19 | Senjata Rahasia

19
Senjata Rahasia
🌤️🌤️🌤️

Selama hidup, Angkasa selalu menjadikan Damai sebagai panutan. Perempuan itu berjiwa besar, sabar, lembut dan tegas di saat bersamaan. Hanya saja, sifat-sifat tersebut tak lagi berlaku bila ada sesuatu yang menghawatirkan menimpa anak sulungnya.  Angkasa bahkan teramat yakin, Damai jauh lebih sayang ia daripada Meda. Barangkali karena Angkasa tumbuh besar di lingkungan yang berbeda dan dengan kondisi penuh perjuangan di masa lalu.

Angkasa sudah terlanjur berjanji pada dirinya sendiri, ia akan selalu membuat Damai bahagia. Apa pun yang terjadi. Karena Damai adalah surganya. Cinta pertamanya. Sosok wanita yang teramat dikaguminya.

Namun, begitu Angkasa mengenal cinta yang lain, ia menyadari sesuatu. Damai memiliki saingan baru. Hati Angkasa tak lagi terisi satu. Meski ia yakin, bila nanti jalan untuk memperjuangkan Mentari tak semulus yang diharapkan, pada akhirnya ia tetap akan lebih memilih Damai. Tapi selama masih bisa berjuang membuat dua wanita itu dekat, tak ada alasan bagi Angkasa untuk menyerah.

Damai pernah menyukai Eta dulu. Saat si manja masih menjadi tunangan Semesta. Hanya konflik keluarga mereka yang menjadikan semuanya kian runyam. Serta kenyataan bahwa Damai terlalu menyayanginya.

Memutuskan ingin menyelesaikan permasalahan mereka secepat mungkin, kini di sinilah Angkasa berada. Berdiri di depan pintu ganda rumah Surya yang tertutup rapat.

Menekan bel dua kali, ia memasukkan satu tangan ke saku celana jins biru pudar yang ia pinjam dari Rendi, karena semalam ia bahkan tak sempat membawa baju ganti.

Tak butuh terlalu lama menunggu, daun pintu jati berukir persegi di depan sana mulai berayun pelan. Kemudian terbuka seluruhnya. Menampilkan sosok Damai yang tampak sayu dengan daster rumahan dan kerudung instan.

Begitu tatapan mereka bertemu, Angkasa langsung memasang cengiran andalan. Dengan riang ia menyapa, "Assalamualaikum, Bunda!"

Damai mematung sejenak. Menatap seseorang di hadapannya lebih intens. Meneliti dari ujung kaki berbalut sandal jepit hingga puncak kepala dengan rambut tersisir rapi ke belakang.

Melihat dari celana dan kaus abu-abu polos yang Angkasa kenakan sedikit kekecilan, Damai sudah bisa menebak. Putranya meminjam baju Rendi.

"Semalem nggak ketemu Bunda, beneran bikin kangen, tahu! Sini peluk dulu." Angkasa merentangkan kedua tangan. Siap merengkuh tubuh mungil Damai. Namun, kemarahan sang ibu ternyata tak begitu mudah luntur. Alih-alih balas memeluk, Damai justru melangkah mundur. Kemudian berbalik dan kembali masuk ke area dalam rumah. Sama sekali tak mengacuhkan Angkasa. Pun tak menyuruh pergi.

Menurunkan tangan-tangannya kembali ke sisi tubuh, Angkasa mendesah. Bundanya masih marah.

"Bunda ...." tapi, Angkasa tak akan menyerah, "anak pulang harusnya disambut, dong!" Ia mengekor seperti anak ayam. Ikut masuk ke ruang Makan yang sepi. Mungkin Semesta dan Rinai sudah pulang. Hanya ada Meda yang duduk di salah satu meja makan dengan mulut belepotan meses. Donat dalam genggamannya tak lagi berbentuk bulat, serpihannya sukses mengotori lantai.

Gemas, Angkasa mencubit pipi gembul bocah itu keras-keras. "Makan mulu. Nanti gendut, loh!"

"Bundaaaa ... Bang Sa nacal!" pekik Meda kesal sembari menghapus bekas cubitan Angkasa di pipinya sambil mengerucut.

