13| Rasa sesak di dada

Seumur-umur aku tidak pernah merasakan rasa galau yang seperti ini. Ada rasa sakit yang tidak bisa kujelaskan yang kurasakan dalam dadaku. Dan tentu saja penyebabnya adalah Kak Eghi menyukai Kak Shila. Sungguh ironi bukan?

Aku menghela napas dalam. Rasanya terlalu sakit hingga membuatku ingin menangis.

"Udah dong, Moza. Jangan sedih terus," kata Zilva kepadaku.

"Kak Eghi naksir Kak Shila," balasku lesu. "Dan Kak Shila juga naksir Kak Eghi. Gue nggak ada harapan."

Jika saja bukan Kak Shila yang ditaksir oleh Kak Eghi, mungkin saja aku masih berani berjuang. Aku pasti dengan suka rela mati-matian merebut Kak Eghi dari perempuan manapun. Dan aku tidak akan menyerah sampai aku mendapatkannya. Tapi, perempuan itu adalah Kak Shila. Kakak kandungku sendiri. Mana mungkin aku tega merusak kebahagiaan kakakku sendiri.

"Cowok kan bukan Kak Eghi aja," kata Zilva mencoba menghiburku.

"Tapi kan cowok yang gue suka hanya Kak Eghi, Zil," balasku hampir menangis.

"Udah dong, udah," kata Zilva seraya menepuk-nepuk punggungku. "Gimana kalau kita ke mal aja, yuk? Makan-makan enak atau sekadar cuci mata? Oh, atau nggak karoke aja? Kita bersenang-senang buat melupakan sakit hati lo. Ya?"

Aku menarik napas dalam lalu menggelengkan kepala. "Gue nggak semangat ngapa-ngapain," balasku.

"Tapi, Moz, lo--"

"Lo pulang aja, Zil. Lo nggak perlu nungguin gue di sini," potongku.

"Mana tega gue ninggalin lo sendirian di sini."

"Mungkin yang gue butuhin emang sendirian."

"Terus nanti pulangnya gimana? Dennis kan udah lo usir pulang tadi."

"Gampang. Nanti gue bisa minta jemput Kak Dylan."

"Atau lo menggalau di rumah gue aja, Moz. Sekolahan jam segini kan sepi. Anak-anak udah pada pulang."

Aku membuang pandangan ke luar kelas. Memang sebagian besar murid-murid sudah pada pulang sejak tadi karena bel pulang sekolah sudah berbunyi hampir satu jam yang lalu.

"Nggak sepi-sepi amat kok, kan masih ada anak ekskul," ucapku ketika melihat segerombolan anak cheers yang kebetulan lewat di depan kelasku.

"Lo yakin?"

Aku mengangguk mantap. "Iya."

Dengan helaan napas panjang akhirnya Zilva bangkit dari posisinya duduk. "Ya udah kalau gitu, gue duluan ya."

"Iya. Hati-hati di jalan."

"Kalau ada apa-apa hubungin gue, ya?"

Aku menganggukkjan kepala.

Setelah itu Zilva meninggalkanku sendirian di kelas.

Aku menghela napas dalam lalu merebahkan kepalaku di atas meja. Aku sedang tidak ingin pulang ke rumah. Aku masih belum sanggup jika harus berhadapan dengan Kak Shila. Aku takut rasa sakit yang kurasakan akan semakin bertambah.

Kurasakan ponsel yang ada di sakuku bergetar. Dengan malas aku mengambil ponselku dan mendapati sebuah pesan instan dari Kak Shila. Aku meletakkan ponselku ke atas meja. Bahkan untuk mmebaca pesan dari Kak Shila saja aku tidak sanggup.

Tak lama kemudian ponselku kembali bergetar beberapa kali. Pesan dari Kak Shila kembali masuk. Dengan helaan napas dalam akhirnya aku memberanikan diri membuka pesan dari kakakku itu.

