Bab 9
Cinta Putih 9
Mas Ibnu: Mangga di pohon rumah sangat lebat dan besar. Boleh saya panen?
Pertanyaan itu membuatku tersenyum di tengah rasa bosan menjaga kios. Aku mengetik balasan dan mempersilakannya mengambil mangga yang ada di pohon rumahku. Ia menyewa rumah itu dan tentu saja berhak menggunakan fasilitas yang ada, termasuk mangga yang tumbuh di pohon kesayangan Ibu.
Mas Ibnu: Mau makan mangga bersama nanti sore? Ajak Meli juga gak apa-apa. Saya bersedia manjat pohon untuk memanen banyak mangga dan kamu bisa membawanya pulang.
Aku menggerakkan mata ke kiri dan kanan, berpikir apakah undangan ini harus kujawab. Sejak beberapa hari lalu, aku jadi agak canggung berada di dekat Mas Ibnu. Saat membersihkan rumah kemarin saja, aku melakukannya dengan cepat dan langsung pamit pulang. Untungnya, Mas Ibnu tidak terlihat ingin menahan atau mengajakku bicara. Ia mempersilakanku pulang dan tak menguhubungi lagi sampai saat pesan ini sampai.
Ibuku memiliki pohon mangga yang rindang dan berbuah lebat. Biasanya, saat mangga panen, aku akan mengambil sedikit untukku sendiri dan menjualnya kepada tengkulak mangga. Meli dan Sri tidak bergitu tertarik pada manggaku karena mereka juga memiliki pohon sendiri.
Mas Ibnu baik, tetapi aku seperti merasakan sesuatu yang asing jika berada di dekatnya. Sesuatu yang sebenarnya tak nyaman, tetapi aku seperti enggan beranjak kecuali saat sadar bahwa aku sudah berkeluarga. Perasaan nyaman yang membuatku nyaris ketagihan tapi aku sadar bahwa hubunganku dan Mas Ibnu tak seharusnya dekat hingga ia bisa tahu tentang masalahku.
Ini tidak benar. Aku harus menjaga jarak dan menegaskan hubunganku dengan Mas Ibnu hanya sekadar pemilik dan penyewa rumah. Aku mungkin harus bicara kepadanya untuk meminta maaf dan menjelaskan kalau sebenarnya aku baik-baik saja dengan hidupku dan pernikahanku. Yang kemarin itu hanya—mungkin setan sedang menempeliku hingga aku menangis seperti orang kesurupan.
Iya, pasti begitu. Aku harus bertemu Mas Ibnu dan menjelaskan semuanya agar ia tak memandang Mas Galuh atau aku sebagai orang yang bermasalah.
Aku membalas pesan Mas Ibnu dan menjawab undangannya. Kami janjian pukul lima sore dan aku sudah akan ada di rumah itu pukul empat untuk membersihkan rumah dulu. Kios bisa kututup cepat atau berkordinasi dengan pegawai lepas yang masih bekerja dengan Mas Galuh. Sampai saat ini, Mas Galuh masih sering berpergian mencari bambu wulung dan pulang nyaris larut malam. Entah benar mencari bambu wulung atau mencari cinta si pemesan bambu jenis itu.
Tepat pada waktu yang telah kami sepakati, aku sampai di rumah Ibu. Aku mengernyit samar saat mendapati Mas Ibnu sudah duduk di bawah pohon mangga beralaskan tikar. Ada beberapa buah mangga, pisau, piring, dan air mineral botolan. Ada juga makanan ringan kemasan yang terkumpul di tengah tikar.
Setelah memarkir motor, aku berjalan mendekati Mas Ibnu yang sedang memotong mangga dan menyajikannya di piring. Kupikir dia baru akan memanjat setelah aku datang, tetapi justru aku mendapati semuanya sudah siap.
"Mas kapan ambilnya? Sudah dari tadi?"
Mas Ibnu tersenyum kepadaku, lalu mengudarakan tangannya, mempersilakanku duduk di tikar. "Semua sudah siap dan kita bisa menikmati mangga sambil berbincang." Senyumnya terlengkung lima jari hingga matanya menyipit.
