06| Dikejar Ferrish
"Doooorrrrrr!"
Aku terlonjak kaget yang membuat siapa pun itu tertawa.
"Zilva! Lo mau buat gue jantungan apa!" semprotku sebal kepada Zilva yang masih puas menertawakanku.
"Ya habisnya lo aneh, sih. Ngapain coba jongkok di sini?" tanyanya masih dengan sisa tawanya.
"Ngapain pala lo! Gue lagi bersembunyi tahu," jawabku seraya mengamati sekitar.
"Sembunyi dari siapa?" tanyanya bingung sambil ikutan celingukan. "Oh iya, tadi lo dicariin Ferrish," tambahnya.
"Lo bilang apa?" tanyaku harap-harap cemas.
"Ya gue bilang nggak tahu."
"Pinteeerrrr!" seruku bahagia seraya menariknya agar berjongkok bersamaku dan langsung memeluknya.
"Apaan sih, Moz. Lepasin-lepasin," ucapnya melepaskan pelukanku. "Jangan-jangan lo lagi sembunyi dari dia, ya?" tanyanya yang kubalas dengan anggukkan kepala. "Kenapa?"
Aku mendengus kesal. "Gara-gara gue ngeledekin dia sama mantannya kemaren," ucapku sambil meringis mengingat kejadian kemarin.
Setelah kemarin aku menyanyikan lagu galau untuk Ferrish dan menguping pembicaraannya dengan Masha, Ferrish langsung menjadikanku target amukannya. Ya, saat ini dia sedang mencariku dan entah apa yang akan dia lakukan jika menemukanku. Tadi pagi saja dia sok mau ngajakin berangkat bareng yang kutahu hanya akal-akalannya saja. Untung papa belum berangkat ke kantor, jadinya aku bisa minta tebengan ke papa.
"Makanya nggak usah berantem mulu sama Ferrish." Zilva geleng-geleng kepal menatapku. "Udah ah, gue mau pesen makanan. Laper gue," lanjutnya seraya bangkit berdiri.
Memang, saat ini aku sedang bersembunyi di kantin. Tepatnya di sebelah warung Mpok Ndut, penjual soto. Tadi aku sempat melihat Ferrish lewat di kantin. Tanpa banyak berpikir aku langsung berlari ke warung ini dan bersembunyi.
"Zil, nanti kalau ketemu Ferrish bilang kalau lo nggak lihat gue ya," kataku kepada Zilva.
"Iya, Moza," jawabnya mengangguk dan meninggalkanku jongkok sendirian.
Tak lama kemudian aku mendengar Zilva memanggilku. Aku melongokkan kepala, mencari keberadaan sahabatku itu. Lalu, kulihat Zilva sedang menampakkan wajah panik sambil menunjuk arah depannya.
"Moz, itu Ferrish lagi jalan ke sini," katanya.
Secara otomatis aku menatap arah yang ditunjuk Zilva. Dan benar saja, saat ini Ferrish sedang berjalan menuju ke arahku bersama teman-teman satu gengnya. Tiba-tiba saja tatapan kami berserobok.
"Ketemu, lo!" serunya seraya mengacungkan jari telunjuknya kepadaku. Detik berikutnya ia sudah berlari ke arahku.
Astaga, gawat!
Saat ini aku sudah bangkit dari posisi jongkokku dan mulai berlari menjauhi Ferrish.
"Moz, mau ke mana lagi lo?!" teriaknya.
Dengan cepat aku berlari meninggalkan kantin. Sesekali aku menoleh ke belakang untuk mengecek apakah Ferrish mengikutiku atau tidak. Namun, sebenarnya tanpa menoleh pun aku sudah tahu bahwa Ferrish masih setia mengejarku karena aku masih mendengar dia meneriakkan namaku.
Kini aku berbelok di lorong kelas dan tanpa sengaja aku menabrak seseorang yang membuatku tersungkur jatuh.
