20 | Pawang Baginda Ratu Katak

20
Pawang Baginda Ratu Katak
🌤️🌤️🌤️

Angkasa itu sialan. Begitulah menurut pendapat Mentari yang paling benar.

Eta yang mengajukan syarat, Eta pula yang harus turut campur memenuhi syaratnya sendiri. Bukankah ini gila?

Mendapat restu dari Damai dan Rafdi merupakan tugas lelaki itu, tapi kenapa Eta yang ikut repot? Iya, repot. Bagaimana tidak, di Sabtu pagi yang cerah ini, saat ia harusnya bangun jam sepuluh nanti, sekarang malah sudah nankring di sini. Di depan pintu ganda kediaman Surya sekeluarga dengan dandanan rapi.

Rapi dalam arti sebenarnya.

Rok span mocca di bawah lutut. Dan kemeja sifon dengan motif bunga-bunga kecil. Mentari jadi merasa sedang ingin wawancara kerja ketimbang bertemu calon mertua. Angkasa memang sialan (2).

Jangan tanya bagaimana bisa Mentari keluar dari rumah, sudah pasti karena persekongkolan Aang dan adiknya. Rafdi sempat bertanya curiga tadi, tapi Bias yang selicik ular bisa dengan mudah berkelit.

"Aku mau beli bubur sama Kak Eta keluar, Pa," ujar bocah tanggung itu tanpa ekspresi berarti. Alih-alih percaya, Rafdi justru bertambah curiga. Mata birunya menyipit. Menilik penampilan Eta yang tak biasa.

Namun sebelum sepatah kata lolos lagi dari bibir beliau, Bias lebih dulu menambahkan, "Kemarin Kak Eta kalah main kartu remi sama aku. Jadi dia harus ngikutin semua yang aku mau. Termasuk dandan kayak gini."

Mentari mengumpat dalam hati. Alasan Bias tidak bermutu sama sekali. Rafdi sangat mengenal putri sulungnya. Dia tahu segala hal tentang Eta termasuk-

"Sejak kapan Eta bisa main kartu remi?"

"Nah ... justru karena dia nggak bisa main, makanya kalah."

Rafdi medesah. Tak lagi punya alasan mencegah. Ia lirik Eta yang sejak tadi mengerucut miring sambil memperhatikan kutek-kuteknya hanya untuk menghindari bertemu pandang dengan sang ayah.

Eta masih marah lantaran ponselnya disita. Bahkan jadwal kencan semalam Eta lewatkan begitu saja dengan berpura-pura tidur lebih awal.

"Ya sudah. Jaga kakakmu baik-baik. Dan cepat pulang."

"Siap laksanakan, Komandan!" Bias menetapkan badan sembari memberikan hormat ala pemimpin upacara seninan. Segera dia menyeret lengan Eta keluar menuju mobil yang sudah dipanaskan sopir keluarga mereka.

Mang Hadi tersenyum ceria. Membukakan pintu belakang untuk si tuan putri yang pagi ini tampak berbeda.

"Pagi, Non!" Dengan bibir melengkung sempurna, ia menyapa. Dan Eta enggan membalasnya. Dia sedang dongkol setengah hidup.

Mang Hadi yang juga sudah menerima suap, tak ambil pusing. Setelah memastikan sang tuan putri duduk nyaman di kursi belakang, segera ia memutarkan depan mobil dan menempati kursi kemudi. Di susul Bias yang mengambil tempat di sampingnya.

"Seperti yang sudah saya bilang kemarin ya, Mang." Bias memberi instruksi, yang Mang Hadi balas dengan ajuan jempol pasti.

"Siap, Den."

Di ujung gang, sulung Wiratmadja sudah menunggu. Begitu keadaan aman terkendali, Bias menyuruh Eta turun dari Audi hitamnya, dan berpindah ke sedan putih Angkasa.

Yah, seribet itu.

Kesal karena merasa dirinya seperti bola pingpong yang dioper-oper sesuka hati, Eta menghempas kasar bokongnya pada jok penumpang belakang. Lalu menutup pintu mobil Aang dengan kasar menggunakan seluruh kekuatan.

Angkasa yang semula ingin menegur, mendadak bungkam begitu menoleh ke belakang. Bibirnya yang sudah terbuka siap melafalkan kata pertama, berakhir dengan ternganga. Ia bahkan yakin, jika saja bukan ciptaan Tuhan, gerahamnya sudah pasti jatuh ke bawah mengikuti tarikan gravitasi yang bahkan kalah kuat bila dibanding dengan tarikan pesona Mentari.

