02 | Angkasa Muda

"Ouch!"

Angkasa memegang pipi sebelah kanan yang kena tabok. Untuk kali ketiga hari ini. Rasanya gigi geraham Angkasa bahkan sudah mau copot. Ngilu-ngilu sedap dan sedikit nyut-nyutan. Beruntung tragedi ini terjadi di dalam mobil. Jadi, tidak akan ada yang memerhatikan. Kecuali Mang Firman. Sopir pribadinya yang berdehem menahan tawa di bangku kemudi. Pura-pura tak menyimak, padahal jelas Angkasa menangkap lirikannya dari spion depan. Tapi, setidaknya ini lebih baik. Daripada tadi siang. Aan, mantannya, anak magang bagian keuangan di kantor sebelah menamparnya di mal selepas mereka makan siang.

Sial bagi Angkasa. Dia yang mentranktir, dia pula yang digampar. Dan semua itu hanya karena tiga kata sederhana yang ia lontarkan dengan ekspresi wajah tanpa dosa.

"Kita putus, ya."

Jenak setelah kalimat pendek itu lolos dari katup bibirnya, langkah Aan spontan terhenti. Ia menoleh pada Angkasa dengan kernyitan dalam di kening. "Kamu tadi ngomong apa?"

"Kita putus."

Alih-alih marah, Aan tertawa. Cukup kencang hingga membuat beberapa pengunjung yang berlalu lalang memerhatikan mereka sekilas. "Becanda kamu nggak lucu tahu, Ang."

"Gue nggak bercanda. Ini serius. Gue mau putus."

Gelak tawa Aan praktis terhenti. Diperhatikannya ekspresi wajah sang lawan bicara lekat sebelum kembali melontar tanya setelah mendapati tak ada raut bercanda di sana. "Kenapa?"

Angkasa meliarkan pandangan. Mencoba mencari alasan. "Karena ini syarat dari seseorang agar dia mau gue jadiin pacar, oh ... bukan. Jadi istri maksudnya." Tidak semuanya bohong. Itu memang salah satu alasan. Lebih dari itu, Angkasa ingin menata hidup lebih serius lagi. Gara-gara sering menonton ceramah ustad sejuta viewers di YouTube—sebenarnya ini kelakuan Damai yang hampir tiap pagi menyetel saluran islami di smart TV rumah mereka—Angkasa jadi ingin ikutan hijrah. Seperti Semesta dan Surya yang sudah rajin berjamaah ke mesjid dan setia pada satu perempuan. Juga Rinai yang konsisten dengan hijabnya. Angkasa iri. Dia jadi ingin memperbaiki diri, lalu segera menikah. Dan satu-satunya cara adalah dengan melepas semua wanita yang telah ia ikat dengan tali 'pacaran'. Fokus pada satu perempuan yang benar-benar ia inginkan.

"Kamu—" kata-kata Aan tak sempat tergenapi, justru cap merah tangannya yang kemudian mendarat mulus di pipi Angkasa. Tanpa komando. Angkasa yang tidak siap mendapat serangan, pasrah saja saat kepalanya terlempar ke samping. Tamparan Aan lumayan kuat ternyata hingga berhasil membikin kupingnya berdenging. "Jadi kamu selingkuh di belakang aku?" tuding Aan kemudian dengan nada tinggi. Membuat orang-orang yang berlalu-lalang bukan lagi melirik sekilas, tapi sudah mulai melambatkan langkah demi menonton aksi drama yang tayang secara langsung di depan mata. Ugh, sudah terlanjur basah, nyemplung saja sekalian, pikir Angkasa kala itu.

