Bab 6

Cinta Putih 6

"Toko material, Kebun Pak Bobi, Peternakan Ayam Garuda, Hotel Anyelir." Aku membaca lagi nota-nota pesanan yang harus dikirim pagi ini dan memberikan coretan di empat nota itu dengan empat krayon berbeda. Setelahnya, aku memberi tanda di ujung bambu dengan warna krayon yang sama dengan nota-nota itu. Pesanan bambu toko material kutandakan dengan coretan krayon merah, kebun dengan hijau, peternakan dengan kuning, dan hotel dengan ungu.

Sistim ini mempermudah Mas Galuh menurunkan bambu sesuai pesanan. Keempat nota tersebut memesan jenis bambu dengan kualitas yang beda. Agar tak tertukar, kami memberi tanda agar anak buah si pelanggan tidak salah menurunkan barang dan Mas Galuh lebih mudah memantau proses turun barang.

Baru saja selesai memberi tanda di bambu, motor tukang paket datang. Ia adalah anak buah Meli yang membuka usaha jasa ekspedisi di kota kecamatan ini.

"Untuk siapa Pur?" Aku menyapa Purwono, nama kurir itu. Aku mengenalnya karena Pur bertugas mengirim barang ke area kios hingga rumahku. "Perasaan aku belum check out online shop deh." Aku tersenyum menerima amplop cokelat ukuran A4 yang ditekuk jadi dua itu.

"Tulisannya untuk Mas Galuh, Mbak." Pur pamit lanjut mengantar paket selanjutnya dan meninggalkanku.

Mas Galuh keluar kamar mandi sebelum bersiap mengantar pesanan ke pelanggan kami. "Apa, Nur? Paketanmu?"

Aku menggeleng. "Buat Mas Galuh." Aku memberikan paketan itu yang langsung dibuka oleh Mas Galuh.

Ia tersenyum sepintas lalu meletakkan kertas yang tampak seperti undangan. "Reuni kampusku. Reuni teknik sipil di Yogya minggu depan."

"Mas datang?"

Mas Galuh mengangguk. "Harus. Mereka harus tahu aku punya usaha bambu. Ini membuka peluang kita mendapatkan pelanggan baru. Teman-temanku banyak yang kerja di kontraktor di kota, barangkali bisa kita ajak kerjasama."

Aku mengulum bibir dengan jantung yang berdegup kencang. "Uhm—Nurma boleh ikut gak Mas? Pingin ke Yogya juga, jalan-jalan."

"Aku reunian, Nur. Selesai acara ya pulang."

"Mas reunian, Nurma jalan-jalan sendiri. Nurma gak akan merepotkan Mas Galuh, janji deh."

Mas Galuh menatapku dengan kening mengernyit samar, setelahnya ia mengangguk. "Ya sudah, nanti ajak Ibu sekalian biar kamu bisa jalan-jalan sama Ibu selama aku ke acara reuni."

"Yes!" Aku menepuk tangan senang. Aku jarang sekali ke kota dan ingin membeli roti sisir kesukaanku di tokonya langsung nanti. Belum lagi foto-foto estetis di Malioboro dan titik nol kilometer. Rasa antusias dan bahagia ini membuatku refleks memeluk Mas Galuh sambil berjingkrak kesenangan. "Makasih banyak, Mas!"

Lalu aku menyadari satu hal. Tubuh Mas Galuh mematung dengan wajah yang tampak aneh di mataku.

*****

Kota Yogya itu ... seperti memiliki magisnya sendiri. Senyumku merekah dengan binar penuh syukur saat mobil Mas Galuh mulai memasuki kota. Bangunan-bangunan bersejarah, juga bangunan yang baru dengan model minimalis atau futuristic, berjejer seakan menegaskan tentang keberagaman masa yang masuk ke kota ini.

Mas Galuh memesan satu kamar hotel untuk satu malam. Iya, hanya satu karena Ibu berkeras tidak mau ikut. Saat aku menghubungi Ibu untuk mengajaknya ikut denganku dan Mas Galuh, Ibu justru menolak tawaranku dengan tegas.

