18| Jawaban dari pertanyaan Moza
"Lagi ada gossip apa?" tanyaku kepada Zilva yang sejak tadi sibuk mengamati ponselnya.
Zilva menyodorkan ponselnya ke arahku. "Lihat, deh," katanya yang membuatku menatap layar ponselnya yang saat ini tengah menampilkan sebuah foto dua orang manusia yang sedang duduk berhadap-hadapan. "Masha sama Ferrish," tambahnya.
"Itu mereka?" tanyaku lagi mengambil alih ponsel Zilva lalu mengamati foto di layar dengan lebih cermat. Dalam foto itu, aku melihat sosok Ferrish dan Masha yang tampak sedang mengobrolkan entah apa. Mereka terlihat seperti sedang asyik dengan dunia mereka sendiri.
"Iya," jawab Zilva. "Lagi di kantin. Balikan katanya."
"Serius balikan?" tanyaku kaget seraya menoleh ke arah Zilva.
Zilva mengangkat kedua bahunya. "Iya kali," balasnya. "Paling nggak, itu katanya si pemilik foto."
"Memangnya itu foto dari siapa?"
"Salah satu teman Masha yang dulu pernah ikut ngeroyok lo," jawab Zilva. "Itu dapat dari story WA dia."
"Kalian temenan?"
"Nggak. Gue dapat dari grup," kata Zilva. "Makanya, sekali-kali buka grup kelas."
Aku menggelengkan kepala. "Males. Isinya nggak ada yang penting," balasku. "By the way, apa Ferrish sama Masha masih di kantin?"
Zilva menganggukkan kepala. "Iya kayaknya."
Sontak saja aku bangkit dari posisi dudukku. "Ya udah, ayo," kataku.
"Ayo ke mana?" tanya Zilva dengan bingung.
"Kantin lah! Let's go."
Dengan helaan napas dalam Zilva ikut bangkit dari posisi duduknya. Setelah itu, kami berdua berjalan menuju kantin untuk melihat secara langsung apakah benar saat ini Ferrish dan Masha sedang duduk berdua di sana. Dan apakah benar mereka balikan?
Sungguh menjengkelkan rasanya membayangkan mereka berdua kembali bersama. Aku pun tidak tahu kenapa bisa aku sejengkel ini.
Sesampainya di kantin, aku melihat Ferrish dan Masha memang tengah duduk berdua. Masha tampak sibuk mengajak Ferrish mengobrol. Ferrish sendiri terlihat lebih sibuk memakan bakso pesanannya.
"Gue mau pesan soto. Lo mau nggak?" tanya Zilva kepadaku.
Aku menggelengkan kepala. "Nggak, deh."
"Ya udah, kalau gitu lo cari tempat duduk sana. Gue mau pesen dulu."
Zilva berjalan meninggalkanku untuk pergi memasan soto. Aku sendiri, dengan tatapan masih mengamati Ferrish dan Masha, pergi mencari kursi yang kosong. Namun, saat ini semua kursi hampir terisi penuh. Tampaknya tidak ada tempat kosong untuk kami.
"Moza!" panggil suara dari arah samping kananku. Aku menoleh dan mendapati Bara tengah melambaikan tangan ke arahku. Bara terlihat sedang duduk di meja yang tidak begitu jauh dari posisi meja Ferrish dan Masha. Dan saat ini Bara sedang duduk bersama dua temannya yang sepertinya anak basket. Wajah mereka tampak tidak asing di mataku. Terutama cowok botak yang pernah nongkrong bareng Ferrish ketika aku ikut tanpa sengaja ikut Ferrish nongkrong bareng teman-temannya. "Sini," kata Bara lagi menepuk kursi kosong di sampingnya.
Dengan helaan napas dalam akhirnya aku memutuskan untuk mendekat ke arahnya.
"Halo, Moza," sapa cowok botak yang duduk berhadapan dengan Bara sambil tersenyum lebar ke arahku. "Ingat gue kan? Ingat dong, masak nggak. Iya kan?" tanyanya yang dia jawab sendiri.
"Susah buat melupakan kepala plontos lo itu," balasku yang membuat teman-temannya tertawa.