Namun, ia sedikit bingung. Apa yang harus ia jawab untuk pertanyaan barusan? Dibilang selingkuh, sepertinya tidak. Angkasa hanya punya beberapa pacar. Cuma beberapa dan tidak sampai lima. Selingkuh itu menjalin hubungan di belakang pasangan resmi, kan? Sedang Angkasa tidak merasa demikian. Ia sama sekali tak pernah menutupi hubungan dengan pacar-pacarnya pada pacar yang lain. Dan tidak pula mengumbar. Toh, mereka tidak pernah bertanya dia punya pacar berapa. "Mmm ... Mungkin bisa dibilang begitu. Tapi, nggak juga sih. Ayolah, kita cuma pacaran. Sedang masa percobaan. Kalau cocok lanjut, nggak cocok ya masing-masing."

Fix, urat malu Angkasa sudah putus. Dia bahkan sama sekali tidak merasa malu menjadi bahan tontonan. Beberapa pengunjung yang baru melintas terdengar berbisik. Bertanya pada orang-orang sebelumnya tentang apa yang terjadi. Yang sayang tak bisa Angkasa dengar jawaban mereka apa. Tidak penting juga.

"Jadi bener kamu selingkuh, dan mau jadiin selingkuhan kamu itu istri?" tanya Aan dengan volume makin tinggi. Angkasa melirik kanan kiri. Mencoba mencari-cari sosok satpam yang barang kali bertugas di lantai itu. Jangan sampai dia ditarik ke pos jaga lantaran menciptakan keributan di tempat umum. Mau ditaruh di mana wajahnya kalau begitu?

Meringis kecil, ia pun menyahut, "Lo nggak mikir gue cuma pacaran sama lo aja, kan?"

Dan ... satu lagi tamparan kuat mendarat di pipi kiri Angkasa. Padahal apa salahnya? Pacaran tidak mengikat. Tidak ada aruran tertulis yang menyatakan bahwa pacar harus satu dan cuma satu. Istri saja bisa empat, apa lagi pacar yang bahkan sama sekali tidak tercatat di berkas kenegaraan. Bebas.

"Jadi, kamu mainin aku selama ini?"

"Kamu merasa dipermainkan?"

"Iya!"

"Kalau begitu, maaf. Gue kira kebersamaan selama ini sama-sama kita nikmati. Kita have fun. Jarang berantem. Dan gue lihat lo seneng-seneng aja. Jadi, bagian mana dari sikap gue yang mempermainkan lo?"

"Kamu ... kamu mempermainkan hati aku!"

Angkasa berusaha menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Kerumunan di sekeliling mereka kian banyak. Bisikan-bisikannya terdengar seperti dengungan kawanan lebah yang bising. Angkasa berdoa dalam hati, semoga saja kenalannya di kantor tidak ada yang datang ke sini. "Bagian mana dari hubungan kita yang melibatkan hati?"

"Kamu ngajak aku pacaran!"

"Terus?"

"Dasar bajingan! Jelas aku ngasih kepercayaan penuh buat kamu miliki hati aku! Tapi ini yang kamu lakuin, Ang! Kamu sakitin aku karena cewek lain!"

"Oke, begini. Pertama, gue nggak pernah minta hati lo. Gue cuma nanya. Lo mau nggak jadi pacar gue? Lo jawab iya. Terus kita jalan. Kalau setelahnya lo melibatkan hati dalam hubungan ini, jelas itu salah lo. Karena gue nggak pernah minta, kan?"

Satu tetes bening jatuh dari sudut mata Aan, disusul puluhan tetes lain yang membasahi pipi putih mulusnya. Aih, Angkasa tidak pernah tega melihat perempuan menangis. Dia jadi ingat Damai. Ibunya. Dia juga tidak pernah ada maksud menyakiti hati wanita ini. Tapi, pacaran dalam kamus Angkasa memang hanya sebatas pertemanan yang lebih dalam. Mereka bisa bebas jalan berdua. Makan. Nonton. Tanpa harus ada yang cemburu dan dicemburui. Bagi Angkasa, pacaran itu semacam percobaan. Percobaan untuk jatuh cinta dan ... percobaan melupakan seseorang yang sayangnya gagal. Dulu. Sebelum ia sadar kalau menjalin hubungan semacam ini benar-benar merugikan. Rugi di waktu dan di kantong. Dosa pula. Lengkap sudah.