Kak Shila: Pulang jam berapa?

Kak Shila: Moza?

Kak Shila: Gue lagi seneng banget. Gue mau cerita sama lo.

Kak Shila: Lo masih di sekolah?

"Past mau ngomongin seoal Kak Eghi," gumamku lesu.

Akhirnya aku mengetikkan balasan untuk Kak Shila.

Bentar lagi pulang, Kak. Ini masih ada urusan.

Kirim.

Tak lama kemudian pesan dari Kak Shila muncul.

Kak Shila: Okeee.

Kak Shila: Btw, baca deh. Dari buku jurnal yang dikasih Eghi.

Kemudian sebuah foto tulisan tangan pada halaman sebuah buku masuk ke ponselku. Awalnya aku tidak ingin membaca tulisan pada gambar itu. Tapi, rasa penasaran mengalahkan rasa engganku.

Hari ke 36

Dari hari pertama sampai sekarang, gue masih nungguin lo balik. Gue nungguin lo balik dan baca diary gue ini. Lo pasti mikir ini norak. Haha.... Gue tahu.

Ini usaha gue buat dapetin lo. Paling enggak ini yang bisa gue lakuin selama lo jauh. Numpahin rasa rindu gue di sini. Berharap suatu hari lo baca ini.

Dan seperti kemarin, gue kangen lo Shil.

Sontak rasa nyeri menjalar ke seluruh dadaku. Tulisan itu adalah bukti nyata jika Kak Eghi memang benar mencintai Kak Shila. Aku benar-benar tidak mempunyai harapan sama sekali.

"Huaaa!" rengekku sereya kembali menjatuhkan kepalaku ke meja.

Duk... duk... duk....

Terdengar pantulan bola basket dari arah luar kelas. Aku mengangkat kepala menatap arah pintu berada. Kini kulihat beberapa anak basket tengah berjalan di koridor depan kelasku seraya memantulkan bola basket ke lantai.

Aku menghela napas dalam sambil bangkit dari posisi dudukku. Mungkin sudah waktunya aku pulang ke rumah. Aku tidak ingin membuat Papa atau Mama sampai haus menghubungiku karena aku tak kunjung pulang.

Aku berjalan keluar kelas dengan hati yang terasa berat. Bahkan tubuhku pun mendadak menjadi lesu.

Bruk!

Tanpa sengaja aku bertabrakan dengan seseorang yang membuatku terjatuh dan terduduk di lantai. Aku meringis merasakan sakit di bokongku.

"Sori," ucap seseorang yang membuatku mengangkat kepala. Kini kulihat Bara tengah menatapku dengan prihatin. "Lo nggak apa-apa?" tanyanya seraya mengulurkan tangan ke arahku.

"Sakit," kataku menerima uluran tangannya. Bara membantuku berdiri dengan sekali tarikan. "Lihat-lihat dong kalau jalan," omelku menatapnya kesal.

"Lo sendiri juga nggak lihat-lihat kalau jalan," omelnya balik. "Omong-omong, jam segini masih di sekolahan aja lo. Tumben. Ada ekskul?" tanyanya. Sebelum aku menjawab, Bara kembali berkata, "Tapi kan lo tipe murid malas yang nggak ikutan ekskul apa-apa."

Aku berdecak sebal. "Ngeledek lo?"

Bara tersenyum lebar. "Iya," jawabnya dengan jujur.

Aku menepuk-nepuk rok belakangku, menghilangkan debu yang kali aja menempel di sana. "Udah, ah. Gue mau balik," kataku. "Tuh bola basket lo masuk ke got," tambahku menunjuk bola basket yang sedang menggelinding masuk ke dalam got yang berada di depan kelasku.

Buru-buru Bara menoleh ke arah yang kutunjuk, setelah itu ia berlari mengejar bola basketnya.

"Bola basket gue," serunya histeris.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Lalu, tanpa memedulikan Bara lagi aku langsung berbalik dan berjalan meninggalkannya.

