16 | Simbiosis Mutualisme
16
Simbiosis Mutualisme
🌤️🌤️🌤️
"Ma-mata lo ... ke-kenapa melotot gitu?" Mentari berkedip-kedip bingung seraya menunduk dan memainkan jari-jemarinya dengan gerakan rikuh. Tak berani membalas tatapan mata Angkasa yang seolah siap menenggelamkannya.
Alih-alih menjawab, Angkasa mendengus kasar sembari mengusap wajah gusar. Satu tangan yang lain berkacak setengah pinggang. Berusaha menormalkan kembali desah napas yang sempat memburu lantaran emosi. Tapi, gagal. Dia paling tidak suka dipermainkan. Dan sialnya, Mentari melakukan itu.
Menarik napas panjang sekali, ia merentangkan satu tangan ke daun pintu yang tertutup rapat. Membikin Eta makin dalam menunduk.
Berhenti memainkan jemarinya, gadis itu mengubah pose memeluk diri sendiri. Bibirnya mencebik. Persis Meda saat hendak menangis. "Lo ... lo ngapain deket-deket? Lo nggak mau merkosa gue kan, Be?"
"Kalau iya, kenapa?" Angkasa mendekatkan wajahnya. Mentari bahkan bisa merasai desah napas lelaki itu di permukaan keningnya yang dibiarkan terbuka dengan poni dijepit ke belakang.
"B-be ... gue teriak nih, kalau lo macem-macem!" Berusaha menghilangkan rasa takut, Mentari mendongak. Mata bulatnya dibuka lebar-lebar. Berusaha menakuti Angkasa seperti dia menakuti Aram. Dan, sudah pasti tidak akan pernah berhasil. Yang ada, Mentari makin mengkerut ketakutan menemukan mata sang lawan bicara yang bahkan sudah tampak memerah.
Angkasa benar-benar marah.
"Lo tahu sendiri, ini ruang kerja Papa."
Tentu Mentari tahu. Makanya dia benar-benar ketakutan Angkasa akan nekat.
Ruang kerja Surya sangat privasi. Dan ... kedap suara. Jadi, mau berteriak sampai pita suara lepas sekali pun, gelombang bunyi dari kerongkongannya tak akan pernah bisa menebus pintu ruangan ini.
"Apa salah gue? Kenapa lo tega banget mau perkosa gue? Gue bilang cinta sama lo bukan berarti gue mau lo apa-apain, ya!"
"Itu! Itu kesalahan lo!"
"Maksudnya?"
Menurunkan tangannya perlahan, Angkasa menegakkan punggung. Membuat jarak antara dirinya dan Eta yang benar-benar sudah akan menangis. Mundur selangkah, ia berbalik, kemudian menyugar rambutnya ke belakang dengan memberi banyak tekanan di setiap ujung jemari.
"Harusnya gue yang nanya." Dia mendesah lagi. Satu keringat sebesar biji jagung jatuh dari pelipis. Bahkan suhu dingin dari AC yang disetel rendah pun belum bisa membuat suasana hatinya ikut turun. Justru sesuatu di balik dadanya makin bergelut. Angkasa benci pembohong. Yang ia tahu, meski sedikit bodoh dan sangat menyebalkan, Mentari bukan tukang bual. Dia justru terlalu jujur hingga membuatnya terkesan begitu naif. Dan mendengar dusta gadis ini secara langsung, terlebih itu menyangkut perasaannya, jelas Angkasa marah. Dan Mentari masih mempertanyakan alasannya? Bukankah ini konyol?
"Apa maksud omongan lo tadi di depan?"
Kening Mentari berkerut. Tampak berusaha keras mengingat. Setelahnya, gadis itu kembali berkedip sebelum mengusap tetes basah yang nyaris tumpah di ujung mata.
"Oh itu!" Dia berseru antusias dengan senyum terkembang. Salah maksud. "Jadi lo pengen ngomong berdua sama gue karena ini?" Kini air matanya seratus persen surut. Dengan langkah ringan, ia mendekati Angkasa dan berdiri di hadapannya penuh percaya diri. "Iya, gue cinta sama lo. Ayo kita balikan. Lo mau kan?"
Dan yang ada dalam benak Angkasa saat ini adalah ... gadis ini benar-benar bodoh. Dia bahkan tidak bisa menilai situasi.
"Kenapa?"
