15| Lari

Kalau dibilang hatiku masih sakit, ya masih. Rasanya masih tidak rela jika Kak Shila dan Kak Eghi itu ternyata saling menyukai. Melihat keakraban mereka berdua sungguh masih membuat dadaku sesak. Tapi, aku bisa apa?

Aku menghela napas dalam lalu membuang pandangan ke arah ruang tamu. Di sana kini sudah ada Kak Shila dan Kak Eghi yang tengah asyik mengobrol. Sesekali mereka berdua tertawa yang membuatku sangat iri. Dan lagi, memangnya aku bisa apa?

Tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu menghantam kepalaku. Aku mengusap kepalaku sambil menunduk, menatap sarung tangan hitam yang ada di karpet. Lalu, aku menoleh ke segala arah mencari siapa pun yang sudah melempar benda itu hingga mengenai kepalaku. Kemudian, kudapati Kak Dylan yang sudah tertawa puas sambil menatapku.

“Apa, sih!” seruku kesal.

“Dipanggil nggak nyahutin,” balasnya seraya menuruni tangga dan berjalan ke arahku.

“Sengaja,” balasku sewot.

Kak Dylan hanya berdecak lalu geleng-geleng kepala. Kini dia sudah duduk manis di satu sofa yang sama denganku. Lalu, dengan seenaknya dia mengambil remot TV yang ada di meja dan mengganti saluran televisi yang sedang kutonton.

“Jangan diganti,” kataku mencoba merebut kembali remot TV yang saat ini dipegangnya.

“Gue nggak suka sinetron,” balas Kak Dylan seraya menjauhkan remot dari jangkauanku.

“Iya, sengaja biar lo nggak ikut nonton,” kataku lagi menarik tangannya yang sedang memegang remot. “Siniin remot gue!”

“Remot lo? Sejak kapan?”

“Sejak lo nggak ada di rumah!” balasku mencoba menggapai remot TV yang masih dipegangnya.

“Dan sekarang gue ada di rumah. Jadi, ini bukan remot lo.” Kak Dylan menjulurkan lidah ke arahku.

“Tetap remot gue lah!” kataku tidak terima.

“Nggak dong,” balasnya santai.

Aku menarik tangan Kak Dylan dan mencoba untuk menggigitnya. Tapi, sayang dia sudah menarik tangannya dulu serta mendorong kepalaku dengan telapak tangannya.

“Lo nggak pernah dikasih makan apa gimana, sih? Main mau gigit aja!” omel Kak Dylan.

“Biarin! Salah sendiri maling remot gue!”

“Ini bukan remot lo, dan gue nggak maling!”

“Mama! Ada maling!” teriakku kesal sambil masih mencoba mengambil remot dari tangan Kak Dylan.

“Sembarangan kalau ngomong!” kata Kak Dylan seraya mencoba membekap mulutku dengan sebelah tangannya yang bebas. Bukannya berhasil membekap mulutku, tangannya malah masuk ke dalam mulutku yang langsung kugigit.

“Sakit!” teriaknya menarik tangannya lalu mengibas-ngibaskannya.

Aku tertawa puas melihat Kak Dylan yang sudah kesakitan. “Sukurin!” kataku.

“Awas lo, ya!” kata Kak Dylan menatapku dengan ganas.

Aku menjulurkan lidah ke arah Kak Dylan, meledeknya.

Tiba-tiba saja Kak Dylan sudah melemparkan remot TV ke sofa. Pandangannya terpaku kepadaku. Dan detik itu juga aku sudah bangkit dari sofa lalu berlari menjauhi Kak Dylan yang sontak saja mengejarku.

“Jangan lari lo!”

“Makanya jangan ngejar dong!” balasku seraya berlari ke arah ruang tamu.

“Kalian ngapain, sih?”  tanya Kak Shila menatapku dan Kak Dylan dengan bingung.

