14 | Tamu Kehormatan Keluarga Wiratmadja

14
Tamu Kehormatan Keluarga Wiratmadja
🌤️🌤️🌤️

"Udah pesen?"

Bias mengangkat satu alis bosan mendapatkan pertanyaan macam itu dari kakaknya yang baru kembali setelah satu jam berlalu. Demi Tuhan, satu jam. Dan dia dibuat menunggu sendirian seperti jomlo kesepian di foodcourt ini. Makanan yang Bias pesan bukan lagi selesai dihidangkan, melainkan sudah tinggal piring kotor.

Mentari—masih dengan gerakan sok anggunnya—meletakkan sebuah paper bag ke atas meja persegi di hadapan mereka sebelum menjatuhkan bokong pada kursi. Mulutnya membulat begitu menemukan bekas wadah makanan Bias yang sudah bersih. "Loh, udah kelar ya?" tanyanya polos, sepolos pantat bayi yang minta ditabok.

"Menurut lo?" Bias membalas sinis. Terlanjur dongkol pada sang kakak yang selalu seenaknya ini.

"Ya udah sih, nggak udah sensi gitu," Eta mengibaskan rambutnya ke balakang, "gue laper. Mau makan bentar. Abis itu kita pulang," tambahnya sebelum mengangkat satu tangan untuk memanggil pelayan. Membikin Bias gatal menggigit lidah si kesayangan Rafdi yang terlalu enteng itu dengan kalimat perintahnya.

"Salad sama air putih aja ya, Mbak," ujar gadis itu sok manis pada pelayan berseragam hijau yang siap mencatat pesanannya dengan sigap. "Gue lagi diet soalnya. Kalau makan berat nanti susah nurunin berat badan. Gagal cantik dong gue."

Di seberang meja, Bias memutar bola mata. "Minggu lalu bukannya Mama marah-marah sama lo ya, gara-gara berat badan lo nggak ideal?"

Mentari mendelik, "Come on, deh, Bi! Ideal menurut Mama itu lima-lima. Semok dong gue kalo berat segitu."

"Perempuan dan segala keluhannya tentang berat badan," keluh Bias tak peduli. "Kesiksa lahir batin deh lo nggak tahu gimana nikmatnya makan sampe begah."

"Ck, lo nggak pernah denger peribahasa  'makanlah saat benar-benar lapar dan berhenti sebelum kenyang?'"

"Allahuakbar! Itu bukan peribahasa, Katak! Nggak ada peribahasa macam itu. Dapet berapa sih, nilai mapel Bahasa Indonesianya, dulu?!" Saking kesalnya pada Eta yang dianugerahi ketololan alami tanpa dibuat-buat, Bias sampai keceplosan memanggilnya dengan sebutan yang paling Eta dibenci.

Katak, dari kata Kak Eta. Kak Ta. Ka Ta. Kata. Yang saat dibaca cepat dan berulang akan terdengar seperti Katak.

Kak Ta. Kak Ta. Kak Ta. Kata. Kata. Kata. Katak.

Dipanggil dengan sebutan seperti hewan buruk rupa itu, jelas sekali Eta murka. Menurut dirinya sendiri, Mentari itu cantik. Kulitnya mulus. Wajahnya mirip Arianna Grande versi putih langsat. Dan Bias terlalu biadab bila menyamakannya dengan katak.

Mentari sudah ingin marah, tapi sialnya, pelayan tadi ternyata belum pergi. Barangkali lelah menyaksikan adu bacot dua bersaudara di hadapannya, ia pun menyela, "Maaf, ini saja pesanannya, Mbak?" yang sukses mengalihkan perhatian Eta hingga ia lupa mau berkata apa.

"Oh, iya. Jangan lama-lama ya, Mbak."

Begitu si pelayan pergi, Eta kembali memusatkan perhatian pada Bias yang sepenuhnya sudah bungkam. Sadar diri kalau tadi ia sudah keceplosan. Alamat ia batal mendapat kuota ekstra dari Eta bulan ini.

"Tadi gue mau ngomong apa, ya?"

Tanpa sadar, Bias mengembuskan napas lega. Bersyukurlah pada otak kecil sang kakak yang terlalu mudah teralihkan. Dan sedikit lemot tentunya.

Fakta tentang perempuan kelewat cantik. Kebanyakan mereka memang tidak pintar.

Maka, cepat-cepat Bias menggeleng untuk memberi Mentari jawaban sembari memutar otak untuk mencari topik baru demi mengalihkan perhatian lebih jauh. "By the way, tadi lo ke mana aja? Lama bener ke toiletnya?"

