07| Pulang bersama Ferrish
Parah banget! Masak cuma gara-gara mulut nyinyir Dennis, aku kena imbasnya, sih!
Kalian ingat mengenai Dennis yang tiba-tiba bilang kalau kami itu sudah tunangan? Dan ya, karena hal ini sekarang kami beneran digosipkan bertunangan.
Saat ini aku sudah melihat puluhan status di fb yang isinya menyindirku dan Dennis. Dasar pada kurang kerjaan! Ini juga twitter rame banget pada ngomongin soal Dennis yang sial karena bertunangan denganku. Menyebalkan memang!
"Katanya nggak suka sama Dennis, tapi diembat juga. Dasar nggak tau malu!" Kini Wewe alias Weni—si tukang gosip nggak jelas, anak kelas sebelah—mulai menyindirku.
"Eh, diem lo Wewe Gombel!" kataku sebal sambil melotot garang ke arahnya.
"Lo tuh yang diem! Enak banget gitu ngerebut Dennis dari gue!" ucapnya marah kepadaku.
"Ambil aja Dennis kalau mau," jawabku. "Oh iya, gue lupa, Dennisnya yang nggak mau sama lo." Aku tertawa keras yang membuatnya menatapku sebal.
"Lo tuh emang ya, Moz! Sukanya nyari gara-gara!"
Aku menatapnya tak percaya. Apa tidak terbalik?
"Diem lo, sebelum gue panggilin pak ustad buat balikin lo ke dunia asli lo. Dasar Wewe Gombel!" kataku sebal sendiri.
"Mulut lo tu ya Moz!"
Aku menjulurkan lidah ke arahnya, sengaja membuatnya semakin kesal.
"Ada apa, nih?"
Mendengar suara yang mendamaikan itu membuatku menoleh ke samping kananku. Senyumku secara otomatis mengembang ketika melihat Kak Eghi tengah berdiri di sampingku.
"Tuh Kak, si Wewe nyari gara-gara," aduku mempersempit jarakku dengan Kak Eghi sambil menunjuk Weni.
"Ganjen banget sih, lo sama sepupu gue!" kata Weni sebal sambil menarik Kak Eghi agar menjauh dariku.
Ya, memang kabar yang sangat menyedihkan bahwa Weni itu sepupunya Kak Eghi. Tapi sepupu jauh! Jauh banget! Kayak huruf 'A' sama 'Z'. Tuh kan jauh banget! Asal jangan ukur jarak huruf itu di keybord.
"Ih siapa yang ganjen. Orang lo duluan kok yang mulai!" kataku sebal karena kini Kak Eghi sudah berada di genggaman Weni.
"Udah deh, udah, kalian ini suka banget sih, berantem," kata Kak Eghi menengahi. Lalu ia menoleh ke arah Weni. "Bukannya lo ada jadwal les piano, ya?"
"Oh, iya lupa! Ya udah gue balik dulu, Kak."
Dengan begitu Weni langsung pergi dari hadapan kami. Sebuah hal yang melegakan.
"Nggak balik Moz?" tanya kak Eghi sambil mendekat ke arahku.
"Baliklah Kak, masak mau nginep sini," ucapku cengengesan.
Kak Eghi hanya tertawa sambil menggelengkan kepala mendengar perkataanku.
"Kak Eghi sendiri nggak balik?" tanyaku balik.
"Baliklah, masak nginep sini," ucapnya menirukan perkataanku tadi.
Aku tertawa. "Ya udah, ayo balik bareng, Kak," ajakku.
"Lo duluan aja. Gue masih ada jam tambahan," ucapnya.
Aku mengangguk dengan perasaan kecewa. "Ya udah, Moza duluan, Kak."
"Iya, bye, hati-hati ya Moz," kata Kak Eghi sambil melambaikan tangan ke arahku.
Dengan begitu aku meninggalkan Kak Eghi menuju arah gerbang. Saat ini sudah tak banyak siswa yang tinggal di sekolah. Karena memang, bel pulang sekolah sudah berunyi sejak setengah jam yang lalu. Kalau bukan karena menunggu Kak Eghi, aku pasti sudah ikut pulang bersama Zilva.
Aku berdecak sebal. Siang ini panas, masak aku harus jalan kaki? Lagian, setelah gosip sialan tentang hubunganku dan Dennis, tak mungkin aku menghubungi cowok itu untuk minta tebengan. Kalau menunggu Kak Eghi pulang, bisa-bisa aku lumutan di sini. Ferrish? Ah, lebih baik aku tidak bertemu dengan cowok itu.