“Tuh, Kak Dylan lagi kerasukan bocah, ngajakin kejar-kejaran,” kataku seraya berdiri di seberang meja ruang tamu.

“Lo tuh, kerasukan drakula! Main gigit seenaknya,” balas Kak Dylan yang ada di sisi meja yang lain.

“Rame ya, kalau ada Kak Dylan sama Moza di rumah,” timpal Kak Eghi yang sontak membuatku menoleh ke arahnya. Tatapan cowok itu kini terpusat pada Kak Shila yang tengah menganggukkan kepala, menyetujui ucapan Kak Eghi. Tiba-tiba saja aku merasakan denyutan tidak mengenakan di dalam dadaku.

“Sini lo,” kata Kak Dylan berjalan ke arahku.

Secara naluriah aku berjalan memutari meja, mencoba tetap menghindar dari Kak Dylan. “Sana lo,” balasku.

Kudengar kekehan dari arah Kak Eghi dan Kak Shila. Dan mendadak saja aku menjadi sebal dan sakit hati secara bersamaan.

“Lo berdua bisa bantu gue buat nangkap tuh bocah? Gue bayar ceban. Cepet bantuin gue,” ucap Kak Dylan kepada Kak Shila dan Kak Eghi.

“Dasar lemah!” ledekku.

“Eh, kurang ajar!” ucap Kak Dylan menunjuk ke arahku.

Karena takut tertangkap oleh Kak Dylan di ruang tamu yang tidak begitu luas, juga karena takut hatiku semakin sakit melihat Kak Shila dan Kak Eghi berduaan, akhirnya aku berlari ke teras. Kak Dylan masih mengejarku yang tentu saja membuatku terus berlari ke arah gerbang lalu ke jalan yang berada di depan rumah.

“Berhenti, Moz!” perintah Kak Dylan di belakangku.

“Nggak mau!” balasku seraya menoleh ke arah Kak Dylan yang masih menatapku garang.

“Beneran gue jitak terus gue jewer lo ya kalau tertangkap!”

“Gue nggak akan tertangkap!” balasku terus berlari. Hingga aku melihat mobil yang baru saja keluar dari halaman rumah Ferrish. Sontak saja aku mengetuk kaca mobil itu. “Buka!” teriakku panik ketika melihat Kak Dylan semakin mendekat. “Ferrish bukain pintunya!” Aku menarik pintu mobil yang tiba-tiba saja bisa terbuka. Langsung saja aku masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya.

“Lo ngapain, sih?” tanya Ferrish menatapku bingung.

“Nanti gue ceritain. Jalan pokoknya!” kataku ketika melihat Kak Dylan sudah mengetuk kaca mobil Ferrish.

“Itu Kak Dylan?”

“Iya, ayo jalan!” kataku lagi menahan pintu agar tidak bisa dibuka oleh Kak Dylan.

“Astaga,” balas Ferrish seraya menjalankan mobil meninggalkan Kak Dylan yang sudah berteriak-teriak menyuruhku turun.

Aku tertawa senang melihat Kak Dylan yang sudah kesal setengah mati.

“Jadi, lo habis ngapain Kak Dylan?” tanya Ferrish.

“Biasa,” jawabku singkat. “Gue gigit.” Aku tersenyum lebar.

“Ya Tuhan,” balas Ferrish sudah geleng-geleng kepala.

*** 

“Omong-omong, kita ngapain di sini?” tanyaku menatap kafe yang berada di depanku dengan kebingungan.

“Gue mau nongkrong sama anak-anak,” kata Ferrish.

“Terus gue gimana?” tanyaku menoleh ke arah Ferrish yang berada di sampingku.

“Lo bisa pulang kalau mau. Atau lo mau nunggu di sini juga nggak apa-apa,” jawab Ferrish seraya keluar dari dalam mobil.