"Kamu itu gimana, sih, Nur. Bulan madu kok ngajak Ibu. Jalan berdua sana. Jangan satu malam, kalau perlu satu minggu. Tutup kios satu minggu gak akan bikin kalian bangkrut. Bilang Galuh, kalau Ibu maunya kalian di hotel satu minggu tanpa bahas dan urusi pekerjaan."

"Bu, ini cuma datang ke acara reuni kampusnya Mas Galuh. Selesai acara ya langsung pulang. Mas Galuh ajak Ibu dan Bulek untuk ikut sekalian. Barangkali mau muterin Beringhardjo."

"Gak mau! Ibu gak mau ganggu kalian. Ini kesempatan untuk kamu dan Galuh menikmati suasana baru. Kalau kamu berani menggoda suamimu, goda saja sekalian di sana. Jalan-jalan berdua seperti orang pacaran. Kalian belum pernah kencan, kan?"

Mana mungkin aku menyampaikan pesan itu kepada Mas Galuh, apalagi saat Mas Galuh sedang sangat gencar mencari bambu wulung untuk cinta monyetnya. Aku hanya mengatakan kepada Mas Galuh jika Ibu menolak ikut karena takut kelelahan dan memiliki banyak tugas mengoreksi ujian sekolah dasar.

Mas Galuh menerima mentah-mentah penjelasan dustaku. Ia lantas memesan kamar di hotel yang sama dengan tempat acara reuninya. Katanya, supaya tidak terlalu banyak akomodasi. Aku menuruti saja karena posisiku kan hanya numpang liburan.

Saat kami membuka kamar hotel pesanan, aku langsung masuk dan membuka tirai. Pemandangan kota dari lantai belasan ini membuatku terpana. Aku biasa berada di atas gunung dan memandangi bangunan-bangunan yang ada di daerah kami, tapi ini tetap saja rasanya berbeda.

Di serial romansa yang kutonton setiap malam, jika perempuan menghadap jendela dan melihat pemandangan, pasangannya akan datang dan memeluk dari belakang. Mereka menikmati suasana privasi ini berdua lalu berakhir dengan ciuman yang mengungkapkan rasa terima kasih dan kasih sayang.

Namun, aku tidak bisa mengharapkan itu dari Mas Galuh. Mustahil. Alih-alih memelukku, ia justru menggeser tubuhku pelan, hingga aku harus melangkah ke samping untuk memberinya jalan.

"Ini bisa dibuka, Nur. Lebih enak melihat dari balkon." Ia menggeser jendela yang ternyata pintu kaca, lalu melangkah menuju balkon dengan dua kursi dan satu meja kecil di tengahnya. Angin menggoyangkan rambut Mas Galuh dan aku suka melihat pemandangan itu. Mas Galuh menatapku dan aku seketika salah tingkah. Jangan sampai ia tahu aku terpana melihatnya berdiri di balkon ini. "Bikinkan kopi, Nur."

Aku mengangguk lantas menuju rak dengan pemanas air yang memiliki kopi dan the saset di sampingnya. Hotel ini bagus karena bintang empat dan cukup terkenal. Lokasinya juga tak jauh dari Malioboro. Kutaksir, sekitar setengah jam jalan kaki.

Setelah berdiri selama lima menit di meja kopi, aku kembali ke balkon untuk menyuguhkan kopi kepada Mas Galuh. Ia menerimanya dan langsung menikmati kopi itu. Perjalanan tadi pasti melelahkan dan ia butuh kafein untuk memberikan energi agar tidak mengantuk.

"Habis ini aku mandi terus ke bawah, Nur. Teman-temanku sudah banyak yang sampai di sini."

"Loh, bukannya acaranya malam nanti?"

Mas Galuh mengangguk. "Iya acara reuni malam nanti, tapi pesertanya sudah banyak yang datang. Angkatanku sudah banyak yang sampai. Kami ingin berkumpul sebelum acara mulai."