Lalu, tak jauh dari posisiku berdiri, aku melihat Ferrish yang sedang berbicara dengan Masha. Melihat Ferrish, entah kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak. Lagian, perasaanku tak pernah enak jika menyangkut cowok itu.
Demi menghindari kesialan, sebaiknya aku pulang lewat gerbang belakang. Aku tak mau berurusan dengan Ferrish. Cowok itu cuma bikin aku sial saja.
Ketika aku berbalik badan dan berjalan menjauh dari Ferrish, kurasakan ponsel di saku rokku bergetar. Segera kuambil ponsel itu dan membuka pesan masuk yang ternyata dari Ferrish.
Berhenti lo!
Seketika aku berhenti di tempat. Apa tadi Ferrish melihatku? Lalu, kenapa menyuruhku berhenti? Apa yang dia mau?
Sebaiknya aku mengabaikan pesannya ini dan melanjutkan perjalanan pulang. Aku ingin segera sampai rumah. Aku lapar.
Ketika baru beberapa langkah, kurasakan getaran pada ponselku kembali.
Berani melangkah satu langkah lagi, beneran gue uber lo sampe neraka.
Aku membelalakan mata membaca pesan dari Ferrish yang baru saja kubuka. Apa-apaan dia?
Aku berhenti berjalan. Lalu menoleh ke belakang, menatap Ferrish yang ternyata sudah melotot ke arahku seolah matanya dapat melubangi kepalaku. Secara otomatis langsung membuang pandangan ke arah depanku. Ferrish benar-benar mengerikan.
Ponselku kembali bergetar.
Balik lo sini. Cepetan!
Aku langsung menghela napas panjang.
Dan entah setan apa yang mengendalikanku sehingga aku menuruti apa yang dia tuliskan. Sepertinya saat ini Ferrish sedang dalam mood yang buruk. Aku takut, jika aku menolak permintaannya, bisa-bisa mengerjaiku habis-habisan.
Perlahan aku mulai berbalik dan berjalan kembali ke arahnya.
"Terserah deh, Sha. Gue pulang dulu."
Samar-samar aku mendengar percakapaanya dengan Masha. Bukankah berada di tengah-tengah pertengkaran seseorang adalah hal yang buruk?
"Tapi please Rish. Maafin aku," ucap Masha dengan suara memelas.
"Yuk Moz balik," ucap Ferrish seraya menarik tanganku.
Aku hanya bisa menatap Ferrish bingung ketika ia sudah menyeretku meninggalkan Masha yang tadi tampak begitu sedih dan merana. Apa yang sebenarnya Ferrish lakukan kepadaku?
Sepanjang perjalanan, Ferrish masih saja menarik tanganku tanpa berkata apa pun.
"Rish! Lepasin tangan gue deh, sakit tahu," kataku sambil meringis kesakitan karena genggaman tanngan Ferrish yang terlalu erat.
"Oh," Ferrish seolah tersadar akan sesuatu dan langsung melepaskan cekalannya pada tanganku. "Ya udah, sana balik," lanjutnya lagi cuek.
Balik? Jadi aku diusir setelah seenaknya dia menyeretku seperti tawanan? Wah, benar-benar tidak tahu diri!
Oh, atau mungkin aku cuma dijadikan alasan saja agar dia bisa terbebas dari Masha? Aku benar-benar tidak rela.
"Balik bareng dong. Lo kan yang ngajakin balik tadi," kataku tak terima sambil mengekor di belakangnya.
"Kapan? Salah denger kali lo," ucapnya cuek secuek bebek.
Aku berdecak. "Ih, orang galau mah gitu. Ngomongnya plin-plan nggak jelas!" sindirku yang membuatnya berhenti dan melirikku tajam.
"Rish... tunggu," terdengar suara cewek memanggil nama Ferrish. Dan ternyata itu adalah Masha.
"Ya udah ayo balik bareng," kata Ferrish tiba-tiba sambil kembali menyeretku seperti tahanan.
Sepertinya Ferrish lagi menghindar dari Masha. Tapi ya bukan aku juga dong yang harus jadi alasan buatnya pergi!
