Bab 8
Hallo, cerita ini sudah tamat di Karyakarsa dan akan aku post di KBM app. Yang mau fast reading, bisa langsung cuss ke Karyakarsa atau KBMapp. Muaach!
______________
Cinta Putih 8
Tiga harian ini suasana hatiku sedang tidak seenak biasanya. Entah karena bawaan hormon ingin datang bulan atau karena Mas Galuh yang semakin ke sini semakin membuatku yakin bahwa di hatinya memang hanya ada Lira. Sudah satu minggu lebih Mas Galuh pulang malam dan berangkat pagi hanya untuk mencari wulung dengan standar yang ia mau. Pengiriman yang biasa dia lakukan sendiri, kini dilimpahkan ke pegawai lepas yang kami tugaskan membawa L300 untuk mengantar pesanan. Mas Galuh pergi dengan mobilnya menembus aneka medan jalan demi mendapatkan hal yang bagiku tak seberapa.
Mas Galuh bahkan menolak menunggu masakanku matang hanya demi bisa berangkat sepagi mungkin. Katanya, agar bisa mencari dengan jangkauan area yang lebih luas dan bertemu lebih banyak petani yang menanam jenis wulung.
Nafsu makanku tinggi tetapi keinginanku untuk menangis dan berteriak jauh lebih tinggi. Aku bahkan menutup kios lebih cepat dan menyuruh pegawai lepas Mas Galuh untuk langsung memulangkan mobil bak di rumah kami. Aku sedang malas di rumah sendiri dan ingin lari sebentar dari rasa sakit hatiku. Entah apa yang melintas di pikiranku, tetapi aku melajukan motorku masuk ke rumahku sendiri, padahal Mas Ibnu belum datang. Mobil pria itu belum ada di lahan depan rumahku.
Aku memarkir motor lalu mengambil selang dan membuka keran. Menyiram tanaman kuharap bisa mengalihkan sedikit sakit hatiku kepada Mas Galuh. Tidak, menyiram bisa nanti, aku butuh menyalurkan emosi. Aku menarik rumput-rumput liar di beberapa bagian taman rumahku yang tak begitu banyak. Aku melemparnya bersamaan dengan amarah yang ingin kukeluarkan. Setelahnya, aku menyiram tanaman dengan air mata yang juga menyirami wajahku.
Mencintai adalah hal indah yang kusebut sebagai anugerah. Jika kita memiliki cinta, maka hati akan termotivasi untuk melakukan banyak kebaikan. Hanya saja, sebanyak apapun kebaikan yang kupersembahkan untuk Mas Galuh, tak akan ada artinya karena Mas Galuh tak pernah memiliki rasa kepadaku. Harapanku akan tumbuhnya rasa di hatinya setelah pernikahan kami, tampaknya hanya akan menjadi dongeng saja. Dongeng pengantar tidur yang membawaku pada mimpi buruk.
Tubuhku memerosot di tembok samping rumah dengan tangan yang masih memegang selang air. Aku bahkan tak peduli aliran air yang tak kututup itu akhirnya membasahi celanaku sepenuhnya. Aku tak peduli karena hatiku pun sedang basah air mata.
Aku berjongkok menyandar tembok, melepaskan selang yang masih mengeluarkan air, lalu memeluk lututku dan menangis terisak. Aku tak bisa menahan kecemburuan dan kecewa ini. Patah hati mengapa rasanya bisa sesakit ini dan aku merasa seperti orang yang tak pernah bisa memiliki kesempatan untuk dicintai.
Salahkah aku memilih takdir ini? Menerima lamaran ibu Mas Galuh untuk menjadi istri pria itu dan berharap cinta bisa tumbuh seiring kebersamaan kami? Salahkah ini hingga aku harus menerima konsekuensi diabaikan dan tak pernah dianggap sebagai pendamping hidup yang sebenarnya? Aku harus apa agar bisa terlepas dari siksaan ini karena bagaimanapun aku hanya manusia yang memiliki batas kesabaran. Emosiku tak bisa lagi kutahan tetapi aku tak bisa marah kepadanya.
Selang yang sejak tadi mengalirkan air ke kakiku, terasa tak lagi mengalir. Aku yang masih terisak kencang menengadahkan wajah untuk mencari tahu mengapa selang airku tiba-tiba mati. Mataku yang masih buram air mata mendapati sesosok tinggi yang masih mengenakan seragam proyek berdiri tegap di depanku. Sepatunya kotor dengan sisa semen atau pasir dan tangan yang mengulurkan kain kecil ke hadapanku.
"Aku punya stok sapu tangan bersih di mobil dan kamu boleh memakainya." Ia tersenyum dan aku masih saja terdiam menatapnya dengan rasa malu, mengapa aku kepergok ada di rumah kontrakannya dengan kondisi ini. Mas Ibnu ikut jongkok di depanku dengan wajah yang masih mengulas senyum lembut. "Aku punya dua telinga dan banyak waktu untuk mendengar apapun yang ingin kamu keluhkan. Kita bisa masuk dan kamu bisa mandi dan ganti baju di kamarmu. Setelahnya, aku akan tunggu kamu di meja makan. Tolong jangan banyak alasan karena aku yakin bisa menenangkanmu hanya dengan satu cangkir teh hangat dan ... cokelat."
