3. Pertemuan yang Seasem Ketek Kuda

Sachi memperhatikan jam di ponselnya. Sudah hampir lima belas menit dia menunggu orang yang membawa paket miliknya itu di lantai lima, area refreshment apartemen. Matanya menyapu tiap sudut area itu, selagi tubuhnya bergerak bolak-balik di depan lapangan basket.

Tampak sebuah kolam renang berukuran besar terlihat sepi dengan airnya yang gelap di sebelah lapangan basket. Namun begitu, masih ada beberapa orang yang duduk-duduk di kursi malas yang terbuat dari rotan di pinggiran kolam untuk sekedar mengobrol atau menikmati langit malam di atas mereka.

Merasa bosan, Sachi akhirnya mendengarkan musik dari media player ponsel menggunakan headset, lalu berjalan ke sebelah kiri menuju pinggiran lapangan basket untuk kemudian meletakan bokongnya pada bench di sisi lapangan.

Keadaan lapangan sebenarnya tak jauh berbeda dengan kolam renang, sepi. Tak aneh memang, karena sekarang sudah hampir tengah malam. Bahkan mungkin sebentar lagi satpam juga akan datang mengusirnya dari area ini, sebab area refreshment akan ditutup setiap tengah malam untuk dibersihkan.

GREB!

Tiba-tiba Sachi merasakan bahunya disentuh seseorang. Spontan Sachi berbalik. Dia melihat seorang pria tinggi dengan kaos polos, celana training hitam, dan rambut turun setengah basah menatapnya datar.

Mata Sachi mengerjap pelan, sejak kapan Ji Chang Wook pindah ke Jakarta. Pikir Sachi tanpa sadar menganga melihat sosok Yasha.

"Kamu Sachi?"

Sachi mengangguk cepat.

"Ini paket kamu?" tanya Yasha menyodorkan kotak kardus di depan wajah Sachi.

Tatapan Sachi langsung berbinar-binar kemudian menyabet paket di tangan Yasha. Namun, kala menemukan paket itu sudah terbuka, Sachi dengan cepat memeriksa isinya.

"Aman," gumam Sachi mendesah lega. Seketika dia seperti masuk masuk ke dalam dunia empat dimensi, tiba-tiba terkikik, kemudian tersipu-sipu, sedetik setelahnya dia menganga takjub sambil mengeluarkan album dari dalam kardus. Bahkan eksistensi Yasha di depannya seolah-olah raib tak bersisa.

"Woah! Kim Taehyung. Ahahahaha," pekik Sachi sembari mengangkat sebuah photo card tinggi-tinggi. Yasha yang melihat tingkah ajaib dari perempuan itu refleks terkekeh sinis.

Sadar ada orang lain selain dirinya sekarang, Sachi terdiam.

"Kenapa?" tanya Sachi terlihat tersinggung.

Yasha menggeleng cepat.

"Jangan bohong. Dari muka sengak kamu, saya tahu kamu pasti lagi ngetawain saya, kan? Jawab!"

"Oke, kalau kamu mau saya jujur," ujar Yasha mengedik cuek. "Kamu enggak malu?"

"Malu? Kenapa?" tanya Sachi bingung.

"Kelakuan kamu itu kayak remaja alay, teriak-teriak heboh sambil mandangin album aneh kayak gitu. Apa kamu enggak pernah ngitung umur kamu udah berapa?"

Sachi menggembungkan pipinya kesal untuk kemudian berkacak pinggang sambil mendelik tajam kepada Yasha.

"Maksud kamu alay gimana? Emang teriak-teriak nyalurin kebahagiaan sendiri enggak boleh? Kamu ngerasa keganggu? Tinggal cabut aja, kok, repot?" decak Sachi tidak mau kalah. "Anyway, terima kasih udah mau balikin paket saya."

"Ck, bahagia denger lagu permakan autotune begitu? Di sini yang lebih aneh siapa ya," balas Yasha bersidekap di depan Sachi. "Masih keren lagu Miles Davis ke mana-mana."

"Oh ... jadi menurut kamu jazz lebih keren? Kayak kata idola kamu itu, so what?! Kpop kamu samain sama Jazz. Jelas aja beda!" seru Sachi lalu membereskan paketnya, takut-takut ada yang tercecer. "Mending saya yang cabut. Sekali lagi, jangan seenaknya hina selera musik orang, ya. Katanya Bhinneka Tunggal Ika, gara-gara musik aja udah berisik."

Yasha tersenyum geli mendengar gerutuan Sachi yang sudah pergi meninggalkannya. Meskipun di sisi lain, dia cukup takjub karena Sachi juga tahu lagu Miles Davis. Sampai tak lama, dia pun ikut berjalan meninggalkan area itu.

