Bab 6
Rania mengabaikan ponselnya yang sejak subuh tadi berdering. Puluhan pesan dan panggilan dari pria yang tengah ia hindari, menghiasi layar ponselnya. Ia malas menghadapi rentetan pertanyaan dari Raja yang mengetahui ada lelaki yang menginap di apartemennya.
Tadi malam, saat pulang dari club dengan membawa Alden yang mabuk, ternyata Raja sudah ada di apartemennya. Pria itu sempat bermain dengan Della sejenak sebelum gadis itu dibawa tidur oleh pengasuhnya, dan akhirnya dia menunggu sendirian.
"Untuk apa kamu membawanya kemari, Rani? Taruh saja dia di tempat lain untuk menginap, hotel kan banyak!"
Pria itu mengamuk saat melihat Alden dibawa masuk ke kamarnya oleh supir dan digantikan pakaian juga. Rania juga tahu kalau ia bisa saja meninggalkan Alden di sebuah hotel supaya aman, tidak membawanya pulang. Namun, hati kecilnya menolak. Bagaimanapun, Alden adalah orang yang berjasa mempersatukan kembali adik kesayangannya bersatu dengan wanita yang dia cintai.
"Aku hanya ingin membalas budi kepadanya, Raja." Wanita itu hanya menjawab lirih, malas menanggapi lebih lanjut karena ia sudah lelah juga risih dengan tubuhnya yang menempel berbagai bau. Termasuk bau alkohol dan muntahan Alden yang untungnya tidak mengenainya.
"Aku melihat kalian bersama-sama sejak kemarin di taman di rumah sakit. Jangan biarkan laki-laki itu mendekatimu, Rania. Dia hanya akan menjadikanmu pelarian dari patah hatinya!" seru Raja.
"Pelankan suaramu, Raja! Kamu bisa membangunkan putriku dan seisi apartemen ini," desis Rania jengkel. "Satu hal lagi, kamu harus membiasakan diri melihatku dengan laki-laki lain, siapa pun itu. Karna kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi!"
Wajah Raja memerah mendengar perkataan wanita itu, ingin mengeluarkan penolakan tapi sadar ini akan menambah panjang perdebatan dan keributan. Dia pun berbalik lalu berjalan keluar sambil menutup kencang pintu apartemen.
Rania mengempaskan kembali bokongnya di sofa ruang tamu, menyandarkan bahu dan kepalanya. Sebulir airmata mengalir dari mata yang sejak tadi memanas memandang punggung pria yang ia cintai menjauh dengan diliputi amarah. Baru semalam mereka berpelukan mesra melepas rindu setelah lama tidak bertemu, dan kini realita kembali menyapa di depan mata.
Kadang keinginan tidak semuanya harus tercapai, ada kebutuhan yang lebih penting demi keberlangsungan hidup. Begitupun yang dipikirkan Rania. Ia sudah memikirkan matang-matang mengenai hubungannya dengan Raja Dwipangga.
Dulu, ia pernah ceroboh memercayakan hatinya kepada ayahnya Della, dan kini ia mengulang kesalahan yang sama. Terlalu cepat menyerahkan hati. Ia tidak pernah berpikir bahwa seorang Sonya Dwipangga yang begitu mengelu-elukannya di depan para klien dan kolega, akan menolak dan menghinanya sedemikian rupa di belakang sang putra. Raja sempat menantang ibunya kala itu, dia memilih meninggalkan rumah sakit dan ikut mengabdi ke daerah terpencil selama beberapa bulan. Namun, dia kembali saat kakeknya meninggal dan berniat merebut rumah sakit itu dari tangan ibunya. Raja pikir setelah mendapatkan kepemimpinan, akan lebih mudah baginya berkuasa atas ibunya. Itu yang dikatakannya kepada Rania.
Namun, Rania tetap memilih mundur. Terlalu banyak masalah yang akan ia hadapi ke depannya jika terus bersama Raja, itu pikirnya. Dengan profesinya yang sebagai artis saja tidak direstui, apalagi jika Sonya tahu kalau dirinya punya anak diluar nikah? Parahnya lagi, masalah drama keluarganya.
