada sambung terdengar, suara klakson yang memekak telinga sudah lebih dulu menyerang indra pendengaran Angkasa. Berjengit kaget, ponsel dalam genggamannya terlepas. Jatuh mengikuti arah gravitasi bumi.
Refleks, pemuda tanggung itu menoleh ke belakang dan menemukan sebuah mini cooper merah yang tak henti membunyikan klakson agar ia minggir. Dan kala Angkasa hendak melangkah ke samping untuk memberi jalan, kepala cantik menyembul dari jendela kemudi. Membuat Angkasa menahan napas sejenak. Ia mengenali wajah itu. Wajah familier yang sering seliweran dalam mimpinya selama dua minggu terakhir ini.
Dia ... si cewek berbi.
"Ngapain lo di sini? Mau maling, ya?"
Masih Mentari yang sama. Yang selalu bicara tanpa tadeng aling-aling dan penyaringan. Segera Angkasa menetralisir degup jantungnya yang kebat-kebit tak keruan, lantas membalas kalimat tanya Eta yang pedas itu. "Bukan urusan lo!"
"Tentu ini jadi urusan gue, karena sekarang lo ada di depan rumah gue!"
Angkasa mengerjap. Sekali lagi ia menolah pada rumah besar yang berada di balik gerbang, masih tertutup pagar besi. Jakun remaja itu naik turun, menelan ludah yang mendadak terasa kelat. Jadi, ini tempat tinggal Mentari? Ada jarum tak kasatmata yang seolah menusuk ulu hati Angkasa. Kesadaran menghantamnya. Dia dan Mentari memang sejauh itu.
Setan bertanduk merah tertawa di dalam kepalanya. Meledek Angkasa yang mendadak gulana. Memang sejak kapan mereka dekat? Bukankah ia hanya bertemu sekali dengan gadis ini? Oh, ayolah Angkasa, buang segela khayalan bodohmu.
"Eh, malah bengong lagi! cepet minggir. Sekalian, minggirin juga motor butut lo!"
Angkasa mendengus, sedikit sakit hati dengan kalimat hinaan yang keluar dari bibir manis Eta. "Tanpa lo suruh pun, gue bakal minggir, kok!" Angkasa berderap, memundurkan motornya yang memang butut. Memberi jalan bagi mobil merah metalik yang Eta kendarai agar bisa lewat.
"Mang Sueb, buka gerbangnya, Mang!" teriak Eta lantang. Kepalanya masih menyembul dari jendela kemudi. Menggunakan ekor mata, ia melihat Angkasa yang tetap berdiri dengan memegangi stang motor. Ada setitik rasa bersalah menyelinap ke balik dada Eta. Tentu saja Eta ingat siapa pemuda ini. Dia adalah seseorang yang tak sengaja memergokinya saat tawuran beberapa hari lalu. Kalau tidak salah ingat, namanya Angkasa.
Suara gerendel besi menyadarkan Eta, ia telah terlalu lama mengamati pemuda yang kini sok sibuk dengan pikirannya sendiri itu. cepat-cepat ia memasukkan kepalanya ke dalam mobil. Gerbang telah terbuka, ia pun menjalankan mobil perlahan.
"Ponsel gue!" pekik Angkasa yang seolah baru menyadari sesuatu. Ia melangkah setengah berlari, hendak mengambil ponselnya yang tadi jatuh dan belum sempat dipungut kembali lantaran terlalu terpesona pada wajah cantik Mentari.
Terlambat, karena ban mobil Eta lebih dulu melindas. Tubuh Angkasa membatu, menatap nanar benda persegi yang separuhnya tenggelam di bawah ban mobil Eta.
Sadar akan sesuatu yang telah terjadi, Eta lansung mengerem. Ia pun melongok ke bawah melalui jendela kaca yang diturunkan. Dan ... o-ow ... sepertinya ia sudah melakukan satu kesalahan.
Sambil menggaruk tengkuk yang sama sekali tak gatal, Eta mendongak demi bisa melihat ekspresi tak terbaca cowok itu.
Tak ingin disalahkan, Eta kembali berucap menyebalkan, "Kalo sampe layar ponsel lo yang pecah bikin ban mobil gue lecet, lo harus tanggung jawab!"
Pak Sueb yang berdiri di sisi pintu gerbang, menatap Angkasa prihatin. Nona majikannya yang manja memang tak pernah segan dalam berkata-kata. Serta-merta, ia merasa bersalah. Ia tahu maksud kedatangan Angkasa ke sini adalah untuk mengantarkan makan siangnya.
"Emang bukan salah lo, kok. Gue sendiri yang jatohin itu," sahut Angkasa sembari memalingkan pandangan dari ponsel yang sudah lebih dua tahun ia punya. Menahan sayang pada benda persegi itu, juga harga dirinya agar tak makin rendah di mata Mentari.
"Bagus deh kalo lo nyadar." Ketus Eta berkata. Ia kembali melajukan mobilnya memasuki halaman rumah. Melewati Angkasa yang diam-diam menahan kesal.
Demi Tuhan! Kenapa cewek itu menyebalkan sekali?!