Wajah bingung Eta berubah secerah matahari pagi. Dengan antusias, ia mengambil paper bag yang tadi diletakkannya di meja demi mengeluarkan sesuatu dari sana. Sesuatu yang berwarna merah menyala. Yang tampak familier dalam pandangan Bias. Seperti dia pernah melihatnya.

Dan tentu saja. Benda itu adalah ... tas yang tadi Mentari inginkan.

"Lo—"

"Gue dapet tasnya dong!"

Mata Bias memicing. Dia melirik meja tempat Angkasa dan Cantika makan yang entah sejak kapan sudah kosong. Bocah 16 tahun itu melipat kedua tangan di meja dan memajukan tubuhnya. "Lo meres Bang Ta, ya?" tanyanya dengan suara rendah.

"Hah? Meres? Emang gue cewek apaan?!" Dan Mentari yang bersuara cempreng serta berotak udang itu, malah balik bertanya dengan pekikan. Pekikan. Demi Tuhan. Sukses besar menarik perhatian nyaris seluruh pengunjung foodcourt tempat mereka makan siang itu. Dan membuat Bias langsung tertunduk malu tentunya.

Namun sang kakak yang tidak pernah mengenal situasi malah melanjutkan, "Gue nggak suka ya peres-peres. Itu kekerasan namanya. Cewek cantik nan seksi kayak gue, sukanya pake cara yang manis dan lembut."

Ah, sial! Bias membatin dengan menundukkan kepala makin dalam. Kenapa obrolan mereka malah terdengar mesum.

Terlebih saat bapak-bapak berperut buncit yang posisi mejanya persis di sebelah mereka berceletuk, "Sini, Neng, sama Abang. Abang bisa kok memperlakukan Eneng dengan lembut."

Dan Eta yang polosnya berlebihan, nyaris menanggapi lelaki hidung belang itu andai Bias tak cepat-cepat berdiri dan membekap mulutnya dari belakang dengan sebelah tangan. Sedang tangan yang lain merogoh kantong celana bagian belakang, mengambil dua lembar seratus ribuan yang langsung ia letakkan ke atas meja. Secepat kilat ia membereskan belanjaan Eta yang lain sebelum menyeret sang kakak keluar dari sana.

Eta yang tak lagi dibekap lantaran tangan Bias berpindah menarik pergelangannya, tentu memberontak. "Bi, gue belum makan. Sabar dong. Nggak ada tenanga nih. Kalo udah kenyang, entar gue ladenin lo sampel puas, deh!"

Ah, sial! Sepertinya sesekali Eta memang harus dicekoki adegan dua puluh satu plus, agar tidak melulu menonton film princess-princess-an dari Disney yang membuatnya berkhayal terlalu tinggi tentang cinta sejati.

"Maksud lo apa mau ngeladenin gue samper puas?!" raung Bias gondok begitu keluar dari tempat makan. Tangan Eta dalam genggaman, ia empas kasar tanpa belas kasihan. Tak peduli dengan sungutan gadis manja itu dan rintihan sakitnya lantaran Bias terlalu keras mencengkeram. "Lo bikin semua tambah kacau tahu nggak, sih!"

"Lah, lo marah sama gue karena salah paham kan? Lo ngira gue meres Okabe. Lo mau penjelasan dari gue kan? Makanya, gue mau ngasih penjelasan ke lo perihal tas ini. Biar lo puas dan nggak sembarangan nuduh gue. Tapi, tunggu gue kenyang dulu! Cuma lo nggak sabaran sih!" Mentari cemberut. Sedang Bias sukses ternganga. Luar biasa penasaran dengan isi dalam batok kepala kakaknya. "Udah deh yuk, masuk lagi. Pesanan gue belum kelar tuh. Laper nih."

"Ogah!"

"Bi!"

Bias mendadak tuli. Ia berbalik badan dan melangkah lebih dulu. Meninggalkan Eta yang menghentakkan kaki kesal tanpa peduli beberapa pasang mata yang menatapnya heran.

Belum lima langkah terambil, Bias baru mengingat sesuatu. Kembali berbalik, ia berkacak setengah pinggang dengan kepala miring ke kiri. "Harusnya lo kan yang bayarin makanan kita? Kenapa gue yang keluarin uang?!"

"Makanan kita? Hello! Makanan lo kali! Gue bahkan belum makan," jawab Eta masih dalam jarak lima langkah. Enggan mendekati Bias dan setengah berharap adiknya bisa dibujuk kembali makan.