Aku terdiam di dalam mobil. Kini otakku sedang berpikir bagaimana caranya untuk pulang ke rumah ketika aku sedang tidak membawa uang ataupun ponsel. Ya, aku tadi naik ke mobil Ferrish tanpa banyak berpikir. Dan sekarang aku baru sadar jika Ferrish tadi bukan hanya sekadar ingin berkeliling kompleks dengan mobilnya melainkan mau pergi ke suatu tempat. Bodohnya diriku.

“Atau, lo bisa ikut gue ke dalam,” kata Ferrish yang tiba-tiba menyembulkan kepalanya ke dalam mobil. “Ayo.”

“Nggak apa-apa gue ikut?”

“Ya gimana?”

“Kasih gue duit buat naik ojol.” Aku menangkupkan kedua tangan ke arah Ferrish. “Please,” tambahku.

“Ogah,” balasnya. “Ayo turun.” Ferrish menutup pintu mobil yang langsung membuatku mendesah. Mau tidak mau aku juga ikut turun dari mobil.

Aku menunduk menatap sandal selop bewarna pink yang sedang aku pakai. Lalu, tatapanku naik ke arah celana joger berwarna abu-abu dan kaos putih polos yang kukenakan. Aku merasa salah kostum.

“Ayo, Moza,” kata Ferrish.

“Gue kayak gembel,” ucapku memberi Ferrish informasi tidak berguna.

Ferrish menganggukkan kepala. “Memang,” balasnya tertawa geli. “Ayo gembel, ikut gue ke dalam.” Ferrish menarik lengan kaos yang kupakai yang membuatku berjalan mengikutinya.

“Pulang yuk, Rish,” kataku merengek.

Ferrish melepaskan tangannya dari lengan kaos yang kupakai. “Dih, lo sendiri yang tiba-tiba masuk ke dalam mobil gue.”

“Gue kan nggak tahu kalau lo mau pergi nongkrong sama temen-temen lo,” balasku.

“Kalau nggak mau ikut ya udah,” ucap Ferrish. “Lo jongkok aja tuh di bawah pohon sambil gini.” Ferrish memegang kedua tanganku lalu membuka telapak tanganku dan menangkupkannya. “Jangan lupa bilang ‘Kasihani, Kak’. Oke?” Ferrish tersenyum lebar ke arahku.

“Lo nyuruh gue ngemis?” kataku tidak percaya yang membuatnya terkekeh. “Kurang ajar lo ya!”

Ferrish hanya mengangkat kedua bahunya sambil berjalan menjauhiku. Dengan sebal aku berlari kecil untuk mengejarnya.

“Gue ikut,” kataku. “Dan bayarin.”

“Dih, males,” ucapnya dengan nada mengejek.

Aku memukul lengannya yang membuatnya mengaduh. “Bayarin,” kataku lagi.

“Iya..., iya,” ucapnya.

Kemudian kami berdua berjalan memasuki kafe. Ferrish terus saja berjalan menuju ke arah halaman belakang kafe yang juga berisi meja serta kursi-kursi. Di salah satu meja, aku melihat segerombolan cowok dan beberapa cewek tengah bercanda. Aku cukup tidak asing dengan orang-orang itu. Beberapa dari mereka berasal dari sekolah yang sama denganku.

“Hai, Rish,” sapa Bara melambaikan tangan ke arah Ferrish. Lalu, tatapannya berpindah kepadaku. “Wih, lo ngajakin Moza, Rish?”

“Nggak sengaja kebawa,” jawab Ferrish mengambil duduk di kursi yang berada di seberang Bara.

“Lo kira gue barang!” kataku kesal.

Ferrish terkekeh pelan. Ia menunjuk kursi kosong yang ada di sebelahnya. “Duduk,” ucapnya.

Dengan helaan napas dalam aku menurut, duduk di kursi sebelah Ferrish.

“Ini Moza tetangga lo itu kan, Rish?” tanya cowok berjambul yang kutahu satu tim basket dengan Ferrish. Tapi, sayangnya aku tidak tahu siapa nama cowok itu.