"Moza, sakit!" kata orang yang kutabrak tersebut.
Aku menatap cowok yang saat ini berada di bawah tubuhku. "Dennis?"
"Bangun, Moz, sakit!"
Aku mengangguk. Cepat-cepat aku bangun dan menyingkir dari atas tubuhnya.
"Sayang Moza ngapain sih, lari-lari gitu? Kayak dikejar setan aja!" kata Dennis sambil mencoba berdiri.
"Iya Denn, gue di kejar setan," kataku dengan tampang horror.
"Setan beneran?" tanyanya ikutan memasang tampang ngeri.
Aku mengangguk. "Ferrish," ucapku dengan nada takut.
"Mana Ferrish?" tanyanya panik.
"Dia tadi di... itu dia di sana!" kataku ketika melihatnya berlari ke arah kami.
Tanpa disangka, Dennis kini sudah berlari meninggalkanku. Kenapa malah Dennis yang lari, sih?
Aku berlari mengikuti Dennis. "Dennis, tungguin!" teriakku di belakangnya.
Kini Dennis menoleh ke belakang. Tangan kanannya menyambar tanganku dan menarikku agar ikut lari bersamanya. Suara Ferrish masih terdengar di belakang kami. Menyerukan nama kami berdua dan meminta kami untuk berhenti. Namun, tentu saja kami tidak menurut.
Kami berlari menyeberangi lapangan basket menuju lorong kelas di sisi lain. Lalu, kami berbelok di ujung lorong. Hingga akhirnya Dennis menarikku memasuki salah satu kelas yang berada di sisi kanan kami.
Berpasang-pasang mata menatap kami dengan raut penasaran. Kelas ini masih tampak ramai meskipun saat ini masih jam istirahat. Dennis menarikku ke belakang kelas dan bersembunyi.
Jantungku rasanya mau meledak. Napasku pun tersenggal-senggal. Aku capek.
"Jangan bilang-bilang ya, kalau kami di sini," ucap Dennis pada cewek-cewek yang sedang memandang Dennis dengan tatapan memuja.
Mereka mengangguk dan tersenyum genit ke arah Dennis.
"Jangan lihat sini," kataku pada mereka. Namun mereka hanya memandangku sambil mengerutkan dahi. Seolah mereka tak tertarik berbicara denganku.
"Adek-adek, jangan pada lihat sini dong. Lihat depan, ya?" Dennis melemparkan senyuman manis kepada cewek-cewek itu yang membuat mereka mengangguk dan menurut.
Aku menoleh ke arah Dennis yang sedang duduk lesehan di sebelahku.
"Eh, lo kenapa ikutan lari?" tanyaku kepada Dennis.
"Ini gara-gara lo tahu!" ucapnya sambil memandangku sebal. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok di belakang kami.
"Kok gue?" tanyaku bingung.
"Lo sih, kemarin ngajakin gue nguping pembicaraan Ferrish. Dan hari ini Ferrish nguber-nguber gue. Ngeri," ucapnya sambil memeluk tubuhnya dengan raut muka ketakutan.
"Gue nggak ngajakin kali. Lo aja yang ikutan!" ucapku tak mau disalahkan.
"Tapi, kasihan Ferrish harus putus sama Masha," kata Dennis lagi. "Ferrish kan cinta banget sama Masha."
"Ferrishnya aja yang bego. Ngapain coba pacaran sama cewek macam Masha yang tukang selingkuh?"
"Namanya juga cinta, Moz. Gue pun bakalan ngelakuin hal yang sama kok. Contohnya aja, sekarang gue masih setia nunggu lo sadar bahwa takdir lo itu sama gue," ucapnya sambil menggenggam tanganku dan menciumnya.
Aku menarik tanganku dan memukul lengannya dengan kesal. Sembarangan aja!
"Aduh, sakit kali, Moza!" ucapnya sambil mengelus lengannya yang baru saja kupukul.
