Bab 2
Better in time, Leona Lewis
Uughhh, pas banget sama yang dirasakan Rania saat ini. Play mulmednya ya, gaesss
Jangan lupa klik vote dulu sebelum baca, ya. tengkyuuuuu
***
"Rania ...."
Sebuah tangan besar mengangkat lembut dagu Rania, lalu jemarinya mengusap perlahan air mata yang ada di pipi wanita cantik itu. Dia menatap sendu wanita di hadapannya
"Hey, lihat aku, Ran," ucapnya lagi.
"Raja ... adikku ... dia— ini salahku!"
Rania tak mampu berkata-kata, hanya air mata yang kian deras mewakili keadaanya.
"Ssst! Hei, lihat aku!" Lelaki itu merangkum wajah Rania agar mau menatap dan mendengarkan perkataanya. "Adikmu tidak meninggal. Dia masih hidup. Lihat!"
Isakan wanita itu terhenti, ia menatap ke dalam mata tajam yang senantiasa jujur padanya. Dan ia tidak melihat kebohongan sedikit pun di sana. Rania kemudian melihat ke arah ruang operasi yang tengah terbuka. Terlihat beberapa perawat tengah mendorong brankar dan peralatan keluar dari ruangan itu. Ia tak melihat kerumunan di sana. Orang tuanya pun tidak ada. Bertumpu pada lengan Raja, Rania pun berdiri.
"Adikmu akan dibawa ke ruang HCU untuk sementara waktu, akan dilakukan observasi lanjutan untuk kondisinya," jelas Raja.
"Apa yang terjadi dengan adikku? Bukankah tadi dia sudah ...."
Rania tak mampu melanjutkan perkataannya. Melihat Rangga terbujur kaku dengan tubuh memucat, menghancurkan jiwanya. Ia merasa memiliki andil di dalamnya.
"Dalam dunia medis, mati suri bisa dikatakan pengalaman mendekati kematian atau near death experience. Biasanya itu terjadi karena aktivitas syaraf lemah tak terdeteksi sedangkan organ vitalnya merespon negative dari tanda kehidupannya. Hal i—"
Plak!
Penjelasan lelaki itu terhenti saat wanita di hadapannya menepuk bahunya kuat dengan ekspresi wajah penuh kekesalan. Bibirnya berkedut melihat tatapan menantang wanita itu. Tatapan yang dia rindukan.
"Aww ... sakit, Ran!"
"Ini bukan waktunya aku mendengar ocehanmu, Tuan Raja yang Terhormat. Simpelnya saja. Apakah adikku baik-baik saja?" tanya Rania, kali ini ekspresi galaknya berubah menjadi khawatir yang mendominasi.
Kedua jemari Raja menghapus sisa air mata di wajah Rania, lalu mengaitkan rambut itu ke belakang telinganya dengan perlahan.
"Singkatnya, Rangga selamat.Berdoa saja keinginan hidupnya makin menguat. Ini keajaiban."
Air mata yang menetes di pipi Rania, kali ini adalah bentuk rasa haru. Ada secercah harap masuk ke dalam hatinya. Jika keajaiban itu ada, maka ia pun ingin ikut berharap hal yang sama terjadi pada hidupnya. Mengakhiri dan memperbaiki semua kesalahannya, agar hidupnya kembali tenang.
"Orang tuaku di mana?"
"Aku lihat ibumu pingsan dan mantan adik iparmu juga. Mereka sepertinya syok. Aku yakin mereka belum tahu kalau adikmu telah kembali."
Tangan wanita itu bergerak mencari ponsel di sakunya, ingin menghubungi sang ayah. Lalu ia teringat sesuatu. Ia menoleh ke arah kursi tunggu, dan melihat Della tengah memegang ponselnya. Headset yang masih bertengger di telinganya rupanya tak mengganggu gadis kecil itu yang tampak tertidur dengan kepala berayun. Tampaknya putrinya itu kelelahan.
Rania menghela napas lega, mengetahui Della tak tahu menahu mengenai kejadian tadi. Ia melepas perlahan headset itu, lalu menarik ponsel dari tangan mungil Della. Masih terputar video girlband korea di sana. Salah satu favoritnya.
Raja mendekat ke arah Della, lalu membawa gadis kecil itu ke dalam dekapannya.
