6. Lo Ada Apa-Apa Ya Sama Orang Kontaksel?

Ruangan kantor berkubik-kubik itu, terlihat cukup ramai pagi ini. Dari luar lorong, Rama dengan gaya tebar pesonanya berjalan di antara kubikel dan menemui Nadin yang masih sibuk mengerjakan sesuatu di atas meja. Melihat kedatangan Rama, Nadin mendongakan kepalanya untuk menyapa lelaki itu.

"Selamat pagi, Pak. Pak Yasha sudah ada di ruangan kalau Bapak mau ketemu," kata Nadin dengan sopan.

"Saya lagi enggak nyari Yasha. Tapi kamu. Bisa kita ngomong sebentar?" tanya Rama dengan nada terdengar dingin kepada Nadin.

Setengah hati, Nadin mengangguk dan mengekor di belakang Rama menuju sofa di luar ruangan yang menghadap ke jendela besar. Tempat para karyawan provider telekomunikasi itu biasa duduk-duduk menghilangkan penat sambil memandangi kota Jakarta yang sibuk dari lantai atas.

"Kenapa kamu cuma kasih brief ke Tiger agency? Kamu kan tahu saya minta kamu untuk kirim ke dua Agency terpilih," tegas Rama tajam dan tanpa basa-basi.

Nadin merasakan seluruh tubuhnya membeku. Dia tetap bergeming dengan mulut membisu.

"Apa karena kamu tahu, Yasha kenal dengan Digital Strategist-nya Fabulous? So immature," ejek Rama sinis.

Ekspresi Nadin semakin tidak dapat terdefinisikan antara kesal, terkejut dan malu. Rama yang menangkap keganjilan pada raut wajah perempuan itu, mendesah berat. Dia sudah tahu apa jawabannya.

"Untuk kali ini saya maafin. Biar saya yang ngeles ke Yasha soal hal ini. Tapi, saya minta jangan sampai kejadian kayak gini keulang lagi. Ngerti! Enggak profesional!" ketus Rama sambil menggeleng tidak habis pikir di hadapan Nadin.

Tanpa menunggu jawaban dari Nadin, Rama berjalan menuju ruangan Yasha. Sementara itu, Nadin menggigiti bibir bawahnya dengan tatapan gelisah bercampur marah menatap punggung Rama.

"Satu lagi. Entah darimana, tapi Pak Edgar udah tahu masalah ini. Jadi kalau beliau tanya, jawab aja kalau email kita error waktu itu. Just in case," kata Rama sambil menolehkan kepalanya ke arah Nadin. "Tenang aja. Gue bukan penjilat yang gampang bongkar borok orang. Tapi, sekali lagi lo macam-macam ke Yasha, rahasia lo pasti enggak bakal aman."

Nadin makin dongkol sepeninggal Rama. Sederet kata umpatan bahkan keluar dari bibir merah mudanya.

***

"Morning," sapa Rama menyembulkan kepala ke dalam ruangan Yasha.

Yasha yang sedang mengecek laporan bulanan mereka di laptop, melirik Rama sekilas, dan kembali mengamati tumpukan kertas di tangannya.

"Gimana? Udah tahu penyebab masalah kemarin?" tanya Yasha sembari mengalihkan laptopnya ke sudut meja agar dapat memandangi Rama lebih jelas.

"Email kita kena gangguan. Kemungkinan itu yang buat brief kita enggak sampai ke mereka," bohong Rama lalu meletakan bokongnya pada kursi di hadapan meja Yasha.

"Yakin bukan karena yang lain?"

Dari tatapannya, Rama yakin Yasha tengah mengintrogasinya sekarang. Dia jadi khawatir bila Yasha mendengar ucapannya barusan dengan Nadin. Rama menggeleng pelan.

Yasha tersenyum kemudian kembali fokus kepada laporannya. "Ya udahlah. Toh, kita udah kabarin Tiger kalau mereka menang pitching, kan? Case closed."

Rama meringis. "Oh iya, lo dipanggil Pak Edgar. Enggak tahu, deh, kenapa."

Pandangan Yasha beralih dari laporan bulanan, menatap Rama intens.

