5. Kalau Enggak Suka, Jangan Bawa-Bawa Tim
"Yash, lo kenapa?" tanya Rama keluar dari ruang meeting untuk menyusul Yasha begitu meeting hari itu selesai. "Lo kenal sama perempuan tadi?"
Yasha dengan laptop di tangannya, melirik Rama, menggerakan bola matanya, dan tersenyum kecil. "Cuma perempuan gila yang kebetulan tinggal di unit apartemen sebelah."
Rama menggeleng tidak habis pikir. Dia tahu persis sifat Yasha yang satu ini. Sebagai sahabatnya sejak kuliah Rama tahu Yasha tak sebaik dan sekalem yang orang pikir. Sebab selain sifat perfectionist nya, lelaki ini minim empati bahkan terkadang membuat dia selalu terdengar blak-blakan dan terkesan nyinyir melebihi ibu-ibu arisan.
"Gue tebak. Dia pasti ngelakuin yang aneh-aneh sampai buat lo kesal kayak gini," kata Rama.
"More or less," jawab Yasha cuek.
"Tapi, menurut gue mukanya lumayan loh. Mungkin kalau menurut lo aneh, bisa kali kasih tunjuk gue unitnya kalau gue main ke tempat lo," kata Rama menyejajari langkah Yasha. "Siapa tahu bisa mampir bentar buat chit-chat dikit di luar kerjaan."
Yasha menghentikan langkahnya dan terbahak. "Yakin? Ketularan alay lo entar. Lagian lo masih belum kapok kena semprot Dara?! Gila lo emang."
"Cuma ngobrol doang, Yash. Kaku amat, sih. Jangan bilang lo naksir dia," goda Rama.
Mata Yasha memelotot tajam kepada Rama, kemudian melanjutkan langkahnya. "Gue naksir sama dia? Sampai lebaran kuda juga enggak bakal, Ram. Kelakuannya bukan gue banget."
Rama terkekeh saat punggung Yasha menjauh. "Yakin? Kok, sampai segitunya sih tadi depan dia."
"Just shut up," umpat Yasha sambil menoleh kepada Rama dan melajutkan langkahnya.
"Ya udah kasih tahu ke gue bisa kali. Yash! Yasha!" panggil Rama tetapi tetap tidak digubris oleh Yasha.
Rama terkekeh melihat tingkah Yasha yang terlihat ajaib hari ini. Namun, tawanya terhenti melihat Nadin yang tiba-tiba saja keluar dari koridor di sebelah kanannya.
"Nad. Lo ngapain ngelamun di situ?" sapa Rama.
Nadin yang sepertinya sedang tidak fokus, berjengit kemudian mengangguk menyapa Rama. "Pak Rama. Enggak saya cuma lagi bengong aja, ini mau balik ke ruangan, kok."
"Oh iya, Nad. Boleh minta tolong?" pinta Rama berbalik menatap Nadin. "Tolong kamu emailkan pertanyaan yang ada di meja saya ke dua Agency terpilih tadi. Saya mau lihat dari dua Agency tadi mana yang paling cocok buat jadi rekanan kita. Jangan lupa kasih deadline-nya tiga hari lagi. Oke."
"Baik, Pak," kata Nadin.
"Oke, thanks, Nad. Gue balik kerja dulu kalau gitu. Bye," pamit Rama kepada Nadin. Sementara, perempuan itu menggigiti bibir bawahnya dengan kening berkerut seperti tengah memikirkan sesuatu.
***
Sementara itu, sejak selesai pitching dengan perusahaan Kontaksel mood Sachi bisa dibilang berubah absurd bak benang kusut. Tidak jarang, Maira menemukan Sachi uring-uringan dan tidak bisa diam di mejanya. Tentu saja membuat Maira, yang duduk tak jauh dari sana, dibuat pusing dan bingung dengan tingkah pola Sachi.
"Lo kenapa si Sach?" tanya Maira yang akhirnya tidak tahan untuk bertanya kepada Sachi. "Berisik banget."
"Hai Maira," sapa Sachi dengan senyum mengembang, tetapi sorot mata terlihat frustasi. "Gue? Berisik? Enggak ah. Perasaan lo doang kali."
"Emang pitching kemarin ancur banget, ya? Sampai buat lo kena sugar rush kayak gini?" tanya Maira mengamati Sachi ngeri.
Sachi mendadak terkekeh bak orang gila. "Kata siapa? Enggak, kok. Emang lo enggak lihat gue ketawa terus dari tadi."