Gadis itu ... cantik sekali. Tak salah Angkasa melarangnya berdandan pagi ini. Karena wajah Eta yang tanpa make up benar-benar mirip deskripsi tentang rupa bidadari.

Wajah berbentuk hati. Mata bulat bening seperti bayi. Bulu mata lentik. Alis terarsir rapi seperti dilukis. Hidung kecil mancung. Dagu terbelah. Serta bibir tipis kecil sewarna ceri.

Wajah yang sama seperti yang pernah Angkasa temui nyaris sepuluh tahun lalu. Mentari remaja yang mengacaukan aksi tawuran genk sekolahnya dengan SMU Kebanggaan Bangsa.

Iya, tawuran. Batu yang melayang sembarangan di udara. Tongkat kayu bertemu kayu. Aksi saling hantam, pun tendangan yang dilayangkan pada siapa saja yang dianggap lawan.

Siapa sangka gadis semungil Eta yang tampak lemah bisa menghentikannya?

Ya. Itu fakta.

Sepuluh tahu lalu, di bawah terik matahari yang bersinar pongah, Angkasa berada di tengah-tengah perseteruan dua sekolah yang bermasalah. Sekolahnya dan sekolah Semesta.

Lebam di rahang kiri, tak menyurutkan Angkasa untuk terus melawan. Di tangannya terdapat potongan kayu yang dia temukan beberapa saat lalu. Di hadapannya, berdiri seorang siswa kebanggaan Bangsa yang masih bisa menyeringai kendati sudut bibir sudah robek.

Untuk beberapa saat, mereka hanya saling tatap, sedang keributan di sekitar kedua bocah itu seolah menjadi latar musik yang menyenangkan. Beberapa detik berlalu, Mesta-ketua pasukan lawan-yang mulai jengah, memilih untuk melayangkan satu tinju yang berhasil Angkas tangkis. Angkasa kemudian membalas dengan memberikan tendangan yang juga berhasil Mesta hindari. Mereka terlibat dalam perkelahian yang cukup seru sebelum Husni memanggil Angkasa untuk membantu salah satu teman mereka yang nyaris terkapar terkena pukulan dari belakang.

Mesta mendengus, meremehkan. Ia hendak berbalik saat tubuhnya tiba-tiba tersungkur ke depan. Rasa nyeri menjalari sepanjang punggungnya. Menoleh, ia mendapati siswa Maju Terus yang berdiri pongah di hadapannya. Tak ingin membiarkan sang lawan merasa menang, secepat yang dirinya bisa, Mesta bangkit berdiri, memberi balasan tendangan tak terduga pada siswa yang dari name tag-nya bernama Husni.

Dan begitulah seterusnya.

Hingga bunyi sirine terdengar. Memekakkan telinga. Kepalan tinju Angkasa melayang di udara, terhenti sebelum menyentuh objek yang ingin dihajarnya. Tongkat kayu dalam genggaman Rendi terpenting jatuh. Dan Semesta yang tengah menunduk terengah-engah sontak menegakkan tubuh kembali.

Satu detik kemudian, keributan kembali. Bukan. Bukan perkelahian, melainkan upaya melarikan diri. Baik siswa SMA Maju Terus maupun Kebanggaan Bangsa. Segala jenis senjata di tangan, mereka lempar sebelum kemudian lari tunggang langgang demi menghindari razia polisi seiring bunyi sirine yang makin nyaring terdengar. Tak terkecuali Semesta dan Angkasa.

"Sial!" Angkasa, pentolan SMA Maju terus itu melompati pagar SMA Dipetrus dan bersembunyi di baliknya. Sendirian. Teman-teman yang lain entah ke mana. Ponsel Angkasa mati kehabisan baterai. Semoga saja mereka selamat.

Berusaha meredakan napas yang sudah tinggal satu-satu, cowok 17 tahun itu bersandar pada tembok pagar belakang SMA Dipetrus yang sudah sepi. Angkasa tidak tahu sekarang jam berapa, yang pasti raja siang tak lagi berada di puncak kepala. Barangkali sudah menjelang sore.

Setelah lelahnya mereda, ia mendekatkan telinga ke tembok. Berusaha mengupingi apa pun yang terjadi di luar sana.

