15 | Angkasa Marah

15
Angkasa Marah
🌤️🌤️🌤️

Malam masih jauh dari kata larut. Waktu kala itu baru menunjuk angka 21:15. Langit seperti biasa, pekat dengan satu dua bintang yang berhasil tampak, serta rembulan yang bersinar gendut jauh di atas kepala.

Mengusap lengannya yang telanjang lantaran tiupan angin yang entah mengapa terasa begitu menusuk hingga ke tulang, Mentari berdeham. Dia sudah siap di depan gerbang kediaman keluarga Wiratmaja yang dibiarkan terbuka setengah setelah nyaris satu jam dihabiskan di depan cermin agar terlihat cetar membahana malam ini. Pun masih harus bermain kucing-kucingan dengan Rafdi dan Nina agar tidak ketahuan keluar rumah tanpa pamit. Leffy yang sedang asyik bermain game menggunakan ponsel Bias—yang tengah membuat makalah presentasi—di teras sempat bertanya ia hendak ke mana, dan dijawab ketus gadis itu bahwa segala urusannya bukanlah masalah sang adik. Mengedik tak acuh, Leffy lanjut bermain.

Kini di sinilah Eta berada. Dengan rambut pendeknya yang diblow dan riasan wajah tebal seperti biasa. Gincu semerah hati serta blush on menyala. Ekor airlinernya meruncing ke samping. Bulu mata palsunya yang lapis dua seolah bisa mengempas badai dalam sekali kedip.

Merasa yakin bahwa penampilannya sudah sempurna, ia memantapkan diri melangkah. Sepatu hak setinggi lima belas senti hadiah ulang tahun dari Mina beberapa bulan lalu berbunyi tak-tuk tak-tuk setiap kali beradu dengan paving blok halaman keluarga Angkasa. Seirama dengan tabuhan jantungnya di balik dada.

Kalau saja boleh jujur, Mentari tidak pernah siap bertemu dengan Richard Zachwilli yang memiliki tatapan setajam katana. Tapi, ini harus. Mentari ingin membuktikan pada lelaki tua itu, bahwa anak haram yang selalu dicacinya bisa mendapatkan cinta dari pemuda dengan bibit bebet dan bobot yang jelas dan kalangan terhormat. Saking terhormatnya, bahkan seorang Richard sudi menjadikannya sebagai menantu. Tidak seperti Nina yang ia nilai cacat hanya karena catatan hitam di masa lalu.

"Non Eta, mau ke mana?" Sukirman, salah satu satpam rumah besar ini bertanya dari pos jaga. Sejenak berhasil menghentikan langkah kaki Eta.

Melirik petugas berseragam Dongker itu, Mentari mengibaskan rambutnya. "Mau ketemu Oka—mmm, maksud saya Angkasa."

"Tapi, di dalam masih ada tamu."

"Saya tahu."

"Non diundang makan malam juga ya?" tanya Sukirman lugu, mengingat Mentari dulu sempat menjadi sangat dekat dengan keluarga sang majikan.

Eta hanya berdeham sebelum kembali melanjutkan langkah.

Memasuki pintu ganda berukir rumit yang dibiarkan terbuka, tabuhan jantung Eta kian menjadi. Rasa takut dan antusias bercampur menjadi satu dalam aliran darahnya yang berdesir cepat. Keringat dingin bahkan sudah mengucur sepanjang tulang punggungnya. Terlebih saat ia mendengar suara gelak tawa dari ruang tamu. Ah, sepertinya mereka tarlibat dalam obrolan yang menyenangkan. Dan sepertinya Semesta dan Rinai juga berada di sini sekarang.

Tangan Mentari makin terasa dingin. Ia bahkan harus mengusapkan pada bagian samping dress kuning berlengan seperempat yang kini melapisi tubuhnya dengan sempurna.

Kenapa Semesta juga harus datang?

Kalau begini, Mentari bisa kehilangan seluruh keberanian.

Laki-laki itu, ah .... sial.

"Aku beneran nggak nyangka loh," Rinai berkata di antara derai tawa para penghuni ruang tamu, "preman kampung kayak Angkasa bisa dapet perempuan semanis Cantika."