"Wah pujian lo nancep banget di hati," kata cowok itu yang semakin membuat teman-temannya tertawa.
Kemudian aku duduk di samping Bara. "Omong-omong, temen lo itu balikan sama mantannya?" tanyaku melemparkan pandangan ke arah Ferrish yang ternyata tengah menatap ke arahku. Sontak saja aku memototinya yang membuatnya geleng-geleng kepala.
"Setahu gue sih, enggak," jawab Bara.
"Balikan tahu!" sahut Anam, cowok berkepala botak itu.
"Iya, menurut gue juga balikan," timpal cowok berjambul yang entah siapa namanya. Cowok itu duduk di samping kiri Bara.
"Nama lo siapa, sih?" tanyaku kepada cowok berjambul itu.
"Lo nggak kenal gue?"
Aku menggelengkan kepala. "Nggak."
Cowok berjambul itu berdeham. Lalu ia merapikan jambulnya dengan wajah songong yang tampak menggelikan. "Kenalin, nama gue—"
"Uddin," sahut Anam. "Nama dia Uddin."
"Ah," balasku mengangguk mengerti. "Uddin."
"Azam! Panggil gue Azam."
"Dih, nama lo Uddin, ngaku-ngaku Azam," ledek Anam yang membuat Bara tertawa.
"Azam Syamsuddin nama dia," kata Bara memberitahuku.
"Panggil gue Azam aja, Moza," kata cowok bernama Azam Syamsuddin itu.
Aku tersenyum lalu menganggukkan kepala. "Syamsuddin aja lebih keren," ucapku.
Anam tertawa. Bara pun juga. Azam sendiri hanya bisa menghela napas pasrah. Ekspresinya itu sungguh lucu.
Tak lama kemudian Zilva bergabung bersama kami. Sahabatku itu membawa semangkuk soto dan satu gelas es jeruk bersamanya.
"Temen lo cantik, Moz," kata Anam menatap Zilva yang duduk di sampingnya.
"Temen lo botak, Bar," balas Zilva menoleh ke arah Bara.
Ucapan Zilva itu mengundang tawa kami semua.
"Si botak emang mata keranjang," ledek Azam. "Beda sama gue," tambahnya tersenyum lebar ke arah Zilva.
"Maaf nggak minat," timpal Zilva santai seraya memakan soto pesanannya.
"Oke kalau gitu, kembali ke target awal," kata Azam menoleh ke arahku. "Moza." Cowok itu tersenyum menggoda.
"Gue juga nggak minta. Sori," ucapku menggelengkan kepala.
Dan mereka pun kembali tertawa.
Tiba-tiba saja aku mendengar suara seseorang berdeham dari arah sampingku. Sontak saja aku menoleh ke arah tersebut. Betapa terkejutnya diriku ketika mendapati Ferrish tengah berdiri di samping mejaku dengan kedua tangan tersilang di dada.
"Sejak kapan lo jadi akrab sama anak-anak ini?" tanyanya kepadaku dengan kernyitan di dahinya.
"Loh, kami kan bestie," jawabku yang dibalas dengan seruan setuju oleh anak-anak yang berada di meja kami. "Omong-omong, cewek lo mana?" tanyaku seraya mengamati sekitar, mencari keberadaan Masha. Namun, cewek itu tidak ada di dekat Ferrish.
"Cewek gue siapa?" tanya Ferrish tak acuh.
"Dih, pakai tanya. Masha lah! Kalian balikan kan?" sahut Anam.
"Sok tahu," jawab Ferrish enteng.
"Nggak balikan berarti?" balas Bara.
"Nggak," jawab Ferrish lagi.
Jawaban Ferrish itu membuatku menghela napas lega. Akhirnya aku tahu jawaban atas pertanyaan yang menghantuiku sejak kemarin.
"Nggak tahu maksud gue," tambah Ferrish melirik ke arahku. "Dia sih, ngajakin balikan terus."
"Kalau masih suka sih, balikan aja, Rish. Dia kan banyak yang naksir. Nanti lo galau lagi kalau tiba-tiba dia diembat sama cowok lain," ucap Azam.
"Cewek banyak kali, Rish. Jangan mau balikan," kata Zilva ikut menimpali yang tanpa sadar membuatku menganggukkan kepala menyetujui.
