Bab 4

Jam tangan dengan strap kulit berwarna merah yang tampak indah melingkari pergelangan tangan Rania, menunjukkan waktu 15.00 saat ia melangkahkan kakinya di lobi rumah sakit.

Wanita itu mengatur napasnya yang memburu karena terburu-buru ingin menemui adik kesayangannya. Kabar mengenai Rangga yang telah siuman dari Robby, membuatnya segera menyudahi pertemuan dengan pihak kosmetik yang tengah menyiapkan brand-nya.

Heels-nya mengetuk dengan tak sabar lantai itu, menanti pintu lift yang tak kunjung terbuka.

"Nona Rania...?"
Sebuah suara dengan nada tanya hati-hati membuat bulu kuduk Rania meremang seketika. Ia memejamkan mata sejenak, mengambil napas dalam sebelum membuka kacamata hitam dan maskernya untuk menghargai wanita paruh baya yang kini berdiri di sebelahnya.

"Apa kabar, Nyonya Dwipangga?" sapa Rania dengan senyum lebar.

Di sana, seorang wanita dengan rambut sebahu dan bagian depan tersasak tinggi tengah tersenyum tipis ke arahnya. Di sebelah Sonia Dwipangga, berdiri seorang wanita anggun bertubuh tinggi, langsing dengan wajah yang ayu dan lembut. Sama-sama mengenakan snelli.

"Saya dengar adik Anda kecelakaan dan sedang dirawat di sini?" tanya Sonia seraya menampilkan wajah simpatinya. Entah tulus atau hanya pura-pura. "Dan semoga keadaan ibu Anda juga lebih baik, ya."

"Terima kasih, Nyonya," balas Rania berat. Ia tahu, wanita berkuasa di depannya tengah menunjukkan bahwa dia masih melakukan pengawasan atas dirinya. Dari bahasa formal itupun menunjukkan, bahwa apa pun hubungan Rania dan Raja--yang sempat bertemu dengannya untuk meminta restu untuk hubungan mereka-- tidak pernah dianggapnya sama sekali.

"Perkenalkan ini, Raden Ajeng Rastri Rahayu yang pernah saya ceritakan waktu itu. Dia juga seorang dokter bedah seperti Raja, dan akan bergabung di rumah sakit ini."

Rania menelan ludah perlahan, sembari tetap berusaha tersenyum lebar di tengah suara Sonia Dwipangga yang sibuk menjelaskan pendidikan dan asal usul wanita anggun di hadapannya. Keluarga bangsawan terhormat, latar belakang pendidikan dan pencapaian fantastis. Terang saja, dirinya bukan siapa-siapa dibandingkan wanita yang kini mengulurkan tangan kepadanya.

"Salam kenal, Rania. Saya penggemar Anda juga sebenarnya. Simbol kemandirian perempuan, pekerja keras, artis yang peduli sesama dan banyak kegiatan sosialnya. Tidak salah Tante Sonia pernah merekrut Anda jadi salah satu brand ambassador klinik eksekutif di sini," ucap Rastri tulus.

Rania hanya memulas senyum seraya mengucap terima kasih atas pujian yang dilontarkan wanita di hadapannya. Sementara itu, Sonia hanya tersenyum tipis mendengar pujian calon menantunya terhadap Rania. Dia akui, saat Rania masih menjadi Brand Ambassador di klinik VIP yang mereka miliki, terjadi perubahan signifikan terhadap pendapatan rumah sakit. Tak Jarang Rania pun terlibat di acara sosial yang khusus diadakan rumah sakit itu, yang menjadi awal kedekatan sang putra dan artis itu selanjutnya.

Rania menghela napas lega saat pintu lift terbuka, membuyarkan suasana canggung yang sempat terjadi. Ia lalu mempersilakan orang nomer dua di rumah sakit itu untuk menaiki lift terlebih dahulu, diikuti wanita muda yang sedari tadi mengekorinya. Saat pintu hendak menutup, sesosok pria menahan pintu lift lalu masuk dan berdiri di samping Rania yang berdiri di bagian pojok lift.

Sonia menatap tajam pria yang kini diam-diam menggenggam tangan Rania di balik punggungnya. Sementara, pria yang menjadi objek kegelisahan Rania hanya menatap lurus ke arah pintu lift yang kembali membuka karena pengunjung yang ikut masuk bersama mereka. saat pintu lift berhenti di lantai lima, tempat kantor ruangan administrasi berada, Sonia dan Rastri bersiap untuk keluar.