Dan satu-satunya suara yang tertangkap indra pendengarannya hanya bunyi sirine yang kian mendekat dengan volume yang lebih nyaring. Angkasa mulai waspada. Tetapi saat bunyi tersebut dimatikan begitu saja tanpa suara lain setelahnya, ia pun mulai curiga. Terlebih, Angkasa merasa bunyi sirine tadi berada tepat di balik tembok tempatnya bersembunyi.

Ada yang aneh, pikirnya sembari berdiri. Menjulurkan tangan ke atas tembok, kemudian mengangkat sedikit tubuhnya. Sebatas agar bisa melihat apa yang terjadi di balik beton.

Dan benar saja. Bukan mobil patroli polisi yang Angkasa dapat. Melainkan seorang gadis berseragam kotak-kotak merah hijau yang berdiri di sana.

"Fyuuhh ...." Gadis itu mengusap titik-titik keringat yang mengalir dari pelipis. Melihat langsung aksi tawuran dengan mata kepala sendiri, barangkali membuatnya takut. Beruntung ia tidak ketahuan atau terkena lemparan batu.

Setelah memastikan bahwa anak-anak yang tadi tawuran sudah pergi, cewek itu membalik badan. Siap melangkah menuju jalan raya yang berada dua ratus meter dari tempat ini.

Namun, Angkasa bukan jenis manusia yang terlalu baik hati. Dia tak akan melepas siswi Kebanggan Bangsa yang telah mengacaukan perkelahian antar sekolah ini.

Menguatkan tumpuan pada tangan, Angkasa menaikkan satu kaki menjejak tembok, kemudian menghentak tubuhnya hingga terangkat. Berjongkok di atas beton sebelum melompat turun.

Gadis yang tadi sudah hendak melangkah, menghentikan gerak kakinya begitu mendengar bunyi sepatu Angkasa yang beradu dengan bumi. Secepat yang dirinya bisa, ia menoleh. Ekspresi terkejut kelewat imut itu tak akan pernah Angkasa lupakan sepanjang usia.

Mata bulat yang melotot lebar. Bibir mungil yang ternganga, serta tarikan napas tajamnya. Persis kucing. Lucu.

"Jadi?" Angkasa bersedekap. Mengangkat satu alis. Menatap sang lawan bicara dari ujung kepala hingga kaki.

Secara keseluruhan ... dia cantik. Oh, tidak. Sangat cantik. Imut. Manis. Duh, Angkasa bisa batal marah kalau model perempuannya seperti berbi.

Rambut cokelat panjang yang diikat dua tinggi-tinggi. Hidung kecil mancung. Bibir tipis yang mengerucut lucu berwarna pink pucat tanpa sentuhan lip glos. Tulang pipi tinggi dan sedikit tembam. Serta bagian yang paling menarik perhatian ... mata biru.

Fix, dia benar-benar berbi versi dunia nyata! Dan si berbi yang dua tangannya memegang ponsel serta mini megaphone di tangan yang lain itu melangkah mundur perlahan. Tampak gentar. Barangkali ekspresi wajah yang Angkasa setel terlalu sangar. Terlebih tinggi badannya yang nyaris mencapai angka 180 centimeter, pastilah mengintimidasi cewek pendek ini.

Berdeham, Angkasa mengubah ekspresinya menjadi lebih ramah. Tangannya yang bersedekap ia turunkan ke sisi tubuh dan disurukkan ke dalam saku celana abu-abunya.

"Lo yang ngebunyiin sirine, kan?"

"L-lo ... si-siapa?" Alih-alih menjawab, dia balik bertanya. Barangkali sadar berbohong atau pun menjawab jujur sama-sama percuma. Dua barang bukti ada di tangannya.

Alis Angkasa makin tinggi terangkat saat melihat si berbi membuang mini megaphone begitu saja ke tanah seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku. Lalu memasang gerakan seperti ... kuda-kuda?

Oh, sejak kapan ada kuda-kuda macam itu?

Angkasa nyaris menyemburkan tawa. Posisi kuda-kuda yang dilakukan cewek di depannya sudah tentu salah. Angkasa bahkan yakin, cewek itu hanya pernah melihat posisi yang kini dilakukannya dari televisi.

Menyedihkan.