"Maafin Non Eta ya, Ang." Bang Sueb merapatkan kembali pintu gerbang tinggi istana keluarga Mentari, hingga menyisakan celah selebar badan orang dewasa. Ia mendekati Angkasa dan tersenyum tak enak hati.
"Nggak apa-apa kok, Bang." Angkasa berlagak sok tegar. Seolah kehancuran ponsel dan kelakuan Eta barusan bukan apa-apa, dan tak mempengaruhinya. Ia membalas senyum Bang Sueb serta menyodorkan keresek putih yang sedari tadi ia tenteng. "Dari Bunda," katanya. Yang diterima Bang Sueb dengan senang hati.
Setelah Bang Sueb masuk kembali untuk makan siang, Angkasa menunduk lagi untuk mengambil kartu sim dan memory card yang semoga saja masih bisa diselamatkan. Lalu memasukkan ke dalam saku celana. Menatap ponselnya cukup lama, Angkasa segera naik ke atas motor dan berlalu pergi. Tak menyadari, bahwa di balik jendela lantai atas yang sedikit terbuka, ada seseorang yang melihatnya sambil gigit jari.
⛅⛅⛅
Eta mondar-mandir tak tenang di dalam kamar sambil menggigit ujung jari. Sesekali, ia melirik benda persegi yang sudah tak berbentuk di atas meja belajarnya. Ponsel Angkasa yang tak sengaja ia lindas.
Tadi siang, usai Eta mengucapkan kalimat pedas tentang siapa yang patut disalahkan di antara mereka, Angkasa tak membalas. Hanya diam, menatap Eta sekilas dengan sepasang mata beda warnanya itu dan bibir terkatup rapat. Tatapan penuh makna yang hingga kini tak bisa Eta lupakan.
"Ah, Angkasa sialan! Dari awal ketemu, lo udah bikin gue kesel aja, sih!" Ia menjambak rambut frustrasi. Bahkan Mesta, pacarnya sekali pun tak pernah membikin ia sefrustrasi ini. Dan sekarang, hanya karena seorang Angkasa yang menyebalkan dan urakan itu, Eta sampai begini! Sialan!
Berderap mendekati meja belajar, diambilnya ponsel Angkasa yang sudah penyek dengan layar retak parah. "Ini bisa diperbaiki enggak, ya?" gumamnya pada diri sendiri. "Ugh, pasti bisa!"
Dari pada merasa bersalah terus-terusan dan membuat hidupnya tidak tenang, segera Eta bergegas. Berganti pakaian dan mengambil tas kecil yang biasa dibawanya ke mana-mana untuk menyimpan dompet dan ponsel. Tujuannya kali ini adalah menuju tempat servis ponsel langannanya.
"Mau ke mana, Non?" Bang Sueb, yang hari ini tidak ada kerjaan lantaran sang mama sedang bertugas ke luar kota, bertanya. Sebelumnya ia tengah ngobrol santai dengan satpam penjaga rumah Eta di teras samping, saat tanpa sengaja ia melihat si nona muda yang sudah rapi hendak masuk ke dalam mobil.
"Ada perlu!"
"Mau Mamang sopirin?"
"Nggak usah!" Eta masuk ke balik roda kemudi dan langung menstarter.
⛅⛅⛅
"Gimana, Mas? Masih bisa diperbaiki, kan?"
Eta berdiri di depan etalase dengan kedua tangan terlipat, menatap penuh harap pada penjaga tempat service hp langganannya yang tengah mengamati ponsel penyek Angkasa.
"Bisa." Selesai mengamati, cowok berkemeja kotak-kotak dan berkacama bulat yang Eta panggil dengan sebutan Mas itu, meletakan kembali ponsel tadi di atas meja etalase.
"Oh, ya? Beneran bisa? Gimana caranya. Kan, udah penyek gitu?" Eta tak bisa menutupi ekspresi antusiasnya. Wajah cewek itu berseri-seri. Yang ditanya sedikit merasa bersalah. Dia meringis sembari menggaruk tengkuk yang sama sekali tak gatal.
"Caranya suma satu. Beli baru."
Semringah Eta memudar. Ia cemberut, menatap sengit si Mas-mas penjaga yang tadi sempat memberinya harapan palsu. "Kirain beneran bisa!" sungutnya, yang dibalas oleh si Mas dengan cengiran kuda. "Kira-kira, ada nggak tipe hape kayak gitu? Kalo second-nya nggak ada, yang baru nggak apa-apa deh."
"Aduh, kayaknya susah deh, Mbak. Ini produksi lama soalnya." Wajah Eta kian tertekuk mendengar jawaban tersebut. "Mungkin ada sih yang bekas. Itu pun belum tentu kualitasnya masih bagus. Mending Mbak beli keluaran baru aja. Tipe begini udah nggak jaman."
Dugaan Eta benar. Ponsel Angkasa memang jadul. Bahkan mungkin sudah tidak diproduksi lagi dan seharusnya sudah di museumkan! Lalu, Eta sekarang harus bagaimana? Uang saku bulannya masih ada. Cukuplah untuk membeli ponsel baru sebagai ganti ponsel Angkasa yang ia rusak. Tapi ... ini masih awal bulan. Kalau membelikan Angkasa ponsel baru, alamat ia harus gigit jari setelah ini. Dia tak akan bisa jajan sepuasnya sampai bulan depan.