“Ah, cewek yang dikejar-kejar Dennis bukan, sih?” sahut cowok berkepala plontos yang duduk di sebelah Bara.

“Bener. Dia nih, idamannya Dennis,” timpal Bara tertawa.

“Apa lo udah jadian sama Dennis?” tanya cowok berkepala plontos itu kepadaku. “Kalau belum, boleh dong gue daftar,” tambahnya seraya tertawa.

Orang-orang yang ada di meja tersebut ikut tertawa. Aku sendiri hanya bisa diam menahan kesal. Memangnya apa sih, yang lucu dari omongannya si botak?

“Gue kan nggak kalah ganteng dari Dennis,” kata cowok itu lagi seraya mengelus kepala botaknya.

“Cakepan Dennis lah, gila,” timpal cewek yang duduk di sebelah cowok berjambul tadi.

“Itu kan menurut lo, menurut Moza pasti cakepan gue,” balas cowok botak itu dengan penuh percaya diri. “Iya kan, Moz?” Cowok itu menaik turunkan alisnya sambil menatapku. Sontak saja aku menggelengkan kepala tidak setuju dengan pernyataannya itu. Meskipun aku tidak menyukai Dennis, tapi menurutku Dennis jauh lebih cakep dari cowok botak itu.

Responsku itu mengundang tawa anak-anak yang lain. Bahkan, beberapa anak sampai mengelus kepala botak cowok tadi sebagai tanda  simpati.

“Belum apa-apa udah ditolak,” ledek cewek berambut panjang yang duduk di sebelah kiri Bara. “Kasihan banget lo, Nam.”

“Apa jangan-jangan Ferrish juga lagi deketin Moza?” tanya cowok berjambul. “Dia kan baru aja putus dari Masha.”

“Ferrish kan masih sayang sama Masha. Iya kan, Rish? Nggak mungkin lah dia deketin Moza,” kata cewek yang duduk berambut pendek sebahu.

“Ah, ngomongin Masha, gue jadi ingat kalau Moza sama dia sempet berantem hebat kan?”

“Iya, Moza dikroyok sama gengnya Masha.”

“Anjir, menang siapa, sih?”

“Menang gue lah!” seruku dengan lantang.

“Wiiiiih,” balas mereka sambil tertawa.

“Udah, sih, jangan bahas Masha,” kata Ferrish seraya memanggil pelayan untuk memesan sesuatu.

“Iya, jangan bahas Masha. Kasihan yang belum bisa move on,” ledek si botak yang membuat anak-anak tertawa.

Ferrish hanya tersenyum seadanya. Entah kenapa aku jadi merasa kasihan. Kalau benar Ferrish masih belum bisa move on dari Masha, pasti dia merasa sangat tidak nyaman jika harus membahas cewek itu.

“Omong-omong, lo habis joging, Moz?” tanya Bara kepadaku.

Sontak saja aku jadi ingat pakaian yang tengah kukenakan. Aku memang tampak berbeda dari anak-anak modis di meja ini. Tapi, bukan berarti pakaianku seperti orang yang baru selesai joging.

“Anggap aja iya,” balasku jutek.

“Keren, lo, Moz,” kata cewek yang duduk berambut pendek. “Kalau gue sih, nggak berani nongkrong dengan pakaian seadanya kayak gitu.” Lalu dia tertawa.

“Moza memang keren,” timpal Ferrish dengan santai. “Beda sama lo, Chi.”

Cewek yang dipanggil Ferrish dengan nama Chi itu sontak terdiam. Aku sungguh tidak menyangka jika Ferrish membelaku. Ya, meskipun tadi dia sempat mengejekku juga, tapi Ferrish membelaku di depan teman-temannya. Aku jadi sedikit terharu.

Ferrish menoleh ke arahku. “Lo mau pesan apa? Biar Bara yang bayar.”

“Lah, kok gue yang bayar?” tanya Bara dengan bingung.

“Oke. Bara yang bayar,” kataku cepat-cepat. “Gue mau milkshake cokelat.”