"Aku akan membawa Della ke ruanganku. Pergilah," ucap Raja lirih, berusaha untuk tidak membangunkan gadis kecil dalam gendongannya.
Seulas senyum terbit di wajah Rania, ia bergegas mengambil tas dan menekan ponsel untuk menghubungi ayahnya.
***
Rania terkejut mendapati Raja tengah duduk di ruang tamu apartemennya. Ia mengira lelaki itu sudah kembali pulang setelah mengantarkan dirinya dan Della. Terlebih lelaki itu tampak segar dengan pakaian santai dan rambut yang masih setengah basah. Persis seperti dirinya.
"Aku senang kamu tidak membuang pakaian-pakaianku," ucap Raja sambil menyodorkan secangkir coklat panas ke hadapan Rania. Minuman favorit wanita itu di saat kelelahan seperti sekarang ini.
"Ehm ... aku belum sempat packing. Rencananya aku akan minta tolong Mbak Mia untuk mengirimkannya ke kamu," balas Rania, sambil mencicipi sedikit demi sedikit coklat panas yang ada di genggamannya.
"Kamu tahu kalau aku tidak menginginkan itu, Rania."
Kali ini suara lelaki itu terdengar penuh penekanan, dan Rania memilih tak menghiraukannya. Ia sudah mengambil keputusan untuk mengakhiri semuanya.
Terdengar helaan napas panjang dari Raja, ia beringsut mendekat ke arah Rania dan meraih handuk yang tersampir di bahu wanita itu. Kini kedua tangannya dengan telaten mengeringkan rambut Rania menggunakan handuk yang berada di genggaman, lalu memijatnya dengan lembut. Hal yang sering dia lakukan. Dulu.
Secangkir coklat panas dan pijatan ringan di leher juga bahunya yang kaku, membuat Rania terpejam dan menghela napasnya panjang. Hari ini cukup melelahkan untuknya. Melelahkan baik fisik dan juga jiwanya.
Ia bersyukur keadaan Rangga yang sudah mulai stabil, dan kemungkinan beberapa hari lagi akan dipindah ke ruang rawat biasa. Namun, kelegaan itu ditambah kekhawatiran lain. Ibunya tak terkendali, kejiwaannya terguncang. Ia menyaksikan sendiri bagaimana ibunya histeris sambil menyebut nama Rangga, adiknya. Menurut Robby, setelah terbangun dari pingsan, Mirna mendadak histeris saat melihat pasien bersimbah darah yang berada di ruangan IGD yang sama dengannya. Sampai dokter terpaksa memberikan obat penenang kepadanya.
Dugaan sementara, wanita paruh baya itu trauma. Bagaimana dia melihat putranya tertabrak di depan mata, bersimbah darah, dan kemudian meninggal di meja operasi. Tadi saat Rania meninggalkan ruangan ibunya, Mirna masih dalam keadaan tak sadar. Ia segera pergi karena melihat hari yang mulai gelap dan teringat Della. Putrinya masih berada di ruangan Raja, kemudian ia mendapati keduanya tengah makan berdua. Mau tak mau ia ikut makan, walaupun rasanya sulit untuk menikmati dan menelan makanan itu.
Rania mengerang saat sentuhan Raja mulai menggoda dan membelai leher jenjangnya.
"Raja ... hentikan," ucapnya lirih.
"Heemmm ...." Lelaki itu hanya menggumam sambil menyurukkan hidung di lekukan bahu Rania. Tergoda menciumi harum rambut wanita itu, lalu teralihkan ke kulit putih mulus bahu Rania yang terbuka.
"Aku merindukanmu, Rania," bisik Raja. "Sangat."
Aku juga membutuhkanmu.
Rania memejam, merasai kelopak matanya yang mulai memanas kembali. Sungguh hati dan raganya lelah. Semua masalah bertubi-tubi menyerangnya. Sedikit demi sedikit karma mulai menunjukkan taringnya. Ia kini telah menuai buah yang telah ia tanam. Nama besar dan kesuksesan yang ia impikan sejak dulu, nyatanya tak mampu menolongnya sedikit pun. Kehidupan pribadinya terasa makin sulit, termasuk dengan kisah cintanya dengan lelaki di belakangnya.
