21| Gosip hangat hari ini
"Moza!" seru suara dari arah belakangku. Aku menoleh dan mendapati Zilva tengah berlari kecil ke arahku dengan wajah ceria.
"Nggak usah sok kenal, ya!" kataku sewot ketika Zilva hendak menggandeng lenganku.
"Dih, masih pagi udah marah-marah aja," balas Zilva melingkarkan tangannya ke lengan kananku.
"Ya habis, kemarin lo rese banget diajakin main nggak mau. Gue kan merana sendirian di rumah," omelku. "Tega lo emang."
"Apanya yang sendirian! Orang kemarin lo jalan kan sama Ferrish," timpal Zilva tak kalah sewot. "Ngemol berdua kayak lagi kencan."
"Dih, siapa yang kencan sama setan satu itu!"
"Kalau nggak kencan terus apa? Jalan berdua, makan bareng. Kencan itu, Moza."
Aku melotot ke arah Zilva. "Nggak kencan!" ucapku tegas. "Eh tunggu, lo tahu dari mana gue ikut Ferrish ke mal?" tanyaku ketika menyadari bahwa aku tidak cerita kepada Zilva kalau kemarin aku pergi bersama Ferrish.
"IG story punyanya Ferrish," kata Zilva seraya merogoh ponselnya yang berada di saku rok lalu membuka aplikasi Instagram miliknya. "Kemarin dia post story jalan sama lo."
"Hah?"
"Nih," ucap Zilva menyerahkan ponselnya kepadaku.
Aku mengambil ponselnya lalu menonton IG story milik Ferrish. Postingan story pertama memperlihatkan deretan toko-toko yang berada di mal. Ada sosokku nyempil di pinggiran. Di atas kepalaku Ferrish menuliskan kalimat 'ngalangin pemandangan'. Sontak saja aku berdecak melihat story itu.
"Bener-bener nih, orang," kataku sebal.
"Emang nyebelin ya, Ferrish," timpal Zilva sambil tertawa yang membuatku mengangguk setuju.
Kemudian aku beralih ke story kedua yang memperlihatkan video suasana toko buku, tampak deretan buku-buku di rak, lalu video itu berhenti pada sosokku yang tengah membaca sebuah buku. Namun, bukan Ferrish namanya kalau tidak jahil. Tiba-tiba saja Ferrish memperbesar video tersebut hingga memperlihatkan ekspresi wajahku yang sedang terbengong kagum dengan mulut yang agak menganganga. Aku memejamkan mata sejenak untuk meredakan rasa kesalku setelah melihat story milik Ferrish itu.
"Wajah lo lucu banget tahu nggak, Moz," komentar Zilva masih dengan tawanya.
"Nggak lucu," balasku sebal sendiri.
Sebenarnya aku ragu untuk melanjutkan menonton IG story milik Ferrish, tapi aku makin penasaran apa lagi yang dia lakukan terhadap foto atau videoku. Kemudian aku meneruskan menonton story ketiga milik Ferrish. Kali ini Ferrish membuat video yang menyorot makanan dan minuman di meja. Ada kentang goreng, burger, onion rings, pasta dan juga milkshake. Itu semua adalah pesanan kami berdua. Lalu, video berpindah menyorot diriku yang tengah meraih kentang goreng. Namun, dengan jahilnya Ferrish menarik piring yang berisi kentang goreng hingga tak dapat kujangkau. Sontak saja aku menatap Ferrish dengan sebal. Hal ini malah mengundang tawanya.
"Astaga, isinya cuma gue yang dinistain doang!" kataku dengan tidak percaya.
"Iya," ucap Zilva menyetujui perkataanku. "Tapi, beneran lucu banget!"
"Nggak lucu sama sekali," kataku tidak setuju seraya mengembalikan ponsel milik Zilva. "Kesel nih, gue. Awas aja ketemu Ferrish, beneran gue jitak tuh kepalanya."
"Kapan lagi coba Moz, nangkring di story anak hits kayak Ferrish. Gue yakin saat ini lo udah jadi bahan omongan anak-anak. Bahkan, bisa jadi lo jadi ketularan hits kayak Ferrish." Zilva menyenggol bahuku.
"Ketularan gila iya!" balasku sebal seraya kembali berjalan menuju kelasku.
***
"Lo sama Ferrish beneran nggak pacaran?"
Aku menatap Tuti dengan tidak percaya. "Apa yang membuat lo berpikir gue sama manusia prik itu pacaran?"
Tuti memperlihatkan layar ponselnya yang berisi story milik Ferrish. "Kemarin kalian jalan bareng."
"Ya bukan berarti kami pacaran!" kata cepat-cepat. "Gue hanya ikut dia cari kado di mal."
"Yakin?"
"Iya lah yakin!"
Tuti bukanlah orang pertama yang mengira bahwa aku dan Ferrish pacarana hanya karena story instagram Ferrish kemarin. Selain Tuti, beberapa teman kelasku yang lain pun ikut mempertanyakan hal yang sama. Bukan hanya teman-teman dari kelasku saja, orang lain yang bahkan aku tak tahu mereka siapa pun menanyakan hal yang sama kepadaku. Sungguh, Ferrish membuatku kerepotan sendiri hari ini.