“Oke,” ucap Ferrish yang kemudian memesankan milkshake cokelat untukku.

Untuk beberapa saat kami mengobrol ringan. Tapi, sebenarnya aku lebih banyak diam. Aku tidak terlalu paham dengan obrolan mereka tentang basket ataupun orang-orang yang aku tak tahu. Aku lebih memilih menyibukkan diri dengan mencomoti kentang goreng pesanan Ferrish.

Udara malam yang dingin cukup membuatku menggigil. Embusan angin malam sejak tadi menerpa kulitku. Terlebih saat ini aku hanya mengenakan kaos berlengan pendek di ruangan terbuka. Andai tadi aku tidak menggigit jari Kak Dylan, pasti aku masih berada di rumah yang cukup hangat. Tapi, membayangkan di rumah dengan suara tawa dari Kak Shila dan Kak Eghi cukup membuat frustrasi juga. Tampaknya aku lebih memilih kedinginan seperti ini.

Tiba-tiba saja Ferrish menyerahkan jaket yang tadi dipakainya kepadaku. “Berhubung sejak tadi lo nyomotin kentang goreng gue, lo harus jagain jaket gue. Jangan sampai hilang. Ngerti?” kata Ferrish melotot ke arahku sambil menjauhkan piring yang berisi kentang goreng dari jangkauanku.

“Ya Tuhan, pelit sekali tikus ini,” gerutuku kesal.

Ferrish mengabaikan ledakkanku itu dan kembali berbicara dengan Bara. Aku menatap jaket Ferrish yang berada di pangkuanku. Lalu, diam-diam aku memasukkan kedua tanganku ke dalam lengan jaket milik Ferrish, menyelamatkan tanganku dari rasa dingin.

“Lo mau ikut, Moz?” tanya Bara kepadaku.

“Ikut ke mana?” tanyaku bingung.

“Ke rumah Anam,” katanya menunjuk cowok berkepala botak.

“Ngapain ke rumah dia?”

“Belajar kungfu, Moz,” sahut Anam dengan kekehan ringan.

“Moza pulang bareng gue,” kata Ferrish.

“Lo nggak ikut?” tanya cewek berambut panjang.

“Nggak. Ngantuk gue.”

“Dih, sejak kapan jam segini bikin lo ngantuk?”

Ferrish hanya mengangkat kedua bahunya, tidak repot-repot menjawab pertanyaan itu.

“Bilangnya pulang, taunya nanti diajakin kencan,” seru Anam sambil tertawa. “Modus doang lo tuh.”

“Bisa babak belur gue dihajar sama Dennis kalau ngajakin dia kencan,” sahut Ferrish ikut tertawa. “Itu pun sebelum gue bonyok duluan dihajar sendiri sama Moza.”

Aku tersenyum lebar ke arah Ferrish. “Iya, gue emang seserem itu,” kataku.

“Udah tahu,” balasnya seraya menjulurkan lidah ke arah.

“Lo tahu, orang terakhir yang julurin lidah ke arah gue, jarinya ilang lho, Rish,” balasku melotot ke arahnya.

“Oh, seram,” kata Ferrish dengan ekspresi pura-pura takut. “Moza menakutkan. Tolong.” Ferrish kembali meledekku.

Aku menghela napa dalam. “Ngapain juga gue tadi masuk mobil lo,” gumamku tiba-tiba merasa menyesal.

“Iya, ngapain juga tadi gue bukain pintunya,” balasnya dengan helaan napas panjang.

Tampaknya kami berdua sama menyesalnya.

-----------
[21.01.2022]
Halo!
Apa kabar? Semoga sehat selalu yaaa~
Btw, part ini benar-benar baru yang dulunya emang nggak ada di cerita CSK yang lama. Hahaha semoga suka yaaa.

Terima kasih udah mampir. Jangan lupa mampir di cerita-ceritaku yang lain yaaa~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top