Aku berjalan menyusuri koridor kelas yang sepi. Kepalaku menoleh ke arah lapangan yang saat ini dipenuhi oleh anak basket dan anak cheers. Di antara mereka semua kulihat sosok Masha yang tersenyum lebar sambil memainkan pom-pom yang ada di tangannya.

"Najis," kataku spontan sambil berdecak.

Segera aku mempercepat langkahku untuk mencapai gerbang. Aku tidak kuat melihat sosok Masha terlalu lama. Dia membuat perutku mendadak sakit dan mual. Tipe sesuatu yang membuatku jijik setengah mati.

Ketika melewati area taman yang berada halaman depan sekolah, aku melihat sosok Ferrish yang tengah sibuk memantulkan bola basketnya. Kuedarkan pandangan ke sekitar tempat itu, namun hanya ada dia seorang di sana.

Aku berjalan mendekat ke arahnya. "Lo ngapain sendirian di sini?" tanyaku kepadanya.

Ferrish mengangkat kepala untuk menatapku. "Lo sendiri jam segini ngapain di sini?" tanyanya balik.

"Suka-suka gue dong," jawabku. "Lo sendiri?"

"Suka-suka gue dong," jawabnya meniru ucapanku.

Aku berdecak. "Dasar nggak kreatif," ledekku.

Ferrish terkekeh. "Omong-omong, lo masih galau?" tanyanya.

"Galau? Siapa yang galau?"

"Lo lah, siapa lagi?"

Aku menggelengkan kepala. "Nggak. Gue nggak galau," jawabku segera. "Ngapain juga gue galau."

"Kali aja galau, patah hati karena orang yang lo sukai malah suka sama orang lain."

"Emang gue suka sama siapa?" tanyaku agak kesal.

Ferrish mengangkat kedua bahunya. "Ya mana gue tahu. Tapi, mungkin lo suka sama cowok depan rumah lo," jawabnya enteng.

Aku terdiam, menatap Ferrish dengan tatapan tak percaya. Apa mungkin Ferrish tahu jika aku menyukai Kak Eghi? Tidak mungkin kan ya?

"Gue tahu kok kalau lo suka sama Kak Eghi," katanya lagi seraya kembali memantulkan bola basketnya. "Dan Kak Eghi suka sama Kak Shila."

Mataku membulat mendengar ucapannya itu. Ferrish mengetahui hal itu. Tapi, bagaimana bisa dia tahu?

Ferrish menatapku seraya terkekeh. "Muka lo, Moz. Astaga," ledeknya. "Nggak usah kaget gitu," tambahnya seraya berjalan ke arah bangku yang ada di dekatnya. Lalu, ia duduk di sana.

"Gimana lo bisa tahu?" tanyaku.

Aku saja baru tahu tadi pagi kalau Kak Eghi menyukai Kak Shila. Lha ini, Ferrish yang hanya tetangga bisa langsung tahu di hari yang sama.

"Hmm..," gumam Ferrish seraya menampakkan ekspresi berpikir. "Mungkin karena gue peka akan lingkungan." Ferrish memberiku senyum lebar yang menyebalkan.

Aku berdecak sebal. "Dah ah, gue mau balik," kataku padanya.

"Yakin?" tanyanya. "Nggak takut nyesek kalau sampai rumah?"

Aku yang tadinya hendak berjalan pergi mendadak terdiam. Ya, aku takut nyesek kalau nanti lihat Kak Shila di rumah.

Aku melirik Ferrish yang saat ini sudah menepuk bangku di sampingnya, seolah menyuruhku duduk di sana. Dengan helaan napas dalam akhirnya aku berjalan mendekat ke arah Ferrish lalu duduk di sampingnya. Kudengar kekehan dari mulut Ferrish yang langsung membuatku memelototinya.

"Diam nggak!" kataku sebal sendiri.

