18 | Cinta, Deritanya Tiada Akhir
18
Cinta, Deritanya Tiada Akhir
🌤️🌤️🌤️
"Lo ... bego. Sumpah!” Umpat Rendi untuk yang ke ... entahlah. Angkasa tak sempat menghitung. Padahal dia baru satu setengah jam sampai di rumah sederhana milik keluarga sahabat kecilnya ini, tapi telinganya sudah nyaris tuli.
Ayolah, Aang sudah bosan dibilang bodoh, tolol, dan semua padanan kata dengan makna serupa itu. Sebelum ke sini, Rinai bahkan sudah akan memberikan bogem mentah andai Mesta tidak melarang.
Damai dan Surya, tolong jangan ditanya. Angkasa frustrasi mengingat mereka.
Jelas frustrasi. Segala jenis kekacauan yang tak pernah terpikirkan bahkan dalam mimpi terburuk sekali pun, terjadi tadi. Iya, tadi. Sekitar tiga jam yang lalu. Sesaat setelah perjanjian gilanya dan Mentari selesai ditandatangani.
“Begonya nggak usah diulang-ulang juga kali. Gue tahu.” Angkasa menjatuhkan punggung pada sandaran kursi. Tatapannya nyalang terarah pada langit-langit ruang tengah keluarga kecil Rendi yang tak seluas kamarnya. Kancing kemeja pemuda itu sudah dilepas tiga teratas demi meredakan keringat yang tiada henti bercucuran. Bahkan kipas besar yang berputar maksimal di plafon belum bisa membuatnya merasa cukup dingin.
“Abis gue greget banget sama lo. Dikasih bidadari, milih mimi peri. Lo gila.” Rendi masih berdiri. Berkacak pinggang di seberang meja. Menatap sahabatnya yang mendadak kaya dengan pandangan mencela yang begitu kentara. Membuat Angkasa merasa dirinya datang ke tempat yang salah. Tapi, sialnya, hanya Rendi dan Rinai tempat sampah terbaiknya. “Gue tahu si Eta Terangkanlah itu cakep. Orang buta aja, dengan ngeraba hidungnya juga bakal langsung tertarik. Cuma kalo dikalkulasi sama sifat dan tingkah lakunya, hasilnya minus, Ang. Dan lo batalin pertunangan, bikin malu keluaga, cuma demi dia.”
Angkasa mengumpat dalam hati. Terkutuklah Rinai yang sudah lancang menceritakan segala-galanya di grup WhatsApp mereka, bahkan sampai mengirim foto Cantika. Membuat Rendi yang seharusnya tidak tahu apa pun langsung bisa menghakimi seketika.
“Ini nggak sesederhana yang lo pikir, Ren!”
“Iyalah. Kalo masalah ini sesederhana itu, lo nggak mungkin sampai diusir sama Tante Damai.”
Crap! Mulut Rendi memang minta dilakban. Lebih parah daripada Rinai. Tapi, semua omongan nyelekitnya memang benar. Ah, tapi—lagi—dikata pengusiran sepertinya terlalu kejam. Damai hanya mengatakan untuk sementara tidak bisa melihat wajah Angkasa. Itu saja.
Barangkali beliau muak. Surya saja yang seringkali membela, bahkan menjadi bungkam. Padahal salah Angkasa tidak terlalu besar. Ayolah, dia cuma membatalkan pertunangan. Bukan pernikahan seperti yang Semesta lakukan. Semesta bahkan lebih parah, tapi tak ada yang berani mengusir dari rumah.
“Gue capek, Ren. Gue mau tidur.” Angkasa mengerang tak tahan. Ditatapnya Rendi nelangsa. Berharap mendapat belas kasihan. Alih-alih menyilakan, Rendi malah lanjut memberi siraman rohani yang sama sekali tak Angkasa butuhkan sekarang.