Argh ... Sial!
⛅⛅⛅
"Yang ...." Eta duduk gelisah di dalam mobil. Siang ini, masih seperti siang-siang sebelumnya. Ia pulang bersama Semesta dan kini tengah duduk di jok penumpang mobil pemuda itu.
Tak mendapat jawaban, ia menoleh ke samping dan melihat pacarnya sedang melamun. Wajah Eta yang semula manyun, jadi kian tertekuk dengan jumlah lipatan yang makin bertambah.
"Yang, kamu dengerin aku ngomong nggak, sih!?" Ia kembali merajuk, berusaha mendapatkan perhatian Mesta yang super kaku dan kadang menyebalkan. Cewek itu bahkan kini sudah duduk sambil memiringkan badan ke arah kursi kemudi dan menarik ujung kemeja seragam Mesta seperti anak kecil.
"Hmm ...." Semesta menyahut pelan. Ia menoleh padanya sekilas, lalu mengembalikan tatapannya ke jalanan yang sore ini tak terlalu padat.
"Ikut aku dulu, ya ...."
"Ke mana?"
Eta mengerucut miring. Ada kerut dalam yang tercetak jelas di keningnya. Ekspresi khas Eta saat sedang berpikir.
"Tunggu, bentar." Eta berhenti berpikir. Ia merogoh sesuatu di dalam tas gendong ungu pucat yang berada di atas pangkuan. Mengambil secarik kertas kecil dari sana, lalu membaca sebuah alamat.
"Ngapain?" Mesta mengeinjak rem begitu melihat lampu merah yang menyala. Ia mengetuk-ngetukkan jari pelan pada roda kemudi. Pandangannya meliar ke luar jendela. Kembali melamun. Tak lagi mendengar ocehan Eta yang panjang kali lebar.
"Yang, udah ijo, tuh! Ayo jalan ...."
Mengerjap, Semesta mendesah. Segera ia melajukan mobil. Kembali membelah jalanan Ibukota, menuju alamat yang ditunjuk Eta.
"Kamu yakin di sini?" Mesta menatap Eta sekali lagi begitu mereka sampai di tempat tujuan. Yang ditanya malah menggigit bibir, gamang.
"Harusnya sih ... iya." Gadis itu mendesah. Membaca deret huruf yang tertera di kertas kecil dalam genggamannya sekali lagi.
Tadi pagi sebelum berangkat sekolah, ia sempat bertanya terlebih dahulu alamat tempat tinggal Angkasa pada Mang Sueb. Angkasa adalah tetangga Mang Sueb. Jadi tidak mungkin Mang Sueb salah menulis alamat. Sopir pribadi ayahnya itu juga telah menawarkan diri mengantar Eta. Namun ia tolak, karena mau pergi sendiri dengan Mesta. Sekalian jalan-jalan, mengingat ia nyaris tak pernah pergi berdua dengan pacarnya kecuali ke sekolah.
"Kita coba masuk aja kali, ya?" Eta bertanya tak yakin. Kalau nekat masuk ke dalam gang, mereka terpaksa harus berjalan kaki dan memarkir mobil Mesta di pinggir jalan, tapi kalau memilih pulang, percuma Eta mengajak sang pacar jauh-jauh tanpa hasil.
Mesta hanya mengangguk sebagai jawaban. Segera ia menepikan mobil dan membuka sabuk pengaman. Saat Mesta sudah turun, Eta justru masih bertahan di jok penumpang. Ia tak yakin benar-benar mau masuk ke sana dan berjalan kaki. Pasalnya, tempat ini sedikit kotor, dan pasti banyak kuman. Iyuuuhh .... Tahu begini, ia titipkan saja ponselnya pada Mang Sueb.
Rasanya Eta ingin mengerang, ada perang batin dalam dirinya sebelum Mesta yang mulai kelamaan menunggu, berseru, "Kalau enggak jadi, kita pulang aja, Eta!"
Mendengar nada suara berat nan dalam Mesta yang sepertinya sudah tak sabaran, buru-buru Eta melepas sabuk pengaman dan melompat turun. Dengan langkah pelan, ia menghampiri Mesta yang berdiri sambil melipat tangan di sisi mobil sebelah kanan.
"Ayo!" Ia menarik napas panjang, hendak melangkah, tapi enggan.
Melihat Eta yang tampak ragu-ragu, Semesta berdecak. Ia menurunkan kembali tangan-tangannya ke sisi tubuh, lalu berjalan lebih dulu memasuki gang sempit itu. Membuat Eta mau tak mau harus mengikuti.
Gang rumah Angkasa sempit. Pagar-pagar penduduk yang terbuat dari tembok, banyak yang sudah lumutan. Pun pagar besi yang dilihat Eta juga sudah banyak yang karatan. Eta berpikir, berapa banyak kuman dan virus penyakit yang bertebaran di tempat ini? Sepanjang ia melangkah, tak sekali pun ia melewatkan setiap rumah yang dilaluinya dengan banyak pemikiran, hingga ia lupa dengan siapa ia kini berjalan, dan lupa mengoceh panjang lebar.