Tawa Ferrish kini makin menjadi. "Habis lo lucu banget kalau lagi galau, Moz," ledeknya. "Kemarin kan waktu gue galau, lo yang ngetawain gue. Sekarang gantian gue yang ngetawain lo. Hidup adil banget, ya." Ferrish menatapku masih tertawa puas.

Ya, memang benar ucapan Ferrish. Kemarin aku yang menertawakannya ketika dia galau. Dan sekarang dia balas dendam. Meksipun mungkin aku pantas mendapatkannya, tapi tetap saja rasanya menyakitkan ditertawakan seperti itu.

"Nggak usah ketawa!" kataku dengan dada yang terasa sesak.

"Loh, kok malah nangis," kata Ferrish menatapku dengan panik.

Aku menarik napas dalam. "Siapa yang nangis!" balasku sesenggukkan. Dan tanpa sadar pipiku sudah dibanjiri oleh air mata.

"Gue kan cuma bercanda, Moz. Jangan nangis," katanya lagi.

"Lo nggak tahu rasanya suka sama orang tapi orang itu malah suka sama kakak lo sendiri," ucapku dengan rasa frustrasi yang hebat. "Rasanya sakit. Gue seharusnya bahagia untuk kakak gue, tapi gue nggak bisa."

"Gue tahu kok, rasanya. Mungkin sama kayak pas lihat pacar lo ciuman sama cowok lain," timpal Ferrish dengan nada yang lebih lembut. "Iya, rasanya sakit."

Aku terdiam menatap Ferrish. Kuhapus air mataku yang membasahi kedua pipiku. Lalu, aku menarik napas dan mencoba mengatur napasku agar aku berhenti menangis.

"Sori," kataku kepada Ferrish dengan pelan. "Gue pernanh ngetawain lo. Saat itu gue nggak tahu kalau rasanya sesakit ini. Sori."

Ferrish tersenyum ke arahku lalu menganggukkan kepala. "Sori," ucapnya. "Gue nggak tahu perasaan lo sesakit itu saat ini."

Aku balas tersenyum lalu menganggukkan kepala.

Untuk beberapa saat kami duduk di sini sambil mengobrolkan segala macam hal yang tidak ada hubungannya dengan Kak Eghi, Kak Shila, ataupun Masha. Kami sama-sama sedang menjaga perasaan satu sama lain. Hal yang sangat jarang kami lakukan. Hingga tiba-tiba matahari sudah mulai tenggelam yang membuat kami berdua sadar jika ini sudah terlalu sore.

"Ayo pulang," ajaknya seraya bangkit berdiri.

Aku menganggukkan kepala. "Ayo," jawabku. "Lo bawa mobil?"

"Nggak. Gue berangkat ekskul jalan kaki."

"Apa banget sih, jalan kaki," rengekku. "Kenapa nggak bawa mobil, sih? Kan capek."

Ferrish menatapku dengan tatapan sebal. "Apa mau gue gendong? Terus nanti gue buang lo ke kali."

"Lo yang gue buang ke kali," balasku sebal sendiri.

"Lo!"

"Lo!!"

"Lo!!!"

"Elo!!!!" kataku tidak mau kalah.

Ferrish menghela napas dalam sambil berjalan cepat meninggalkanku. "Ya Tuhan, kenapa sore-sore gini ketemu Moza, sih? Kan ngerepotin."

"Enak aja!" balasku seraya menyusulnya lalu memukul lengannya.

"Hih, sakit!" katanya menatapku horor. Lalu, Ferrish mulai berlari meninggalkanku. "Tolong ada hantu," teriaknya meledekku.

"Hih, Setan! Kurang ajar lo ya!" seruku kesal sambil mengejarnya. 

-------------------------

[Repost-09.07.2021]

Halo! Apa kabar? 

Jangan lupa beli novelku Surat Untuk Raka yaa! *eh

hahaha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top