"Kamu sudah mengetahui keputusanku, Raja," ucap Rania lirih. Sungguh, ia sudah kehabisan tenaga untuk berdebat.
Lengan kekar itu kini menelusup ke pinggang Rania, lalu mendekap tubuh itu erat.
"Kita coba sekali lagi ya, Sayang," bisik Raja, masih berusaha membujuk Rania agar mau mengubah keputusannya. "Aku akan mencoba berbicara kembali dengan ibuku. Kamu hanya perlu menunggu, biar aku yang mengusahakannya."
Rania mendesah lelah saat mengingat permasalahannya yang lain. Ia menyandarkan punggung di dada lelaki itu, walaupun penolakan telah ia lontarkan sebelumnya. Hati dan tubuhnya saling bertolak belakang. Hatinya menolak, tapi tubuhnya begitu mengenali sosok yang selalu membuatnya nyaman beberapa tahun terakhir ini.
Begitupun saat lelaki itu menolehkan kepalanya, lalu mencuri ciuman dari bibirnya. Ia mengerang di sela ciuman agresif Raja. Betapa ia merindukan sentuhan lelaki itu yang selalu membuai tubuhnya dengan hangat. Menjanjikan perlindungan dan kenyamanan.
"Aku tak bisa, Ran." Raja berbisik di sela ciumannya, "Aku telah memanfaatkan waktu yang kamu beri untukku memikirkan hubungan kita, dan keputusan itu tetap sama. Aku tetap menginginkan kamu."
Belum sempat membalas, Rania kembali terhanyut dalam permainan bibir Raja.
He's a good kisser. Indeed
Lelaki yang menawan hatinya selama 3 tahun belakangan. Anak dari direktur sebuah rumah sakit swasta di Jakarta, tempatnya didapuk sebagai brand ambassador untuk klinik healthy life style di kalangan menengah atas, yang merupakan layanan khusus VIP yang dimiliki rumah sakit itu. Seorang dokter bedah yang digadang-gadang akan meneruskan kepemimpinan ayahnya di rumah sakit tersebut. Keluarga terpandang dan terpelajar yang akhirnya menjadi sandungan kisah cintanya kali ini.
Rania melepas tautan bibir mereka. Bibir merahnya basah dan sedikit membengkak di sana. Ia tahu ke mana arahnya, seperti yang sudah-sudah. Kali ini, masih banyak hal yang harus ia pikirkan sebelum kembali luluh ke pelukan lelaki itu.
"Raja ... kamu tahu hidupku berantakan seperti apa. Aku tak sanggup menerima satu permasalahan lagi di hidupku. A-aku ...," Rania menelan liurnya kasar, "aku tak sanggup menerima penolakan lagi dari keluarga kamu. Ini terlalu rumit."
Raja merangkum wajah Rania, menatap mata wanita itu yang kini berkaca-kaca kembali. Dia sudah tahu semua luka di hati wanita yang dicintainya itu. Paham sekali mengapa Rania ingin meninggalkannya. Pertemuan terakhir mereka, karena dia menyetujui permintaannya untuk berpisah. Namun nyatanya, hati lelaki itu tak dapat dibohongi. Rania sudah merajai hatinya.
"Aku mencintaimu, Ran," bisiknya lagi. Memohon sekali lagi, agar wanita itu bersedia memberinya kesempatan untuk membuktikan cinta.
"Cinta saja tak cukup, Raja ...."
Abai, lelaki itu kembali menahan bibir Rania berkata-kata. Saat ini, dia tidak mau mendengar penolakan dan alasan lain lagi. Raja mengeratkan pelukannya pada tubuh Rania, saat merasakan lengan wanita itu melingkar di lehernya. Beranjak dari sofa lalu membawa tubuh wanitanya dalam dekapan, masih dengan bibir yang saling bertaut lembut. Ciuman lembut yang tak ingin diakhiri dengan cepat, karena secercah ragu terus menghantui mereka.
Akankah kisah ini berakhir indah atau tidak?
TBC
Udah kenalan sama tokoh baru? Iyapp, dia adalah Raja Dwipangga. Lelaki yang dicintai Rania saat ini. Bukan bapaknya Della tapi loh, ya. Itu nanti ada lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top