“Denger gue ya, Ang. Lo tahu sendiri, dulu gue cinta mati sama Cindy. Tapi waktu orangtua gue lamarin Lulu, gue mau-mau aja. Karena gue tahu, Lulu baik. Dan kemungkinan besar dia juga bisa bikin gue jadi lebih baik. Meski awalnya gue nggak cinta, tapi lihat sekarang. Gue bahkan nggak bisa nggak liat wajah dia sehari aja. Cinta datang karena terbiasa, Bro.”
“Seandainya dulu sebelum lo nerima perjodohan sama si Lulu, Cindy dateng dan pengen balikan, gimana? Mana yang bakal lo pilih?”
“Ya Lulu, lah,” jawab Rendi mantap. Ada nada bangga dalam getar suaranya yang malah membikin Angkasa muak.
“Lo ngomong gitu karena Cindy emang nggak bakal pernah dateng. Sedang gue? Eta, Man. Dia bilang mau nikah sama gue asal pertunangan gue batal. Kalau lo ada di posisi gue, gue yakin lo juga bakal lakuin hal yang sama.” Rendi mendengus sembari menurunkan dua tangannya kembali ke sisi tubuh. Memang percuma menasihati seseorang yang sedang jatuh hati. Sampai batu bergetah pun tak akan mempan. “Lagian Eta juga baik kok,” Angkasa melanjutkan. Tidak terima Mentari dianggap begitu buruk.
“Emang apa aja kebaikan dia yang bikin lo nggak bisa berpaling?”
“Dia penyayang binatang,” jawab Angkasa lantang. Duduknya kembali tegak. Membalas tatapan Rendi penuh binar, seolah diberi kesempatan membela kekasihnya yang kini tak ada kabar. Angkasa sudah coba menelepon, tapi diabaikan. Ah, Mentari memang sialan. Lebih sialan daripada Rendi dan Rinai. “Sama kucing lebih tepatnya,” lanjut lelaki itu.
“Terus?”
“Dia juga ....” Dan Angkasa mendadak lupa segalanya tentang Eta. Yang kemudian dia sadari, dirinya memang sama sekali tak mengenal sisi malaikat gadis itu selain cinta tulusnya pada Semesta.
Nyaris sepuluh tahun bertetangga, empat tahun berada di almamater yang sama, yang Angkasa tahu hanya Eta si manja. Egois. Bodoh. Keras kepala. Mau menang sendiri. Tidak sopan. Suka mengeluh. Bicara semaunya. Selalu bergantung pada orang lain. Agak pemalas, dan ....
Tunggu! Kenapa malah buruk semua?
Angkasa menjambak rambut makin frustrasi, yang Rendi perhatikan dengan satu alis terangkat. Menggeleng prihatin, Rendi berdecak tak tega. “Udah lah. Eta emang seburuk itu, kok. Lo aja yang terlalu baik mau cinta setengah mampus sama dia.”
Angkasa tak membalas. Dia hanya meniup rambut bagian depannya yang menjuntai hingga menyentuh alis.
Rendi benar. Eta sama sekali tidak memiliki sisi malaikat. Tapi, kenapa Angkasa bisa begitu terpikat?
“Lo udah boleh tidur di kamar tamu. Kebetulan di rumah lagi nggak ada orang selain gue. Lulu sama anak-anak di rumah mertua. Ipar gue nikah Minggu depan,” jelas Rendi tanpa diminta, sebelum kemudian berlalu dari sana. Kembali ke kamarnya di sisi Utara.
Namun sebelum ayah dua anak itu menghilang dibalik lemari partisi, Angkasa berkata, “Thanks, ya. Sorry, gue malah bikin lo repot. Moga aja besok atau lusa Bunda udah nggak marah lagi.”
Berbalik kembali, Rendi mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Santai aja kali. Lo kayak ngomong sama siapa aja, deh. Lo bisa tinggal di sini selama yang lo mau. Biar pun agak aneh juga, sih. Lo kan udah kaya, kenapa nggak hotel atau apartemen gitu. Rumah gue terlalu kecil buat lo. Nggak pake AC pula.” Dia akhir kalimat, nada mengejek Rendi begitu jelas. Dagunya menunjuk pada kemeja Angkasa yang nyaris basah kuyup.