"Ngadu aja, ngadu." Angkasa makin jadi menggoda adiknya yang lebih nakal ketimbang anak setan. "Bunda nggak bakal marah sama Abang. Bunda kan lebih sayang Abang daripada Meda. Bleeee ...." Dia membungkuk hingga kepalanya nyaris sejajar dengan si bungsu, kemudian menjulingkan Mada dan meletakan lidah untuk menggoda bocah itu.

Meda yang mulai marah, menusuk hidung si abang dengan jempol dan menghantamkan sisa donat di tangannya ke kening Angkasa yang seluas lapangan. Sukses besar membuat laki-laki itu memekik. Kaget dan ... sesak. Terlebih serpihan donat yang menempel di ujung kuku Meda tak sengaja ia hirup. Membikin ia terbatuk-batuk sambil memukul dada pelan berulang kali.

Ingatkan Angkasa untuk tidak pernah menjahili adiknya yang sesemok Viona—istri Sherk. Jempol meda sama besar dengan telunjuknya. Dan menusuk jauh ke dalam lubang hidung Angkasa, kemudian menekan keras tulang lunak di sana. Perih, Jenderal. Terlebih, lubang hidup Angkasa tergolong sempit, seukuran ujung jari kelingkingnya saja.

"Gimana, Bang? Enak nggak donat dicicip paket hidung?" Si bocah setan mendongak. Menatap kakak tertuanya yang sedang mendengus keras berusaha mengeluarkan segala sisa kotoran yang barangkali terbawa bersama masuknya telunjuk Meda ke hidungnya keluar. Kecuali secuil serpihan donat yang kini sudah mendarat sempurna di tenggorokan dan tak sengaja tertelan.

"Dasar tuyul! Sakit tahu!" bentak Angkasa berang. Ia melotot pada Meda yang bukannya merasa takut, tapi malah melengos sembari mengambil donat baru dari piring kaca di atas meja.

"Bang Sa tubit-tubit pipi Meda. Sakit, tau!"

Angkasa menggeram. Sudah akan mengangkat tangan untuk mencekik Meda yang menyebalkan. Namun benturan keras di meja menghentikan niatnya.

Menoleh, Angkasa dapati Damai meletakkan segelas air di hadapannya. Tanpa kata. Kemudian, kembali berbalik dan lanjut membereskan meja makan.

Serta merta, kedongkolan Angkasa pada Meda langsung sirna. Ia menarik salah satu kursi kayu berpelitur hitam di dekat adiknya. Duduk tenang sebelum menandaskan air putih pemberian Damai.

Setelah merasa mulai tenang, ditatapnya punggung Damai dari balik meja. Wanita itu sedang merapikan isi kulkas yang selalu berantakan.

"Bunda, maaf tentang semalam," ujar Angkasa sambil mencomot selembar tisu dari atas meja dan menghapus jejak mentega serta meses dari keningnya.

Yang diajak bicara tak menyahut. Beliau membuka kotak sayur. Memilih wortel untuk dimasak sebagai menu makan siang nanti.

"Aku nggak ada maksud bikin Bunda malu. "Aku cuma—"

Buk!

Pintu kulkas Damai tutup kasar. Semua bahan yang tadi diambilnya, dimasukkan ke bak bulat untuk dibersihkan ke wastafel.

"Ayolah, Bun. Berhenti marah. Janji deh, aku bakal lakuin apa pun asal dapet maaf dari Bunda."

Gerakan tangan Damai yang hendak menekan keran terhenti. "Apa pun?" ulangnya. Yang Angkasa angguki penuh antusiame.

"Apa pun."

"Datangi kediaman Pak Richard. Minta maaf dan katakan kalau kamu bersedia melanjutkan perjodohan."

"Apa?" Mata Angkasa membulat. "Bunda, aku—"

"Nggak bisa, kan?" Damai menekan keran sekuat tenaga. Bunyi air yang mengalir deras terdengar memenuhi ruang makan yang menyatu dengan dapur bersih. Seolah tanda dari Damai bahwa pembicaraan mereka tak dapat dilanjutkan lagi.