Di gang sempit itu, hanya ada beberapa rumah yang tampak bersih meski terlihat kecil dan sederhana—juga tak layak huni menurut Mentari—termasuk rumah ini. Rumah yang berada di ujung gang. Tak sadar, mereka ternyata sudah berjalan sejauh itu. Dalam hati Eta berjanji, ia tak mau lagi datang kemari.
"Benar ini tempatnya, kan?"
Eta tak langsung menjawab. lebih dulu ia memastikan dengan membaca lagi kertas yang sudah lusuh karena ia remas-remas tanpa sadar. "Hu-um," jawabnya kemudian.
"Jadi?" Mesta mengangkat satu alis. Menatap Eta yang tak berkeinginan untuk maju dan mengetuk pintu. Lalu untuk apa mereka ke sini? Berdiri seperti orang bodoh?
Melepas belitan tangan Eta pada lengannya, Mesta pun berjalan ke depan. masuk melaui gerbang besi setinggi dada dan bercat hitam yang setengah terbuka.
Mengerjap, segera Eta berlari menyusul Semesta yang sudah berdiri di depan pintu dan mulai mengetuk dengan tempo ringan.
Tak salah Eta mengajak Mesta. Dia terbantu banyak dengan keberadaan cowok ganteng yang berstatus sebagai pacarnya ini. Bila ia tak mengajak Mesta, barangkali sekarang dirinya sudah putar balik ke rumah, tak jadi mengembalikan ponsel Angkasa yang kemarin dirusaknya.
Tiga menit berselang, daun pintu triplek di depan mereka bergeser membuka, menampakkan satu sosok yang tak Eta kenali.
"Suruh langsung masuk aja, Rin!" seru suara dari dalam. Yang Eta tebak sebagai milik Angkasa.
Seseorang yang dipanggil Rin segera membuka celah pintu lebih lebar, memberi akses masuk pada tamu tak diundang yang mendadak datang.
"Silakan ...." Ia tersenyum datar seraya mengambil satu langkah mundur ke belakang.
"Duduk aja dulu. Angkasanya masih di kamar mandi."
Mesta menurut. Ia menjatuhkan diri di sofa buluk yang kulitnya sudah banyak terkelupas. Berbeda dengan Eta yang justru masih berdiri, menatap horor pada benda jelek yang disebut Rinai sebagai tempat duduk.
"Ini ... ini nggak ada kursi lain?" Eta bertanya tanpa mau menutupi ekspresi ngerinya.
"Kalo emang nggak mau, nggak usah duduk aja sekalin!" balas Rinai sengit. Ia mendelik tak suka pada gadis cantik nan manja yang belum apa-apa sudah sukses membuatnya naik darah ini.
"Eta, jangan manja!" tegur Mesta tak enak hati. Ia tersenyum sambil mengangguk sekali, memberi isyarat pada Rinai agar ia mau memaklumi sikap menyebalkan Mentari yang hampir kelewatan. Mengerucut sebal, Eta terpaksa menurut. Begitu bokongnya bersentuhan dengan sofa buluk di bawah sana, ia meringis. Kasar sekali. Sofa ini seharusnya sudah dimuseumkan dan dibelikan adik baru!
Malas meladeni dua orang tak jelas itu, Rinai yang tadi sudah duduk manis di sofa tunggal yang berada di ujung meja, kembali berdiri. "Mau minum apa? Biar gue buatin."
"Nggak usah repot-repot." Mesta menjawab.
"Nggak repot, kok. Adanya juga cuma air putih doang!"
Mesta berdehem, tak tahu harus menyahut bagaimana lagi.
"Kalo adanya cuma air putih aja, terus ngapain masih nanya mau minum apa!" sungut Eta sembari melipat tangannya di depan dada. Arogan seperti biasa.
"Siapa yang dateng, Ri—" Suara Angkasa tersendat begitu sorot matanya menangkap visualisasi dua manusia yang tengah duduk manis di ruang tengah. Ia yang semula melangkah ringan keluar dari kamar mandi, mendadak menghentikan ayunan kaki panjangnya hanya demi terperangah beberapa saat.
Angkasa mengerjap, berusaha menjernihkan pandangannya yang barangkali mulai bermasalah. Tapi, pemandangan di depan sana masih tak berubah.
Itu memang Mentari dan ... Semesta.
Jadi orang songong ini pacarnya? Pemikiran itu tercetus seiring dengan rahang Angkasa yang berubah kaku. Mendesah panjang untuk mengusir rasa sesak tak beralasan di dada, Angkasa berdehem guna mencairkan suasana. Dua orang di hadapannya itu masih belum ada yang mau bicara, padahal jelas mereka mengetahui keberadaannya.
"Ngapain kalian di sini?"