Lihat saja tangannya yang yang diposisikan seperti orang sedang memegang stang motor, juga sepasang kakinya yang gemetaran. Angkas jadi khawatir, cewek ini akan pipis di celana saking takutnya. Tapi, upayanya untuk memberikan perlawanan patut diacungi jempol. Jempol terbalik maksudnya. Sebab dengan sekali pukul saja, Angkasa yakin dia akan langsung pingsan. Sayang, Angkasa tak sejahat itu.

"Gue ...," Aang menunjuk pada dada kirinya, di mana sebaris name tag melekat di sana. "Angkasa." Pemuda tanggung itu kemudian melirik ke dada kiri sang lawan bicara. Satu alisnya yang lain ikut naik. Dengus remeh menyusul kemudian seraya bergumam, "Mentari, ya ...."

Eta tahu itu bukan jenis pertanyaan, melainkan pernyataan menghina yang sukses membuat kemarahannya tersulut. Lelah dengan posisi kuda-kuda yang sama sekali tak membantu, ia menegakkan tubuh kembali dan balas bersedekap dada.

"Kenapa dengan nama gue?!"

"Enggak co-cok!" Angkasa menggeleng dramatis dan memasang tampang prihatin. Diam-diam memerhatikan wajah imut Eta yang sedang merengut. Juga sepasang mata biru yang luar biasa menawan.

Manis.

Ugh, sudah berapa kali Angkasa memuji?

Sayang, dia anak Kebanggaan Bangsa. Ah, terlalu banyak kata sayang untuk cewek ini.

"Sialan lo!" Eta berteriak pada anak dari sekolah miskin yang telah menghina namanya terang-terangan. Ia maju, hendak melepaskan tinju pada wajah Angkasa yang memiliki beberapa lebam kebiruan di beberapa bagian, tapi gagal. Kepalan tangan mungil itu berhasil Angkasa tangkap dalam genggamannya.

"Apa semua anak dari Kebanggan Bangsa emang pengecut banget ya, sampe mereka nyuruh cewek lemah kayak lo menginterupsi perkelahian tadi?" Aang mengempas tangan mungil Eta-yang entah mengapa terasa pas dalam genggamannya-ke udara. Cewek itu sempat meringis sakit sebelum kembali menunjukkan taring yang tak sempurna.

"Gue bukan cewek lemah!" teriaknya cempreng, berhasil menyakiti gendang telinga Angkasa yang masih berdengun karena tadi terkena pukul di bagian rahang atasnya cukup keras. "Dan gue ngelakuin itu atas dasar inisiatif gue sendiri!"

"Kenapa? Enggak mau cowok lo terluka?"

"Kalo iya, emangnya kenapa? Masalah buat lo gitu?" Berkacak pinggang, Mentari mendongakkan kepala sok berani. Laki-laki di hadapannya tinggi sekali. Ia bahkan hanya sampai pundaknya. Sial! Muka bule dan tubuh mini sama sekali bukan perpaduan yang cocok. Sayangnya, tulang Mentari lebih menuruni gen sang ibu, pribumi asli yang rata-rata memang bertubuh pendek.

"Oh, jelas! Kalian main curang namanya!" cela Angkasa terang-terangan. Mendengar pengakuan bahwa si berbi sudah memiliki pacar, membuat sesuatu dalam dirinya bergejolak. Kenapa gadis manis selalu ada yang punya? Sedang Angkasa yang tampan masih menjomlo sampai sekarang. Satu-satunya perempuan yang dekat dengannya hanya Rinai yang setengah Adam.

"Bodo! Lagian, tawuran itu ilegal tahu! Dilarang. Nggak boleh! Kalo ketangkep polisi beneran gimana? Masih sekolah kok kerjaannya udah kriminal. Emang lo nggak mikir, gimana seandainya ada yang kena lemparan batu di kepala. Terus luka. Parah. Sampe amnesia atau malah mati. Emang kalian mau tanggung jawab? Bayar biaya rumah sakit aja belum tentu bisa, apa lagi sok-sokan mau balikin nyawa!"

Dan Angkasa ... cengo luar biasa.

Cewek ini bicara apa, sih?

Siapa yang amnesia? Siapa yang mati?

Uh, oh. Cantik-cantik mulutnya tumpah-tumpah juga. Berbeda dengan ekspresi ketakutannya tadi yang tampak lugu, ternyata Mentari Anugerah ini luar biasa cerewet.