Aku balas tersenyum saat duduk dan mengambil garpu. Kami menikmati mangga manis matang pohon ini dari piring yang sama.
"Mas repot-repot banget nyiapin ini semua." Aku melirik pada minuman botol dan makanan ringan.
Mas Ibnu tersenyum lagi sambil terus menikmati mangga. "Adikku remaja awal dua puluhan yang sering gonta ganti pacar. Setiap patah hati, ia akan menangis seharian lalu esoknya menghibur diri dengan banyak cokelat dan makanan manis. Studi yang aku baca, manis dan cokelat bisa mengubah hormon hingga membuat perasaan menjadi lebih baik. Saat aku melihat beberapa mangga jatuh karena busuk, aku jadi ingat adikku yang menyukai manis, lalu kepikiran kamu dan merasa bahwa kamu butuh rasa manis dan segar untuk membuat perasaanmu jadi lebih baik."
"Ah, iya, terima kasih sebelumnya, tapi ada yang ingin Nurma sampaikan kepada Mas."
"Apa?"
"Nurma baik-baik saja, Mas. Yang Nurma alami bukan putus cinta tapi hanya permasalahan rumah tangga yang kata Mas lumrah terjadi di lima tahun pertama. Jujur, Nurma malu dengan kejadian kemarin. Tidak seharusnya Nurma menangis di depan orang yang baru Nurma kenal. Ini tidak baik dan Ibu tidak pernah mengajarkan itu."
Mas Ibnu mendengarku dengan saksama. Wajahnya terlihat serius, seperti tak ingin tertinggal ucapanku barang sepatah kata.
"Masalah rumah tangga itu ... seharusnya jangan ada yang tahu. Ini dunia Nurma dengan segala sisi baik buruknya."
"Tapi kamu butuh seseorang yang bisa melihat kamu dari sisi yang berbeda, Nurma." Mas Ibnu membalas dengan serius tetapi pelan. "Kamu tidak bisa memendam semuanya sendiri lalu merasa sakit tanpa ada yang melihat dan menolong. Aku bukannya ingin menakuti, tapi banyak kasus bunuh diri karena mereka merasa sendiri. Padahal, jika mereka sedikit saja mau terbuka, akan ada banyak orang yang siap menolong."
Aku menatap Mas Ibnu dengan hati yang tetap mencoba tenang. Wajah Mas Ibnu bukan tipikal garang atau tegas. Aku menangkap bahwa Mas Ibnu tipikal pria lembut dan ramah. Namun, saat serius begini, wajahnya terlihat menegangkan dan membuatku segan.
"Maaf jika aku lancang, tapi aku sudah terlanjur tahu tentang kamu, Nurma."
"Semua memang salahku, Mas. Tidak seharusnya aku menangis di depan Mas."
Mas Ibnu menggeleng. "Bukan karena kamu menangis," ucapnya. "Aku—sudah tahu tentang kamu dan suamimu sejak pertama kali kita bertemu."
Keningku menyernyit. Bagaimana bisa Mas Ibnu tahu tentang pernikahanku dari saat kita bertemu?
"Di Kios. Aku berdiri tidak jauh dari kamu dan Sri saat kalian asik berbincang tentang kamu. Aku mendengar banyak tetapi aku tidak peduli. Bagiku, yang terpenting urusan dan kebutuhanku. Namun, saat melihat kamu menangis sambil memeluk lututmu sore itu, aku berpikir pasti yang kamu rasakan sudah lebih dari kapasitasmu. Kamu harus segera ditolong sebelum kamu menjadi jauh, sangat jauh dari mereka."
Maksudnya aku bunuh diri? Mas Ibnu terlalu berpikir jauh. Selemah-lemahnya aku, tak pernah aku berfikir untuk mengakhiri hidup. Ibuku saja bisa tetap melanjutkan hidup meski tanpa cinta ayah, mengapa aku tidak bisa sekuat Ibu?