Mesta mengangkat satu alisnya mendengar nada ketus yang digunakan Angkasa untuk menyapa mereka. Ia mendengus, melirik Eta yang tampak berpikir keras sambil memutar mata ke kanan dan ke kiri. Satu sudut bibir bawahnya menipis lantaran di gigit keras oleh barisan gigi di dalam mulut, sebagai upaya menahan gugup.
"Gue ... itu ... mau ...."
"Mau menghina gue lagi?" sela Angkasa lebih cepat. Tatapan tajamnya menghujam Eta yang kini bergerak tak nyaman. Gelisah mencari posisi duduk yang tepat karena bokongnya mulai terasa nyut-nyutan terkena ujung paku kecil dari bagian sofa yang bolong. Sofa rumah Angkasa benar-benar minta dibuang!
Malas memperpanjang urusan dan berbelit-belit kata, Eta langsung merongoh ke dalam tas demi mengambil kardus ponsel baru yang kemarin ia beli dengan mengorbankan uang jajan selama dua puluh hari ke depan.
Angkasa menyeipitkan mata melihat benda tersebut. Sama halnya dengan Mesta yang tak mengerti dengan keadan sebenarnya. Ia menatap Eta dan Angkasa bergantian. Ingin bertanya, tapi malas mendengar jawaban Mentari yang pasti panjang lebar.
"Ini apa?" tanya Angkasa kemudian. Belum sempat Eta menjawab, Rinai muncul dari sekat pemisah dapur dan ruang tengah dengan sebuah nampan.
"Silakan diminum!" ujar Rinai dengan nada suara seperti mengajak perang. Ia meletakkan dua gelas minuman di meja sembari melirik bungkus ponsel baru di atas meja. Tak ingin ketinggalan berita, segera ia mendudukkan diri di lengan sofa yang diduduki Angkasa dan memangku nampan di atas pahanya.
"Mereka ngapain ke sini?"
Malas menjawab, Angkasa mengangkat kedua bahu. Rinai yang cukup mengerti, kembali menegakkan punggung dan memilih untuk diam.
"Gue mau balikin ponsel lo yang kemarin nggak sengaja kelindes mobil gue!"
"Ponsel lo kelindes?!" Rinai yang tadinya memutuskan untuk menjadi pendengar yang baik, tak bisa menahan diri untuk memekik. "Pantesan dari kemarin sms gue nggak dibales!" desisnya sembari melirik Eta tajam.
"Dan lo mau menghina gue lagi dengan membelikan ponsel keluaran terbaru?"
Semua mata yang ada di ruangan sana, sontak menatap benda persegi di atas meja secara serempak. Memang benar ponsel tersebut merupakan seri terbaru, tapi bukan merek kenamaan seperti yang dipakai Eta. Anggap saja sebagai penebus rasa bersalahnya atas ucapan pedas kemarin, makanya gadis itu membelikan seri terbaru setelah melakukan beberapa pertimbangan.
"Gue nggak ada maksud buat ngina lo. Ini cuma bentuk ... bentuk ...," Eta meremas-remas tangannya, gugup, "bentuk permintaan maaf dari gue."
Mesta tercengang. Menatap Eta seolah pacarnya itu adalah alien dari planet Mars yang sedang berkunjung ke bumi. Seorang Mentari meminta maaf? Sungguh langka sekali. Biasanya cewek ini tak pernah mau memikirkan semenyakitkan apa kata-kata yang keluar dari bibir tipisnya.
"Gue maafin!"
Semudah itu? Eta menatap Angkasa dengan mata bulatnya yang bening. Ada ketidakpercayaan di sana. "Beneran lo mau maafin gue?"
Anggukan singkat, Angkasa berikan sebagai jawaban. "Dan bawa pulang lagi ponsel itu," lanjutnya, menunjuk benda yang dimaksud dengan dagu.
"Itu namanya lo belum bisa mafin gue!"
"Gue maafin lo, Anu!" tekan Angkasa pada setiap kata. Eta memang salah, tapi Angkasa tidak mau merendahkan harga diri dengan menerima pemberian cewek itu secara cuma-cuma. Iya, pemberian. Karena harga ponsel Angkasa tidak ada apa-apanya bila dibanding dengan harga ponsel yang coba Eta berikan padanya sebagai ganti ponsel butut yang kemarin.
"Nama gue Mentari Anugerah, dan cukup panggil gue Eta!" Eta bersedekap angkuh, meralat kembali sebutan yang seenak udel diucapkan Angkasa. Anu memang bagian dari nama belakangnya, tapi Eta tidak suka. Itu terdengar seperti nama sesuatu yang disensor karena mengandung unsur sara.
"Terserah gue. Bibir juga bibir gue!"
"Tapi yang lo sebut nama gue! Boleh dong ya, gue ralat kalo salah!"
"Oh, ya? Bagian mananya yang salah?"
"Ngeyel lo, ya! Gue datang ke sini baik-baik buat minta maaf!"
"Dan gue juga udah dengan baik nyambut lo dan memberi maaf! Kurang apa lagi coba?"