"Makanya nggak usah sembarangan kalau ngomong!" kataku lagi masih memukuli lengannya.
"Sembarangan gimana? Kita dulu kan udah ditunangin Moz! Itu artinya kita bakalan nikah dan lo itu jodoh gue," katanya lagi menangkis tanganku yang sudah bergerak untuk memukulnya.
"Kita nggak pernah tunangan!"
"Gue punya buktinya Sayang Moza. Gue punya foto waktu kita tukeran cincin dan ciuman," ucapnya gemas yang kuhadiahi geplakan di wajahnya.
"Bego. Itu kan kita masih kecil Denn. Itu pun pura-pura. Saat itu kita lagi main!" kataku gemas sambil menjambaki rambutnya.
"Tapi kan tetep aja judulnya tunangan!" katanya tak mau kalah.
"Tapi kan juga tetep aja itu bohongan!" kataku tambah gemas.
"Moza sakiiiiit!" teriaknya sambil menarik tanganku yang sedang menjambak rambutnya.
Aku menatap Dennis kesal. Namun, bukannya merasa bersalah atau apa, Dennis malah cengar-cengir seperti orang gila.
"Kenapa lo?" tanyaku bingung.
Cengiran Dennis semakin lebar. "Paling nggak ciuman pertama lo itu gue," ucapnya seraya memonyongkan bibirnya ke arahku.
Aku mendorong bibirnya menjauh dariku. "Nggak usah ngomong yang aneh-aneh!" kataku marah.
Tiba-tiba aku mendengar bisik-bisik dari sekitarku. Aku menatap sekeliling. Kini siswa-siswi yang berada di kelas ini sudah menatapku dan Dennis sambil bergosip.
Astaga, jangan bilang kalau mereka sedang menggosipkanku dan Dennis yang bertunangan? Aku tidak mau menjadi bahan gosip adik kelas!
Aku menoleh ke arah Dennis yang ternyata sedang sibuk merapikan rambutnya yang berantakan karena ulahku tadi. Sepertinya Dennis yang terganggu dengan tatapan penasaran orang-orang di sekitarnya.
"Dennis!" kataku memukul lengannya dengan sebal.
"Apa, sih, Moz? Dari tadi mukulin gue mulu. Sakit tahu."
"Gara-gara omongan ngelantur lo, kita jadi bahan gosip," desisku.
"Omongan apa, sih? Gue kan—"
"Masih belum kelar berantemnya?" potong suara dari arah depan kami.
Kontan aku dan Dennis menoleh ke sumber suara tersebut. Di depan kami ternyata sudah ada sosok Ferrish yang sedang duduk di meja sambil melayangkan tatapan penuh dendam.
Ya Tuhan!
Aku dan Dennis kini saling melirik seolah mempertanyakan bagaimana nasib kami selanjutnya. Sedangkan Ferrish sudah berdiri dan berjalan ke arah kami.
Tiba-tiba suara bel masuk berbunyi. Penyelamat!
Langusng saja aku cepat-cepat berdiri diikuti dengan Dennis.
"Rish, mainnya dilanjut nanti lagi ya, udah bel nih," ucapku sambil nyengir lebar dan memukul pundaknya pelan.
Ferrish menatapku dengan kening berkerut.
"Iya Rish, udah masuk. Haduh, gue ada PR lagi. Duluan ya," ucap Dennis juga.
Lalu, kami berdua kembali melarikan diri dari Ferrish.
"Hei! Nggak usah kabur lagi lo berdua!" teriak Ferrish masih berdiri di tempatnya semula.
Aku dan Dennis hanya bisa tertawa sambil berlari menjauh dari kelas tersebut.
---------------
[04.09.2020]
Halo! Maaf ya aku baru bisa apdet. Ternyata revisi cerita tuh lebih butuh tenaga dan pikiran ketimbang nulis baru. Sabar nunggu yaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top