"Oh." Aku mengangguk paham. "Nur siapkan pakaian Mas kalau gitu. Berarti nanti malam Nur izin jalan ke Malioboro sendirian, ya?"

Mas Galuh mengernyit dalam. "Kamu ngapain ke Malioboro malam ini? Beringhardjo sudah tutup setahuku kalau malam."

Aku mengerjap bingung. "Ya jalan-jalan. Ke Malioboro kan gak harus masuk pasar, Mas."

"Enggak." Mas Galuh menggeleng. "Kamu siap-siap dan dandan rapi. Ikut aku ke acara reuni. Aku sudah daftarkan dua tamu atas namaku. Jadi kamu ya ikut aku masuk ke acara. Kita bisa ke Malioboro besok setelah keluar dari hotel, bisa belanja oleh-oleh untuk Ibu dan Bulek sekalian." Mas Galuh meninggalkan kopinya, lalu masuk ke dalam yang kuikuti di belakang. "Masuk ke reuni sama aku nanti. Aku siap-siap dulu, kamu tolong bantu siapkan baju. Selama aku sama teman angkatanku di bawah, kamu bisa istirahat dulu. Makan malam di gala dinner reuni ini sama aku. Nanti aku jemput di lobi kalau kamu sudah siap."

Aku hanya bisa menurut saja dengan apapun yang Mas Galuh atur untukku.

Acara reuni sangat ramai. Banyak pria dengan setelah mapan hilir mudik di depanku, saat aku sampai di lobi. Untungnya, aku membawa pakaian formal dan sandal hak tiga centimeter sehingga aku merasa cukup layak berada di acara ini.

Aku bukan sarjana dan belum pernah berada di keramaian dengan orang-orang berijazah tinggi. Sekolahku hanya sampai SMA karena Ibu hanya sanggup menyekolahkanku sampai tingkat itu saja. Setelah lulus, aku memilih cari uang dengan bekerja sebagai buruh garmen sebelum keluar demi bisa masuk ke kios bambu Mas Galuh.

Jujur saja, ini sedikit membuatku minder. Aku tidak terlihat seperti perempuan berpendidikan. Aku sadar, memang tidak selayaknya aku bersanding dengan Mas Galuh yang berpendidikan tinggi. Wajar saja dia tidak ingin menganggapku karena memang kami tidak sepadan. Apa baiknya ... aku kembali ke kamar saja dan menyeduh mie instan di kamar ya?

Sepertinya itu ide bagus. Aku akan beralasan ketiduran jika Mas Galuh kembali ke kamar nanti. Aku bisa menikmati serial romansa di televisi kamar. Aku lantas berbalik dan melangkah pelan kembali ke lift. Namun, cekalan lembut membuatku berhenti dan refleks berbalik.

"Kenapa gak telepon aku? Untuk aku lihat kamu." Mas Galuh mempererat genggamannya di lenganku, lalu menarikku untuk ikut masuk ke ball room yang ramai ini. Saat kami sudah memasuki ball room itu, Mas Galuh melepas genggamannya di lenganku dan mengubahnya dengan kaitan jemari kami.

Aku memandang tangan kami yang saling mengunci dan melekat. Rasanya hangat dan nyaman. Sentuhan kecil ini dengan ajaib menghilangkan perasaan minderku di tempat ini. Setidaknya, orang-orang di sini akan melihatku dengan layak dan tak akan menanyakan status pendidikanku, kan?

"Istriku." Mas Galuh memperkenalkanku kepada para temannya sebagai istri. Aku tersenyum sopan, mengangguk, lalu memperkenalkan diriku tanpa menjabat tangan, karena Mas Galuh menahan kaitan tangan kami saat aku ingin melepasnya untuk jabat tangan.

Aku melirik sekilas kepada Mas Galuh untuk mencari tahu mengapa tangan kami terus bertaut begini padahal setahuku etika berkenalan adalah dengan mengangsurkan tangan. Namun, Mas Galuh tidak menatapku sama sekali. Ia sibuk berbincang dengan teman-temannya dan membahas pekerjaan mereka.