Tak lama kemudian sampailah kami di parkiran sekolah. Ferrish sudah lebih dulu memasuki mobilnya. Sedangkan aku dengan gemas membuka pintu mobil di sisi lainnya dan langsung duduk di sebelahnya.
"Lo ngapain disini?" tanyanya songong yang membuatku menjambak rambutnya.
"Dasar kurang ajar! Lo dari tadi mainin gue ya!" kataku sebal sambil masih menjambaki rambutnya.
"Aduh! Sakit Moz! Lepasin... woi!" teriaknya kesakitan.
Aku melepaskan tanganku dari rambutnya dan menatapnya tajam. Aku ingin sekali dapat mengintimidasinya.
"Bercanda kali Moz," katanya dengan wajah kaget karena jambakanku tadi.
"Makanya nggak usah mainin gue kayak gitu! Kalau emang nggak mau ngajakin bareng ya udah! Nggak usah sok menghindar dari Masha tapi gue yang jadi alasan!" kataku sebal.
"Lo beneran mirip kayak manusia goa tau kalau lagi marah gitu," ucapnya sambil menggelengkan kepala.
"Emang lo pernah lihat manusia goa kayak gimana?!"
Ferrish mengangguk santai. "Ya kayak lo gini," jawabnya santai. "Ya udah, ayok pulang. Sebelum lo ngeluarin kapak buat menggal gue," ucapnya lagi yang langsung membuatku melotot ke arahnya.
Kemudian mobil Ferrish mulai berjalan meninggalkan parkiran sekolah yang sudah mulai sepi. Di sepanjang perjalan, kuamati wajah Ferrish yang tampak tegang dan seolah sedang memendam masalah berat.
"Lo sama Masha sebenernya kenapa sih, Rish? Sok heboh banget deh lo berdua," kataku.
Kini dia memandangku sebal seolah menyuruhku diam.
"Udah deh, cewek mah banyak kali Rish. Masak gara-gara Masha lo galau begitu? Lama-lama lo bisa berakhir di rumah sakit jiwa tahu kalau kebanyakan galau," kataku lagi.
"Diem deh, Moz. Lo tuh berisiknya kayak kenalpot bajaj tau gak! Bikin sakit telinga aja," katanya dengan sebal.
"Sembarangan aja kalo ngomong!"
"Habisnya lo berisik," katanya cuek.
Aku berdecak. Kuubah posisi dudukku agak miring menghadap ke arahnya. "Eh, Rish cerita dong. Kenapa lo sama Masah bisa putus dan tiba-tiba lo tonjok-tonjokan sama tejo?"
"Apaan sih, lo sok deket banget sama gue."
"Idih, songong banget lo jadi orang," kataku sebal.
Ferrish hanya menjulurkan lidahnya tanpa menoleh ke arahku. Ferrish mau bagaimanapun kondisinya ternyata tetap saja menyebalkan.
Aku mengamati jalanan di sekitarku. Saat ini kami sudah berada di kompleks rumah kami. Namun, mobil yang dikendarai Ferrish ini bukannya berhenti di depan rumahku malah terus melaju ke halaman rumah Ferrish.
"Eh, rumah gue di sebelah kali Rish," kataku sebal sendiri.
"Astaga, manja banget sih, jadi orang. Tinggal jalan ke sebelah doang berisik banget!" omelnya.
"Ya kan tadi berhenti bentar di depan rumah gue bisa!" kataku sambil cemberut.
"Bodo amat, dah sono balik lo," usirnya.
Kemudian dia keluar dari mobilnya ini. Aku pun melakukan hal yang sama.
"Eh Moza, bareng sama Ferrish, ya?" Kini kulihat tante Tira—MamanyaFerrish—sedang berdiri di depan pintu menyambut kepulangan Ferrish.
Aku tersenyum ke arah beliau dan menganggu. "Iya, Tante," jawabku.
"Ya udah sini masuk. Udah lama kan nggak main ke sini."
"Mama apaan sih, ngajakin dia masuk? Rumah bisa jadi berantakan, Ma, kalau ada dia," kata Ferrish.
Mendengar omongan Ferrish itu membuat Tante Tira langsung mencubit pipi Ferrish dengan gemas.
"Aduh Ma, sakit!" Ferrish sudah meringis kesakitan.
"Nggak usah dengerin Ferrish, Moz. Sini masuk," kata tante Tira tak mempedulikan anaknya yang sudah mengusap-usap pipinya yang tampak sedikit merah.