"Tetep aja. Ganti! Lo kan udah janji mau teraktir." Dan Bias yang merasa rugi, sontak lupa keberadaan mereka saat ini dan meladeni adu bacot Mentari.

"Ogah!"

"Kak Eta, itu tuh uang dari Leffy, buat beli kuota biar bisa main Mobile Legend!"

"Bodo."

Dan percekcokan kembali terjadi. Yang lagi-lagi berakhir dengan Bias yang harus menahan malu.

Lain kali, ingatkan Bias. Pergi berbelanja dengan Mentari, apa pun sogokannya, akan selalu berakhir berantakan.

🌤️🌤️🌤️

Waktu memang cepat berlalu saat sedang tidak ditunggu. Membuat manusia seakan diburu. Begitu juga yang saat ini Angkasa rasakan. Bukan lagi istilah, tapi dia memang benar-benar sedang diburu. Diburu kenyataan oleh takdir yang disodorkan Damai dan Surya.

Menarik napas lelah, Angkasa memasang kancing kemeja teratasnya. Menatap bayangan lelaki bertubuh tinggi dan sedikit berisi yang terpantul dari cermin besar di depan sana. Sesuatu di balik dada terdengar bergemuruh. Ia bahkan khawatir benda di dalam sana akan copot dan membutuhkan organ baru.

Bukan. Ini bukan perasan luar biasa antusias. Tapi, lebih kepada rasa tidak enak hati. Seolah kejadian buruk akan menimpanya. Ah, mungkin karena sebentar lagi akan ada pertemuan keluarga untuk membahas perjodohannya dengan Cantika. Yah, bisa jadi.

Memantapkan hati untuk benar-benar memulai semuanya dengan gadis berkerudung itu, Angkasa mengembuskan napas dari mulutnya yang membulat.

Namun, bagaimana bisa dia memulai sesuatu hubungan baru bila bayang-bayang perempuan anak tetangga sebelah masih saja terbayang. Bukan hanya wajahnya, tapi juga hutangnya. Gila saja, dua belas juta, bagaimana Angkasa bisa lupa?

Iya, dua belas juta. Hanya untuk sebuah tas kecil yang Angkasa tebak hanya bisa muat dompet dan ponsel.

Jangan salahkan Eta meminjam, salahkan saja Angkasa yang tak kuasa menghadapi mata kucing gadis itu saat mengarahkan tangan dan berkata dengan suara melasnya, "Be, gue butuh uang."

Lagi-lagi, iya. Yang Mentari butuhkan itu uang. Bukan dirinya. Angkasa saja yang terlalu berharap Mentari mengajaknya bertemu untuk berbicara serius perihal hubungan mereka.

"Jadi, lo ngajak gue ketemu di sini, di lorong toilet, cuma buat ini?"

Oh, jangan tanyakan bagaimana kecewanya Angkasa kala itu. Ia menatap Mentari tak percaya, lalu menggeleng putus asa sembari mengangkat satu tangan ke pinggang.

"Ck, lo pikir gue gembel." Mentari bersedekap. "Gue nggak minta ya, gue minjem. Minjem doang. Bakal gue ganti kok."

"Kapan?"

"Nyicil dong, kayak biasa."

Angkasa makin putus asa. Ia mundur selangkah demi menyandarkan punggungnya pada dinding lorong. Berhadapan dengan Eta yang berbibir manyun.

"Gue nggak ada uang." Angkasa ikut bersedekap. Kali ini dia harus tegas. Kalau kali ini saja ia sudah menolak mau gadis ini, Angkasa tidak yakin ke depannya ia akan bisa menahan diri.

"Gapapa uang nggak ada. Yang penting debit ada, kan?"

Sial!  Angkasa mengumpat dalam hati. "Ada, tapi nggak buat lo pinjem."

"Ih, kenapa sih? Biasanya lo juga langsung ngasih. Lagian gue cuma minjem doang. Ya ya ya ...." Mentari melangkah maju. Mendekat pada Angkasa hingga jarak mereka hanya tersisa dua langkah. Gadis itu mendongak hingga tatapan matanya bertemu sang lelaki. Kemudian mengadahkan dua tangan. Demi Tuhan ekspresinya berhasil membuat jari-jemari Angkasa tremor. Gemetar lantaran terlalu keras menahan diri untuk tak mencubit gemas pipinya yang merona karena blush on. Terlebih bibir merah delimanya yang kini dipoles lipstik nude mengerut.