Bagai terhipnotis, aku ikut berdiri saat ia menarik lembut tanganku. Kami melangkah pelan memasuki rumahku dengan tangan Mas Ibnu yang merengkuh pundakku seakan takut jika aku terjatuh jika tak ia topang. Kami berhenti di depan kamarku.
"Jangan menangis, Nurma." Mas Ibnu mengusap pipiku yang basah air mata. "Semua hal bisa diperbaiki dan langkah awalnya adalah menemukan masalahnya." Ia memegang kedua pundakku, seakan memberikan semangat dan kekuatan di tengah kekacauan hatiku. "Lekas ganti baju, aku tunggu. Jangan sampai kamu pulang dari sini dalam kondisi flu dan meriang karena kedinginan."
Aku tersenyum lalu mengangguk dan membuka pintu kamarku yang ada di rumah ini. Setelah mengambil baju ganti, aku meminjam kamar mandi dan membersihkan diri. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Ibnu sudah menungguku di meja makan dengan dua cangkir minuman hangat dan dua mangkuk mie instan kuah yang masih mengepulkan asap.
"Kalau habis main air enaknya makan mie instan supaya gak masuk angin." Mas Ibnu menyodorkan mangkuk mie dan cangkir teh hangat kepadaku.
Tanpa malu-malu, aku yang memang lapar ini langsung menikmati sajian yang ia berikan kepadaku. Kami saling terdiam selama beberapa saat hingga aku sadar mengapa aku berada bersama pria lain, bukan suamiku sendiri.
"Pertengkaran rumah tangga, ehm?" Mas Ibnu mencoba menebak di tengah kebisuan kami. "Aku memang belum menikah, tapi yang kudengar selalu ada masalah di lima tahun pertama pernikahan."
Aku mendongak, menatap Mas Ibnu dengan pikiran yang mempertimbangkan apakah sebaiknya aku menceritakan keluh kesahku saat ini.
Seperti tahu apa yang kupikirkan, Mas Ibnu tersenyum kepadaku. "Aku penyimpan rahasia yang baik dan pendengar setia."
"Lima tahun?" tanyaku skeptis. "Selama itu?"
"Itu yang kudengar," jawab Mas Ibnu seraya mengernyitkan dahi. "Bisa jadi salah, kan, tergantung siapa dan bagaimana masalahnya, bukan?"
Mataku memburam lagi dan satu tetes air mata membasahi pipi. "Lima tahun menunggu cinta sepertinya terlalu berat dan lama, Mas."
"Maksudnya?"
Aku menunduk, mengusap pipiku yang basah. Tangis ini pecah lagi dan maafkan aku yang tak bisa menahan dan menyimpannya sendiri. "Aku—aku menikah karena dijodohkan," mulaiku.
Mas Ibnu menatapku dengan wajah serius bahkan sampai meninggalkan mangkuk mienya yang masih banyak. "Lalu? Kamu tidak mencintai dia?"
Aku menggeleng dengan mata yang terus mengalirkan air kesedihan. "Dia yang tidak mencintaiku. Aku—bertepuk sebelah tangan."
"Dia—selingkuh?"
Selingkuh? Aku tidak memikirkan tentang itu. Mas Galuh tidak terlihat seperti pria yang memiliki hubungan gelap kecuali saat—ia duduk sendiri di gazebonya dan menghubungi Lira sampai larut malam. Namun, Lira sendiri setahuku memiliki keluarga yang harmonis. Ia dan suaminya sering terlihat bersama dan bahagia. Mas Galuh juga tidak pernah pergi sendiri selain mengirim barang. Sulit mengcurigai jika ia selingkuh dariku.
Aku menggeleng pelan, meski hatiku sendiri ragu. "Ia mencintai perempuan lain yang tak mungkin mengambil Mas Galuh." Aku menatap Mas Ibnu dengan keraguan yang dalam atas kemungkinan yang kupikirkan. "Mereka tidak mungkin saling memiliki, kan? Lira tak mungkin mengambil Mas Galuh dariku karena dia sendiri sudah menikah, kan?"
Lalu kelebatan kemungkinan bahwa Mas Galuh dan Lira selingkuh berlarian di pikiran. Bayangan Ibu yang menghabiskan malam hingga sisa usianya dengan drama romansa dan waktu aku mendengar dari banyak orang tentang ayahku yang meninggalkan Ibu demi perempuan lain, membuat tanganku seketika gemetar. Aku menangis dengan ketakutan yang pekat dan mencekik.
"Nurma." Mas Ibnu memanggilku dengan lembut. Aku bahkan tak menyadari kapan tangan Mas Ibnu menggenggam tanganku yang tremor. "Semua akan baik-baik saja."
"Kapan?" Kapan kehidupanku bisa menjadi lebih baik? Kapan aku benar-benar bisa merasakan cinta yang tulus dari pria. Jika ayahku tak bisa memberikan cintanya kepadaku dan Ibu, emngapa suamiku juga tidak bisa?