"Jangan bilang kalau dia udah tahu kalau Fabulous enggak dapat email dari kita," ujar Yasha yang merasakan kepalanya mendadak pening. "Hah ... Sial."

Rama mengangkat kedua bahunya. Yasha terdiam lantas meletakan tumpukan kertas itu kasar. Bila masalah ini sudah sampai ke telinga Direkturnya, maka sudah pasti urusan ini akan panjang.

"Yash? Lo enggak apa-apa, kan?" tanya Rama dengan mimik takut-takut, ketika melihat muka Yasha seperti ingin memakan orang.

"Nih." Mendadak Yasha bangun sembari meletakan laporan di mejanya ke dada Rama. "Tolong buatin resumenya. Gue kayaknya butuh refreshing habis ini."

Tanpa menunggu jawaban Rama, Yasha pergi dari ruangan. Perlahan sebuah senyum misterius muncul di bibir Rama. Lelaki itu lantas bangkit dan bersiul pelan, seraya membawa tumpukan laporan tadi ke ruangannya.

***

Sementara itu, pada sebuah gedung perkantoran di daerah Kuningan, seorang perempuan sibuk memainkan sedotan di dalam gelas macchiato-nya. Entah kenapa semangat hidup Sachi seolah hilang sejak kemarin malam. Apalagi saat mengingat kebodohannya yang lebih memilih turun melalui tangga darurat. Lelaki nyinyir itu pasti akan semakin mengecapnya yang aneh-aneh. Terkadang dia malu dengan sifatnya yang satu ini.

Maira dan Dea yang melihat sosok Sachi di pojokan coffee shop, mendekat. "Katanya malas kalau mesti kerja sama bareng Kontaksel. Kok, kalah pitching malah jadi makin murung gitu?" sindir Maira sambil menahan tawa.

Bola mata Sachi bergerak menatap kedua temannya yang tiba-tiba muncul seperti Jelangkung.

"Tau, nih. Mana pagi-pagi udah nongkrong di sini enggak ngajak-ngajak lagi."

"Emang lo yakin kita kalah pitching gara-gara itu laki?" tanya Maira membuka obrolan sambil ikut duduk bersama Sachi.

"Terus siapa lagi?" kata Sachi menatap keduanya kesal.

"Gimana kalau ternyata tuduhan lo salah, biar gimana dia tetep klien, loh."

Sachi mengatupkan bibirnya. Omongan Maira memang ada benarnya. Tapi, dari wajahnya, Sachi tampak tak ambil pusing. Lantaran baginya tetap saja semua kesalahan berawal dari mulut nyinyir lelaki itu.

"Gini, nih," celetuk Dea menahan tawa. "Lo nih, ya, kalau untuk brand aja pinter banget buatin strateginya, bahkan bisa sampai plus minus nya dipikirin. Tapi, untuk buat keputusan, selalu straight forward kayak bajaj."

Maira tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Dea. Ditambah lagi saat melihat wajah Sachi semakin ditekuk. Belum sempat Sachi membalas ucapan Dea, seorang lelaki mendekat ke arah mereka bertiga dengan tergesa-gesa.

"Sach, udah kelar? Ikut gue, yuk!" ajak Andrew sembari menarik tangan Sachi. "Dicari Pak Pak Darwis, penting katanya."

Spontan ketiga perempuan itu menoleh ke arah sumber suara.

"Gue? Emang kenapa?" tanya Sachi buru-buru menghabiskan macchiato dalam gelasnya.

"Enggak tahu. Mending lo langsung ke ruangannya aja, bentar lagi dia musti take off. Ada urusan di Singapura," kata Andrew yang dengan santainya mengalungkan tangannya ke lengan Sachi.

"Kita enggak diajak juga, nih, Drew?" goda Maira dibarengi kekehan Dea. Andrew dengan salah tingkah melepaskan tangannya dari Sachi.

"Ketemu Si Kumis, lo mau?!" semprot Sachi sebal. "Yuk, Drew!"