Ya Allah, Angkasa merintih dalam hati, andai saja Mentari halal untuknya, Angkasa tak akan ragu menyeret si manja ini bilik toilet sekarang juga.

"Jadi, tuh, tadi gue liat tas cantiiikkkk banget deh, Be. Tapi, mahal. Uang bulanan gue aja nggak cukup buat beli. Padahal gue pengen banget loh. Pasti gue bakal tambah manis pake itu. Kalo gue nabung dulu, takut tasnya keburu dibeli orang, Be. Soalnya yang gue liat tuh barangnya cuma satu. Ini aja gue ketar-ketir takut keduluan. Makanya lo nggak usah kelamaan mikir dulu. Kasih uangnya dulu aja. Pliissss ...." Di akhir kata, dia mengedip-ngedip manja.

Kalau begini, bagaimana Angkasa bisa menolak?

"Emang lo butuh berapa sih, Nu?" Dan dia pun mulai melunak. Nada suaranya terdengar lelah dan berat, kentara sekali kalau ia terpaksa.

"Nggak banyak kok. Cuma dua belas doang."

"Dua belas?"

"Juta." Mentari nyengir. Lebar sekali hingga gigi-giginya nyaris kelihatan semua. Seolah yang ia katakan adalah 'ribu'. Sedang Angkasa, jangan ditanya. Rahangnya nyaris jatuh ke keramik putih di bawah kaki mereka.

"Dua belas juta lo bilang cuma?"

"Ck, nggak sampe separuh gaji lo kan?"

"Ya kalo sampe separuh gaji gue, nggak bakal gue kasih lah!"

"Berarti dua belas juta aja dikasih kan?"

Angkasa mati kutu. Setengah tak rela, ia merogoh dompet di saku celana belakang. Kemudian memberikan kartu debitnya pada Mentari yang langsung menatap benda itu penuh cinta. "Tapi, ini yang terakhir ya. Setelah ini, gue nggak akan bisa ngasih lo pinjem uang lagi seenaknya."

Mengambil benda incarannya dari tangan Angkasa secepat kilat, Eta menyahut, "Tahu deh, yang udah punya calon." Lalu pergi begitu saja.  Meninggalkan Angkasa yang hatinya makin terasa linu.

Jadi, Mentari sudah tahu. Dan dengan entengnya dia mengatakan Angkasa sudah memiliki calon. Bahkan tanpa nada cemburu.

Menarik napas panjang, Angkasa menegakkan bahu. Cukup. Ia dan Mentari akan benar-benar berakhir setelah malam ini usai.

Meraih handle pintu kamar, suara deru halus mobil memasuki pekarangan disusul bunyi klakson terdengar. Menambah tabuhan genderang di balik dada lelaki itu. Entah Semesta, entah keluarga Cantika yang datang lebih dulu. Semua tak lagi penting.

"Oke, gue siap," desahnya sebelum memutar kenop. Siap menyambut tamu kehormatan keluarga Wiratmadja malam ini.

🌤️🌤️🌤️

Saat resah, rasanya perut mudah kenyang. Barangkali karena terlalu tegang. Dan Rafdi benci keadaan seperti itu. Karena kenikmatan saat makan seolah ditarik paksa. Padahal masakan Nina adalah favoritnya. Bahkan olahan koki terbaik di restorannya tidak sebanding. Rafdi bahkan bisa menambah sampai tiga kali.

Namun, tidak kali ini. Ada sesuatu yang mengganjal.  Pun celoteh anak-anak di meja makan malam ini terdengar begitu hambar.

Meletakkan sendok yang berisi makanan kembali ke atas piring, ia mendesah. Kemudian memijit pangkal hidung, berharap bisa mengurangi pening yang tiba-tiba menyerang.

Menyadari keadaan suaminya, Nina ikut berhenti makan. Menyeruput air mineral tiga kali tegukan, ia bertanya, "Kenapa? Kamu nggak enak badan?"

Belum sempat Rafdi menjawab, si kecil Aram yang sejak masuk TK mulai dibiasakan makan bersama, menyeletuk dengan mulut penuh, "Papa sakit?" Yang sontak membuat keempat saudaranya yang lain menoleh dan berhenti berceloteh. Sam hanya melirik sekilas sebelum kembali lanjut makan. Sedang Eta menatap khawatir sambil menggigit ujung sendoknya.

"Papa nggak Papa. Cuma pusing dikit sampe halusinasi kayaknya."