Angkasa meringis setengah malu. Dia yang dulu terbiasa berpanas-panas ria, malah keringatan di bawah atap rumah Rendi yang jelas jauh lebih bagus dari rumah lamanya. “Gue cuma bawa mobil sama hp. Lupa sama dompet. Lagian Bunda nggak pernah kasih izin gue punya apartemen.”
“Selalu, ya. Dasar anak bunda.” Rendi tertawa nyaring sembari lanjut melangkah. Kemudian menghilang begitu saja dari arah pandang Angkasa yang mulai melemah.
Menatap ponsel dalam genggaman sekali lagi, ia membuka aplikasi WhatsApp demi memeriksa status chat-nya untuk Mentari yang belum juga terbalas.
Centang dua.
Dan ... biru.
Angkasa hanya ingin tahu kabarnya. Tadi ia yang mengantar Mentari sampai gerbang rumah, takut gadis itu mendapat amukan dari Damai yang tengah murka.
Namun sepertinya takdir memang tidak pernah memihak mereka. Karena begitu melangkah keluar, Rafdi Zachwilli ternyata sudah berdiri di gerbang rumah seberang dengan pandangan siap perang.
Ah, benar kata Pat Kay. Cinta, Deritanya memang tiada akhir.
🌤🌤🌤
“Bun, apa nggak keterlaluan sampe ngusir Aang?” Surya memberanikan diri buka suara. Bertanya hati-hati pada Damai yang masih duduk di ujung sofa panjang ruang tamu dengan keadaan membisu. Aura kemurkaannya menguar ke seluruh penjuru ruangan. Membikin Surya bahkan tak berani duduk di sampingnya, lebih memilih menyandarkan bokong pada kursi sofa tunggal di sudut lain. Meda sudah berhasil ditidurkan oleh Bi Rum. Sedang Semesta dan Rinai yang semula tak berniat menginap, sepertinya berubah pikiran. Mereka tidak mungkin meninggalkan rumah dalam keadaan kacau macam ini. Tapi, keduanya memilih diam. Tak berani mengusik Damai yang siap menerkam. “Ini udah malam. Tapi, kita bahkan nggak tahu dia mau ke mana.”
“Aku nggak pernah ngusir dia, Ya! Dia yang milih pergi!” Damai menoleh pada suaminya dengan mata memerah. Satu tangannya terkepal erat di lengan kursi.
Surya meringis. Kalau Damai sudah tidak memanggilnya 'Mas' seperti biasa, berarti dia memang masih marah. Tapi, kenapa Surya harus ikut kena imbas? Padahal dia tidak salah apa-apa.
“Dia,” Damai berusaha melanjutkan dengan suaranya yang berubah serak. Serak kecil yang kemudian menjadi isak. Membuat Surya tak tega juga. Terlebih begitu melihat punggung istrinya yang biasa tampak kuat itu bergetar halus. Demi apa pun, Surya lebih suka melihat Damai mengomel seperti biasa daripada harus melihatnya menangis begini.
Mengangkat bokongnya, Surya berdiri tegak. Mendekati Damai. Duduk di sampingnya. Membawa perempuan dua anak itu ke dalam pelukan. Berharap tangis Damai berhenti dengan membiarkan dadanya menjadi pelempiasan pukulan sang istri.
“Sssttt ... udah, ya. Aku bakal telepon dia nanti. Angkasa pasti pulang lagi, kok. Kita masih bisa ngomong baik-baik.”
“Aku nggak mau ngomong baik-baik sama dia kalau dia masih ngotot bareng Mentari. Gara-gara gadis itu, dia bahkan berani bikin malu orangtuanya. Padahal, padahal sebelumnya Aang udah setuju kita jodohin. Tapi, tapi—”
“Sssttt ... udah, ah. Malu sama anak-anak. Masa udah tua masih nangis.” Surya mengelus kepala Damai pelan. Sesekali menepuk punggungnya. Berusaha menenangkan.
Namun, Damai yang keras kepala menolak mendengar. “Dia nggak pernah ngelawan sama aku, Ya. Tapi, gara-gara Eta, dia—”
“Damai, udah. Lebih baik seperti ini, kan? Daripada dia manut, tapi malah kabur di hari pernikahan? Kita bakal tambah malu.”