***

Perlahan, Sachi membuka pintu ruangan Pak Darwis dengan Andrew mengekor di belakangnya. Dalam hati dia sedikit was-was. Pasalnya Kumis yang terkenal mood swing parah ini, tidak dapat dia deteksi suasana hatinya sore ini. Jadi, dia sendiri tidak tahu pasti apakah dia akan aman atau harus menderita ketulian permanen setelah keluar dari ruangan.

"Permisi, Pak. Bapak manggil saya?" tanya Sachi takut-takut.

"Duduk, Sach, Drew. Sebentar ya ...," kata Pak Darwis masih sibuk menelepon.

Sachi mendesah lega. Dari auranya Sachi dapat menebak jika mood bosnya itu sedang baik sekarang. Sebab bila mood-nya sedang buruk, jangankan dipersilahkan untuk duduk, tidak kena semprot saat membuka pintu ruangan saja sudah bersyukur.

"Oke, jadi gini," kata Pak Pak Darwis usai mengakhiri panggilan teleponnya. "Kemarin saya sudah berusaha bernegosiasi dengan Pak Edgar dari Kontaksel. Nah, rencananya besok saya ingin ajak mereka dinner meeting di daerah Kemang. Berhubung sore ini saya harus ke Singapura, jadi kalian berdua saja yang datang, gimana?"

Sachi membulatkan matanya. "Kenapa harus saya, Pak. Kenapa enggak Vera? Dia, kan, AE (Account Executive) nya."

"Kenapa? Emang meng-entertain klien cuma tugas AE? Lagipula, kan, udah ada Andrew. Satu lagi, itu pesannya Pak Rama. Dia yang minta kamu ikut di dinner meeting besok," terang Darwis.

Kening Sachi sedikit berkerut. Otaknya berputar untuk mengingat sosok yang bernama Rama itu. "Tapi, si Nyi... Eh, maksud saya Pak Yasha enggak ikut kan Pak?" tanyanya hampir saja keceplosan.

"Seharusnya, sih, enggak, Sach, karena setahu gue Pak Yasha itu khusus untuk maintain produk lama," ujar Andrew menimpali. "Dan yang bakal kita diskusiin kali ini produk yang beda sama yang kita pitching kemarin."

Spontan, Sachi menghembuskan nafas lega membuat dia mendadak jadi mangsa tatapan penuh tanya kedua lelaki di sana.

"Eh.. oh, jadi dinner meeting kali ini ngomongin produk baru, ya, Pak?" tanya Sachi mengalihkan pembicaraan. "Terus kita perlu buat strategi baru atau bagaimana?"

"Kita, kan, baru mau obrolin soal produknya besok. Bagaimana kamu bisa bikin strategi? Kamu, nih!" tegur Pak Pak Darwis membuat Sachi menelan ludah, sementara Andrew menahan tawa di sebelahnya.

"Ya udah, sekarang kalian keluar. Saya harus berangkat sekarang. Jangan lupa kamu kabarin saya hasilnya, ya, Drew."

Andrew mengangguk. Dia kemudian mengajak Sachi untuk keluar dari ruangan Darwis.

"Sach, bentar, deh," panggil Andrew ketika Sachi akan kembali ke mejanya.

"Kenapa?" tanya Sachi berbalik dan menatap Yasha.

"Lo kenapa jadi aneh gini kalau ngomongin Kontaksel? Lo ada apa-apa, ya, sama orang Kontaksel," tebak Andrew yang kalimatnya langsung meluncur ke dalam telinga Sachi, pelan, tajam, dan tepat sasaran.

Sesaat, Sachi mematung, lantas terkekeh pelan. "Apaan, sih, Drew? Perasaan lo aja kali. Anyway gue duluan ya, gue lupa harus kirim revisian ke Extract Beauty. Bye, Drew."

Andrew hanya tersenyum masam memandangi punggung Sachi yang sudah kembali duduk di mejanya, sebelum dia kembali berjalan ke mejanya di seberang Sachi.

***

Kepergian Pak Darwis ke Singapura, rupanya menjadi anugerah tersendiri bagi Sachi dan semua karyawan di Fabulous Agency. Bagaimana tidak, Kumis yang terkenal dengan omongannya yang mirip Carolina Reaper—cabai terpedas di dunia—itu, memang menegaskan kepada karyawannya untuk tidak berisik saat jam kerja terkecuali saat brainstorming.