"Jadi?" Mesta yang tahu pertengkaran ini tak akan ada ujungnya, memilih untuk angkat suara. Menarik perhatian Angkasa dan Eta untuk menatap sekilas padanya, sebelum saling melotot satu sama lain. Eta tak rela aksi adu bacotnya dilerai, pun Angkasa yang belum ingin mengakhiri ini. Karena diam-diam ia menikmati ekspresi marah Eta padanya.
"Kalau kalian belum puas, lanjutin aja!" Rinai yang barangkali kelewat bosan menyaksikan pertengkaran dua remaja itu, pergi ke belakang, sekaligus menyimpan kembali nampan yang tadi ia gunakan. Diikuti Mesta yang memberi ruang bagi Eta untuk menyelesaikan permasalahan apa pun yang kini diperdebatkan dengan Aang.
"Lo boleh enggak maafin gue, tapi seenggaknya hargain usaha gue buat minta maaf, dong!" Tak sadar tubuh Eta mulai condong ke depan, menatap Angkasa yang masih tenang bersandar pada punggung sofa sambil melipat tangan. Tidak terlalu ambil pusing terhadap apa pun yang ia katakan.
"Harus berapa kali gue bilang sih, Anu! Gue maafin lo! Tapi maaf juga, karena gue nggak bisa nerima ponsel itu!" Angkasa berhenti sejenak untuk mengambil napas. Ia bingung harus menjelaskan apa lagi. Sejak tadi mereka hanya berputar-putar di topik yang sama. "Kalau pun lo ngotot, harusnya lo ganti dengan hape yang sama dan keluaran tahun yang sama juga sama hape gue sebelumnya !"
"Lo gila!" umpat Eta seraya berpaling muka. Muak melihat wajah Angkasa yang keras kepala. "Dapat dari mana gue hape kayak gitu!"
"Kalau enggak dapet, cukup lo minta maaf doang. Udah!"
"Lagian apa susahnya sih, nerima hape ini?" Eta mengambil ponsel dalam kardus kecil yang sejak tadi mereka perdebatkan. Mengangkat benda tersebut ke udara hanya demi menunjukkannya di depan muka sang lawan bicara.
"Lo nggak ngerti, Nu!"
"Emang. Gue amang nggak ngerti. Karena menurut sepengertian gue, gue dateng ke sini baik-baik buat minta maaf sama lo dan ngasih ponsel ini sebagi ganti." Inginnya, Eta membanting apa yang kini ia pegang, tapi mengingat benda itu dibeli dari uang sakunya selama hampir satu bulan, Eta menahan diri dan meletakkan ponsel untuk Angkasa dengan perlahan, kembali ke atas meja rendah yang berada di hadapan mereka.
Angkasa kemudian diam, tak tahu bagaimana lagi caranya untuk menolak keinginan cewek cerewet di hadapannya ini. Mendadak, hening yang cukup panjang meraja di rumah mungil kediaman Damai. Dua remaja yang berada di bawah atap yang sama itu seolah tenggelam oleh pikiran masing-masing. Hingga Eta merasa sudah cukup ia bicara. Cewek itu pun bangkit berdiri dan memakai tas gendongnya dengan cepat. Angkasa mendongak melihat tingkahnya.
"Terserah lo mau nerima tuh hape atau enggak. Yang penting gue udah ada niatan buat ganti," ucapnya tanpa menoleh. Angkasa membuka mulut, hendak menolak kembali, namun urung saat melihat sorot mata Eta yang penuh emosi. Dia pasti marah. "Terserah lo maunya gimana. Lo buang boleh. lo jual lagi terus lo pake uangnya buat beli tipe hape kayak hape butut lo dan ngembaliin sisanya ke gue juga boleh."
Eta setengah berharap Angkasa akan melakukan opsi kedua. Setidaknya, ia tak pelu ngenes di akhir bulan kalau memang Angkasa mengembalikan sisa uangnya.
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Eta lansung berbalik. Memunggungi Angkasa yang tetap duduk termangu di tempat semula. Arah pandangnya menatap lurus ke atas meja. Angkasa tak bermaksud untuk menolak, hanya tak ingin merendahkan harga dirinya yang mungkin menurut Eta memang tak memiliki nilai sama sekali. Sudah cukup ia dihina oleh cewek itu. Angkasa tak ingin Eta merasa seakan bisa merendahkannya bila ia menerima ponsel tersebut.
"Yang! Ayo pulang!"
Masih Eta yang tak tahu sopan santun dan suka berteriak seenak jidat, padahal ini rumah orang! Angkasa mendongak pada sumber suara yang cempreng itu dan mendapati Eta yang sudah berdiri di muka pintu. Masih dengan posisi memungunginya.
Angkasa merasa ada yang salah dengan hatinya. Kenapa ia harus terluka mendengar Eta memanggil Mesta dengan sebutan "sayang"? Toh, mereka pacaran. Jadi wajar-wajar saja seharusnya. Seharusnya, bila Angkasa tak diam-diam mengharapkan cewek manja nan jelita itu.
Beberapa saat kemudian, Mesta keluar dari arah dapur dengan raut yang hampir sama dengan yang Angkasa tunjukkan. Bedanya, Angkasa tampak lebih melas dengan dua sudut bibir tertarik ke bawah.