***

"Gila! Siapa dia berani-beraninya hina Kpop. Dia pikir selera musik dia yang paling keren," gerutu Sachi sambil merutuk tidak habis-habis saat memasuki apartemennya, "Apa kabar musik klasik, dangdut, atau blues. Dasar sinting!"

Sachi melemparkan tubuhnya ke atas sofa dengan hati dongkol bukan main. Tapi gerutuannya menghilang melihat foto Kim Taehyung tersenyum manis dan mengedip manja ke arah dirinya dari photocard di dalam kardus. Senyum lebar lalu mengembang dari bibirnya.

Sachi terkekeh geli sambil mengeluarkan photocard itu dari dalam kardus, mengagumi manisnya senyuman lelaki dengan tingkat ketampanan paling paripurna di dunia, dan menyelipkan benda tipis itu di sebuah poster yang tertempel pada dinding yang sengaja dihias khusus untuk boyband kesayangannya, BTS, terutama untuk Kim Taehyung.

"Jalja," kata Sachi pelan mengelus photo card yang sudah tersemat di dinding dan beranjak ke dalam kasur, melupakan kejadian menjengkelkan tadi.

Paginya, suara alarm berbunyi nyaring membuat Sachi terpaksa terbangun dari mimpi indahnya bersama Kim Taehyung. Pelan dia mengucek mata berusaha menetralisir cahaya yang masuk ke dalam sana. Mata yang awalnya hanya segaris itu langsung terbuka lebar melihat jam sudah menunjukan pukul delapan pagi. Bergegas dia keluar dari selimutnya dan berlari menuju kamar mandi.

Tak sampai lima belas menit, Sachi sudah rapi keluar dari apartemennya menuju lift. Untung saja tak perlu waktu lama benda berpintu besi yang dia tunggu itu langsung terbuka. Cepat, Sachi memasuki benda itu sambil membetulkan tali sepatunya.

Tiba-tiba mata Sachi tertuju pada seorang lelaki yang sepertinya juga terlambat sama seperti dia. Tergesa-gesa lelaki itu berjalan dengan terus memandangi jam tangannya.

"Ternyata apartemen dia di sebelah. Deket aja," gumam Sachi sembari menyeringai sebal ketika dia sadar bila sosok lelaki yang tengah berjalan ke arahnya adalah lelaki songong semalam. Si Miles Davis wannabe yang mulutnya justru lebih mirip ibu-ibu kompleks.

Seketika niat jahat muncul di otak Sachi. Sebuah cengiran licik menjelma di kulit wajahnya yang cerah. Tangan perempuan itu bahkan sudah bersiap menekan sebuah tombol saat Yasha tinggal beberapa langkah lagi memasuki lift.

"Satu ... Dua ... Ti—" gumam Sachi.

Kemudian bak adegan slow motion, Yasha terkejut melihat lift perlahan menutup tepat di depan hidungnya. Refleks tangannya yang akan menekan tombol di luar lift sepertinya kalah cepat. Pintu lift itu pun tertutup sempurna. Namun, sebelum tertutup sekilas Yasha sempat melihat sosok Sachi dari balik lift yang sedang tersenyum puas sambil melambaikan tangan kepadanya.

"Sialan. Kenapa dia lagi!" umpat Yasha kesal.

***

Sepanjang jalan Sachi tersenyum senang membayangkan wajah kesal Yasha di lift pagi tadi. Jika diibaratkan, rasa senangnya itu seperti saat kamu memenangkan lomba makan kerupuk se-DKI Jakarta. Puas, bahagia dan bangga. Namun senyumannya berubah, begitu mata bulat Sachi menangkap kegaduhan dari dalam kantor.

"Sachi, yuk ke ruang meeting. Udah ditunggu Big Boss," ajak Maira anak Social Media memanggil Sachi.

"Pagi-pagi begini?" tanya Sachi yang baru saja meletakan tasnya ke atas meja.

Maira mengangguk. Sachi lalu berjalan menuju ruang rapat mengikuti Maira. Ruang rapat yang tidak terlalu besar itu tampak penuh setelah semua karyawan memasuki ruangan.

"Oke, team. Pagi ini, kita ditawari Pitching oleh Kontaksel untuk Digital Marketing mereka. Jadi sekarang saya minta ide-ide segar kalian untuk dituangkan di ruang meeting ini," sambut Pak Darwis membuka brainstorming sambil memilin ujung kumisnya yang mirip Pak Raden.

Satu persatu semua orang di sana kemudian menyalurkan idenya, membuat ruang rapat yang semula sepi menjadi ramai. Lebih ramai dari pasar induk. Sebuah tema besar pun mereka dapatkan.