"Kenapa jadi kalian yang repot sih?" tanya Ferrish bingung sendiri. "Balik kelas, yuk? Udah mau bel, nih."
"Ah, iya. Ayo," balas Bara seraya bangkit dari duduknya.
"Nam, Zam? Ayo?" kata Ferrish menatap kedua temannya itu.
"Gue mau nemenin Zilva sama Moza dulu," kata Anam dengan senyum lebarnya.
"Ayo, buruan," kata Ferrish lagi mengabaikan ucapan Anam itu. Malah, saat ini Ferrish sudah beranjak dari sisiku, menghampiri Anam dan Azam lalu menarik keduanya pergi dari sana.
"Kami duluan, Moza, Zilva," kata Anam dan Azam seraya melambaikan tangan ke arahku dan Zilva. Bara sendiri terkekeh melihat tingkah kedua temannya itu. Sedangkan Ferrish masih berusaha menarik mereka pergi dari kantin.
"Mereka berdua tuh anak basket rasa pelawak, ya," kata Zilva yang membuatku mendenguskan tawa. "Gue pikir, anak basket itu pada cool gitu loh. Tahunya, lawak semua." Zilva terkekeh sambil geleng-geleng kepala.
"Iya," ucapku menyetujui.
Tiba-tiba saja Zilva menunjuk arah belakangku dengan dagunya. "Ada yang merhatiin lo dari tadi," kata Zilva.
"Siapa?" tanyaku menoleh ke belakang. Pandanganku seketika itu juga tertuju pada cewek yang saat ini tengah menatapku dengan tatapan tidak suka. Dan tentu saja cewek itu adalah Masha. Saat ini Masha tengah duduk di kursi yang agak jauh di belakangku dengan kedua temannya. "Dari tadi di sana?" tanyaku kepada Zilva seraya balik menatap ke arah Zilva yang masih memakan sotonya.
"Nggak tahu," jawabnya. "Tapi, bisa jadi iya."
"Gue masih nggak paham kenapa Ferrish bisa suka sama cewek kayak dia," gerutuku sebal sendiri.
"Dia cantik," balas Zilva.
"Gue juga cantik," ucapku penuh percaya diri atau mungkin lebih ketidak tahu malu. "Tapi, kan cantik aja nggak cukup, Zil. Gue tetap nggak ngerti," lanjutku. "Mana Tejo juga suka sama dia kan? Mata mereka kenapa, sih?"
Zilva terkekeh mendengar gerutuanku. "Gue juga nggak ngerti kenapa lo harus repot banget masalah Ferrish dan Masha ini. Maksud gue, ya udah sih, kalau mereka mau balikan. Nggak penting juga kan buat hidup lo," katanya.
"Iya, sih, nggak penting," balasku dengan berat hati.
***
Aku berdiri di depan gerbang sekolah menunggu Kak Dylan menjemputku pulang sekolah. Saat ini keadaan sekolah sudah cukup sepi. Zilva sendiri sudah meninggalkan sekolah sejak bel pulang berbunyi karena katanya dia harus menemani mamanya pergi berbelanja.
Kurasakan tarikan ringan pada rambutku yang mmebuatku menoleh ke sisi kananku, bersiap memarahi siapa pun itu yang berani menggangguku. Namun, di sebalah kananku tidak ada orang.
"Dor!" seru seseorang dari sebelah kiriku.
Aku yang kaget sontak saja menoleh ke arah tersebut. Kudapati Ferrish kini sudah tertawa karena melihatku terkejut.
"Dasar kurang ajar, ya!" kataku kesal hendak memukulnya, tapi tentu saja Ferrish dengan sangat mudah bisa menghindari pukulanku.
Ferrish benar-benar menyebalkan.
"Kak Dylan mana? Belum sampai?" tanyanya di setelah selesai menertawakanku.
"Belum," jawabku sewot.
"Ah," balasnya seraya menganggukkan kepala mengerti.
Aku mengernyitkan dahi sambil mengamati Ferrish yang berdiri tidak jauh dariku. Cowok itu masih saja di sana, seperti sedang menunggu seseorang.