Kemudian dengan pasrah aku mengikuti Tante Tira masuk ke dalam rumahnya. Sejak kena cubitan dari Mamanya, Ferrish langsung ngacir saja ke dalam rumahnya. Sepertinya ia langsung pergi ke kamarnya di lantai dua.
"Kayaknya rumah kamu kosong deh, Moz. Mbok Rum juga kayaknya lagi keluar belanja deh," kata Tante Tira kepadaku.
"Wah sendirian dong Moza di rumah," kataku lebih kepada diriku sendiri.
"Makanya di sini aja, nemenin Tante," kata tante Tira tersenyum hangat kepadaku. "Mau tante buatin minuman apa?"
"Air putih aja deh, Tan, tapi yang dingin," ucapku sambil nyengir.
"Ya udah, duduk dulu sana atau mau nonton TV juga silakan. Tante ambilin minum dulu ya. Eh, mau cemilang enggak?"
Aku segera mengangguk menjawab. "Mau, Tan," kataku.
Aku duduk di sofa sambil menonton acara gosip di TV. Tak lama kemudian Tante Tira datang membawakanku beberapa cemilan dan air putih dingin yang kuminta. Kami berdua menikmati cemilan sambil menonton acar TV bersama. Sesekali, kami mengomentari gosip yang sedang hangat dibicarakan oleh pembawa acara. Memang, ngomongin orang tuh enak banget.
"Ferrish kok enggak turun-turun ya, Moz?" tanya Tante Tira bingung. "Biasanya jam segini udah ribut aja minta makan."
"Tidur kali, Tan. Apa mau Moza panggilin?" tawarku.
"Iya, Moz. Tolong ya," kata Tante Tira. "Tante mau nyiapin makan dulu. Kamu ikut makan bareng sekalian ya."
Kemudian aku mulai berjalan menuju kamar Ferrish yang berada di lantai dua. Ketika sampai di tangga rumah ini, aku melihat banyak rentetan foto-foto yang di pajang di dinding. Dari foto pernikahan orang tua Ferrish, foto Ferrish waktu kecil, foto kak Eiry—kakak perempuan Ferrish—waktu menikah. Dan ada juga foto Ferrish kecil yang sedang dicubit seorang anak perempuan hingga menangis. Aku tertawa kecil melihat foto itu. Ya, aku lah anak perempuan itu.
Aku langsun mengetuk pintu kamar Ferrish ketika sampai di depan kamarnya.
"Rish," panggilku.
"Apa?" teriaknya dari dalam sana.
Tanpa permisi aku langsung saja membuka pintu kamar ini. Seketika aku langsung membelalakkan mata ketika melihat betapa berantakannya kamar Ferrish. Aku melihat beberapa baju berserakan di tempat tidur dan karpet. Bahkan ada sampah makanan ringan di bawah meja belajarnya.
"Astaga, selama ini ternyata lo tidur di gudang?" sindirku geleng-geleng kepala.
"Sembarangan. Ngapain lo ke sini?" tanyanya sewot.
"Disuruh turun, makan," jawabku seraya mendekat ke arahnya. Lalu, pandanganku mengarah pada boneka-boneka yang berjejer di tempat tidurnya. Boneka-boneka itu tampak tak asing bagiku. "Eh, ini boneka gue kan?" tanyaku sambil menyambar boneka babi berwarna pink.
"Enggak," jawabnya singkat seraya merebut bonekaku.
"Iya! Itu boneka gue!" kataku lagi sambil melotot ke arahnya. "Itu semua boneka gue." Aku menunjuk boneka-boneka itu. Seingatku, boneka-boneka itu adalah alat yang kugunakan untuk melempari Ferrish ketika dia sedang menyebalkan.
"Bukan. Itu bola basket gue," ucapnya seraya melempar boneka babi bulatku ke dalam ring basket yang berada di atas pintu kamar ini.
"Jahat banget!!" kataku menatapnya tak percaya. "Masak boneka gue lo jadiin bola basket!"
Ferrish tertawa. "Siapa suruh suka ngelemparin gue pakai boneka-boneka lo ini," balasnya menjulurkan lidah ke arahku.
Ferrish memang menyebalkan. Sepertinya besok-besok aku harus sedia batu di kamar.
-------------------------
[repost-09.10.10]
Halo! Lama tak jumpa aku di sini hehehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top