Maju selangkah, Angkasa berkata, "Denger ya, Nu, gue-"

"Nu? Maksud lo?"

"A-N-U Gerah." Angkasa mengeja. Kembali menunjuk deretan nama di dada kiri Mentari. Membuat si berbi makin merengut. Alih-alih tampak jelek, dia malah tambah imut. Angkasa jadi membatin, pasti Tuhan sedang bahagia sekali saat menciptakan mahluk yang satu ini.

"Denger ya, nama gue Mentari Anugerah. Anugerah tanpa spasi. Kali aja lo belum bisa lancar baca. Dan cukup panggil gue Eta. E-T-A. E Te A. Denger itu kuping?" Volume Mentari meninggi, membikin Angkasa meringis lagi. Suaranya benar-benar tidak cocok dengan wajah imut dan tubuh mungil. Anehnya, Angkasa suka. Dia lucu. Juga sedikit sombong.

"Terus, bagian mana yang salah kalo gue maunya panggil Anu? Itu masih bagian dari nama lo, kan? Yang nggak cocok tuh kalo dipanggil Eta. Jauh banget. Nyomot nama panggilan di mananya emang?"

Mentari menggeram makin kesal. Ia menghentak-hentakkan kaki keras. "Tau, ah! Kesel gue sama lo. Terserah lo mau manggil gue apa. Toh, kita nggak bakal ketemu lagi. Bhay!" Lalu berbalik pergi dengan langkah lebar-lebar. Meninggalkan mini megaphone yang masih tergeletak nelangsa di tanah.

Angkasa tak lagi menghalanginya. Membiarkan cewek bertubuh mungil dengan rambut sepinggang dan poni pagar itu berlalu. Si manis yang beberapa saat lalu cukup menarik perhatiannya.

Mentari ....

"Kita beneran mau ketemu bunda lo apa bengong di sini, sih? Kalo nggak jadi, gue balik ke mobil Bias nih! Balik ke umah lagi aja sekalian." Eta menatap Angkasa jengkel. Dua tangannya terlipat di depan dada. "Gue bahkan masih ngantuk! Belum sempet ngasih makan para kucing juga!"

Angkasa mengerjap sekali. Suara cempreng Eta sukses mengembalikan kesadarannya yang sempat berkelana. Berdeham pelan, ia kembali menoleh ke depan. Berusaha menghindar dari bidikan mata biru Eta yang begitu berkilau. "Gue bukan sopir. Pindah ke depan, Nu!"

"Lo udah terlalu banyak ngatur gue. Untuk kali ini gue nggak mau!"

"Pindah, Nu!"

"Nggak!"

"Pindah!"

"Sekali lagi lo nyuruh gue pindah, gue pindah beneran nih ke mobil Bias."

"Inget perjanjian kita!"

"Apa hubungannya coba?!"

"Gue calon imam lo, kan? Jadi sebagai calon makmum, lo harus ikut apa kata gue." Angkasa melirik Eta yang melotot dari kaca spion depan. Tak memberi Eta pilihan.

Di bangku belakang, gadis itu menggeram kesal. Menghentak-hentakkan ujung runcing heelsnya ke dasar mobil, ia membuka pintu kasar. Keluar dengan wajah dongkol dan pindah ke bangku sebelah Angkasa yang menyambutnya dengan senyum kemenangan.

Di mobil lain, Bias memerhatikan dengan kening berkerut dalam. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Kenapa, Den?" tanya Mang Hadi bingung mendapati tingkah putra sulung sang majikan yang tampak begitu serius menatap mobil Angkasa.

"Kak Eta aneh."

"Aneh kenapa, atuh?"

"Sejak kapan dia bisa diperintah begitu banyak? Mama aja nggak pernah berhasil ngatur dia," gumamnya, bukan untuk menjawab pertanyaan Mang Hadi, tapi lebih kepada dirinya sendiri. "Bahkan dia mau duduk di depan? Padahal biasanya dia lebih suka berlagak kayak ratu dengan duduk di belakang," Bias mengembuskan karbon dioksida kasar dari mulutnya yang menganga, "kecuali yang nyetir itu Papa atau ..." dia menarik napas, menolak percaya dengan apa yang tampak di depan mata, "... Bang Ta."

Mungkinkah Baginda Ratu Katak sudah menemukan pawangnya?

🌤️🌤️🌤️

24 Mei 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top