"Raja, jangan lupa malam ini makan malam dengan keluarga Rastri," ucap Sonia sesaat sebelum keluar dari box besi itu. Ratri hanya memulas senyum seraya menundukkan kepala. Sementara itu, Raja tidak membalas perkataan ibunya. Ia memilih mengeratkan genggaman, karena Rania mulai menarik tangannya berusaha untuk lepas.

"Setidaknya, sopanlah kepada ibumu. Jawablah pertanyaannya walau hanya dengan anggukan atau apa pun itu. Jangan perlihatkan perseteruan kalian di muka umum. Tadi banyak staf juga, loh, Raja," tegur Rania saat lift mulai kosong dan menyisakan mereka berdua.

"Hmm!" Suara dehaman diikuti decapan terdengar. Pria itu mencuri kecupan di bibir Rania, yang diikuti pukulan wanita itu di bahunya.

"Raja!" pekiknya kesal, "Ada CCTV loh di sini. Kamu ini--"

Belum selesai Rania menumpahkan kekesalannya, Raja kembali mencuri kecupan kilat di bibirnya. Akhirnya, Rania hanya mampu mendesah lelah menanggapi tingkah Raja yang berlaku seenaknya. Pria itu menarik tangannya keluar dari lift, lalu berjalan di koridor ruang rawat VIP. Abai dengan tatapan melirik diarahkan ke tangan mereka yang saling bertaut.

"Raja, tolong lepaskan tanganku," bisik Rania lagi. Namun, lagi-lagi pria itu mengabaikan permohonannya.

"Keadaan Rangga stabil, tapi tetap kondisinya masih dalam pemantauan dokter dan masih perlu observasi lanjutan untuk mengetahui keluhan lain yang dirasakannya sekarang." Raja memilih bersuara dengan menjelaskan keadaan Rangga, dibandingkan membicarakan hal-hal yang berpotensi memicu pertengkaran mereka lagi. "Ayu juga dirawat di lantai ini, " tambahnya lagi.

Mendengar kabar mantan adik iparnya membuat Rania kembali menghela napasnya. Raja menaikan tautan tangan mereka lalu menciumnya, seraya berkata, " Everything gonna be ok, Ran."

"We're not okay."

Perkataan Rania seketika menghentikan langkah Raja. Saat ini mereka sudah berada di depan pintu ruang rawat Rangga. Raja menumpukkan kedua tangannya di bahu wanita yang dicintainya.

"Kali ini, biar aku yang berjuang untuk kita. Aku tidak akan lari seperti waktu itu, kali ini aku akan lakukan semuanya untuk kamu."

"Termasuk melepaskan rumah sakit ini?" tanya Rania cepat.

Raja terdiam. Pertanyaan itu telak menghantam dirinya. Tentu saja Rania tahu ancaman yang dilontarkan Sonia waktu itu. Berhenti dari rumah sakit peninggalan kakeknya atau menikahi Rania, adalah pilihan yang sangat sulit bagi pria itu. Mengingat Raja lebih tertarik kedokteran daripada meneruskan bisnis ayahnya.

"Aku bisa memiliki rumah sakit ini dan juga kamu, Rani," tegas Raja. "Selama apa pun waktu yang dibutuhkan untuk meyakinkan ibu, kita pasti akan bisa bersama."

"Aku akan mempersingkat waktunya, Raja. Kamu bisa memiliki semua ini secepatnya. Tanpa aku."

Rania bergegas membuka pintu kamar inap, menghindari pembicaraan lebih lanjut dengan pria itu. Keputusan sudah ia buat. Hanya ini solusi untuk menyelesaikan permasalahannya dengan Raja. Satu per satu masalah akan ia selesaikan, dan langkah pertamanya yaitu meninggalkan pria yang dicintainya.

Sementara itu, Raja menatap nanar pintu ruang rawat yang kembali tertutup.

***

"Bunda, Della mau ke sana, ya! Ada Ben."

Della melepaskan genggamannya saat melihat anak laki-laki sebaya dirinya tengah bermain sendirian di tengah taman rumah sakit. Rania mengangguk, lalu tersenyum melihat putrinya berlari kegirangan mendekati Ben. Setelah Rangga siuman, setiap sore Rania memang membawa Della untuk menjenguk di rumah sakit.

Rania melihat sesosok pria duduk tak jauh dari mereka, ayah kandung Ben. Alden Richarson. Pria yang kabarnya akan menikahi Ayu itu menatap Ben dengan tatapan familier yang sangat Rania kenali, karena ia pun pernah merasakan itu.