Mendesah, Angkasa mengeratkan genggaman pada gelas panjang yang isinya tersisa separuh. Mengedip sekali, ditatapnya kembali punggung Damai yang menghadap dinding kaca di salah satu sisi dapur. Masih sibuk mencuci sayur. Bahu wanita itu tampak lunglai tak sekokoh biasanya. Angkasa juga sempat melihat mata Damai yang merah dan agak bengkak. Apa beliau menangis semalam? Memikirkannya saja sudah berhasil membuat ulu hati Angkasa serasa ditikam.

"Bunda, aku nggak cinta sama Cantika," ujarnya kemudian. Mendengar nama Cantika disebut, Meda yang asyik mengunyah donat di sampingnya menoleh dengan tatapan mata bulat menggemaskan.

"Meda cinta sama Te Tika."

Masih merasa dongkol pada si bungsu, Angkasa tak menggubrisnya.

"Cinta bukan syarat sah pernikahan." Damai menyahut tak acuh. Disusul bunyi keran air yang mulai memelan hingga menghilang seluruhnya. Damai mengeringkan tangan sebelum berbalik. Melangkah menuju kichen island dan meletakkan sayur-mayur yang sudah bersih di sana.

"Tapi tanpa cinta, sebuah rumah tangga kemungkinan besar nggak akan bertahan lama."

"Siapa bilang?" Damai mendongak. Menghunus Angkasa dengan tatapan tajam. Kobar amarah jelas tampak dari sepasang telaga bening itu.

"Nggak ada yang pernah bilang sama aku." Tanpa gentar, Angkasa balas menatap ibunya. "Aku cuma berkaca dari pengalaman. Dan aku nggak mau masa lalu kembali terulang."

"Angkasa!"

"Bunda!"

Damai mengembuskan napas kasar dari mulut. Ia mendongak, menatap langit-langit dapur dengan pandangan nyalang sebelum mengangguk-angguk putus asa. "Bunda sudah berusaha mencarikan kamu yang terbaik. Kalau pada akhirnya kamu menolak, Bunda bisa apa?" Beliau kembali berbalik. Mengambil baskom kecil berisi ikan di dekat kompor untuk ikut dibersihkan. Pisau di tangan kanannya ia genggam erat sebagai penyalur rasa sakit atas perlawanan Angkasa.

"Eta gadis yang cukup baik. Dia memang agak ceroboh dan bodoh, tapi hatinya tulus. Kenapa Bunda nggak bisa terima dia?"

"Kamu masih nanya setelah tahu apa yang ayahnya lakukan pada Semesta?" Damai bertanda sarkas tanpa menoleh. Bunyi air yang mengalir deras dari keran kembali terdengar. Dan entah kenapa, saat ini Angkasa benci sekali mendengarnya.

"Semesta pantas dapat pelajaran dari Om Raf! Dia udah menghianati Eta."

"Eta yang membatalkan pertunangan mereka."

"Karena Bunda nggak tahu apa yang Mesta lakuin di belakang Eta. Bahkan di depan mata Eta sendiri."

"Benar. Yang Bunda tahu hanya dia yang nggak pernah mencintai kamu."

Angkasa mengangkat gelas tinggi dalam genggamannya. Menghabiskan sisa air mineral di dalam sana sebelum kemudian bangkit berdiri. Semalam ia tidak bisa tidur dengan nyenyak, dan kini matanya mulai memberat.

Meletakkan gelas tadi kembali ke atas meja, ia berkata, "Seperti Bunda yang berhasil mencuri hati Papa, aku janji bakal bikin Eta balik cinta sama aku. Dan aku juga janji bakal bikin Bunda ikut jatuh hati sama dia." 

Menjambak rambut Meda yang diikat di bagian puncak kepala, Angkasa bergegas pergi sambil tergelak mendengar gerutuan adiknya yang luar biasa nakal. Tak berminat memperpanjang perdebatan dengan Damai. Ini baru awal, dan perjuangan Angkasa baru dimulai. Untuk saat ini, ia rindu kasurnya.

🌤️🌤️🌤️

Angkasa membuka pintu kamar sambil menguap lebar. Matanya menyipit, melirik jam digital di ponsel yang ternyata sudah pukul sepuluh pagi. Ini Rabu, dan Angkasa membolos kerja. Toh, Surya pasti mengerti keadaannya yang tengah kacau pasca pembatalan pertunangan kemarin.

