08| Kepulangan Kak Dylan

Aku menatap soal-soal matematika pada buku tulisku. Sejak satu jam yang lalu, baru tiga soal dari sepuluh soal yang kukerjakan. Itu pun aku tak yakin jika jawabanku benar.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Apa sebaiknya aku mencari sontekan saja, ya? Aku terlalu bodoh dalam apa pun yang ada angkanya.

Tiba-tiba pandanganku tertutup. Seseorang saat ini sedang menutup kedua mataku dengan tangannya. Aku mendengus. Ini pasti kerjaannya Dennis!

"Dennis!" kataku sebal sambil menyikut perutnya yang berada di belakangku. Dan di saat itu juga aku mendengar rintihan kesakitan dari arah belakangku.

Aku berbalik melotot kesal ke arah orang yang kukira adalah Dennis.

"Kak Dylan?" Aku menatap tak percaya kakak pertamaku yang saat ini berada di kamarku. "Lo kok ada di sini?" tanyaku bingung.

"Gue balik," jawabnya seraya mengusap perutnya yang kusikut tadi.

"Kapan sampai?"

"Barusan," jawabnya singkat. Lalu ia menyipitkan mata ke arahku. "Ngomong-ngomong, kenapa ngira kalau gue Dennis, sih? Lo ada hubungan apa sama dia? Jangan-jangan lo udah jadian ya, sama Dennis?" tuduhnya dengan memasang ekspresi terkejut yang dibuat-buat.

"Enak aja! Sembarangan nuduh. Gue sama dia nggak ada hubungan apa-apa," balasku melotot sebal ke arahnya.

"Serius?"

Aku mengangguk yakin.

"Entah kenapa gue nggak percaya," katanya.

"Bodo amat," balasku tak peduli. "Udah sih, pergi dari kamar gue. Ganggu aja sukanya. Gue kan lagi belajar!"

Mendengar ucapanku itu malah membuat Kak Dylan tertawa. "Moza sedang belajar? Yang benar aja!"

"Ya emang bener. Ini lihat buku di depan gue," kataku makin sebal.

Kak Dylan mendekat dan melirik buku di atas meja. "Astaga, itu basah kenapa? Kena iler, ya?" ledeknya seraya tertawa puas.

"Sumpah ya, belum ada satu jam di sini udah bikin gue kesel!" omelku seraya bangkit dan mencoba untuk memukulnya. Sebisa mungkin Kak Dylan menghindari pukulan dan tendanganku. "Balik lagi sono ke Australia!"

"Lo kira tujuan gue balik buat apa? Kan emang mau bikin lo kesel doang, Moz," ledeknya lagi menjulurkan lidah ke arahku.

Kepulangan Kak Dylan adalah sebuah musibah untukku. Karena aku yakin hidupku tidak akan damai selama Kak Dylan ada di rumah.

***

Seperti yang sudah kuprediksi semalam, kepulangan Kak Dylan hanya membuat hidupku merana. Pagi ini aku bangun dengan wajah penuh coretan spidol. Dan tentu saja itu ulah Kak Dylan. Belum lagi sepatuku yang tiba-tiba ada di atas pohon. Kak Dylan benar-benar membuatku hampir gila karena keusilannya ini.

"Ngapain cemberut gitu, Moz?" tanya kak Dylan dengan tampang belagu. Aku hanya meliriknya sebal yang membuat Kak Dylan tertawa terbahak-bahak. Memang dia kakak ternyebelin sedunia.

Saat ini aku sedang berada di dalam mobil bersama Kak Dylan. Untung saja dia masih tahu diri untuk mengantarku ke sekolah setelah membuatku kesal setengah mati karena perlakuannya pagi ini.

Selama perjalanan menuju ke sekolah, Kak Dylan bercerita banyak sekali. Dari dosen-dosennya yang katanyatua-tua dan killer, cewek-cewek sana yang katanya pada ngebet sama nih cowok, berantem sama cowok yang ngedeketin Kak Shila, digodain tante-tante bule, dan masih banyak lagi. Kak Dylan sekalinya cerita tidak bakal bisa berhenti. Meskipun Kak Dylan itu cowok, tapi dia tuh cerewet kayak emak-emak.

"Emang situ kece apa sampai ada yang sok godain gitu?" ledekku.

"Lo nggak lihat sekece apa Abang lo ini," balasnya menyombongkan diri.

Aku pura-pura muntah yang malah membuatnya tertawa.

"Oh iya, cewek-cewek di sekolah lo pada cakep-cakep nggak?" tanyanya tersenyum lebar.

"Ew, sumpah lo menjijikan sekali. Nggak usah sok tebar pesona, deh."

"Lo yang ew," balas menirukan ekspresi jijikku.

"Ew," balasku lagi tak mau kalah.

Tak lama kemudian kami sampai di depan gerbang sekolahku. Segera aku membuka sabuk pengaman."Lo nggak usah keluar mobil, Kak," ucapku.

"Kenapa?" tanyanya bingung.