Secepat yang dirinya bisa, Damai menjauhkan diri. Melepas paksa pelukan Surya. Bangkit berdiri, ia menatap Surya dengan pandangan yang kembali menyala, “Kamu bela dia?!” tudingnya.
“Aku nggak maksud bela Aang. Oke, dia salah. Tapi kita juga nggak bisa maksa dia, kan? Hidup dengan seseorang yang nggak kita cintai, itu sulit loh.”
“Oh, kamu nyindir aku?” Damai mendengus. Air matanya ia usap serampangan menggunakan punggung tangan. Kerudung persegi yang semula membungkus kepalanya dengan sempurna kini awut-awutan. Beberapa anak rambut bahkan ikut keluar.
“Loh, nyindir gimana?” Kening Surya berkerut dalam. Tak paham. Berusaha meraih tangan-tangan Damai yang menjuntai di kedua sisi tubu wanita itu, tapi malah ditepis kasar.
“Jadi, dulu kamu tersiksa kan tinggal sama aku? Makanya kamu balik sama selingkuhan kamu!”
“Damai!” tegur Surya keras. Kelopak matanya melebar. Tak menyangka Damai akan mengungkit masa lalu mereka kembali sekarang. Di sini. Saat Semesta bahkan berada di tengah-tengah mereka. Duduk di sofa lain dengan Rinai. “Hati-hati kalau bicara!”
Damai yang dibentak tiba-tiba hanya bisa menatap suaminya nyalang. Tatapannya makin berkobar. Hendak melawan. Tapi, suara Semesta yang menginterupsi kemudian berhasil membikin ia bungkam.
“Aku sama Rinai ke kamar duluan, mau istirahat,” katanya dengan senyum kecil. Di sampingnya, Rinai memegang tangan lelaki itu sambil mengelus pelan.
“Ta—”
Surya ingin mencegah. Tapi, Semesta yang mengerti kalimat yang akan lolos dari bibir ayahnya segera memotong, “Tidak apa, Pa. Aku mengerti. Bunda hanya sedang emosi. Kalian juga sebaiknya istirahat. Bicarakan lagi nanti setelah keadaan mulai mendingin.” Lalu dia pergi, menarik Rinai bersamannya. Meninggalkan Surya yang hanya memejam frustrasi serta Damai yang kembali menjatuhkan diri ke sofa, seiring air matanya yang kembali lolos dari ujung mata.
“Mas ....” Mendongak, Damai raih tangan Surya yang masih berdiri. Merengkuh jari-jemari panjangnya erat, bermaksud meminta maaf.
Namun Surya yang terlanjur marah, melepas genggaman itu pelan. Tanpa balas menatap Damai, laki-laki paruh baya itu berujar, “Aku nggak maksud membela Aang, aku cuma nggak mau masa laluku dan Ratih kembali terulang. Dan kalau memang Eta adalah kebahagian putra kita, aku bahkan rela merendahkan diri di depan Jonathan untuk kembali meminta restunya.” Setelahnya, Surya ikut beranjak pergi. Membiarkan Damai yang makin terisak seorang diri.
Surya tak akan mengerti. Kisah Angkasa dengan Mentari berbeda dengan kisahnya dan Ratih. Ratih jelas mencintai Surya. Dulu. Orang tua lelaki itu saja yang terlalu mementingkan ego.
Sedang Angkasa, perasaannya bertepuk sebelah tangan. Damai memang tidak tahu alasan Eta tiba-tiba datang dan mengacaukan segalanya. Yang jelas, itu bukan cinta.
Selayaknya seorang ibu, Damai tidak ingin Angkasa terluka pada akhirnya. Hanya itu. Tapi, kenapa tidak ada yang bisa mengerti?
🌤🌤🌤
Anu-ku
Padi marah banget sama gue. Kalo gue tetep deket sama lo, dia ngancem bakal balikin gue ke SG
Gimana dong, Be?😭
Send.