"Jodoh memang rahasia Tuhan." Damai menimpali.

"Lo aja yang urakan bisa dapet Mesta kan?" Dan suara kali ini milik Angkasa.

Mentari makin mengkerut di tempatnya. Bersembunyi di balik lemari pertisi yang berisi guci mini dan gelas-gelas kristal.

"Tapi, sebelumnya, ada yang masih harus saya sampaikan."

Begitu suara berat yang nyaris setengah hidup dikenalnya terdengar, napas Eta terhenti sejenak. Kebencian itu bergejolak hebat di pedalamannya, mengalir ke ujung jari yang ia kepal erat hingga kuku-kuku jemarinya nyaris melukai telapak.

Menarik napas dalam, Eta nekat mengintip dari celah kaca demi memastikan bahwa kalimat tersebut benar-benar meluncur dari katup bibir Richard.

Dan yah, laki-laki tua itu duduk penuh wibawa di sofa panjang bersebelahan dengan Anne, istrinya. Senyum yang terulas dari bibir kecokelatan lantaran terlalu sering merokok itu tampak menjijikkan di mata Eta. Dan karena senyum itu pula, tekat sulung Rafdi makin menguat. Acara malam ini memang haruslah ia gagalkan.

"Cantika sebenernya bukan putri kami." Richard memulai. Keluarga Wiratmadja diam menyimak. Termasuk Angkasa yang tampak setengah melamun. "Dia anak mantan suami istri saya, Rino Kusuma dan mendiang istrinya. Mereka meninggal akibat kecelakaan sewaktu Tika masih sangat kecil. Prama yang saat itu berada di bawah asuhan ayahnya, beralih asuhan kepada Anne, yang sudah menjadi istri saya, beserta Cantika yang hanya punya Prama sebagai satu-satunya keluarga. Tapi meski begitu, Cantika sudah kami anggap sebagai putri kami sendiri. Saya harap, kalian tidak keberatan menerimanya." Dia mengakhiri kalimat panjangnya dengan tatapan penuh sayang pada Cantika yang duduk bersama Prama di sofa lain. Sukses mengembangkan rasa cemburu di hati Mentari yang selalu berharap dirinya bisa diakui suatu hari nanti.

Surya menoleh pada Damai yang membalas tatapan penuh artinya dengan senyum lembut sebelum menjawab mantap, "Tentu," tanpa sama sekali ada keraguan di dalamnya. "Cantika gadis yang baik, kami menyukainya. Benar kan, Ang?"

Yang ditanya mendongak. Tersenyum kecil pada Surya sembari melirik Cantika yang masih setia menunduk.

Namun sebelum jawaban lolos dari kerongkongan, suara lain tiba-tiba terdengar di tengah-tengah pertemuan. Berhasil membuat seluruh penghuni ruang tamu besar itu mengalihkan perhatian.

"Nggak juga. Angkasa kan sukanya sama Eta." Gadis bergincu merah itu keluar dari persembunyian. Berdiri anggun sekitar sepuluh langkah dari jejeran sofa yang saling berhadapan dengan meja penuh sajian.

"Kamu!" Richard Zachwilli sukses terkejut. Dia bahkan refleks berdiri. Menatap Mentari dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Gadis itu ... anak Rafdi. Meski Richard sering bertemu dengannya dengan muka polos, tapi mata sebiru samudera yang persis sama dengan milik Rafdi tak bisa menipunya. Lagi pula, Richard sudah menduga, Mentari tak selugu itu.

Jadi begini dandanannya saat tak bersama Rafdi?

Richard mendengus. Tatapannya makin menyipit tajam seolah ingin membunuh Eta sekali tebas.

Lebih dari itu, bagaimana bisa dia di sini? Di rumah Surya. Bahkan masuk tanpa permisi. Seolah dia memang sudah terbiasa. 

Anne, Cantika dan Prama sama kaget. Tapi mereka tetap diam. Hanya menatap Mentari yang berpenampilan seperti nenek sihir dengan heran.