"Nurma tidak mungkin bunuh diri, Mas, kalau itu yang Mas maksud. Nurma tidak mungkin meninggalkan Mas Galuh dan Ibu. Nurma sayang dan cinta kepada mereka."
"Aku harap begitu, tapi aku juga manusia yang memiliki sisi tak terima jika seseorang yang menarik perhatianku terluka oleh orang bodoh yang tidak bisa melihat ketulusannya."
"Maksud Mas?"
Mas Ibnu tak langsung menjawab, tetapi menatapku dengan sorot tajam dan dalam. "Saya salah jika mengatakan jatuh cinta kepada kamu, karena tidak ada kesempatan untuk saya mendekati kamu. Namun, saya tidak bisa berdusta jika saya tertarik sama kamu."
Ini gila. Aku menikah dan mencintai pria yang tak mencintaiku tapi malah mendapatkan pengakuan cinta dari pria lain. Aku sekarang percaya ucapan Sri bahwa dunia sudah mendekati kiamat.
"Nurma tidak akan selingkuh dari Mas Galuh." Meski mungkin Mas Galuh melakukannya bersama Lira di belakangku. Aku tidak ingin menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain dan menghancurkan ikatan sakral yang dibuat dua manusia. Aku tidak ingin menjadi perusak rumah tangga seperti yang dilakukan selingkuhan ayah terhadap keluargaku.
"Saya percaya." Mas Ibnu mengangguk yakin. "Saya bisa melihat kualitas kamu hanya dalam beberapa kali memperhatikan. Saya tahu kamu tidak akan menodai pernikahanmu meski hubungan itu membuatmu terluka. Saya tahu kamu perempuan tulus yang melakukan apapun dengan hati dan berharap memberikan yang terbaik, terutama untuk pasanganmu. Saya bisa melihat itu semua dan itu mengapa saya tertarik denganmu."
Aku ingin membantah tetapi tangan Mas Ibnu yang mengudara di depanku, membuatku urung bersuara.
"Saya tidak akan merebut kamu dari Galuh atau mencoba merusak hubungan kalian. Saya tidak sekejam dan seburuk itu. Percayalah. Saya hanya ingin menjadi orang yang ada saat kamu butuh seseorang untuk bersandar. Orang yang ikut merasakan kerapuhan dan kesedihanmu. Saya tidak akan menawarkan cinta atau kebahagiaan karena saya tahu kamu masih berharap bisa bahagia dengan pernikahanmu yang sekarang, tetapi saat kamu lelah atas harapanmu, saya bersedia membantumu membangun bahagiamu sendiri, Nurma."
Ini tidak benar. Aku menggeleng pelan dengan hati yang getir.
"Kita bisa menjadi teman yang saling mendukung. Saya tidak akan menutup diri jika kamu membutuhkan bantuan saya, apapun itu."
Aku menggeleng. Ini terasa tidak benar.
"Saya hanya menawarkan dan mencoba memberikan sudut pandang yang berbeda. Kamu berhak bahagia. Jika kamu tidak bisa mendapatkannya dari suamimu, maka buatlah kebahagiaanmu sendiri. Datanglah kepadaku jika saat itu kamu tidak bisa melakukannya sendiri. Saya akan membantumu, apapun itu."
Jantungku berdegup kencang. Satu sisi hatiku berkata ini tidak benar tetapi otakku mencerna beda. Apa yang Mas Ibnu katakan benar bahwa aku berhak bahagia dan tak terluka. Jika Mas Galuh tidak bisa memberikannya kepadaku, maka akulah yang harus menciptakan kebahagiaanku sendiri. Hanya saja, haruskan mengajak Mas Ibnu dalam upaya menciptakan kebahagiaanku?
*****
Aku membawa dua kantung besar berisi mangga yang aku dan Mas Ibnu ambil setelah perbincangan kami. Karena berat dan takut kantung yang kubawa jebol di tengah jalan, aku berusaha mengendarai motorku pelan-pelan. Mas Ibnu tidak memiliki kantung yang bagus dan aku menemukan kantung seadanya. Semoga perjalanan ini lancar dan mangga-mangga ini bisa sampai rumah dengan selamat.