"Malu gue," kataku cepat seraya menjulurkan lidah ke arahnya. Kemudian aku membuka pintu dan keluar dari mobil ini.

"Kurang ajar, ya!" serunya yang tak kupedulikan.

Aku bergegas bergegas berlari kecil menuju arah gerbang sekolah. Saat ini suasana sudah ramai oleh siswa-siswi yang sedang berangkat ke sekolah. Saking ramainya sampai aku mendengar beberapa cewek sedang bergosip dan menyebut namaku.

"Tau tuh, Moza. Katanya tunangan sama Dennis, tapi tadi berangkatnya sama cowok lain. Kasihan Dennis dong, cakep-cakep dimainin doang. Keterlaluan nggak, sih?"

"Iya. Keterlaluan banget! Kalau nggak mau sama Dennis, kan gue bisa nampung."

"Gue juga mau kali!"

Dengan kesal aku berhenti dan menoleh ke arah kananku, di mana suara tersebut terdengar. Aku memelototi beberapa cewek yang saat ini sudah terdiam karena terpergok. Lalu mereka buru-buru berjalan melewati gerbang tanpa berani menoleh ke arahku.

Dasar pada kurang kerjaan. Apa urusan mereka coba aku mau berangkat bareng sama siapa? Lagian aku sama Dennis kan tidak pernah bertunangan! Dasar tukang gosip menyebalkan.

"Pagi Moza," sapa seseorang dari sampingku.

Aku menghela napas dalam lalu menoleh ke sumber suara. Saat ini sudah kudapati Dennis berdiri di sampingku dengan senyum cerah seperti biasa.

"Nggak usah bikin masalah," ucapku ketus seraya kembali berjalan menuju gerbang.

Dennis terkekeh mendengar ucapanku. "Siapa yang mau bikin masalah, sih?" tanyanya santai sambil ikut berjalan di sebelahku. "Ngomong-ngomong Kak Dylan balik, ya?"

"Iya," jawabku singkat.

"Dapet apa lo dari Kak Dylan?"

"Gue dapet musibah!" jawabku setengah histeris. "Masak ya, tadi pagi gue bangun dengan wajah penuh coretan spidol. Untung bukan spidol permanen. Belum lagi sepatu gue yang tiba-tiba nangkring di atas pohon. Kesel nggak kalau lo jadi gue?" tanyaku yang membuatnya menganggukkan kepala. "Kak Dylan cuma bikin gue sakit kepala."

"Kak Dylan kan emang gitu orangnya, Moz. Rese."

Aku mengangguk setuju.

"Tapi juga baik," tambahnya yang membuatku menoleh ke arahnya dengan kernyitan di dahi.

"Baik?"

"Gue dibawain gantungan kunci kanguru," jawabnya sambil memamerkan senyum lebarnya. "Ferrish sama Kak Eghi juga dapet kayaknya."

Aku menghela napas dalam. "Kayaknya gue doang yang dapet musibah."

Dennis terkekeh seraya menepuk-nepuk bahuku, seolah sedang menguatkanku.

"Eh, itu bukannya Ferrih sama Tejo?" tanya Dennis menunjuk depan kami. "Ada Masha juga."

Aku menatap arah yang ditunjuk Dennis. Kini di depan lab Fisika berdiri Ferrish, Masha dan Tejo. Mereka tampak sedang serius membicarakan sesuatu. Sepertinya mereka sedang membicarakan permasalahan mereka yang menyebabkan Ferrish dan Tejo berantem.

"Yuk ke sana," ajak Dennis.

"Nggak, ah. Gue mau langsung ke kelas," kataku menolak.

"Emang lo nggak penasaran mereka sedang ngomongin apa?"

Aku menggelengkan kepala.

"Kalau mereka berantem lagi gimana?"

"Ya itu kan—"

"Ayo ke sana," kata Dennis memotong ucapanku sambil menarik tanganku agar mengikutinya.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan cekalan tangan Dennis dan menolak mengikutinya. Tapi tentu saja tidak berhasil. Karena tiba-tiba saja kami sudah berada cukup dekat dengan Ferrish hingga aku dapat mendengar percakapan mereka.

"Udah deh, kalau kalian mau ciuman lagi juga silakan. Gue sama tuh cewek udah putus. Nggak usah repot-repot lagi minta restu," kata Ferrish terdengar dingin.

"Rish, please dengerin aku dulu Rish," rengek Masha seraya menarik lengan Ferrish agar tidak pergi.

"Lepasin deh, Sha. Gue mau ke kelas," kata Ferrish tak peduli.

"Heh! Dengerin Masha ngomong dulu kek! Nggak ngehargain cewek banget sih, lo!" bentak Tejo terdengar kesal.

"Kalem," potong Dennis yang saat ini sudah berada di sebelah Ferrish dengan tangan menepuk pundak Tejo.

"Apa sih, lo berdua, nggak usah ikut campur urusan kami," balas Tejo kesal seraya menepis tangan Dennis.

"Urusan Ferrish urusan kami juga," ucap Dennis santai.