"Lo ngapain di sini? Balik gih, sana," kataku.
"Gue kan nunggu tebengan," jawabnya santai.
"Siapa? Temen basket lo?"
Ferrish menoleh ke arahku sambil menggelengkan kepala. "Kak Dylan," jawabnya.
Aku membelalakkan mata karena terkejut. "Kenapa lo mau nebeng Kak Dylan??" tanyaku. "Bukannya lo tadi bawa motor?"
"Motor gue dipinjam sama Bara buat ambil motor Anam di bengkel."
Aku berdecak. "Dasar nyusahin," gerutuku.
"Ferrish," panggil suara dari arah belakang kami.
Meskipun nama Ferrish yang dipanggil, tapi aku juga ikut menoleh. Kini kulihat Masha sedang berdiri tak jauh dari kami. Cewek itu terlihat sedang tersenyum ke arah Ferrish yang membuatku ingin muntah. Aku benar-benar membenci Masha. Cewek itu sangat menyebalkan bahkan ketika dia tidak melakukan apa-apa.
"Apa?" tanya Ferrish dengan ekspresi datar.
Dengan helaan napas kasar aku kembali menatap jalanan di depanku, menunggu mobil Kak Dylan menjemputku. Kenapa juga harus muncul sosok Masha di sini? Kan jadi bikin bete!
"Kamu mau pulang?" tanya Masha kepada Ferrish.
"Hmm," jawab Ferrish hanya bergumam.
"Boleh minta anterin pulang nggak? Sopirku sedang nggak bisa jemput."
"Gue aja mau nebeng Moza," balas Ferrish.
"Oh," kata Masha terdengar kecewa. "Kamu mau pulang bareng sama dia?"
Dia? Masha menyebutku dengan kata 'dia'? Wah, benar-benar tidak sopan. Aku jadi semakin kesal.
Dari arah jalan raya aku melihat mobil hitam menepi di depan sekolahku. Kedatangan mobil itu membuatku sangat lega. Akhirnya Kak Dylan datang menjemputku.
Segera aku berjalan menghampiri mobil Kak Dylan yang sudah berhenti di depan sekolah. Namun, sebelum sampai di mobil itu, aku berhenti berjalan lalu menoleh ke belakang.
"Jadi nebeng nggak?" tanyaku pada Ferrish.
"Jadi lah," katanya menjawab pertanyaanku. "Gue duluan," ujarnya kepada Masha yang kemudian berjalan meninggalkannya.
Aku masih berdiri di tempatku, menatap ke arah Masha yang juga tengah menatapku. Cewek itu tidak segan-segan menyembunyikan ekspresi marah dan bencinya yang tentu saja ditujukan kepadaku. Aku rasa Masha tengah cemburu karena Ferrish pulang bersamaku. Dan melihatnya kesal seperti itu sungguh membuatku sedikit puas.
"Ayo," kata Ferrish menarik lengan seragamku.
Aku berbalik lalu mengikutinya berjalan ke arah mobil Kak Dylan.
"Kalau lo bawa motor atau mobil, apa lo bakal ngasih dia tebengan?" tanyaku kepada Ferrish.
"Nggak," jawabnya segera.
"Kenapa?"
"Karena gue kebelet boker," jawabnya lagi seraya membuka pintu mobil. "Ayo buruan!" katanya lagi.
Aku berdecak sebal. Selalu saja menanggapi sesuatu dengan tidak serius! Dasar!
Sebelum Ferrish berhasil masuk ke dalam kursi penumpang bagian depan, aku terlebih dahulu menarik tas punggungnya yang membuatnya mundur. Dan di saat itulah aku langsung menyelinap lalu naik ke kursi penumpang di samping Kak Dylan.
"Ayo buruan!" seruku pada Ferrish yang membuatnya menatap ke arahku dengan tatapan sebal.
"Awas lo," katanya mengancamku.
Aku menjulurkan lidah ke arahnya, meledeknya.
"Gue berasa jemput bocah TK pulang sekolah," ucap Kak Dylan dengan helaan napas dalam.
-------------
[29.11.2022]
Halo!
Masih semangat baca cerita ini?
Terima kasih banyak buat yang udah mampir yaaa!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top