"Wah, udah gila temen gue," ujar Maira sambil menyentuh kening Sachi.
"Apaan, sih?" decak Sachi menepis tangan Maira.
"Udah jujur aja sama gue? Meeting kemarin failed, kan? Gue samperin Andrew juga, nih," kata Maira hendak beranjak dari sana.
Segera, Sachi menahan tangan Maira. Sachi yang awalnya over happy mendadak berubah 180 derajat, menjadi sedih, galau, kesal dan entah ekspresi apalagi karena Maira sendiri sulit untuk mendefinisikan wajah Sachi sekarang.
"Emang dasar sinting itu orang!" seru Sachi tiba-tiba.
Beberapa rekan kerja mereka yang sedang mengerjakan sesuatu, sampai berjengit kaget. Sebagian besar bahkan menatap Sachi kesal.
"Sst ... jangan lebay begitu, ah. Lo kenapa, sih?" semprot Maira membekap mulut Sachi.
"Cowok sinting. Mulutnya itu loh, May .... Kayak emak-emak enggak kebagian diskon," kata Sachi berapi-api.
Maira memutar bola matanya. "Oh ... jadi ini gara-gara laki?"
Sachi mengangguk. Akan tetapi, menggeleng cepat kemudian. Takut-takut Maira malah salah menangkap maksudnya.
"Maksud gue bukan laki dalam tanda kutip, ya. Dia itu lelaki ngeselin yang mulutnya sumpah nyinyir banget! Gue bingung apa coba salah gue ke dia? Padahal kita baru ketemu beberapa kali, tapi omongannya waktu pitching kemarin itu, astaga May ... ngeselin banget," jelas Sachi berapi-api.
"Emang lo kenal sama 'tu laki dari mana? Dan, kok, bisa ketemu pas pitching? Dia anak Tiger Agency?" tanya Maira menyebut nama advertising agency lawan pitching mereka kali ini.
Sachi menggeleng cepat. "Dia yang bakal jadi klien kita."
"Serius?" seru Maira.
Sachi mengangguk. "Lo bisa bayangin kan nasib kita gimana dapat klien macam dia?"
"Alamat lembur tiap hari, dong," ujar Maira lemas.
"Lebih dari itu, May. Tipes atau kena mental," balas Sachi dengan ekspresi berlebihan.
Maira mengangguk paham. Namun, belum sempat dia memberikan tanggapan, Danu keluar dari pantry, yang berada tepat di sebelah ruangan si Kumis dengan tergopoh-gopoh.
"Team, tahu enggak. Gue ada berita besar!" kata Danu dengan heboh.
Sachi dan Maira kompak menatap sosok pria berambut kribo, yang kini berdiri di antara mereka. Danu berdehem sebentar mencoba merilekskan suaranya.
"Tadi gue enggak sengaja nguping omongan pak Pak Darwis dari pantri ... dan katanya kita kalah pitching Kontaksel."
Mata Sachi membulat. Senyuman lebar seketika muncul di sana. Doanya untuk tidak memiliki klien seperti Yasha terjawab tunai.
"Serius, Mas?" tanya Maira masih tidak yakin.
"Emang menurut lo, muka gue kelihatan lagi nge-prank?" decak Danu sebal. Dia kemudian melirik ke kanan dan ke kiri dengan cepat, lalu meletakkan telunjuknya ke bibir.
"Bentar, tapi ada satu hal yang bikin Pak Pak Darwis marah besar," bisik Danu dengan wajah bak Peniti Bros, si pembawa acara gosip. Sachi dan Maira yang penasaran, semakin mendekatkan wajah mereka kepada Danu. "Ternyata kita kalah pitching karena enggak kirim jawaban dari brief lanjutan yang dikasih Kontaksel."
Sachi mengerutkan kening. Sepengetahuannya, Kontaksel sama sekali tidak pernah memberikan brief apa pun kepada tim mereka saat atau setelah pitching kemarin.
"Perasaan Kontaksel enggak pernah kasih tugas apa-apa ke kita," gumam Maira.
"Nah itu dia, makanya Pak Pak Darwis lagi uring-uringan berat di ruangan. Jadi, kalau bisa kalian jangan bertingkah aneh-aneh kalau mau selamat hari ini," jelas Danu memberikan peringatan.
"Jangan-jangan cowok nyinyir kata lo tadi lagi, Sach," tebak Maira tiba-tiba.
"Cowok nyinyir?" tanya Danu kebingungan.
"Bukan siapa-siapa, kok," sahut Maira cepat.