"Lo. Urusan lo, bukan gue," ralatku tak mau ikut campur. Meskipun aku sangat penasaran dengan pertikaian antara Ferrish, Tejo dan Masha, tapi sebenarnya aku malas ikut terseret seperti ini. "Udah ah, gue mau ke kelas. Semoga cepat selesai deh, urusannya," kataku akhirnya sambil ngacir dari sana.

"Iya, moga urusan kalian cepet kelar. Yuk Denn," sahut Ferrish.

"Eh! Jangan pergi lo Rish!" teriak Tejo tak terima.

Kulirik arah belakangku. Kini kulihat Dennis sudah merangkul Ferrish sambil mengatakan sesuatu. Sedangkan Ferrish hanya terkekeh dan menggelengkan kepala. Tejo sendiri tidak tampak membuntuti Ferrish. Sepertinya tidak akan ada perkelahian antara Ferrish dan Tejo. Syukur, deh.

"Dennis!" Terdengar seseorang berteriak memanggil nama Dennis. Itu adalah suara Wewe Gombel alias Weni, cewek genit yang suka sama Dennis. Dan sekarang Weni yang berada di belakang Dennis sudah berlari untuk menghampiri Dennis. Hal ini membuat Dennis langsung kabur dari kejaran Weni.

Adegan kejar-kejaran itu membuatku tanpa sadar sudah terkekeh. Kasihan Dennis, masih pagi sudah diuber setan.

"Lo nggak pedulian amat sih, sama urusan gue," ucap seseorang dari sampingku. Aku menoleh dan kudapati Ferrish sudah berada di sebelahku.

"Apaan sih," kataku cuek sambil kembali berjalan.

"Contoh tuh, cowok lo, Dennis, yang care abis sama temen," cibirnya yang membuatku memukul lengannya.

"Dennis bukan cowok gue!" balasku kesal. "Lagian lo tuh ada masalah apa sih, sama Tejo dan Masha?"

"Dari kemarin nanya itu mulu lo," jawabnya malas

"Ya habis, kalian sok heboh gitu. Kayak yang punya masalah kalian doang."

"Bukannya lebih heboh masalah lo dan Dennis yang ternyata sudah bertunangan?" Ferrish kini memasang wajah sok kaget yang amat menyebalkan.

"Lo ngeledekin sekali lagi beneran gue tendang sampai masuk ke tempat sampah!" ucapku sebal sendiri sambil menunjuk arah tempat sampah yang berada di belakang Ferrish.

Padahal Ferrish sendiri tahu jika hubunganku dan Dennis tidak seperti itu. Cowok ini memang rese.

"Moz," ucapnya sambil memegang kedua tanganku yang langsung membuatku mematung di tempat. Tatapan matanya sangat intens. Sebuah senyum kecil bermain di bibirnya. Meskipun Ferrish menyebalkan setengah mati, tapi tidak bisa kupungkiri jika senyumnya itu membuatnya tampak sangat manis.

"A-apa?" tanyaku tergagap. Aku bahkan tak tahu kenapa aku bisa sampai tergagap karena diberi senyum manis oleh Ferrish.

"Udah bel masuk," jawabnya dengan lembut. Senyum manisnya masih bertahan di bibirnya.

Eh apa tadi? Bel masuk?

Kuamati anak-anak yang sudah berlarian ke segala arah. Ya Tuhan! Sudah bel masuk!

"Mampus gue ada PR!" ucapku mulai panik. Namun Ferrish masih saja menggenggam erat kedua tanganku. "Woi! Lepasin tangan gue!"

Ferrish menggelengkan kepala sambil tersenyum miring.

"Rish! Lepasin. Telat masuk kelas gue!" kataku mulai menarik-narik tanganku.

Ferrish tertawa bahagia. "Nggak mau," balasnya santai.

"Gue leletin upil kalau nggak ngelepasin tangan gue!" ancamku.

"Mau ngupil pakai apa lo? Orang tangan lo gue penggang gini."

Iya juga, ya!

Kemudian dengan gemas kuinjak kakinya yang terbungkus sepatu. Hal ini membuatnya meringis kesakitan.

"Sakit, Moz!" ucapnya sebal seraya melepaskan genggaman tangannya dari tanganku. Kini dia sudah menunduk dan memegang sebelah kakinya yang habis kuinjak. Dan di saat itulah kudorong dia samapi terjengkang jatuh.

"Rasain lo!" ledekku sambil menjulurkan lidah dan tak lupa juga tertawa terbahak-bahak. Setelah itu aku langsung lari sebelum Ferrish bisa mengejarku.

"Awas lo ya!" teriaknya sebal.

Aku berbalik dan kembali menjulurkan lidah ke arahnya. "Emang enak!"

------------------------

[31.12.2020]

Halo! Kaget nggak cerita ini apdet? Aku aja kaget tiba-tiba ada mood buat revisi hihihihi

Btw, sabar ya buat yang nungguin cerita ini. Aku butuh kerja ekstra keras buat revisi. Huhuhu

2021 ada resolusi apa?  

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top