"Kenapa? Emang cinta butuh alasan ya? Terus kenapa lo suka sama gue?" Mentari balik bertanya sewot. Bahkan kini, dia yang berkacak pinggang di depan Angkasa. Merasa dirinya paling benar.
"Bukannya kita nggak sepadan? Lo anak haram."
Senyum Mentari lenyap secepat datangnya. Tak menyangka justru kata-kata itu yang akan Angkasa ucap. Kalimat yang juga pernah lolos dari bibirnya sendiri. Tapi, kenapa mendengar langsung dari adik Semesta ini rasanya begitu menyakitkan.
Mentari yang sejak awal sudah kedinginan, makin menggigil. Giginya bahkan sampai bergemelutuk samar. Ia mengalihkan pandangannya pada lampu duduk di atas meja kerja Surya. Berusaha menyamarkan kilau bening yang kembali muncul di permukaan telaga birunya.
Meremas pinggiran dress-nya hingga kusut, ia memaksa bibirnya melengkung lebar. "Lo sendiri kan, Be, yang bilang, kalau lo nggak peduli sama status gue."
"Tapi, maaf, Nu, gue nggak sebego itu."
"Maksud lo?"
"Cinta aja nggak akan cukup buat bikin lo mau beriman gue."
Bahu Mentari merosot turun. Pun dagunya yang bergerak mendekati tulang selangka.
Angkasa benar. Cinta saja tidak akan cukup. Tidak akan pernah. Andai bukan Cantika yang dipilihkan Surya untuk Angkasa, jelas Eta tidak akan ambil pusing.
Lantas, setelah ini apa?
Sulung Wiratmadja sudah menolaknya.
Kalau begini, sama saja senjata makan tuan. Dia yang ingin mempermalukan Richard, justru berakhir dengan mempermalukan diri sendiri di depan laki-laki tua itu.
Eta pikir, semua akan baik-baik saja. Ia kira, Angkasa dengan begitu mudah akan percaya. Tapi, pada kenyataanya, Angkasa tidak sebodoh itu.
"Kalo udah nggak ada yang mau lo omongin lagi, gue keluar sekarang." Angkasa sebenarnya tidak tega melihat ekspresi layu dari wajah si berbi bermata biru. Namun, dia juga bisa apa? Angkasa terlanjur menerima perjodohan dengan Cantika. Bila malam ini kacau, maka nama baik orangtuanya yang jadi pertaruhan.
Berusaha mengeraskan hati, Angkasa berbalik badan. Melangkah menuju pintu keluar tanpa menoleh lagi ke belakang. Ia meyakinkan diri bahwa hubungannya dan Mentari sudah berakhir.
Ya, berakhir.
Cukup sampai di sini.
Mulai detik ini, ia tidak boleh lagi peduli padanya.
Tidak boleh.
Tidak boleh.
Benar-benar tidak boleh.
Bahkan menoleh pun jangan.
Jangan. Jangan.
Jangan!
Sial ....
Angkasa tidak bisa. Wajah kuyu Eta benar-benar memenuhi benaknya. Bahkan tangannya yang sudah menyentuh kenop pintu ia tarik kembali. Tubuh bongsor itu menolak memenuhi perintah otak. Ia bergerak sendiri. Kembali menghadap Mentari yang masih membeku di tempat semula.
"Jujur, Ta," desahnya putus apa. "Lo apain gue?"
"Hah?" Dan Mentari yang bodoh itu mendongak dengan pandangan bingung dan wajah sedihnya. Sudah pasti bingung kenapa Angkasa kembali.
"Begini. Gue nggak punya banyak waktu buat ngobrol panjang sama lo."
"Emang siapa yang mau ngobrol panjang. Bukannya lo udah bisa balik ke depan? Lo udah nolak gue kan? Yaudah sana. Gue baik-baik aja kok. Lo doang mah nggak bakal bikin gue patah hati," racau Eta yang berbanding terbalik dengan air matanya yang mulai jatuh satu persatu. Kemudian menderas dan menjadi Isak. Membuat Angkasa merasa serba salah dan begitu buruk.
Sangat buruk. Karena dengan begini, sama saja satu langkah mendekati kemurkaan Damai. Karena dengan begini, ia tidak akan bisa menarik hatinya kembali. Karena dengan begini, sudah pasti Angkasa menjadi pihak yang kalah. Tapi, dapat ia pastikan bahwa dirinya tidak akan kalah sendirian.