"Pusing sedikit gimana kalau sampai halusinasi? Kita ke dokter aja ya?" Nina menjauhkan piring makannya yang masih tersisa separuh. Siap berdiri, tapi Rafdi lebih dulu menahan dengan menyentuh ringan tangannya.

Melihat itu, Leffy dan Bias bertopang dagu. Kedua orangtuanya biasa bertengkar, rasanya aneh saja kalau mereka tiba-tiba tampak akur dan sedikit mesra.

"Aku beneran nggak apa-apa kok. Cuma sedikit kepikiran aja." Dia melirik kelima anaknya dengan tatapan janggal sebelum mendekatkan diri pada Nina dan bertanya dengan suara rendah, "Sebelum turun ke sini, tadi aku sempet lihat mobil masuk halaman rumah Surya. Mmm, dan ...." Rafdi ragu melanjutkan, tapi tatapan penuh ingin tahu Nina memaksanya meneruskan kalimat yang belum tergenapi, "dengan plat nomor Pak Richard. Itu nggak mungkin kan, ya?"

Namun rupanya suara sang kapala keluarga belum cukup rendah, karena faktanya bahkan seisi meja makan masih bisa mendengar. Bias yang merasa tahu segalanya tak memberi Nina kesempatan menjawab karena ia lebih dulu menyerobot, "Oh, itu bukan halusinasi kali, Pa."

Makanan yang baru Eta suapkan ke dalam mulut dan baru terkunyah dua kali, terpaksa harus ia telan paksa. Gadis itu sepertinya melupakan sesuatu.

Sial!

"Maksud kamu apa?" tanya Nina tak paham.

"Papa sama Mama belum denger gosip terbaru ya?"

"Gosip?" ulang Rafdi dengan kening berkerut bingung. Ia menoleh sebentar pada Nina yang ditanggapi wanita lima anak itu dengan gelengan kecil.

"Iya, bukan gosip sih. Tapi, fakta. Kalau Bang Sa ternyata dijodohin sama Tante Tika. Anak tiri istri Kakek Richard," jelas Bias ringan sembari menyendok satu suap lagi ke dalam mulutnya.

"Eh, serius?" tanya Nina tak percaya, yang dijawab oleh bunyi gesekan tajam derit kayu dengan lantai. Lagi-lagi berhasil menarik perhatian seluruh penghuni meja makan. Dan bunyi itu ternyata bersumber dari arah tempat duduk Mentari yang kini sudah berdiri.

"Eta kenyang," katanya yang lantas pergi begitu saja. Tak mengindahkan teriakan Nina yang menyuruhnya menghabiskan makanan.

"Itu anak kenapa, sih? Tumben," sungut Nina kesal. Dia paling benci pada orang yang menyisakan butir nasi di piring dan menerapkan aturan tersebut dalam keluarga mereka. Dan sejauh ini belum pernah ada yang melanggar kecuali Aram yang sedang belajar makan sendiri.

"Cemburu kali," Bias nyinyir. Sengaja mengeraskan suaranya agar Eta yang tengah berlari menaiki tangga itu bisa mendengar, bermaksud mengejek sang kakak. Kejengkelan Bias masih belum bilang lantaran kejadian tadi siang. Eta tetap keras kepala menolak mengganti uang makan siang mereka.

"Cemburu? Maksud kamu?" Dan nada suara Rafdi berubah tak menyenangkan. Sukses membikin putra tertuanya meringis. Lupa kalau di tengah-tengah mereka masih ada manusia daughter complex yang luar biasa posesif.

"Mmm, maksud Bias, iri. Bukan cemburu." Bocah berambut gondrong itu tercengir. "Tante Cantika aja udah mau nikah, kan? Sedang Kak Eta masih jomlo aja."

"Papa bahkan tidak keberatan sekalipun dia tidak pernah menikah," ujar Rafdi sambil lalu. Nina di sampingnya mendelik.

Sekarang katakan pada Bias, apakah ada ayah lain yang semacam Rafdi di dunia ini? Yang rela melihat anaknya menua sendiri.

Ah, dia lupa. Eta tidak akan sendiri, karena salah satu dari adik-adiknya akan menjadi korban ke-absurt-an gadis itu.

🌤️🌤️🌤️

Dah banyaaakkkkk ... kan ....
Kalo ini kalian masih bilang pendek, saya ambil selimut aja, deh. 2500 kata lebih looohhh ....

Selamat membaca, ya. Semoga saya nggak males ngetik dan lebih rajin apdet.

27 April 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top