Rindu dan penyesalan.

Wanita itu sedikit banyak sudah mencari tahu mengenai siapa Alden sebenarnya. Mengingat Ayu masih tercantum secara hukum sebagai ibu Della, otomatis jika mereka menikah, Alden-lah yang akan menjadi ayah tirinya. Tentu saja dulu ia harus memastikan sendiri apakah pria itu bisa menjadi sosok ayah yang baik putrinya, di saat ia sendiri tidak bisa memberikan keluarga utuh untuk Della. Dan ia sempat terkejut atas fakta yang ia temukan baru-baru ini, kenyataan bahwa pria itu memiliki seorang anak dari mantan tunangannya. Anak yang tidak pernah Alden ketahui keberadaanya di dunia.

Rania mendudukkan bokongnya di bangku taman, menikmati senja dengan angin yang mulai bertiup kencang sambal memandangi Ben juga Della yang tengah bermain mengelilingi pancuran kolam taman. Ia tak berniat menggangu lamunan pria di sebelahnya. Mereka sama-sama terdiam hanyut dalam buaian angin.

"Bagaimana kabar Rangga, kabarnya dia sudah sadar?" tanya Alden, memecah kebisuan antara mereka berdua.

"Alhamdulilah, Rangga sudar sadar. Dia masih sering tertidur efek dari obat."

"Apakah dia tahu bahwa besok Ayu akan menikah?" tanya Alden lagi.

Rania tersenyum sekilas mendengar pertanyaan pria itu, yang ia yakini bentuk kekhawatiran kalau Ayu akan berpaling dan kembali kepada Rangga. Jauh dalam hatinya, ia masih menginginkan Ayu dan Rangga kembali bersama. Karena ia tahu keduanya masih saling mencintai.

"Dia sudah tahu," jawab Rania.

"Apa reaksinya?"

"Memangnya reaksi seperti apa yang kamu harapkan? Depresi? Kecewa? Lalu menghalangi pernikahanmu dan merebut Ayu?" tanya Rania sarkas. "Adikku bukan orang seperti itu. Ia akan membiarkan Ayu bahagia dengan pilihannya. Baginya, kebahagiaan Ayu adalah segalanya walaupun dia bukanlah bagian dari kebahagiaan itu. Dia mengorbankan segalanya hanya untuk Ayu, kamu pasti tahu itu," tambahnya lagi.

Alden terdiam mendengar perkataan Rania. Tentu saja dia tahu bahwa Rangga tidak akan bertindak seperti itu, tapi entah kenapa hatinya tetap tidak tenang. Dia sadar, walaupun dirinya berhasil memiliki Ayu, tapi di hati wanita itu masih bertakhta nama Rangga. Dia bertekad akan meberikan apa pun agar Ayu bisa belajar mencintainya.

Pria itu menghela napasnya kembali.

"Aku hanya berdoa bahwa Ayu yakin dengan pilihannya, ia berhak untuk bahagia setelah semua yang dialami," gumam Rania. Walaupun hatinya tetap menginginkan Rangga dan Ayu bersatu, tapi keputusan tetap ada di tangan mantan adik iparnya. Dan ia berharap apa pun keputusannya itu, hidup Ayu akan bahagia.

Kalimat pengharapan Rania terdengar jelas oleh Alden dan menyentil hatinya kuat.

Benarkah Ayu bahagia?

"Ketahuilah, Al, keegoisan mungkin bisa menyenangkan dan memuaskan hatimu tapi belum tentu dengan orang di sekelilingmu. Dan saat sesal itu datang, semuanya telah terlambat," ucap Rania lagi.  Terdiam lama saat masa-masa silam itu kembali terbayang untuk kesekian kalinya.  "Tidak pernah aku merasa sebersalah ini akan keputusan yang telah kuambil. Akulah yang menyebabkan ibuku menjalankan rencana-rencananya untuk makin membuat hidup Ayu menderita, juga menyakiti hati semua orang. Jika saja aku menerima bayiku saat itu, aku mungkin tidak akan pernah merasakan sakit dan kecewanya saat Della memanggil orang lain sebagai ibunya. Harusnya aku yang lebih disayang oleh Della, harusnya aku yang menjadi tumpuan anakku saat bersedih dan harusnya namaku yang tertera di sana sebagai ibu kandungnya."