Aahhh...rasanya kepala Rania berdenyut sakit jika memikirkan apa saja yang akan ia lalui jika menjadi istri seorang Raja Dwipangga. Belum lagi masalah internal keluarganya yang harus diselesaikan pelan-pelan.
Namun, hari ini rasanya pundaknya terangkat dari beban berat saat Rangga akhirnya menikahi Ayu. Rasa lega yang teramat besar hadir di dalam dadanya. Rasanya, sudah lama ia tidak bernapas selega ini, semudah ini dan semenyenangkan ini.
Malam kemarin, Alden tiba-tiba menghubunginya dan mengatakan akan membatalkan pernikahan dengan Ayu. Hal mengejutkan yang tentu saja membahagiakan baginya. Rania mengajak bertemu dan berbincang untuk meyakinkan bahwa pendengarannya tak salah. Malam itu, rencana pun disusun. Ia mau tak mau menghubungi Sonya Dwipangga untuk memperoleh izin, dibantu oleh Nyonya Richardson lalu menghubungi dokter Kyle sebagai penanggung jawab Rangga. Staf restoran pun turut serta membantu, tidak tidur semalaman demi memasak sedikit masakan dan kudapan untuk hari berbahagia itu.
Persiapan pernikahan yang singkat dan penuh kejutan di pagi hari yang penuh air mata haru.
" Rania, handphonemu berisik sekali!"
Suara protes Alden yang tengah mengemudikan mobilnya membangunkan Rania dari lamunan panjang. Ia lantas mengubah mode getar di handphonenya menjadi senyap. Tidak memungkinkan juga untuk mematikan handphone-nya, ia butuh berkomunikasi dengan kepanitiaan acara hari ini dan hal urgent lainnya, seperti kabar dari RS tempat keluarganya dirawat.
"Laki-laki yang di rumah sakit itu ya?"
Pria yang mengenakan setelan olah raga--yang ia minta bawakan dari rumahnya setelah ia menelpon asistennya--itu bertanya sambil melirik bangku belakang di mana Della tertidur kembali. Tampaknya gadis kecil itu masih ingin tidur lebih lama, setelah pagi tadi dibangunkan lebih pagi dari biasanya.
Rania seketika menoleh, "Kok kamu tau?"
"Aku sempat melihat dia mencium kening kamu pas keluar dari lift beberapa hari lalu. Pacar?"
"Mantan!"
"Ohhh, belum move on toh!" celetuk Alden
"Diiaaaa! Bukan aku!" elak Rania.
"Iya-iya, kalian belum move on!"
Alden tergelak saat Rania hanya membalasnya dengan suara decakan kencang. Senang rasanya menertawakan manusia-manusia gagal move on, senasib seperti dirinya. Setidaknya dia ada teman berbagi, bukan.
"Ngomong-ngomong, apa Rei tidak keberatan kalau aku bertemu Ben mendadak seperti ini? Bagaimana kalau dia melarang Ben ikut?" Alden akhirnya menyuarakan pertanyaan yang sedari tadi melintas di kepalanya, ketakutan kalau rencana mereka tidak berjalan lancar.
"Makanya gak usah bilang apa-apa. Palingan Reihana akan anggap aku gak tau tentang kisah rumit kalian. "
Alden hanya menghela napas dan berharap semoga rencana Rania berjalan lancar.
***
Reihana terkejut Alden bersama Della juga Rania telah berdiri di depan rumah Kyle untuk menjemput Ben, mengajak putranya berolahraga pagi. Jauh di lubuk hati, ia merasa senang bahwa akhirnya Alden mau mengakui putranya juga mau berusaha keras untuk mendekati putra mereka itu.
"Rasa cinta pada putranya mengalahkan perasaanya pada wanita yang dicintainya. Bukankah kamu senang?"
Kyle berdiri di samping Reihana yang masih memandangi mobil yang dikemudikan Alden menjauhi rumahnya.
Reihana berbalik lalu mengambil alih dasi yang tengah dikenakan Kyle dan membantunya memasang dasi itu.