Tanpa kata, Mesta melewatinya begitu saja. Bagaimana pun, ia kemari hanya untuk mengantar Mentari dan tak berkeinginan untuk berdamai dengan Angkasa yang sudah terlanjur dicap sebagai musuh Kebanggan Bangsa.
"Mereka udah pergi, ya?"
Rinai muncul tepat setelah bayangan Mesta dan Eta menghilang dari arah pandang. Angkasa melirik sekilas pada si penanya sebelum bergumam pelan, "Hmm ...."
"Lo jadi nerima ini ponsel?" tanya Rinai lagi seraya menjatuhkan diri ke sofa butut yang tadi ditempati Eta. Diamatinya lekat wajah Angkasa yang kini terlihat berbeda. Ada mendung yang seolah bergelayut di sana.
"Menurut lo, gue harus gimana?"
"Gimana apanya?" Angkasa menunjuk pada ponsel yang sama sekali belum ia sentuh dalam kardus.
"Kalau emang lo butuh, pake aja."
"Butuh, sih ... tapi, ini soal harga diri, Rin!" Angkasa sungguh tak mengerti pikiran cewek-cewek ini. Mereka dengan mudahnya meminta ia untuk menerima. "Gue udah cukup terhina sama perlakuan Mentari. Sakit hati gue!"
"Ck! Sakit hati nggak bakal bikin lo kenyang, kan? Sakit hati nggak akan ngasih lo hape baru!"
Dalam hati Angkasa membenarkan. Tapi ... tapi ... dia tadi sudah terlanjur nolak. Gengsi dong kalau tidak konsisten sama omongan sendiri? Apa kata Eta nanti bila mereka bertemu dan mendapati Angkasa yang memakai pemberiannya, padahal Angkasa sudah pernah menolak mati-matian!
Bodoh! Angkasa berpikir terlalu jauh, seolah mereka akan bertemu lagi saja. dunianya dan dunia Eta terlalu berbeda. Pertemuan ini pun terjadi karena ada masalah ponsel yang terlindas tanpa sengaja. Setelah ini, mereka tak mungkin punya kesempatan saling bertatap muka lagi. Lebih-lebih, ingat Ang, dia sudah punya gandengan! Seru dewi batinnya. Membuat Angkasa tambah gulana.
"Apa gue jual lagi aja, ya ... terus beli hape yang sama dengan hape gue sebelumnya. Sisa uangnya gue kasih lagi tuh sama si Anu?" Angkasa bertanya penuh antusiasme. Antusias karena ia masih punya kesempatan melihat si cantik tapi cerewet yang sudah berhasil menyita perhatiannya sedemikian rupa. Persetan kalau pun cewek itu sudah ada yang punya, toh Angkasa hanya ingin melihat wajahnya saja. Tak salah, kan?
Angkasa sadar diri, dia ibarat punggguk yang merindukan bulan. Terlihat dekat, namun amat jauh dari jangkauan.
"Yakin mau jual lagi? ini seri baru loh. Ponsel lo yang dulu, sekarang cocoknya dijadiin lemparan tikus, Ang!" Rinai tak ada maksud menghina, hanya sekedar memberi pertimbangan agar Angkasa tak menyesal kemudian. "Udah lemot, RAM kecil, layarnya mini pula. Typo lo parah pake hape itu buat chat tahu, nggak?"
Ck! Kenapa Rinai omongannya benar semua, ya?
"Terus gue mesti gimana ini?"
"Pake!" Rinai menjawab cepat tanpa pikir panjang.
"Tapi, tadi gue udah terkanjur nolak. Gimana kalau Mentari tahu akhirnya hape dari dia gue pake juga? Mau ditaruh mana muka gue?"
"Taruh di depanlah. Lagian, yakin banget bakal ketemu lagi!" Rinai tak mau repot-repot meneyembunyikan nada tak suka dari suaranya. Angkasa mendesah pendek. Ia tidak yakin bisa bertemu Eta lagi, hanya harapannya saja yang terlalu tinggi. Lagi pula memang masih ada kemungkinan, kan? Siapa tahu Bang Sueb minta dibawakan makan siang lagi dan diantar ke tempatnya bekerja?
"Kalau kalian ketemu lagi pun, ngapain si Eta ngelirik-lirik hape lo? Kecuali kalo lo yang mamerin, itu beda lagi!"
Ck, lama-lama, si Rinai mirip sama Mentari. Omongannya itu lho ... pedeesss banget. Apa semua cewek seperti itu kali, ya?
Memikirkan untuk mengambil keputusan nanti, Angkasa berusaha membelok topik pembicaraan. "Lo sama Semesta tadi ngomong apa?"
"Semesta?"
"Cowoknya si Anu."
Ooo ... Rinai mengangguk mengerti. Baru tahu kalau nama orang yang tadi mengekorinya ke dapur. Sebelum ini, Rinai memang tak memiliki keinginan untuk berkenalan atau sekadar tahu nama anak-anak Kebanggaan Bangsa. Tak penting menurutnya. "Nggak ada."
"Kok lama banget?"