"Sekarang lo cerita sama gue. Kenapa lo ngelakuin semua ini. Lo nggak mungkin mempermalukan diri di depan banyak orang, terutama Semesta, tanpa alasan kan?"
Isak Mentari mengecil. Dia mengusap pipinya kasar. Berharap tetes-tetes bening itu akan berhenti muncul. Tapi, gagal. Mentari yang cengeng tidak akan bisa begitu mudah berhenti menangis. "Ka-kalau ... kalau," cegukan yang ikut muncul, menyulitkannya bicara. Dan Eta benar-benar benci keadaan seperti ini. "Kalau gu-gue ... ju-jujur, apa-pa lo ba-bakal batalin pertu-tunangan sa-sama Can-cantika?"
Angkasa semakin mendekat dengan mata memicing. "Kenapa lo mau gue batalin pertunangan ini? Dan ... dari mana lo tahu nama calon tunangan gue?"
"Ja-jawab dulu!" Eta memekik kesal. Kesal pada dirinya sendiri yang bisa menangis begini di depan Angkasa. Demi Tuhan, ini Angkasa.
"Oke, kalau penjelasan lo masuk akal dan bisa diterima, gue pertimbangin."
"Ta-tapi, jan-janji. L-lo nggak ba-bakal ceritain ini sama si-siapa pun."
"Oke."
Mentari mendekatkan diri pada Angkasa. Kemudian meraih ujung jasnya sebagai pengganti tisu demi membersihkan ingus yang terasa penuh dalam lubang hidung. Dan Angkasa yang malang tidak bisa berbuat apa pun selain mengernyit jijik.
Setelah merasa lebih baik, Eta mengambil tempat duduk di sofa panjang yang terletak di pojok ruangan. Angkasa tetap berdiri dengan menyandarkan bokongnya pada ujung meja kerja Surya. Siap memasang kuping tajam-tajam.
"Richard Zachwilli itu kakek gue." Mentari memulai. Ia mendesah sebelum melirik kecil Angkasa yang kini menaikkan dua alisnya.
"Kakek?" Laki-laki itu mengulang dengan nada sanksi. Sama sekali tak yakin.
"Lo nggak percaya?"
"Yang gue tahu, Pak Richard nggak punya anak kandung. Lo nggak lagi ngaco kan, Nu?"
Mentari mendengus. "Iyalah, yang lo tahu kan Richard Zachwilli setelah punya nama sebesar sekarang. Setelah perusahaannya punya banyak cabang di mana-mana." Dia menyilang kedua kakinya dan bersandar pada punggung sofa. Sisa-sisa air mata yang di pipi ia hapus hingga benar-benar kering. Beruntung Eta mengenakan make up water proof, jadi riasannya tidak luntur. "Dia tuh beneran ayahnya Papa. Tapi, Papa dihapus dari daftar keluarga gara-gara dia lebih milih Mama dan gue."
"Apa bukti kalo Pak Richard kakek lo?"
"Papa bule dan nama belakang mereka sama."
Angkasa sukses tergelak. Ia menggeleng tak percaya. Gadis itu semakin terdengar mengada-ada. "Come on, Nu. Nama belakang sama tuh udah biasa. Zachwilli bukan cuma Om Raf dan Pak Richard yang punya. Dan bule nggak cuma mereka di kota ini. Populasinya hampir sama banyak dengan orang Arab dan China. Lo pikir gue sebodoh itu bisa lo begoin?"
Mentari memberengut. Dia memang tidak punya bukti. Jadi mau tersinggung bagaimana pun juga tidak ada gunanya. Menggigit ujung kuku kelingking hingga kuteknya rusak, ia berusaha berpikir, bagaimana cara agar Angkasa bisa percaya.
Richard memang sudah kaya sejak lama, tapi dulu namanya tidak sekaliber sekarang. Hanya beberapa kalangan saja yang tahu tentang Rafdi, tapi kini semua seolah tak lagi berarti. Karena sejak Rafdi menikah dengan Nina, Richard mulai memperkenalkan Prama sebagai penerusnya. Dan di bawah kendali putra tirinya itulah Zach Hotel bisa berkembang begitu pesat dan menggurita di banyak kota besar dan tempat-tempat wisata. Yang kemudian menutup kenyataan bahwa Prama sama sekali tidak memiliki darah Zachwilli.