"Aku senang dia akhirnya menerima Ben sebagai putranya, mau berusaha lebih keras lagi agar Ben mau menerima dan mengakuinya sebagai ayah kandungnya. Aku malah ikut merasa sedih bahwa Alden harus terluka lagi, ia telah dua kali ditinggalkan oleh wanita yang dicintainya tepat sebelum hari pernikahan."
Reihana menelan ludahnya berat, saat kembali mengingat peristiwa sembilan tahun lalu. Hari dimana ia memilih untuk mempertahankan anak-anaknya dan meninggalkan ayah dari putranya sendiri, terluka.
Kyle menangkap kedua tangan Reihana yang sedang merapikan dasinya, menggengam dan mengecupnya lembut. "Apakah kamu sudah membuat keputusan?" tanyanya.
Reihana mendongak menatap wajah pria yang sudah menjaga dirinya serta putranya selama delapan tahun terakhir. Pria yang ia tahu telah menyukai dirinya sejak mereka masih berkuliah dulu, tapi kemudian tak terdengar kabarnya lagi selama beberapa tahun kemudian. Tuhan mempertemukan mereka kembali di negara nun di sana. Menolongnya, menjaganya dan membantunya tanpa pamrih di saat kondisinya yang terus memburuk.
Reihana tersenyum lalu mengelus rahang pria itu yang ditumbuhi bulu-bulu halus. "Aku tidak pernah melarangmu pergi jika kamu sudah bosan bersama kami dengan status yang tidak jelas ini."
"Aku akan pergi jika kamu yang menyuruhku pergi, Rei. Mungkin memang sudah waktunya aku menyerahkan kembali semuanya ke tempat seharusnya."
Tentu saja hati lelaki itu sakit saat mengucapkannya, tapi apa yang ia bisa perbuat, perasaan Reihana-lah yang terpenting di sini. Kedua orangtua Reihana sudah memberikan restu untuk menikahi wanita di hadapannya tapi ia tidak mau melakukannya, karena ia tahu hati wanita itupun masih gamang. Kyle mencium kening Reihana dalam dan lama, wanita yang membuat dirinya merasa berguna dan dibutuhkan oleh Ben juga Reihana. Ia kembali mengelus pipi mulus itu pelan penuh rasa sayang.
"Sepulangnya aku dari Singapore, aku harap aku sudah bisa mendengar apa keputusanmu tentang ini semua. Jangan pernah selipkan rasa kasihan kepada ku, aku butuh cintamu bukan rasa iba. Karena semua yang aku lakukan untukmu dan Ben selama ini, aku lakukan dengan tulus," ucap Kyle lagi.
Reihana mengangguk lalu memakaikan jas Kyle pada tubuh tegap pria itu, tubuh kekar yang senantiasa menopang dan memeluknya di kala lemah.
"Baik-baik di rumah, ya, aku akan menghubungimu setibanya disana."
"Hemm.. hati-hati, ya."
Kyle menarik kopernya keluar lalu berjalan menuju halaman rumah di mana supirnya telah menunggunya sedari tadi. Reihana kembali menatap mobil yang menjauh dari pekarangan rumahnya, Kyle akan mengikuti seminar kedokteran di Singapur selama seminggu dan ini adalah pertama kalinya pria itu jauh dari dirinya juga Ben dalam waktu yang lama setelah kembali ke Indonesia.
Mereka bertiga memang sudah tinggal serumah sejak Reihana sadar dari komanya dan diperbolehkan pulang ke rumah. Pria itu juga yang dipercaya kedua orangtuanya untuk menjaganya saat di Jerman dulu, membantunya memulihkan kondisi juga membantunya menjadi sosok ayah bagi Ben kecil. Namun, semenjak kembali ke Indonesia, Reihana tinggal kembali di rumah orangtuanya. Dan saat weekend seperti ini, ia dan Ben akan menginap di rumah Kyle, menuntaskan kerinduan putranya yang ingin menghabiskan waktu libur dengan orang yang dia sayangi sejak kecil.
Kaki Reihana melangkah ke kamar, merebahkan diri di kasur milik pria itu dan menghirup aroma yang masih tertinggal di bantal Kyle. Baru saja pergi tapi hatinya kini sudah merindu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top