Sepanjang perjalanan, ucapan Mas Ibnu terus berputar di pikiran. Mengapa Mas Ibnu tertarik kepadaku dan apakah aku harus melukis sendiri bahagiaku. Jika memang begitu, bagaimana caranya aku bisa bahagia tanpa mengharapkan Mas Galuh berperan sementara pria itu adalah pusat hidupku saat ini. Aku tidak bisa meninggalkan Mas Galuh dari keseharianku dan tak bisa menyangkal rasa cintaku kepadanya.
Aku tahu, pernikahan bukanlah dongeng romansa yang menjual mimpi indah. Aku melihat sendiri bagaimana pernikahan berjalan sepanjang masa pertumbuhanku. Tidak ada yang indah tetapi bukan tak mungkin untuk diperjuangkan. Aku menghormati ikatan sakral yang kumiliki bersama Mas Galuh meski dalam perjalanannya aku terseok dan terluka.
Semua carut marut pikiran ini membuatku lapar. Aku ingin sate kambing dan tongseng sapi untuk makan malam. Aku hanya akan membeli satu porsi saja dan tak berniat menghubungi Mas Galuh apakah sudah makan atau belum. Aku akan mengemudikan kendaraanku ke depot langgananku dan Mas Galuh dan membungkus menu yang kuinginkan. Lokasinya masih sejalan dengan rute menuju rumah.
Motorku berhenti beberapa jarak dari lokasi depot saat mendapati mobil Mas Galuh terparkit di depot itu. Aku maju sedikit untuk mencari tahu benarkah suamiku ada di sana dan makan malam sendiri tanpa mengajakku? Aku meliarkan pandangan ke dalam depot itu dan mendapati Mas Galuh duduk di salah satu meja pengunjung bersama Lira dan dua orang lainnya. Tidak ada suami Lira di sana dan keempat orang itu terlihat menikmati makan malam sambil tertawa.
Lira cantik. Dia seumuran dengan Mas Galuh tetapi wajahnya terlihat tak setua itu. Pembawaannya ceria tetapi anggun, seperti perempuan yang dididik oleh keluarga berada dengan tata krama tinggi. Aku sadar, sulit bagiku untuk menjadi setara dengan dirinya apalagi di depan Mas Galuh yang ... tampak nyaman dan bahagia di tengah percakapan itu.
Dadaku sesak. Rasanya sulit bernapas, sesulit menerima kenyataan bahwa suamiku lebih sering tertawa dan tersenyum bersama perempuan lain daripada aku.
****
Halo, aku mau klarifikasi tentang satu komen yang ada di KBMapp. Kurang lebih, komennya bilang kalau di KBMapp, satu bab dipotong jadi 2 postingan, sementara di WP full tanpa dipotong. Di sini aku mau menjelaskan ya, semoga kalian berkenan membacanya.
Iyap, jadi di KBMapp, memang satu bab aku potong jadi 2 postingan. Tidak semua bab aku potong jadi 2 postingan, hanya bab-bab tertentu yang jumlah katanya lebih dari 2200. Hal ini aku lakukan dengan pertimbangan masak terkait harga koin yang dikenakan oleh pembaca. Kalau dihitung kasar, secara garis besar, antara KBMapp dan Karyakarsa, harga untuk membaca semua bab jatuhnya gak beda jauh. Jadi gak ada perbedaan harga yang signifikan antara pf hijau dan merah itu. Sementara di WP, aku post satu bab utuh karena memang jadwal posting di WP hanya satu minggu sekali, setiap kamis.
Jadi gampangnya, buat kamu yang mau baca cepat di KK, bisa langsung ke sana dan membeli dengan harga yang sudah tertera. Pun jika maunya di aplikasi KBMapp, kalian juga bisa dengan harga yang gak beda jauh dari KK. Untuk yang tidak mau baca berbayar, bisa ikutin di WP sampai tamat, tanpa ekstra part dengan jadwal tayang satu minggu sekali.
Demikian penjelasan singkat dari aku, semoga dapat diterima dan dipahami. Terima kasih
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top