"Kalo lo nggak percaya terserah. Yang penting gue udah jujur. Lo sendiri yang bilang, cinta aja nggak akan cukup buat bikin gue mau nerima lo. Dan gue akui itu. Alasan gue mau batalin pertunangan lo sama Cantika tuh buat balas dendam sama si Richard sialan. Dia selalu ingin sesuatu yang sempurna. Dan anak yang lahir di luar pernikahan kayak gue jelas cacat di mata dia. Sama cacat seperti Mama yang sampe sekarang nggak bisa dia terima.
"Dan lo, laki-laki yang dipilih Prama buat Cantika bisa langsung dia terima begitu aja. Yang berarti di mata Richard, lo tuh sempurna dan layak. Karena itu, gue mau dia tahu, kalo lo yang sempurna aja lebih milih manusia dengan latar belakang cacat kayak gue ketimbang anak pungutnya yang luar biasa." Mentari berdiri. Dia menelan ludah kelat sebelum mendongak menatap Angkasa yang sejak tadi sama sekali tak melepas tatapannya dari sang gadis.
"Tapi, sekarang pun gue gagal kan? Dan gue makin yakin, manusia berlatar belakang cacat kayak gue memang akan selalu dipandang sebelah mata. Oleh seseorang yang mengaku mencintainya sekali pun." Lalu dia mulai melangkah menuju pintu ruang kerja Surya yang masih tertutup rapat. Membawa serta kekalahan di pundaknya.
Mentari hanya harus terus berjalan dengan pandangan ke depan. Memakai muka tembok saat lewat di ruang tamu keluarga Wiratmadja. Ah, jangan lupa mengangkat dagu.
Apa pun yang terjadi, Mentari tidak boleh merendahkan diri sekalipun dia memang selalu merasa rendah diri.
Mentari sudah hendak akan memutar kenop pintu saat suara Angkasa kembali mengudara di ruang yang cukup sunyi itu.
"Gue bisa batalin pertunangan gue sama Cantika," ujarnya. Dalam hati, Angkasa mengumpat. Setelah ini, dia harus bersiap bila namanya juga akan ditendang dari daftar keluarga.
Berbalik secepat dirinya bisa, Eta menatapnya penuh binar. "Serius?"
"Dengan syarat?"
Eta kembali mendekat. Melangkah cepat menuju Angkasa yang sama sekali tak bergerak seinchi pun dari tempatnya. "Gue janji bakal lakuin apa pun kalo lo mau bantu gue."
"Bentar." Angkasa menurunkan dua tangannya yang dilipat di depan dada. Dia berdeham tak yakin sebelum mendudukkan diri di balik meja kerja Surya dan membuka laptop milik sang ayah.
Membaca basmalah, dia mulai menarikan jari-jemarinya di atas papan ketik dengan begitu lincah. Mengabaikan Mentari yang menunggu dengan bosan.
Selang beberapa saat, bunyi printer terdengar samar. Mentari yang bibirnya sudah mengerucut miring lantaran tak sabar mendekat. Kemudian mengambil kertas yang keluar dari mesin mini itu tanpa permisi.
Kepalanya meneleng ke kanan saat membaca setiap baris huruf di sana. Detik kemudian, bibirnya sudah membulat sempurna. Sesempurna bundaran mata birunya yang nyaris melompat dari rongga.
"Be, ini apa-apaan?!" pekiknya.
"Simbiosis mutualisme." Angkasa ikut mengambil kertas hasil print kedua. Memastikan sekali lagi kalau tidak ada kesalahan ketik, lalu menempelkan materai enam ribu di sana.
"Tapi—"
"Gue nggak peduli apa pun masalah lo sama Pak Richard. Dan gue nggak punya banyak waktu. Bunda pasti udah nunggu gue. Kalo lo beneran mau gue batalin perjodohan, tanda tangan." Laki-laki itu menyodorkan kertas di tangannya. Menukar dengan kertas di tangan Eta. "Setelah itu, udah. Baik gue sama lo, satu sama. Sama-sama untung dan sama-sama rugi."
Eta membaca isi kertas tadi sekali lagi, hanya untuk menemukan dirinya menyesal datang ke rumah Surya malam ini.
Sejak awal, harusnya dia memang sudah berpikir matang. Kalau begini, sama saja dia berhasil mendaki ke puncak lalu jatuh berguling ke lembah neraka.
Padi, Eta harus apa?
🌤️🌤️🌤️
04 Mei 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top