"Sayang Moza!" seru suara dari arah pintu kelasku. Kini kulihat Dennis tengah berlari kecil ke arahku.
"Apa lagi ini," gumamku dengan helaan napas lelah.
"Lo sama Ferrish beneran pacaran?" tanya Dennis yang saat ini sudah duduk di kursi samping mejaku.
Aku menatap Dennis dengan tatapan datar. Bisa-bisanya dia ikut-ikutan mempertanyakan hal itu.
"Menurut lo?"
Dennis mengamatiku sesaat sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Nggak?"
"Ya emang nggak!"
Dennis menghela napas lega. "Gue kira kalian jadian diem-diem di belakang gue. Hampir saja gue patah hati," katanya berlebihan.
"Mana ada gue jadian sama Ferrish."
"Iya juga ya, kan lo cintanya sama gue." Dennis tersenyum lebar ke arahku yang membuatku pura-pura muntah. Hal ini malah membuat Tuti tertawa.
"Udah ah, gue mau ke kantin. Tut ikut?" tanyaku kepada Tuti seraya bangkit dari posisi dudukku.
"Nggak. Gue lagi puasa," jawab Tuti.
Aku menganggukkan kepala. "Mantap Tuti," ucapku.
"Gue ikut," kata Dennis tanpa kutanya.
"Gue ke kantin dulu, ya, Tut," ucapku sebelum pergi meninggalkan kelas bersama dengan Dennis.
"Zilva mana?" tanya Dennis yang berjalan di sampingku.
"Nggak tahu. Tadi habis bel istirahat langsung pergi nggak tahu ke mana."
Dennis menganggukkan kepala mengerti.
"Tahu nggak sih, seharian ini gue ditanyain mulu tentang hubungan gue dan Ferrish. Bisa-bisanya gara-gara IG story pada ngira kami pacaran," gerutuku kesal sendiri.
Dennis terkekeh mendengar gerutuanku. "Ya habis, kan tahunya kalian sering berantem, musuhan. Eh, kok tiba-tiba jalan berdua ke mal."
"Tapi kan, story dia itu menistakan gue, Denn. Lo lihat kan?"
Dennis kembali tertawa. Ia menganggukkan kepala. "Iya. Gue tahu dia nistain lo."
"Dan lo bisa-bisanya ikutan nanya apa kami pacaran!" omelku memukul lengannya yang membuat tawanya semakin kencang.
"Ya habis, kayaknya lucu aja lihat lo ngedumel kesel gini."
Aku berdecak sebal mendengar jawabannya itu. Memangnya ekspresi kesalku selucu apa, sih? Kok kayaknya sering bikin orang tertawa.
"Ini juga salah lo tahu nggak! Kemarin pakai pergi main sama Bara. Alhasil gue jadi terpaksa ikut Ferrish cari kado ke mal."
"Ah iya, ya. Seharusnya kemarin lo pergi sama gue, biar gue yang digosipin pacaran sama lo." Dennis tersenyum lebar ke arahku memamerkan deretan gigi putihnya.
"Nggak gitu juga!"
"Oh! Apa sekarang aja gue post foto lo di story Instagram gue ya?" kata Dennis tiba-tiba seraya mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya. "Moza, sini gandengan."
"Ah, si dodol!" kataku sebal sendiri seraya berjalan cepat meninggalkan Dennis.
"Bentar, Moza. Tungguin gue, jangan cepet-cepet jalannya!" sahut Dennis yang membuatku menoleh ke arahnya. Kini Dennis tampak sedang memotretku dari belakang.
"Nggak usah macem-macem lo, ya," ucapku seraya berlari kecil, menjauh dari Dennis.
"Konsep lari-larian juga boleh!" balas Dennis yang tampaknya ikut lari mengejarku. "Tunggu gue, Moza sayang!"
Ya Tuhan, kenapa hanya ada orang-orang aneh dan tak jelas di sekelilingku, sih? Aku capek. Beneran!
***
"Lo nunggu Kak Dylan?"
Aku menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Zilva.
Saat ini aku sedang berada di depan sekolah, menunggu Kak Dylan menjemputku. Awalnya tadi aku hendak pulang bersama dengan Dennis, tapi tiba-tiba saja Kak Dylan meneleponku dan mengatakan akan menjemputku pulang sekolah. Ya sudah, aku rasa lebih baik aku pulang dengan Kak Dylan. Kalau dengan Dennis, aku yakin akan sering pura-pura muntah karena gombalan dia.
"Apa gue boleh ikut nebeng pulang?" tanya Zilva tersenyum manis ke arahku.
"Terus kalau lo mau nebeng gue pulang, sopir lo mau lo ke manain?" balasku menunjuk mobil hitam yang sudah berada di depan sekolah. Itu adalah mobil jemputan untuk Zilva.
"Atau nggak, lo yang nebeng gue aja daripada nungguin Kak Dylan?" kata Zilva memberi ide. "Nanti gue anterin lo sampai dalam rumah. Gimana?" Zilva tampak bersemangat mengatakan hal itu.
