1. Perempuan Senewen, Si Kpopers Kelas Wahid

Sachi Shandika. Single, 24 Tahun, Digital Strategist

Bagi Sachi. Hidup itu hanya satu kali, menikmati proses dan setiap kejutan yang datang setiap detiknya, itulah kenikmatan hidup. Maka, terlalu terpaku pada planning jangka panjang justru membuat keunikannya menjadi terasa hambar. Jadi nikmati saja orkestranya, toh hasil akhir tidak akan membohongi bukan?

***

Matahari sudah semakin naik ketika Sachi membungkukan badannya kehabisan napas di ujung JPO—Jembatan Penyeberangan Orang—di salah satu titik kota Jakarta. Entah sudah berapa belas menit dia berlari sepanjang jembatan menuju gedung kantornya itu. Bahkan, rambut ikal sebahu milik Sachi terlihat lepek oleh keringat. Jika boleh, ingin sekali dia meminjam pintu Doraemon agar dapat segera tiba di kantor semudah menjentikan jari. Tapi sayang itu hanya ada dalam pikiran liar Sachi.

Perlahan, senyuman lebar mengembang di bibir tipis milik Sachi saat matanya menangkap papan nama bertuliskan Fabulous Agency dua meter dari posisinya sekarang. Namun, itu semua tak bertahan lama, ketika Sachi sadar jam di pergelangan tangannya sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Segera, dia kembali berlari secepat kilat.

Kehidupan di Advertising Agency memang tidak seperti yang dibayangkan semua orang. Bisa bangun siang? Itu bohong. Bagaimana kalau klien meminta kamu untuk meeting pagi-pagi buta? Jawabannya, ya, kamu harus siap. Lalu bagaimana kalau klien meminta revisi di waktu weekend? Jawabannya dapat kamu tebak sendiri.

Tidak ada kata tidak di kamus para buruh kreatif bila berhadapan dengan titah klien. Namun, entah bagaimana awalnya sifat bebas dan spontan Sachi justru membawa dia ke dunia ini, dunia advertising yang sama sekali tidak pernah muncul di otak Sachi yang dulunya adalah si jenius dari fakultas MIPA.

Selang sepuluh menit, Sachi tiba di depan pintu kantor dengan napas hampir habis. Sampai-sampai semua mata kini menatap ke arahnya. Tatapan yang seolah siap mengantarnya ke kursi pesakitan, ruang kerja Pak Darwis.

Mas Danu, sang Art Director, memanggil Sachi setengah berbisik, memegang lehernya lantas mengarahkan telunjuknya ke arah ruangan sang bos, Pak Darwis. Sachi sadar riwayatnya akan tamat sekarang. Dia bahkan tidak yakin akan selamat sampai ke tempat klien, bila melihat ekspresi Pak Darwis yang sudah seperti kertas revisi desain yang diremas-remas ratusan kali dari jendela besar ruangannya.

Sachi bergegas merapikan kemejanya sebelum kemudian mengetuk pintu ruangan berukuran sedang itu.

"Pagi, Pak."

"Siang," jawab Pak Darwis sambil memainkan kumis besarnya membuat Sachi jengah. "Kamu tahu sekarang jam berapa?"

"Sembilan ...," sahut Sachi takut-takut. "Lebih 10 menit, sih."

"Jam berapa kita janji meeting dengan klien?" tanya Darwis lagi dengan mimik siap mengucapkan sumpah serapah.

"Setengah sepuluh, Pak."

"Terus kenapa kamu datang telat?! Kamu pikir Jakarta itu antah berantah yang enggak pernah macet? Hah ... Kamu, nih .... Udah sering saya bilang kalau ada meeting pagi."

Sachi mendengkus pelan. Rentetan omelan dari Darwis sudah seperti kaset kusut di telinganya sekarang. Sumbang dan menggema. Lantaran perempuan itu lebih memilih mengalihkan pikirannya pada paket yang hari ini akan tiba ketimbang omelan si Kumis—julukan sang bos.