"An, please jangan begini. Kita jadi bahan tontonan."

"Kamu jahat!" Aan berusaha menghapus air mata menggunakan punggung tangannya yang seketika lemas. Membuat wajah bulat imut itu makin basah. Aan tidak terima diputuskan. Sayang juga melepas sosok Angkasa. Husband material yang mungkin tak akan ia dapat lagi di kemudian hari. Laki-laki tampan dan mapan yang bisa dipamerkan pada teman-temannya. Tapi, siapa sangka mahluk berjakun yang manis ini ternyata berengsek juga.

Menarik ingusnya sekali, ia mendongak. Menatap Angkasa tepat di mata. Jujur saja Aan cinta. Lebih dari itu, dia menginginkan kemapanannya. Angkasa adalah penerus Wiratmadja Corp. yang hartanya tidan akan habis tiga turunan. Jadi, kenapa Aan tidak mencoba sekali lagi saja. Mencoba bernegosiasi agar hubungan mereka bisa sedikit lebih lama dengan sedikit menggadaikan harga dirinya di depan puluhan mata yang kini terang-terangan memerhatikan mereka. Setidaknya, bila berhasil ia akan memiliki kesempatan membuat Angkasa jatuh cinta setelah ini.

"Kamu bilang pacar kamu nggak lebih dari satu, kan?" Angkasa mengedip. Tak bisa menebak ke mana arah pertanyaan ini akan bermuara. Anggukan kecil ia berikan sebagai jawaban. Mulai jengah sebenarnya. Sedikit waswas juga. Takut ada satu dari sekian orang yang berkerumun mengenalinya. Kalau hanya kenalan biasa tidak masalah, asal jangan sampai ibunya atau tetangga kompleks perumahan saja yang ke sini. Bisa bahaya kalau sampai Damai tahu putra kesayangannya membikin anak gadis orang menangis-meski Angkasa sendiri tidak tahu apakah Aan benar masih gadis atau sudah janda. "Kalau gitu aku nggak mau putus," lanjut cewek itu.

"Hah?"

"Kamu boleh pacaran sama siapa pun lagi. Kamu juga boleh nikah, aku nggak masalah. Mau punya lima atau tujuh pacar sekalian juga boleh. Tapi, aku tetep nggak mau putus."

"Nggak bisa gitulah. Ini syaratnya."

"Dan kenapa kamu harus mau? Kamu kan bisa cari cewek lain timbang cewek sialan yang minta syarat kamu mutusin pacar-pacar kamu sebelumnya."

Cewek sialan katanya? Eta dibilang cewek sialan. Demi apa ... Angkasa berdeham untuk menyembunyikan senyum geli. Diakui atau tidak, Mentari memang sialan. Dan memikirkan cewek sialan yang tadi pagi berhasil membuatnya tertawa, entah kenapa membikin seluruh aliran darah Wiratmadja junior itu berdesir hangat. Andai Eta di sini, sudab pasti mulut Aan akan dirobeknya lantaran berani menyebut ia sialan.

Menyeringai kecil. Angkasa menyurukkan satu tangan ke dalam saku celana sebelum berkata dengan pasti, "Tapi, cewek sialan itu calon istri gue. Jadi gue nggak akan pernah bisa nolak. Sorry." Sebelum melangkah pergi. Berbalik badan meninggalkan Aan yang menangis makin keras. Bukan lagi sakit hati, ia malu luar biasa. Kesal, ia melepas sepatu berhak tujuh senti yang dikenakan penuh dendam, kemudian melempar benda berbahan kulit asli tersebut ke arah sang mantan.

Dan sukses mendarat sempurna di puncak kepala Angkasa yang praktis memekik kesakitan.

Setidaknya poin mereka satu sama.