Air mataku menderas seiring dengan semakin kacaunya pikiranku. Tangisku pecah dan aku seperti tak mengenali diriku sendiri yang berteriak mengeluarkan kesakitan.
Mas Ibnu beranjak dari duduknya, lalu menghampiriku dan memelukku dari samping. Aku tahu ini tidak pantas, tetapi aku tidak tahu harus menyandarkan tubuh penuh lukaku kepada siapa.
"Kamu akan baik-baik saja, Nurma. Dia akan mencintaimu seperti kamu mencintainya. Jika tidak, maka masih banyak pria lain yang mencintaimu." Mas Ibnu berbisik lirih di telingaku. "Kamu perempuan hebat yang layak mendapatkan cinta. Kamu pantas dicintai karena kamu memang mudah untuk dicintai."
Aku menoleh, menatap Mas Ibnu yang menatapku dengan wajah serius. Ada emosi yang terpancar dari wajahnya, seakan ia bisa merasakan kemarahan dan kekecewaan yang kurasa.
"Maaf, Mas," ucapku lirih. "Tidak seharusnya Nurma menangis di sini."
Mas Ibnu menggeleng. "Ini rumahmu. Kamu bebas melakukan apapun dan menjadi dirimu sendiri di sini. Ini rumahmu, tempatmu pulang saat lelah dan kamu bisa menjadikanku bagian dari hidupmu. Aku akan menerima dan mendengar keluh kesahmu."
Aku menggeleng pelan. Sungguh memalukan sekali. Ini pertama kalinya bagiku memperlihatkan kerapuhanku pada orang lain yang tak dekat denganku,
"Kamu bisa mencari bahagiamu di luar, tapi kamu bebas membuat bahagiamu di istanamu sendiri." Mas Galuh mengusap pipiku dengan gerak jemarinya yang lembut. "Kamu boleh mencintai dia, tapi kamu juga berhal dicintai banyak orang lain. Kamu berhak menentukan dengan siapa kamu nyaman dan merasa diterima, kan?"
Pandangan kami bertemu dengan satu garis yang sama. Rasanya, oksigen di sekitarku menipis dan aku butuh tempat untuk menenangkan diri.
"Mas."
"Ya?"
"Aku—aku mau pulang."
"Kamu bisa tidur di kamarmu kalau merasa lelah."
Aku menggeleng. Bagaimanapun, Mas Galuh ada rumahku. Aku tidak ingin saat ia pulang, ia tak mendapatiku berada di rumahnya. Meski aku yakin Mas Galuh sudah makan di luar dan tak butuh masakanku, tetapi aku tetap harus ada di rumah saat suamiku pulang.
"Terima kasih atas—semuanya. Nurma malu menangis kencang kayak anak kecil begini," akuku seraya mencoba tersenyum. "Maaf ya, jadi merepotkan Mas Ibnu banget."
Aku beranjak dari duduk, meliarkan pandangan sambil mengingat dimana aku meletakkan tasku. Ah, di ranjang kamarku. Semua ada di sana. Aku lantas berjalan cepat mengambil tas dan kunci motor. Aku harus segera pulang. Tak baik malam-malam ada di rumah yang dihuni pria.
"Pulanglah." Ucapan Mas Ibnu membuatku yang baru saja mengunci pintu kamar dan hendak keluar rumah ini, akhirnya menoleh dan mengernyit bingung.
"Nurma memang mau pulang, Mas. Maaf merepotkan dan mengganggu waktu Mas."
Mas Ibnu menggeleng tegas. "Maksudku, pulanglah ke sini saat kamu butuh tempat untuk istirahat. Aku akan dengan senang hati menemanimu."
Aku mengulas senyum simpul. "Terima kasih."
*****
Aku terbangun mendengar suara mobil Mas Galuh. Pukul satu dini hari dan ia baru sampai rumah. Aku tak beranjak dari tidurku dan tetap dengan posisi yang sama, tidur miring memunggungi pintu dan Mas Galuh. Aku hanya menajamkan telinga, untuk menangkap apa yang dilakukan Mas Galuh.
Pintu kamarku terbuka tetapi lampu tidak menyala. Langkah Mas Galuh terdengar dan lemari pakaian terbuka. Aku sedikit menahan napas, tetapi berusaha terlihat tidur pulas saat kurasakan Mas Galuh berdiri di sampingku atau berlutut di depanku? Yang jelas aku bisa mencium aroma tubuhnya dan merasakan embusan napasnya. Ia berjarak sangat dekat denganku tetapi tak menyentuhku sedikitpun.
Aku membuka mata sedikit saat Mas Galuh terdengat keluar kamar, mungkin ingin membersihkan diri sebelum tidur. Napasku terhela panjang dengan desahan lega. Mataku melirik ke belakang, memastikan Mas Galuh benar-benar sudah tak ada di sini. Ketika ingin kembali bergelung dan terpejam, pandanganku terpaku pada nakas sebelahku. Di depan nakas, di lantai tepat bawah ranjangku, ada tas kertas yang berisikan kotak sepatu. Entah milik siapa dan mengapa Mas Galuh meletakkan di dekat ranjangku.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top