Apalagi jika bukan paket berisi album dari idol grup favorit Sachi. Paket yang membuatnya harus rela bersabar hingga hampir satu bulan, karena lamanya pengiriman dari Korea ke Indonesia. Mengingat hal itu, Sachi tersenyum geli seorang diri.

"Eh ... eh ... eh .... Kenapa kamu malah ketawa? Kamu mau menghina saya? Sudah berani kamu sama saya?"

Sachi mengatupkan bibirnya. Dia baru tersadar jika kini dirinya masih ikut serta dalam pidato pagi si Kumis.

"Gimana kita langsung berangkat aja, Pak? Enggak baik, loh, kalau klien nunggu lama," usul Sachi dengan wajah pura-pura peduli.

Darwis tersadar. Mata pria itu kini membulat seperti bola golf saat dia memeriksa jam dari ponsel nya.

"Astaga! Ayo kita berangkat sekarang!" seru Darwis kemudian merapikan barang-barang di atas mejanya.

Sementara itu, Sachi diam-diam kabur terlebih dahulu dari ruangan Darwis. Di luar, suasana kasak-kusuk menyambut Sachi. Orang-orang di sana sepertinya penasaran karena Sachi bisa keluar dengan selamat dari dalam ruangan Darwis.

Danu dan anak desain yang lain bahkan sudah berbisik heboh menanyakan bagaimana kronologis di dalam tadi.

"Sssttt nanti aja. Pulang meeting, oke!" gumam Sachi menggerak-gerakan tangannya meminta semuanya untuk diam. Sebab tak lama, Darwis sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan jutek bukan main ke arah Sachi.

"Tunggu apalagi? Ayo! Malah ngegosip," perintah Darwis.

***

Malam telah tiba, Sachi meregangkan tubuhnya sambil menunggu ojek online di depan gedung. Baru beberapa menit yang lalu pekerjaannya hari ini selesai, padahal jam sudah hampir menyentuh angka sebelas malam. Sambil memandangi macet di jalanan dan langit Jakarta yang tampak gelap di atasnya, Sachi mengulum senyum. Hari ini rasanya terlalu cepat berlalu. Seolah waktu 24 jam tidak cukup untuk dia bekerja.

Sachi pikir, mungkin itulah nikmatnya bekerja dengan passion. Kita tidak akan pernah merasa terkekang oleh yang namanya waktu, karena tiap detik waktu kita bekerja justru serasa bermain sepanjang hari. Meskipun bekerja di sini membuatnya langganan terkena tifus.

Setelah ojek online yang ditunggu tiba, Sachi pun segera menaiki kendaraan itu lalu bergerak melewati jalanan kota Jakarta yang masih saja ramai. Seakan tidak punya waktu untuk terlelap seperti dirinya.

Setelah berjibaku selama hampir satu jam, sebuah gedung tinggi apartemen muncul di depan mata Sachi. Dia pun segera turun dan sambil bersenandung pelan Sachi memasuki pintu gerbang kemudian berjalan menuju deretan kotak surat di bagian bawah gedung apartemen.

Binar bahagia langsung tampak di mata Sachi ketika dia menatap penuh harap ke arah kotak surat bertuliskan B-12-3A. Namun, mimik Sachi seketika layu saat menemukan kotak suratnya yang masih kosong melompong. Padahal dia yakin seratus persen jika status paketnya sudah terkirim pada website toko online langganannya.

"Aneh," gumam Sachi mulai gelisah.

Hati Sachi semakin uring-uringan saat menyadari ponsel di tangannya kehabisan daya. Tanpa membuang waktu, Sachi berbalik dan berlari ke arah lift di belakangnya. Air mukanya tampak senewen ketika melihat salah satu lift hampir tertutup satu meter darinya. Dengan modal nekat, Sachi pun menerobos pintu lift tepat sebelum pintu besi itu tertutup. Bahkan, seorang lelaki yang kebetulan sudah berada di sana terlebih dahulu hampir terkena serangan jantung melihat ulah Sachi.