Bunyi debum pintu mobil yang ditutup kasar menyadarkan Angkasa dari lamunan perihal kejadian siang tadi di mal. Menoleh, ia mendapati kursi di sebelah kemudi telah kosong. Dita sudah keluar dari sana. Tanpa air mata. Namun kemarahan tak bisa ditutupi dari ekspresi wajahnya. Wanita yang kini sedang meniti karier sebagai model itu menoleh padanya sebelum membuka gerbang kos-kosan putri di daerah kemang. Lalu memberikan jari tengah padanya dengan pandangan benci.

"Lo harus bayar mahal untuk ini, Ta." Angkasa kembali menghidupkan mesin mobil. Ia melirik sekilas potret cantik Eta dalam bingkai kecil di dasbor yang ia pasang semalam, setelah Mentari setuju menajalin hubungan (dengan syarat). Di sana pacar—ah ... bukan, melainkan calon istri—baru Angkasa tampak cemberut. Rambutnya awut-awutan tertiup angin taman dekat kompleks perumahan sebelah. Angkasa mengambil gambar ini diam-diam sekitar dua tahun lalu. Saat itu Mentari marah pada Nina lantaran salah satu kucing kesayangannya diadopsikan pada kerabat jauh mereka.

akhirnya, Angkasa punya kesempatan memajang foto ini. Tak lagi hanya menjadi penjaga di dompetnya, ditindihi foto dirinya pula agar tak ketahuan.

Memundurkan mobil ke belakang, ia berkata lagi, "Gara-gara lo pipi kanan dan kiri gue bengkak, nih!" Lalu tertawa keras saat merasa bibir Mentari dalam bingkai kecil di dasbor makin maju.

Fix, selain tidak punya urat malu dia juga positif gila. Setelah ini ia harus segera mendatangi Nina untuk mengadukan gejala sakitnya. Barangkali dokter cantik itu akan meresepkan obat (baca: putrinya) untuk Angkasa tebus dengan mahar pernikahan.

Dan memikirkan itu saja, sepanjang jalan pulang Angkasa terasa lebih menyenangkan. Ah, sepertinya dia tidak pernah sesemringah ini sepanjang hidup.

Merasa senang sekaligus berdebar. Serta kehangatan yang mengalir di sepanjang pembuluh darahnya. Dan hanya satu nama yang bisa membuat ia begini.

"Ahaaayyyyy ...." jerit Angkasa tanpa bisa menahan senyum saat merasa dirinya mendadak dangdut. Ugh, Angkasa memang suka langu dangdut omong-omong.

"Pacarku memang dekat, lima langkah dari rumah. Tak perlu kirm surat, sms juga nggak usah. Kalau rindu bertemu tinggal nongol depan pintu. Tangan tinggal melambai, sambil bilang, halo sayaaaangggg!" Ia bernyanyi dengan nada sumbang sambil memukul-mukul setir mobil bagai gendang. Sama sekali tak merasa jengkel saat mobilnya terjebak macet dengan bunyi lengkingan klason yang bersahut-sahutan. Hari sudah hampir habis, menyisakan jingga kemerahan di langit barat. Ah, malam akan tiba. Angkasa punya janji dinner dengan calon istrinya. Ugh, misi membuat Mentari Anugrah mau dengan suka rela menjadi pelengkap separuh imannya dimulai dua jam lagi.

⛅⛅⛅

Yang mau lagi siapaaaa? Besok atau lusa tapiiii😂😂😂 Makanya, doain saya biar nggak malea ngetik ya. Akhir-akhir ini sukanya goler-goler santai melulu nih.

Bdw, nulis bagian Aang, saya jadi ikutan sinting kayaknya😯😯😯
Yang pernah baca versi sebelumnya, pasti sadar kalo ada beberapa bagian yang direvisi.

Esto bule dhin dhika, Cah😘

Pamekasan, 23 September 2018

Repost, 03 Februari 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top