Menutup pintu kamar kembali, ia berbalik. Melangkah ringan menuju ranjang yang membentang di tengah ruangan. Siap melompat ke atas sana hingga tubuhnya terpantul.

Tapi, tidak dulu.

Angkasa melirik jendela balkon. Hatinya sedikit gamang. Bingung juga. Semalam Eta mengirim pesan WA. Tapi begitu ia menelpon, malah terabaikan. Padahal sungguh, Angkasa ingin tahu apa yang terjadi padanya hingga Rafdi mengancam akan mengirim gadis itu kembali ke Singapura.

Ah, hanya Singapura. Jaraknya tak sampai dua jam perjalanan udara dari Jakarta. Ada pesawat yang masih bisa menyatukan mereka.

Mengetukkan jempol kaki ke lantai beberapa kali, pada akhirnya Angkasa memilih berbelok menuju jendela. Disingkapnya tirai tebal itu. Membiarkan sinar matahari yang tampak gagah di langit sana memasuki ruangan hingga mendadak terang seketika. Dan makin terang saat Angkasa membuka pintu balkon juga.

Desah napas kecewa laki-laki itu tertembus kasar begitu mendapati balkon sebelah yang kosong. Tentu saja. Hari ini sang raja siang bersinar terik. Mana berani Mentari membiarkan kulitnya tersapa manis oleh sinar UV. Gadis itu biasanya berada di balkon hanya saat pagi, sore, dan terkadang malam hari.

Memutuskan untuk melanjutkan tidur, ia pun berbalik. Namun baru mengambil tiga langkah menjauhi birai, sesuatu yang keras mendarat di belakang kepalanya. Amat keras hingga Angkasa bahkan yakin kepalanya akan benjol.

Menoleh untuk mengumpati siapa pun mahluk yang berani mengganggu, ia justru menemukan si mimi peri versi bidadari yang tercengir kuda di balkon seberang.

Eh, wait.

Eta!

Angkasa melotot antusias. Ia spontan melambaikan tangan. Hendak menyapa Eta dengan oktav tertinggi, tapi baru menyebut kata "Me—" gadis di seberang balkon sudah lebih dulu menempelkan jari telunjuk ke bibir. Membikin Angkasa praktis mengatupkan bibir kembali.

Setelah dirasa Angkasa mengerti isyarat yang ia berikan, Eta menunjuk-nunjuk ke lantai. Dengan kening berkerut, Aang menunduk dan menemukan gumpalan kertas tak jauh dari tempat ia berdiri.

Kening Angkasa makin dalam berkerut. Ia melirik Eta sekilas sebelum membungkuk demi mengambil gumpalan kertas tersebut.

Berat?

Angkasa membukanya. Mata dan mulut Angkasa praktis membulat bersama begitu menemukan sesuatu dalam kertas itu.

Batu?

Demi Tuhan ini ... batu? Dengan diameter kira-kira tiga belas centil. Pantas saja kepala Angkasa kalau sampai benjol. Mentari memang ... tega.

Menatap Eta yang masih terdengar dengan penuh dengki, Angkasa amenganbil batu tadi dan membuka selembar kertas HVS berisi beberapa deret kalimat, "Hp gue disita." Di ujung kalimat pertama ada emot menangis.

"Tadi pagi Padi cek hp gue. Gue kan nggak tahu kalo ada riwayat panggilan dari lo. Sama riwayat chat WA yang lupa gue hapus. Jadinya gitu, deh. Gimana dong, Be?" Emot berkaca-kaca.

Angkasa mengangkat dagu. Tatapannya langsung beradu dengan si gadis dungu yang menunggu tanggapannya di balkon seberang.

Aang memandang Eta nelangsa.

Disita, ya?

Setelah diancam akan memulangkan Mentari ke Singapura, kini Rafdi mengambil pula ponselnya.

"Gimana?" Eta menggerakkan bibir tanpa suara sambil mengangkat bahu penuh tanya. Membikin Angkasa ikut bingung. Bingung, bagaimana cara menjawab pertanyaan Eta kalau gadis itu tanpa alat komunikasi dan ia pun harus menjaga intonasi?