Segera, setelah menentukan tema besar, masing-masing divisi membuat bahan presentasi sesuai dengan tugasnya. Sementara Sachi, sebagai Digital Strategist, tugasnya lah yang mengumpulkan semua ide dari masing-masing divisi dan menyatukannya menjadi satu campaign besar yang sesuai dengan tema yang sudah mereka putuskan.

***

Tanpa terasa, jam sudah menunjukan pukul tiga pagi, tapi Sachi dan beberapa rekan kerjanya belum juga ada yang beranjak pulang dari kantor. Sibuk membuat strategi dan menyalurkan idenya pada komputer masing-masing.

"Ini, Sach," kata Andrew, Account Executive di kantor Sachi, memberikan sebotol kopi padanya.

"Buat gue?"

Andrew mengangguk. Lelaki seumuran Sachi itu mengangguk. Bibirnya yang tebal terlihat seksi saat tersenyum. Jujur, lelaki yang baru bekerja kurang dari setahun di Fabulous itu sudah menarik perhatian Sachi dari awal. Hanya saja, kesibukan Andrew yang lebih sering meeting di luar dan jarangnya komunikasi antara mereka, buat Sachi ragu bila lelaki ini juga tertarik dengannya. Apalagi seleranya terhadap lelaki yang melonjak tinggi setelah mengenal Kim Taehyung, Sachi jadi urung untuk melangkah lebih jauh.

"Thanks," ucap Sachi.

"Kalau kerjaannya udah selesai langsung kirim ke gue, ya. Biar bisa langsung dicek," kata Andrew, terlihat aneh di depan Sachi.

"Oke," jawab Sachi sambil mengacungkan jempolnya. Namun, alisnya menyatu ketika Andrew tetap berdiri di depannya tanpa kata. "Kenapa? Ada lagi yang mau diomongin?"

Andrew menggeleng cepat. Terburu-buru dia berjalan kembali ke mejanya.

Sachi mengangguk dengan wajah bingung. Dia lalu membuka botol kopi itu dan menenggaknya rakus. Sementara itu, Maira teman dekatnya di Fabulous selain Dea, mendekat ke arah meja Sachi. Dengan tanpa perasaan Maira mencolak-colek bahu Sachi.

"Kenapa lo?" seru Sachi sebal.

"Ciye ... Diam-diam ada yang udah mulai perhatian, nih," goda Maira menowel pipi Sachi.

"Apaan, sih?! Enggak lah. Orang cuma dikasih kopi doang, kok," kata Sachi seraya mendorong tubuh Maira menjauhi dirinya.

"Justru kemajuan dong lo dikasih kopi. Berarti dia perhatian sama lo," cerocos Maira tidak mau kalah.

Sachi dengan cepat menutup mulut Maira. Dia takut suara heboh rekan kerjanya itu bakal sampai ke telinga yang lain, terutama Andrew. "Yang lain juga dikasih, kok. Farhan, Dea, Ipul. Tuh lihat."

"Berarti cuma gue, dong, yang enggak dikasih?" gerutu Maira.

"Derita lo," kekeh Sachi dengan sengaja menyesap nikmat kopi botolan dari Andrew, yang rasanya mungkin kebanyakan gula ketimbang kopi. Namun, prestige kopi botolan itu mendadak naik malam ini karena Andrew. "Lagian mana sempet, sih, mikirin jodoh kalau masih kerja di Agency. Pulang selalu malem, belum lagi kalau ada revisian. Gimana mau bersosialisasi cari jodoh coba?"

Maira berdecak. "Lah, buktinya si Dena. Dia bisa-bisa aja tuh dia nikah. Lo nya aja kali yang emang males usaha, apalagi targetnya udah depan mata. Usaha Sach ... usaha. Jaman sekarang kalau enggak usaha, bakal diembat sama yang lain. Noh, lihat si Vera."

Tatapan Sachi langsung berpindah ke meja Andrew. Dia berdecak menemukan Vera sudah stand by di sebelah meja Andrew.

"Ya udah, ah, gue balik ke meja. Bye, Mblo!" pamit Maira sambil menahan tawa.

Sachi tiba-tiba terdiam. Perkara jodoh, dia sebenarnya masih belum memikirkan itu. Namun, bila bicara soal pacar, kadang kala Sachi juga rindu saat-saat itu. Bila dihitung-hitung sudah hampir lima tahun dia menjomblo. Menyedihkan.

Padahal Dika, kakak lelaki Sachi satu-satunya justru dulu menikah di umur 23 tahun. Sementara dia sendiri, entah kenapa masih enggan memikirkan kata nikah.

"Bodo amat, ah," gumam Sachi sembari menghabiskan kopi dari Andrew hingga tetes terakhir.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top