Maka tidak aneh bila suasana kantor menjadi lebih mirip TK saat Pak Pak Darwis tidak ada. Bahkan kini mayoritas karyawan tengah asyik bermain fussball, Point Blank, menonton film atau sekadar bergosip. Ya, selama kerjaan beres kenapa tidak? Toh, ini Agency bukan kantor pemerintahan yang kaku kayak kerah kemeja baru.

Di samping itu, dengan absennya Pak Darwis memberikan kesempatan bagi para tenggo-ers untuk pulang tepat waktu. Suatu peristiwa langka bagi para karyawan agency. Tak heran, meski jam baru menunjukan angka delapan suasana kantor yang tadi ramai kini sudah sepi bagai lokasi uji nyali. Hanya menyisakan beberapa orang yang masih sibuk di depan laptop. Siapa lagi kalau bukan para pesakitan revisi yang sedang dikejar-kejar deadline, termasuk Sachi.

"Oke, tinggal upload dokumen ke klien."

Perlahan, Sachi meregangkan tubuhnya coba menghilangkan lelah yang sedari tadi bergelayut.

"Kak Sachi, aku duluan, ya," pamit Farhan, Junior Copywriter yang setahun lebih muda darinya. Sachi tersenyum masam sambil melihat datanya yang baru setengah terunggah.

"Kenapa lama banget, sih, upload file doang!"

Sambil menunggu data terunggah, Sachi menyalakan Youtube dari web browser nya. Perlahan lagu Butter dari BTS mengalun dan menghentak dari speaker komputer yang sengaja dia setel keras-keras. Kepala perempuan itu ikut bergerak mengikuti irama. Seandainya saja masih ada orang di kantor, pastinya Sachi berpikir dua kali untuk menggila seperti ini.

"Itu Butter, ya?"

Sachi terperanjat. Segera dia menjeda lagu di laptopnya dan menoleh ke belakang.

"Sach, jangan mulai, deh. Ini gue Andrew," kekeh Andrew duduk di sebelah Sachi. "Lo, nih, kalau penakut aturan jangan sok-sokan jadi yang terakhir di kantor mulu makanya. Kalau lo sampai pingsan gimana? Baru besok kali lo ditemuin orang."

"Lo nya aja yang emang seneng bikin gue jantungan," gerutu Sachi yang wajahnya makin kaget karena tertangkap basah sedang menggila oleh Andrew. "Eh, tunggu, deh. Lo tahu Kpop?"

Andrew mengangguk. "Adik gue kan juga suka Kpop. Tapi dia masih SMA, sih."

Sachi mendengkus kesal sambil memandangi wajah Taehyung pada music video yang dia jeda. "Kenapa, sih, orang selalu sandingin Kpop sama anak-anak baru beger gitu. Kpop juga punya banyak genre kali, dan banyak, kok, emak-emak sampai nenek-nenek yang suka Kpop."

Mendengar kata-kata Sachi, Andrew tertawa terbahak-bahak. "Maaf, deh, gue enggak ngebandingin, kok. Tapi emang kebanyakan kan gitu, Sach. It's just the reality, FYI."

"Iya, sih. Then this reality makes me look pathetic as a woman."

Tawa Andrew mereda melihat wajah kesal Sachi. "Oh iya, lo mau makan? Gue lagi buat cup noodle di pantry."

"Enggak ah, gue mau langsung pulang habis ini."

"Yakin?" tanya Andrew sengaja menggoda Sachi.

"Iya," jawab Sachi singkat.

Dari suaranya Andrew yakin jika perempuan ini masih kesal dengannya. Sambil menahan tawa ia beranjak dari sana menuju pantry untuk mengambil mie yang sudah diseduh 5 menit yang lalu.

Sumpah. Bau Cup Noodle itu memang racun. Sachi yang mencoba konsentrasi sambil menatap Youtube dengan seksama terpaksa harus pasrah melirik ke arah Andrew yang duduk di atas meja tepat di belakangnya.

Andrew justru makin menggoda Sachi dengan menyeruput mie-nya bak bintang iklan Cup Noodle. "Mau?"

Sachi tersenyum memelas.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top