Ah, ya. Aang punya ide. Mengambil kertas karton sisa di dalam kamar, ia tulis huruf besar-besar menggunakan spidol. Kemudian kembali ke balkon dan membentangkannya pada Eta.

TUNGGU 10 MENIT!

Setelah memastikan Eta mengerti, Angkasa kembali berbalik. Turun ke lantai bawah. Menuju tempat sampah dapur. Mengobrak ambriknya hingga menemukan sebuah kaleng bekas susu.

Tinggal satu lagi.

Angkasa bergegas ke arah kulkas. Mengambil kaleng susu lain yang masih berisi setengah. Menuangkan seluruh isinya ke dalam mangkuk kosong.

Bi Rum yang melihatnya menatap bingung. "Mas Aang ngapain? Kenapa susunya dituang?"

"Butuh kalengnya, Bi."

"Tapi, nanti Nyonya marah."

"Makanya Bibi jangan bilang-bilang." Dirasa kaleng sudah kosong, Angkasa memasukkan mangkuk yang dipakainya ke dalam kulkas. Ia menoleh pada Bi Rum dengan senyum penuh persekongkolan.

"Tolong minta Mang Dirman lubangin bagian atasnya ya, Bi. Terus cuciin. Saya mau cari benang."

"Buat apa sih, Mas?"

"Senjata rahasia, Bi."

🌤️🌤️🌤️

"Gimana?"

Eta memberengut. Ia menjauhkan kaleng bekas susu yang masih bau itu dengan gerakan jijik. Eta bahkan hanya memegang benda itu menggunakan ujung jari telunjuk dan jempol.

Menatap sangsi, ia mendekatkan bibir kaleng hingga menutupi seluruh mulutnya dengan menahan jijik setengah mati.

"Demi Tuhan, Be! Lo nggak ada ide lain apa?!" pekiknya.

Iya, mereka berkomunikasi dengan telepon kaleng. Setelah sulung Wiratmadja memintanya menunggu, dia kembali dengan benda ini. Melempar ke balkon Eta dengan memberikan pemberat batu yang tadi ia gunakan pembungkus suratnya. Setelah tiga kali percobaan, barulah alat komunikasi kuno itu mendarat sempurna di lantai balkon kamar Eta.

"Seumur-umur, gue nggak pernah nyangka kalo di jaman serba canggih ini gue masih harus pake beginian! Mana amis lagiiiiii ...."

Di seberang sana, Angkasa tergelak. Sama sekali tak merasa tersinggung dengan ekspresi enggan Eta atas hasil karyanya yang membutuhkan waktu lebih dari sepuluh menit. Hampir setengah jam. Eta yang menunggu sampai cemberut berat. Terima kasih kepada Robert Hooke dan Polymath karena telah menemukan alat sejenius ini, yang bisa digunakan di saat-saat genting. Teramat genting.

"Gapapalah. Yang penting sekarang udah bisa denger suara gue yang serak-serak basah lagi, kan?" godanya.

"Serak-serak becek! Jijay, deh!"

"Daripada pake kertas batu? Yang ada belum selesai ngomong, kita udah babak belur."

Mentari memutar bola mata malas. Ia menyeret kursi satu setengah meter di belakangnya, lalu menjatuhkan bokong di sana. Lelah juga berdiri lama-lama. Memosisikan jarak agar benang tetap tegang agar komunikasi dengan alat kuno mereka bisa berjalan lancar, ia berkata, "Jadi gimana? Ponsel gue di sita."

"Ya, kan bisa pake ini."

"Ya kalo tiap mau ngomong harus pake beginian, terus pas gue keluar, atau lebih yang keluar, gimana komunikasi kita?"

"Ciyeeee ... yang ternyata pengen terus komunikasi sama gueeeee ...."

Sial! Mentari mengerang di seberang sana. Ia mengepalkan tangan, membuat isyarat hendak memukul Angkasa. "Serius!"

"Ya mau gimana, Ta? Kita harus bikin jadwal ketemu di sini buat komunikasi rutin. Lo masih bisa keluar rumah, kan?"

"Masih. Tapi harus sama pengawal."

"Pengawal?" Sisa-sisa tawa Angkasa mendadak lenyap. Ia menatap Eta pias. "Om Raf nyewa bodyguard buat lo, Nu?"