Aku memicingkan mata ke arah Zilva. "Lo punya maksud tersembunyi apa, Zil?"
Zilva menggelengkan kepala. "Gue nggak punya maksud tersembunyi apa-apa. Gue kan hanya baik hati dan tidak sombong, Moza."
Aku berdecak. "Yakin mau nganterin gue ke rumah karena memang lo baik hati dan tidak sombong?"
Zilva menganggukkan kepala dengan semangat. "Tentu."
"Bukan karena pengen ketemu sama Kak Dylan?" tanyaku lagi penuh selidik.
"Ya kalau bisa dua-duanya kenapa nggak?" Zilva menyengir lebar ke arahku.
"Dasar tukang modus!"
Zilva terkekeh. "Please lah, Moz, kasih gue lampu hijau buat pepet Kak Dylan. Lo punya kakak cakep jangan diumpetin dari gue kenapa, sih?"
"Percaya sama gue, Kak Dylan nggak secakep itu. Dia yang terburuk! Gue sedang menyelamatkan lo dari monster termengerikan," ucapku meyakinkannya. "Udah sana pulang. Itu sopir lo udah melambai-lambaikan tangan, kayak mau menyerah."
"Dasar lo ya, pelit banget sama gue," runtuk Zilva. "Ya udah gue dulu. Bye!" Zilva melambaikan tangan seraya berjalan meninggalkanku menuju mobil jemputannya.
Aku balas melambaikan tangan. "Bye. Hati-hati di jalan."
Setelah kepergian Zilva, aku langsung mengambil headset lalu menyelipkannya ke kedua telingaku. Aku takut kalau sendirian begini, bisa-bisa ada orang yang tidak kutahu siapa mengajakku mengobrol. Terlebih jika obrolannya hanya seputar gosip hangat hari ini, yaitu aku dan Ferrish berpacaran.
Aku menghela napas dalam, sejak tadi pagi aku belum bertemu dengan Ferrish. Padahal kan jika bertemu, aku hendak mengomelinya habis-habisan. Gara-gara dia aku jadi kerepotan sendiri. Kan menyebalkan.
Sambil menunggu Kak Dylan yang masih belum datang, aku menikmati musik yang mengalun di kedua telingaku. Saat ini lagu milik Olivia Rodrigo yang berjudul Brutal tengah mengalun. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak ikut bernyanyi bersama Olivia Rodrigo yang sedang bersenandung di telingaku. Aku takut bernyanyi-nyanyi sendiri seperti orang gila. Meskipun begitu, aku tetap menikmati lagu ini. Sesekali aku mengangguk-anggukkan kepala ringan seirama dengan lagu yang mengalun. Hingga tiba-tiba aku melihat sepasang sepatu dari ekor mataku. Sontak saja aku menoleh ke arah kananku, di mana sosok Masha berada. Dia tampak sedang mengatakan sesuatu yang tidak dapat kudengar.
"Lo ngomong sama gue?" tanyaku seraya menarik headset dari kedua telingaku. Aku menatapnya bingung sekaligus waspada.
"Lo dari tadi nggak dengerin gue?" tanyanya balik tampak marah dan kesal.
"Lo sedang mau ngajakin berantem lagi?" balasku bingung, meskipun begitu aku sudah menggulung lengan bajuku. Kali saja memang dia hendak melabrakku lagi. Apa pun yang terjadi aku harus siap.
"Lo tuh, bener-bener ya! Nggak bisa apa, sehari saja jauhin—"
"Moza!" panggil suara dari arah belakangku memotong ucapan Masha. Aku dan Masha menoleh ke arah tersebut dan mendapati Ferrish tengah berjalan ke arah kami. "Lo nggak apa—"
"Lo!" kataku kesal seraya menunjuk ke arah Ferrish. Akhirnya aku melihat sosok Ferrish setelah dari pagi dia seperti ditelan bumi. "Sumpah ya, lo bikin gue—"
"Kak Dylan," sahut Ferrish memotong ucapanku seraya menunjuk ke arah mobil yang baru saja menepi di pinggir jalan. Ferrish tampak panik, seolah dia tahu aku hendak mengomelinya. "Buruan balik sana." Ferrish mengibaskan tangannya, mengusirku.
Aku melotot sebal ke arahnya. "Awas lo," ancamku menunjukkan tinju kananku.
Ferrish tersenyum menyebalkan. "Bye!"
Aku mendengus sebal. Setelah itu aku berbalik untuk berjalan ke arah mobil di mana Kak Dylan sudah menunggu. Namun, tadi aku menyempatkan diri memelototi Masha sebelum benar-benar pergi dari sana.
Hari ini sungguh berat sekali.
---------------
Halo! Akhirnya aku bisa bawa Moza lagi huehehehe. Kupikir aku bisa post semalam, taunya nggak kelar ngetiknya, jadi baru bisa post hari ini.
Jadi, hari Minggu ini kalian ngapain aja?
Terima kasih udah mampir ke sini~ jangan lupa baca ceritaku yang lain yaaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top