Di dalam lift, Sachi tidak pernah bisa diam. Gelisah yang mengganggunya, membuat dia beberapa kali menggumam sembari menggigiti kuku. Sampai-sampai perjalanan dari bawah hingga ke lantai 12 tempat dia tinggal terasa sangat lama bagi Sachi. Senandung lagu-lagu K-pop kesayangan Sachi terdengar lamat-lamat dari bibir tipis perempuan itu. Namun, tidak cukup membantu. Hatinya masih ketar-ketir, meratapi nasib albumnya yang entah ada di mana.

"Kampret ... Lelet amat sih ini lift!" umpat Sachi kesal, tidak peduli bila ada seorang lelaki yang memandangi aneh di sebelahnya. Bahkan perlahan lelaki itu memundurkan tubuhnya satu langkah menghindari Sachi dengan mimik ngeri.

TING!

Lift berhenti di lantai dua belas. Masih dengan suasana hati yang campur aduk tak karuan, Sachi berlari cepat keluar lift tanpa peduli pintunya belum terbuka sempurna. Kemudian dengan bar-bar dia membuka pintu apartemennya. Begitu pintu kamarnya terbuka, Sachi seketika menghambur ke dalam kemudian mengeluarkan semua isi tasnya untuk mencari charger ponsel.

Setelah dirasa cukup daya, perempuan itu segera mencari nomor customer service 24 jam dari online shop tempat dia membeli album.

Nada sambung berbunyi. Cemas mulai membekap dadanya ketika telepon itu masih belum juga direspons. Rambut Sachi bahkan sudah kusut dan berantakan akibat ulahnya yang tidak bisa diam.

KLIK. Teleponnya tersambung selang lima menit kemudian.

"Halo, Mas paket saya kenapa belum sampai, ya?! Padahal di statusnya, kan, paket udah terkirim. Tanggung jawab dong! Masnya mau nipu, ya?" cerocos Sachi kesal bukan main. "No paketnya ... 32127865119AB. Iya, atas nama Sachi Shandika."

"Ah, masa? Orang belum sampai, kok? Kalau udah terkirim terus paketnya sekarang di mana, dong?"

"Saya udah cek, Mas. Dan asal Mas tahu, ya. Mata saya masih normal dan enggak rabun."

Sachi sudah berkacak pinggang dengan pipi menggembung kesal kala mendengar kalimat pembelaan terus-menerus dari customer service di seberang telepon. "Gimana mau bikin video unboxing orang dusnya aja enggak ada, kok. Ngada-ngada, nih! Oke, nanti saya fotoin dan kasih Mas buktinya, ya."

"Halo! Halo?! Ih, ditutup lagi. Ngeselin! Tahu gitu gue ikut PO ditempat lain aja."

Belum reda amarah Sachi, sebuah panggilan masuk terdengar dari ponselnya. Sachi mengerutkan kening, pasalnya dia tidak mengenal nomor ponsel yang muncul pada layar. Sempat dilanda ragu, dia akhirnya mengangkat telepon itu.

"Halo."

Air muka Sachi berubah semringah saat suara seorang lelaki terdengar di telinganya. Bukan karena renyah nya suara lelaki itu, yang jelas-jelas terkesan datar, tetapi karena lelaki itu menyebut-nyebut soal album miliknya.

"Iya, saya Sachi. Oh, iya? Oke kalau gitu kita ketemuan di refreshment area aja, gimana?" kata Sachi menyambar kunci apartemennya di ata meja yang penuh dengan sampah makanan ringan. "Sekarang, ya. Bye."

Tanpa menunggu jawaban dari lelaki di seberang telepon, Sachi langsung menutup teleponnya dan bergegas keluar dari apartemen.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top