"Bias, noh!" sahut Eta ogah.

"Oh, Bias!" Tanpa sadar Angkasa mendesah lega. "Adik lo yang satu itu mah gampang. Dia kan mata duitan. Sama kayak lo."

"Mulut lo, ya!"

"Becanda, Sayang."

"Iyuh!" Eta pura-pura muntah. Menatap Angkasa geram. "Jangan panggil gue sayang!"

"Terus apa dong? Calon istri?"

"Beeeee ...!"

"Calon istri. Calon istri. Calon istri."

"Gue masuk kamar, nih!"

"Eh, eh, eh ... nggak mau dibilang calon istri, tapi udah ngajak masuk kamar. Gimana, sih?"

Eta mengangkat kaleng susu tinggi-tinggi. Mengancam membuang benda itu kalau Angkasa masih keras kepala menggodanya. Membuat Angkasa kembali tergelak. Tapi, akhirnya mengalah juga. Ia mengangkat tangan tanda menyerah yang Eta balas dengan delikan. "Oke, sekarang gue serius. Sekarang denger baik-baik."

🌤️🌤️🌤️


A

ngkasa
Bi,

Bias
Yoi?

Angkasa
Boleh minta tolong?

Bias
Apa dulu nih?

Angkasa
Bantu gue jadi sama kakak lo dong😉

Bias
Mmm ... tergantung

Angkasa
Tergantung apa?😒

Bias
Lo tahu kan, Bang, semua hal di dunia ini tuh nggak ada yang gratis!

Angkasa
To the point aja kali. Lo mau berapa?

Bias
🤣🤣🤣
Gue suka banget kerja sama bareng lo, Bang!!!

Angkasa
Jadi?

Bias
Gue pasang tarif sesuai, sih. Tergantung dari jenis jasa yang lo butuh. Di sini, lo butuhnya jasa biar jadi sama kakak gue. Yang kalo semua berjalan lancar, lo bakal bisa milikin dia selamanya.

Angkasa
Jangan berbelit-belit, deh!
Berapa?

Bias
Hp gue udah jadul. Minta yang terbaru dong.
Merk apel kegigit monyet itu loh.
Yang XS MAX 512
Nggak mahal-mahal banget, kan?

Angkasa
Lo gila?!
Itu mahal banget, bocah!

Bias
😒🤨😑
Yang lo mau bahkan sama sekali belum setimpal kalo dibanding kakak gue.
Biar gitu-gitu, kakak gue tersayang, tuh!

Angkasa
Oke, tapi merk lain dong.
Siomay?
Pipo?

Bias
Sori, Bang. Gue sukanya sama yang digigit-gigit.
Lagian, lo medit banget sih?

Angkasa
Harus banget yang XS Max?
XR deh
Toh sama-sama merk kegigit juga

Bias
Harga nggak pernah boong, Bang. Spek-nya beda

Angkasa
Gue aja pake hp China, Bi!

Bias
Medit sih lo. Sama diri sendiri aja segitunya.
Ya, tapi terserah Bang Sa, sih.
Gue nggak maksa.
Toh, kalo nanti Katak jadi perawan tua, gue bakal dapet warisan paling banyak dari Papa kalo sedia nampung dia

Angkasa
Fine!
Tapi, bakal gue kasih setelah beneran kakak lo jadi bini gue, ya!

Bias
Elah, Bang. Keburu keluar yang lebih mahal dan lebih baru dong.

Angkasa
Makanya lo bantu gue deketin Om Raf juga biar cepet.

Bias
Jadi, kalo lo gagal, tuh hp batal dong?

Angkasa
Ya iyalah.

Bias
Lo emang nggak mau rugi, ya!

Angkasa
😎
Oke, langkah pertama. Besok lo bawa dia keluar. Ada satu misi yang harus Eta mulai.

Bias
Misi?
Maksud lo?

Angkasa
Rahasia. Anak kecil nggak boleh tahu.

Bias
Lo nggak ada maksud macem-macemin kakak gue kan, Bang?

Angkasa
Kagak. Semacem doang kok😌

🌤️🌤️🌤️

Oke, Eta mulai nurut tuh😂

18 Mei 2019

Revisi, 23 Mei 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top