"Kami kan, nunggu kalian selesai debat kusir. Males banget denger lo sama si Eta bahas gak penting yang gak ada ujungnya pula."
Angkasa mengembuskan napas pelan. Kembaki melirik kardus kecil di atas meja rendah di hadapan mereka. Dalam hati berharap, semoga suatu saat—entah kapan—dia bisa mengembalikan ponsel itu pada Mentari dengan harga diri utuh.
Dan siapa sangka, momen yang Angkasa harapkan tiba. Ia menemukan ponsel tersebut di laci nakas saat hendak mengembil headset tadi pagi. Dengan kondisi yang masih bagus. Amat sangat layak dipakai.
Tebak ekspresi Eta saat melihat benda ini? Sesuai dengan dugaan Aang. Si berbi ... bengong.
"Ini ...." Mentari menahan oksigen yang baru dihirup, kesulitan melepaskan dalam bentuk karbon dioksida begitu mendapati benda yang saat ini Angkasa sodorkan.
Angkasa mengedik acuh. "Hape yang dulu lo kasih ke gue."
"Kok masih ...?"
"Iya lah," pungkas Aang jemawa, "gue rawat baik-baik tuh hape." Bukan sekadar baik, faktanya, Angkasa memperlakukan benda persegi itu lebih dari berlian.
Sebelum ini, Aang bahkan membungkus ponsel itu dengan silikon tebal untuk menghindari lecet dan melapisi layarnya dengan tempered glass agar tak tergores. "Gih ambil. Udah gue beliin sim baru, kok. Nomor gue juga udah ada di sini. Buat komunikasi jarak jauh kita. Buat nelepon dan sms lancar. Internet juga bisa, tapi ya ... gitu. jaringannya nggak ngedukung four G."
Mentari tampak gamang. Dia menatap sepasang mata Angkasa sekilas sebelum memandang ponsel di tangan lelaki itu. Dadanya mengembang penuh rasa ... aneh.
Sepuluh tahun berlalu, dan ponsel pemberiannya masih sangat terjaga. Mentari merasa ... begitu dihargai.
Udara dingin dari air conditioner mobil Angkasa membikin telapak Mentari menggigil. Ia menelan ludah kelat sebelum mengangkat tangan ragu. Setelah ponsel tersebut sudah ia terima, Eta genggam erat-erat.
"Thanks."
"Nggak perlulah. Itu kan emang hape lo. Tapi, lo harus jaga baik-baik, ya. Sama kayak gue yang jaga."
"Hm."
"Kok, respon lo nggak antusias gitu sih?"
"Oh, eh—" Mentari gelagapan seiring embusan panjang yangia loloskan dari mulut. Kuwalahan mendapat serangan berbagai macam emosi. Oh, ayolah! Eta berusaha menyadarkan diri. Ini hanya ponsel. Ponsel butut. Bukan mutiara. Sama sekali tak berarti. Yah, tiada arti.
Meremas ponsel kian erat, ia balas menatap Angkasa dengan dagu terangkat pongah. "Iyalah! Gimana gue antusias. Lo ngasih gue hape butut kek gini. Nggak modal banget! Beliin baru kek. Kalo ini doang, gimana kalo nanti gue mau buka IG, google, YouTube? Bisa ketingalan berita terkini gue!" Eta menjeda hanya untuk pura-pura mendelik. "Tapi, gapapa deh. Daripada nggak ada kan?" Dia memasukkan ponsel tadi ke dalam tas. Lalu membuka pintu mobil yang sudah teparkir manis di halaman rumah keluarga Wiratmadja. Salah tingkah.
"Hayuk lah. Kita mau ketemu nyokap lo kan? Biar urusan cepet kelar. Gue pengen cepet balik!" Lantas turun dari sedan putih itu.
Angkasa memutar bola mata jengah. Apa yang ia harapkan? Eta terharu? Terkesima? Jelas tidak akan. Si princess wanna be mana mungkin terpesona pada ponsel butut?
Berdecak, ia ikut turun. Mengekori Eta yang melangkah lebih dulu menuju muka pintu yang sedikit terbuka. Setengah meter dari daun persegi yang berdiri kokoh itu, si berbi berhenti. Angkasa di belakangnya memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dengan satu alis terangkat.
"Katanya udah nggak sabar ketemu camer? Kenapa malah berenti di sini? Ayo masuk!"
Mentari meringis. Ia berbalik sembilan puluh derajat hanya agar bisa mendongak pada Angkasa yang menjulang tinggi. Menggigit bibir, ia bertanya pelan, "Kok, gue mendadak degdegan ya, Be?"
⛅⛅⛅
Nyaris 5k kata, Cah!
Muntaber, muntaber deh kalian bacanya😝
Bdw, ini nyambung sama cerita Mesta sama cerita Damai juga.
Di CIL, pas Surya ke tempat jualan Damai, Aang baru pulang sekolah. Karena takut Aang ketemu bapaknya, sama Damai disuruh anterin makanan.
Di JBSR, pas Rinai sama Mesta ngobrol di dapur Angkasa. Di situ Rinai nuding Mesta gay.
27 Mei 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top