Tatapan Sachi tertuju ke arah Maira. Mendengar ucapan perempuan itu, mendadak otak Sachi langsung menuju kepada sebuah nama yang sudah beberapa hari ini jadi biang keladi mood nya berubah jelek. Bergegas, Sachi melihat jam di mejanya. Baru pukul enam.
"Gue pulang tenggo, ya, hari ini," cetus Sachi sambil membenahi barang-barangnya di meja. "Kalau ada yang cari gue, WhatsApp aja. Oke. Bye."
Belum sempat Maira dan Danu menjawab, Sachi sudah terburu pergi bahkan laptopnya pun belum sempat dia matikan.
"Kenapa dia?" tanya Andrew dengan nada khawatir mendekati Maira dan Danu. Danu menggeleng cepat, diikuti kedikan bahu dari Maira. Sementara Andrew menatap kepergian Sachi dengan pandangan aneh.
***
Sepertinya jalanan kota Jakarta hari ini sedikit banyak mendukung niatan Sachi. Pasalnya hidung mancung perempuan itu sudah berada tepat di pintu apartemen bernomor tiga, setengah jam kemudian. Tanpa pikir panjang, Sachi mengetuk kasar pintu di depannya sampai suara kunci dibuka terdengar dari dalam.
"Kamu? Kenapa?"
Sosok Ji Chang Wook KW Super muncul di depan Sachi dengan masih menggunakan kemeja dan celana bahan, pertanda dia juga baru saja tiba di apartemen.
"Kamu!" semprot Sachi mengarahkan jari telunjuknya di depan Yasha. "Kamu, kalau enggak suka sama saya, enggak usah bawa-bawa team!"
Yasha bergeming. "Maksudnya?"
"Kenapa kamu diskualifikasi team saya? Sementara kita sama sekali enggak pernah dapat brief lanjutan dari kamu. Apa itu yang namanya pitching suportif? Hah?!"
Yasha benar-benar bingung. Dia bahkan tampak berpikir keras untuk menangkap maksud dari kata-kata perempuan di depannya.
"Maksud kamu, tugas yang kami kasih setelah presentasi kemarin?" tebak Yasha.
"Enggak usah pura-pura enggak bersalah, deh. Saya tahu kamu malas kerja sama bareng saya, tapi enggak gini caranya. Kamu pikir saya juga ngarep kerja sama bareng kamu? Sori, ya," cerocos Sachi sebal.
Mulut Yasha terbuka, hampir mendebat ucapan Sachi. Namun, mata Sachi yang sudah mulai berair tertangkap oleh manik coklat miliknya. Entah kenapa Yasha jadi merasa bersalah, walaupun jujur dia murni tidak paham akan ucapan Sachi..
"Diam, kan, sekarang. Ngerasa bersalah? Pokoknya mulai sekarang jangan pernah muncul di depan saya lagi. Titik!" Sachi menghentakan kakinya ke lantai dengan kesal dan berlalu pergi dari hadapan Yasha.
BRAK!
Yasha berjengit mendengar suara pintu apartemen sebelah yang ditutup kasar. Kepalanya serasa penuh sampai sulit untuk berpikir. Baru kali ini mulutnya hanya dapat diam dimarahi habis-habisan oleh perempuan seaneh Sachi. Di tempatnya berdiri, Yasha mengambil ponsel di kantung celananya untuk menelepon seseorang.
"Halo, Ram. Gue mau tanya, apa lo yakin semua Agency yang ikut pitching kemarin udah dapat brief lanjutan?"
***
TING!
Suara lift membuat Yasha tersadar esok paginya. Langkah lelaki itu langsung membawanya ke dalam lift. Namun, mata coklat Yasha langsung bereaksi ketika menemukan sosok yang semalaman ini bergerilya di pikirannya. Spontan, Yasha menahan tombol open menunggu Sachi yang masih memasukkan sesuatu ke dalam tas.
Namun, niat baik Yasha justru memunculkan ekspresi kesal di wajah Sachi. Alih-alih masuk ke dalam lift dan berterimakasih, Sachi malah membuang muka dan berbelok menuju tangga darurat.
Mata Yasha membeliak, seolah tidak percaya perempuan itu lebih memilih turun dari lantai dua belas menggunakan tangga. Yasha sampai-sampai melongokan kepalanya keluar lift untuk memastikan bila Sachi benar-benar turun lewat tangga darurat.
"Kenapa dia? Masih kesal sama kejadian semalam? Beneran childish," gerutu Yasha kesal sendiri. "Buat orang ngerasa bersalah aja, sih."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top