"Istrimu cantik, Luh. Kalau di desamu masih ada, kenalin ke aku." Candaan itu tak membuat Mas Galuh tertawa. Ia hanya tersenyum simpul pada satu temannya yang memujiku, lalu pamit mengundurkan diri karena kami harus duduk di meja yang sudah disiapkan. Acara akan segera dimulai.

Acara reuni ini cukup mewah dan meriah untuk standarku. Kami duduk di meja bundar yang dikelilingi delapan kursi. Makan malam dengan menu yang sangat enak, jarang ada di desa kami, lalu menikmati acara-acara lainnya. Jujur, aku menikmati acara ini karena merasa seperti orang kota yang hidup di lingkungan kelas atas. Apalagi, ada Mas Galuh di sampingku yang meski tatapannya hanya ke teman-temannya terus, tapi tangan kirinya selalu melekat dengan tanganku di pangkuan kami.

"Mas, aku mau makan." Aku berbisik lirih di telinga Mas Galuh, di tengah acara yang menampilkan tarian entah apa setelah sambutan entah yang keberapa. Mas Galuh menatapku penuh tanya. Aku meringis malu. "Tangan Nurma masih Mas pegang." Aku lantas menarik pelan kaitan tangan kami dan Mas Galuh hanya mengangguk seraya berdeham sebelum kembali fokus dengan teman-temannya.

Aku menikmati makan malamku sambil memperhatikan interaksi Mas Galuh yang terlihat lepas bersama teman-temannya. Mereka membicarakan topik yang aku tidak begitu paham, hanya bisa menangkap kalau mereka membicarakan bisnis pembangunan dan perusahaan yang bergerak di bidang itu. senyumku terukir samar membayangkan mungkin saja Ibu benar, andai Mas Galuh tidak terperangkap dalam cinta masa lalunya, ia mungkin sudah bekerja di perusahaan besar seperti teman-temannya ini dan memiliki kebanggaannya sendiri sebagai pria.

"Bambu itu banyak jenisnya, Ndro. Tergantung kebutuhanmu untuk apa. Kalau untuk tiang cor saat proses pembangunan, pakai jenis apus sudah bisa. Tinggal cari yang kualitasnya bagus agar bisa kuat menopang berat material. Namun kalau untuk bikin restoran dengan gazebo itu, ya gak semua pake apus. Harus ada bambu petung karena jenis petung dipakai untuk tiang rumah bambu."

"Aku dapat proyek bangun resto di daerah kaki Merapi. Masih hitung RAB-nya ini."

"Kalau tentang bambu, serahno ke aku, Ndro. Aku bantu. Nanti kita bisa ketemuan kalau proyek ini memang serius mau kamu jalankan."

Teman Mas Galuh mengangguk. Mereka berbincang sendiri di sela acara.

"Kamu kenapa gak masuk ke tempatku, to, Luh? Sayang banget tawaran masuk perusahaan ini kamu tolak dulu. Malah dodolan bambu." Teman Mas Galuh yang lain berseloroh.

Aku tahu yang ia maksud. Aku menangkap pembicaraan mereka tadi tentang Mas Galuh yang ternyata pernah mendapat tawaran kerja dari kontraktor besar, hanya saja harus mau bertugas pindah kota, tergantung proyek yang sedang berjalan.

"Ada yang gak bisa aku tinggalin di desa, Hen. Kalau aku jauh dari desa terus, nanti aku nyesal ditinggal lagi ditinggal lagi. Mending aku begini aja. Jadi supporter kontraktor dengan suplai bambu."

Dua teman Mas Galuh tertawa ringan sambil menikmati hidangan. Mereka melanjutkan bahasan lainnya dan tenggelam dalam topik yang terdengar menyenangkan.