Mata Rania berkaca-kaca, mengeluarkan apa yang ia pendam selama ini. Entah kenapa, ia dengan mudahnya mencurahkan perasaan kepada pria yang tak begitu dikenalnya. Mungkin, efek pertengkaran dengan Raja masih berpengaruh kuat kepadanya. Seseorang yang ingin ia jadikan sandaran hidup, tapi lagi-lagi karma memainkan perannya. Ia tidak diijinkan semudah itu untuk berbahagia dengan lelaki yang dicintainya.

Sejujurnya, ia sudah tak sanggup menahan semua beban itu sendirian. Jika saja tidak ada Della, mungkin dia sudah mati sekarang. Hanya Della-lah alasan ia bertahan sekarang. Mengetahui putrinya masih menyayanginya walaupun sudah tahu kenyataan sebenarnya, memberikan semangat agar dirinya memperbaiki semua kesalahan lainnya.

"Jika saja aku menerima dengan ikhlas kehadirannya sebagai anakku dan tidak memberikannya kepada orang lain, mungkin saat ini aku sudah hidup bahagia berdua dengan Della sebagai ibu dan anak sesungguhnya. Dan juga tidak menyebabkan penderitaan besar untuk adikku juga wanita yang dicintainya. Mereka berdua saling mencintai, aku tahu itu sejak dulu. Tapi peristiwa-peristiwa itu membuat mereka berpisah, mereka tidak bersalah. Aku yang bersalah!"

Rania menangis kencang, menyalurkan kesedihan dan penyesalan terdalamnya. Mengingat Ayu, mau tak mau membuka lagi luka itu. Rentetan peristiwa yang menyeret Ayu, Rangga, dan juga keluarganya kepada kehancuran.

Alden kembali tertampar mendengar perkataan Rania. Dia sudah mengetahui kisah tentang Rania dari Ayu. Namun, mendengar sendiri cerita itu dari mulut Rania menimbulkan sensasi tersendiri dari hatinya. Apa yang dirasakan wanita itu sama seperti yang dialaminya sekarang. Hatinya sedih juga menyesal karena bukan dirinya yang kini berdiri mendampingi putranya. Putranya tumbuh di tangan pria lain dan lebih nyaman bersama Kyle. Bahkan, Ben mengatakan sendiri bahwa dia tidak memedulikan mengenai siapa daddy-nya. Alden tersenyum miris, berpikir bahwa bukan namanya yang tertera di sana sebagai ayah kandungnya. Alden merapat dan memegang bahu wanita di sebelahnya yang bergetar kuat karena tangisan. Matanya ikut berkaca, karena ia sendiri pun merasakan perih yang sama

Kedua tangan Rania menutup wajahnya, berusaha menahan suara isakannya terdengar lebih keras lagi.

"Karena keegoisanku, semuanya terluka. Karena aku, obsesi ibuku semakin menjadi. Karena aku, Della selamanya tidak akan pernah tertulis menjadi anak kandungku. Karena aku, keluargaku hancur. Karena aku, orang tuaku bercerai. Karena aku, adikku harus merelakan wanita yang dicintainya pergi dari sisinya. Karena aku, Ayu harus banyak mengalami kesedihan. Nyatanya kebebasan dan karir yang aku inginkan kini tak berarti dalam hidupku, tidak bisa menolongku keluar dari masalah-masalah ini. Semua itu karena ego. Jangan sampai kamu menyesal seperti aku, Alden. Akibat dari keegoisanmu mungkin tidak akan berakibat kepada kehidupanmu sekarang, tapi bertahun-tahun setelahnya."

Alden tidak berkata apa-apa, ia hanya terus mendekap Rania yang masih menangis tersedu dalam dekapannya. Semua cerita Rania seolah menjadi palu besar yang menyadarkan isi kepalanya agar bisa berpikir ulang akan keputusannya, jangan sampai karena keegoisannya akan menyakiti dan membuat orang lain menderita.

Tak jauh dari tempat mereka berada, Raja memperhatikan keduanya dengan tatapan tak terbaca. Wanita yang selalu tampak galak dan juga keras kepala itu, kini tampak rapuh. Dia selalu ingin Rania bisa menanggalkan topeng tegarnya untuk sejenak, dan membiarkannya menangis rapuh dalam pelukan. Namun, saat hari itu datang, bukan dirinya yang memeluk Rania.

***

Hollaaaa.... akhirnya update jugaaa xixiixiix.

Ya ampuuun, lama gak nulis jadi kaku bahasanya. Sulit merangkai kata, eakkk.

Semoga feel-nya masih kerasa yaaa. Aku mau mulai nulis lagi deh, biar gak kaku berkelanjutan karena asyik ngomentarin karya orang .

Jangan lupa vote, ya.

C U

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top