Selesai mengetik balasan pesan WhatsApp dari Angkasa, Eta langsung menjatuhkan dirinya ke atas ranjang. Bibirnya mengerucut. Antara sedih dan kesal. Sedih karena Rafdi sepertinya begitu marah sampai enggan mengajak bicara.
Begitu mereka bertatap muka di depan gerbang, Rafdi langsung menyeretnya yang kala itu berdiri satu langkah di belakang Angkasa. Tanpa kata. Tatapan tajam mata laki-laki lima anak itu sama sekali tak beralih dari si sulung Wiratmadja, seolah hendak menghunusnya.
“Pa, Eta bisa jelasin!” Mentari nyaris menangis. Dia belum pernah melihat ekspresi datar Rafdi saat berhadapan dengannya. Tapi, malam ini, lelaki itu bahkan sama sekali tak menatapnya. Hanya menyuguhkan punggung yang terus maju. Menyeret Eta menuju anak-anak tangga menuju lantai dua.
Nina yang melihat itu, berlari cepat dari dapur demi mengejar sang suami yang tampak tak terkendali. Bias pun berhenti mengerjakan tugas, tapi tak berani menginterupsi. Sam yang memang tak acuh, hanya menatap sekilas, yakin betul kakaknya berbuat ulah lagi. Si gila games, Leffy, bahkan rela kalah hanya untuk menonton opera sabun yang memang nyaris setiap hari terjadi di keluarganya. Kali ini pasti seru, pikir bocah itu. Karena tak biasanya Rafdi marah pada si tuan putri.
“Pa, ada apa? Kenapa Eta diseret begitu? Dan kalian dari mana? Bukannya Eta udah tidur?” Nina menarik tangan Eta di anak tangga ke lima. Berusaha menghentikan langkah lebar Rafdi yang membuat putri mereka kesulitan mengikuti.
“Ma, Eta bisa jelasin.” Eta merengek. Ia melirik Rafdi yang masih tak bergeming. Cengkeramannya pada lengan gadis itu memang mengendur, tapi bahkan Eta tak berani melepaskan diri.
“Jelasin apa? Ini kenapa sih, sebenernya?”
“Jadi, tadi—”
“Eta bikin kacau di rumah sebelah.” Rafdi memotong cepat. Menoleh pada Nina dengan mata memerah. “Aku nggak tahu pasti apa yang terjadi, tapi Pak Richard keluar dari sana dengan wajah marah dan misuh-misuh.”
“Eta ... kamu?” Nina terperangah. Menatap putrinya tak percaya.
Yang Nina tahu, selama ini Mentari selalu menghindari pertemuan dengan Richard. Mendengar namanya saja dia enggan. “Kamu ngapain?”
“Kak Eta nggak bikin ulah di acara perjodohan Bang Sa sama Tante Tika, kan?” celetuk Bias yang kini sudah berdiri di sisi sofa panjang tempat Sam tiduran sambil membaca buku pelajaran esok hari.
Mentari menunduk. Bagian terdalam pipinya ia gigit keras. Tidak berani menjawab. Berbohong pun tak bisa. Jadi, yang dapat dilakukannya hanya merengek, berharap Nina menolongnya dari kemarahan Rafdi yang tak biasa.
“Jadi, benar?”
“Ma, Eta bisa jelasin.” Ia balas menggenggam tangan Nina. Meremas pelan. “Si Okabe nggak cinta sama Tante—”
“Apa hubungannya sama kamu?”
“Ya ... ya ada!” Eta nyaris menangis. Mendapat tatapan membunuh dari Nina tanpa pembelaan ayahnya sukses membuat ia kewalahan. Terlebih, ini kali pertama ia merasa terpojok di tengah-tengah keluarga. Dengan Bias, Leffy, dan Sam yang menontonnya, padahal ialah yang biasa mem-bully mereka. “Okabe sukanya sama aku.”
“Terus?” Nina bertanya dengan nada tak tertarik. Ekspresinya bosan. Jelas beliau ada di pihak Rafdi sekarang. Eta sama sekali tak memiliki kubu pembela.