Damai mendengus jengah. Berbeda dengan Surya yang hanya memandang sang mantan calon menantu bingung. Sejak awal, dia selalu menyukai Mentari yang ceria dan banyak bicara. Satu-satunya yang bersedia selalu berada di samping Semesta bahkan saat ia sendiri tak bisa ada. 

"Maaf, Pak. Dia Mentari," Surya ikut berdiri. Tersenyum tidak enak hati lantaran kelakuan tidak sopan anak tetangga sebelah. "Eta ini memang cukup sering main ke sini," lanjutnya.

Satu alis Richard terangkat satu. Dia sama sekali  tidak pernah tahu bahwa Rafdi kini sudah kembali berjaya dan bisa  tinggal di lingkungan elite. Karena sejak insiden tujuh belas tahun lalu, ia sudah menghapus Rafdi dari daftar keluarga Zachwilli.

Yang Richard tahu, Rafdi mendadak miskin sejak menikah dengan Nina dan memulai semua bisnisnya dari nol. Mereka sering berusaha menemui Richard, tapi Richard tidak pernah sudi bertatap muka dengan keduanya. Bahkan saat tak sengaja berjumpa di tempat umum, Richard bersikap seolah tak pernah mengenal mereka—meski lebih sering mencaci.

Sadar yang dilakukannya terlalu berlebihan untuk seseorang tak dikenal, Richard mengembuskan napas pelan dan kembali duduk. "Oh," sahutnya pendek. "Anak jaman sekarang tidak sopan ya," tambahnya, yang berusaha keras Eta abaikan. Richard bahkan bersikap seolah tak pernah mengenalnya, jadi Eta juga harus bisa mengikuti alur permainan lelaki tua bermata biru keabu-abuan itu.

Angkasa yang duduk di samping Damai bergumam pelan. Sama bingungnya dengan Surya. Terlebih, tadi gadis itu bilang apa? Angkasa pasti salah dengar. Mungkin karena dia terlalu tertekan. Bahkan mungkin Mentari yang kini berdiri di hadapan mereka hanya bayangan. Namun melihat reaksi yang lain, sepertinya Eta yang ini nyata.

Rinai menyenggol lengan Semesta yang hanya melirik Eta sekilas. Sudah terlalu biasa dengan sikap gadis itu yang memang semaunya.

"Eta, ada perlu apa kamu ke sini?" Berusaha menahan jengkel, Damai bertanya.

Menatap Semesta dari balik bulu mata palsu, Mentari berkedip. Berusaha menyemangati diri dan mematikan seluruh rindu yang bergumul dalam kalbu. Begitu kelopaknya terbuka kembali, dia melebarkan senyum. Membalas tatapan Damai dengan pandangan polos tanpa dosa. "Mau ketemu calon suami," jawabnya tanpa ragu.

What the ....

Angkasa dan Rinai melotot bersamaan. Mengira Eta mendadak gila dan sudah hilang ingatan.

"Maksud kamu?" Pertanyaan Damai bernada tajam. Jangan sampai gadis ini berbuat kegaduhan. Sebisa mungkin Damai tak akan membiarkannya.

"Siapa yang dimaksud calon suami oleh gadis itu, Pak Surya?" Richard tak bisa menahan diri untuk ikut bertanya. Yang dia tahu, Surya Wiratmadja hanya punya dua putra. Dan salah satunya bahkan sudah menikah. Tidak mungkin laki-laki yang dimaksud Eta adalah Semesta. Dan memikirkan itu, Richard mendadak resah.

"Eta, kamu bicara apa?" Surya berusaha menengur Mentari pelan sebelum beralih menatap Richard tak enak hati.

Damai yang sudah sangat jengah pun menengahi. Ia tahu Surya tak akan tega memarahi Eta yang pernah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Sekali lagi kami mohon maaf atas kekacauan ini, Pak. Sebelumya, Mentari ini memang sempat bertunangan dengan salah satu putra kami, Semesta. Tapi, karena beberapa alasan, pertunangan mereka dibatalkan dan Semesta menikah dengan Rinai."

"Oh!" Lagi-lagi Richard menyeru dengan nada menyebalkan. Kelegaan luar biasa tampak jelas dari ekspresi wajahnya yang sudah dipenuhi gurat-gurat penuaan. "Perempuan gagal move on ya," sindirnya telak, menatap Eta penuh cemooh. "Pantas saja kalau Semesta meninggalkannya. Dia tidak sopan. Dan penampilannya ...." Richard mendengus kasar sebagai kelanjutan dari kalimatnya yang sengaja tak ia genapi.

"Pa." Anne menegur Richard dengan mengelus lengan sang suami. Berusaha menenangkan lelaki tempramen itu.

Mentari yang makin sakit hati, menyeringai. "Calon suami yang aku maksud bukan Semesta, kok," ujarnya ringan sambil mengamati kuteknya yang bergambar abstrak. "Tapi," dia mendongak, lengkungan bibirnya melebar saat memandang ke arah Angkasa yang menatapnya makin horor, "Angkasa."

Angkasa menelan ludah kelat. Fix, Eta pasti sudah gila. Dan kegilaan Eta kali ini membawa dampak buruk pada Angkasa. Terbukti dari tatapan laser para tetua yang sekarang menyorotinya.

"Angkasa, bisa jelasin ke Bunda maksud Eta apa?"

Angkasa kicep. Dia melarikan pandangan pada Rinai yang bernapas lega karena ternyata yang disebut Eta sebagai calon suami bukalah lelaki di sampingnya. Merasa Rinai tak dapat membantu, ia kemudian melirik Semesta, berusaha meminta bantuan dengan kode mata. Tapi, saudara seayahnya itu malah tersenyum miring dengan satu alis terangkat penuh maksud.

"Angkasa!" Damai mendesak.

Mengembuskan napas penuh beban, Angkasa meraih tangan Damai untuk menjelaskan segalanya tentang hubungannya dan Mentari yang sudah berakhir. Tapi, lagi-lagi Eta mendahului.

"Kemarin Angkasa menemui aku, Bunda. Katanya, kalau aku mau nikah sama dia, Angkasa bakal batalin perjodohannya dengan Cantika. Dan sekarang aku ke sini buat ngasih jawaban buat Aang kalau aku mau. Aku baru sadar kalau selama ini ternyata aku udah cinta sama dia. Aku belum terlambat kan?"

Entah ini hanya perasaan Angkasa atau apa, tapi ia merasa ada petir menyambar tepat mengenai ujung ubun-ubunnya.

Angkasa memang jatuh cinta pada Mentari. Namun, dia tahu, sampai saat ini pun hati gadis itu masih milik Semesta. Terlihat jelas dari caranya saat tadi sempat melirik pemuda beristri itu sekilas.

Meremas tangan Damai tanpa sadar hingga ibunya meringis, Angkasa berkata dengan tatapan yang sama sekali tak beralih dari Mentari. "Bunda, aku mau bicara sebentar sama Eta. Empat mata," ujarnya yang kemudian melepas tangan Damai sembari berlalu. Melangkah keluar dari lingkaran pertemuan. Pergi dari ruang tamu yang mendadak sunyi. Dengan Eta yang mengekori penuh senyum. Tapi sebelum itu, ia sempat menoleh pada Richard. Memberi laki-laki tua itu seringai penuh kemenangan dan satu kedipan mata centilnya.

Sampai di ruang kerja Surya, tepat sebelum pintu dua setengah meter ruangan itu ditutup, Eta bisa mendengar raungan Richard.

"Apa maksud dari semua ini Pak Surya? Anda bermaksud mempermalukan putri saya?"

Kemudian ... 'blam!'. Angkasa menutup pintu kasar. Padahal Eta masih ingin tahu apa yang terjadi. 

Namun begitu ia berbalik dan menatap langsung netra beda warna sang lawan bicara, Mentari dipaksa menelan ludah kelu.

Laki-laki di hadapannya, Angkasa, dia ... tampak marah. Padahal, apa salah Eta? Bukankah seharusnya dia senang karena akhirnya cintanya terbalaskan—walau hanya dusta?

🌤️🌤️🌤️

02 Mei 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top