“Cuma ....” Ah, Eta benci mengatakan ini. Benci sekali. “Cuma dia yang bisa nerima aku apa adanya.”
“Dan?” nada tanya Nina berubah mengintimidasi. Membuat satu tetes bening yang Eta tahan mati-matian lolos juga dari ujung mata.
“Aku mau nikah sama dia,” jawabnya cepat. Kelewat cepat, hingga Nina merasa dirinya hanya mendengar desiran angin. Berbeda dengan Rafdi yang kembali mengencangkan cengkeramannya, bahkan lebih erat dari yang tadi.
“Kamu ngomong apa?” tannyanya dengan tatapan menyala.
“Eta mau nikah sama dia.” Mentari mengulang pelan. Suaranya mencicit kecil, berusaha menahan ringisan sakit di pergelangan tangan kanannya yang masih dalam kuasa sang ayah. Sedang tangan kirinya masih memegang tangan Nina penuh harap. Sam yang melirik kecil dari sofa di lantai bawah, menguap bosan. Keluarganya benar-benar penuh drama.
“Kamu cinta sama dia?”
Eta kembali menunduk. Dalam. Bahkan dagunya sampai menyentuh tulang selangka. Dan hanya dengan melihat gelagat putrinya saja, Nina tahu. Sama sekali tidak ada rasa untuk Angkasa.
“Dengar Eta. Mama memang mau kamu menikah. Tapi, benar-benar menikah. Dengan orang yang kamu cintai dan mencintai kamu. Tolong jangan buat kesalahan lagi. Sebelum ini, kamu memaksakan hubungan dengan Semesta yang sama sekali tidak mencintai kamu. Hasilnya jelas, kan? Berantakan. Dan sekarang ... kamu mau nekat berhubungan dengan laki-laki yang tidak kamu cintai?” Nina menarik napas panjang sembari menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari genggaman Eta hingga terlepas. Kemudian mengembuskan karbon dioksida melalui mulut yang dibulatkan. Berharap mendapat stok kesabaran tambahan dalam menghadapi Eta yang berhenti tumbuh dewasa sejak mengenal Rafdi. “Mama tidak tahu apa motif kamu melakukan ini. Tapi, kalau kamu pikir dengan begini kamu bisa memberi pelajaran pada Pak Richard, kamu salah. Kamu justru makin menjauhkan papa kamu dengan ayahnya. Apa kamu sadar itu?”
“Cukup, Nina.” Rafdi menyela. Tak tega merasai tangan putrinya yang mulai gemetar dan berkeringat dingin. “Yang pasti mulai sekarang, jangan pernah biarkan Eta keluar rumah sendirian.” Rafdi menoleh ke bawah. Tepat pada putra sulungnya yang lantas mengerutkan kening mendapat tatapan penuh arti dari sang ayah. “Mengerti kamu, Bias?”
“Lah, kok aku?” tanya Bias bingung, setengah tak terima mendapat imbas dari perbuatan nekat kakaknya.
Alih-alih menjawab, Rafdi melanjutkan, “Dan kalau kamu masih dekat-dekat dengan anak-anak Surya, Papa balikin kamu ke Singapura.”
Mentari meraih kembali ponsel yang terjatuh tepat di sisi kepalanya. Mengecek status chat yang ternyata masih belum terbaca.
Gue harus apa, Be?
Lagi. Send. Setelahnya, gadis itu jatuh tertidur tanpa sempat membersihkan make up dan berganti pakaian. Jendela kamarnya bahkan masih terbuka lebar. Membuat angin malam berembus bebas ke dalam ruangan. Menerbangkan kelambu putihnya pelan.
Ponsel hitam berlayar enam inci dengan silikon kucing itu berkedip-kedip. Panggilan video dari Okabe yang kembali tak terangkat.
🌤️🌤️🌤️
Gimana? Panjang, Kan?
Sepanjang jalan kenangan.
Ini nyaris 3k kata loh. Anggap aja sebagai permintaan maaf karena telat apdet.
Kalo ada typo, maapkeun. Terlalu males dan lemes buat cek lagi.
15 Mei 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top