Desa mungkin saja tidak begitu cocok untuk orang-orang pintar seperti mereka yang memiliki kemampuan untuk membangun negeri. Ibu benar. Mas Galuh menggadaikan kemampuan dan masa depannya hanya demi masa lalu yang mungkin masih ingin ia perjuangkan.

Memikirkan itu, makanan di piringku jadi tidak seenak tadi.

Acara reuni selesai tepat pukul sepuluh. Sebagian peserta meninggalkan hotel ini karena tidak memesan kamar di sini dan sebagian lainnya masih tinggal termasuk aku dan Mas Galuh. Aku dan Mas Galuh langsung kembali ke kamar karena kami sudah cukup lelah. Mas Galuh membuat janji dengan teman-temannya yang stay di sini agar mereka bertemu lagi esok saat sarapan.

Aku berdiri di balkon dengan sapuan angin malam saat Mas Galuh sedang di kamar mandi untuk membersihkan diri dan ganti baju. Aku bahagia. Sangat bahagia karena ini pertama kalinya aku pergi berdua dan menginap di hotel bersamanya. Meski aku harus menahan perih karena ucapan Ibu sepertinya memang benar bahwa alasan Mas Galuh kembali ke desa adalah Lira.

Angin malam membelai wajahku seakan menenangkanku dari kekecewaan ini. Sebagai perempuan yang mencintainya dan istri yang seharusnya ia cintai aku bingung sendiri. Bagaimana aku bisa bahagia jika selalu ada masa lalu di tengah hubungan kami. Aku menghela napas panjang lalu berbalik dan mendapati Mas Galuh berdiri beberapa langkah di depanku.

Ia tersenyum lalu menyusulku yang masih berdiri di balkon.

"Bagus ya pemandangannya." Mas Galuh menghadap luar dengan dua tangan yang mencengkeram pagar balkon.

Aku mengangguk. "Iya, bagus banget." Ucapku dengan nada yang kubuat seriang dan sesantai mungkin. "Nurma gak nyesal minta ikut Mas Galuh." Aku menatapnya dengan binar yang kuharap bisa membuatnya tahu apa yang kurasa. Cinta, rindu, dan patah hati. "Nurma mau kasih Mas sesuatu untuk ucapkan terima kasih atas hadiah ini."

Mas Galuh menatapku dengan senyum simpul yang terlihat manis di mataku. "Apa?"

Tanpa pikir panjang, aku mendaratkan bibirku di pipinya. "Terima kasih sudah ajak Nurma makan enak di hotel bintang empat. Di Yogya pula. Makasih ya, Mas. Nurma belum pernah mendapatkan ini sebelumnya."

Mas Galuh membeku dengan mata yang terus menyorotku. Ada melihat ada keterkejutan di matanya tetapi ia berusaha tetap tersenyum kepadaku meski bibirnya terlihat kaku.

Aku jadi salah tingkah. "Uhm ... Nurma masuk dulu, mau ganti baju tidur."

Baru juga melangkah, gerakku terhenti karena Mas Galuh mencekal tanganku dengan erat. Aku refleks menoleh kepadanya dengan jantung yang berdetak kencang. Aku takut Mas Galuh akan marah dan membentakku karena aku mencium pipinya.

Mas Galuh menatapku dengan pandangan lembut tetapi wajahnya biasa saja. Datar. "Sama-sama, Nur. Soal baju tidur, kalau kamu memang nyaman mengenakan pakaian yang kamu bawa dari rumahmu, pakai saja untuk tidur setiap hari. Aku ingin kamu nyaman tinggal bersamaku. Jadi, jangan hanya pikirkan kenyamananku saja tapi juga penuhi kenyamananmu. Kamu kurang nyaman tidur dengan kaus dan celana panjang setiap malam, kan? Pakai saja daster-dastermu. Aku tidak masalah."

Aku tersenyum kaku dengan anggukan kikuk. Setelahnya, aku melepas tanganku dari genggaman tangan Mas Galuh dan meninggalkannya di balkon. Entahlah, ini terasa membingungkan dan mendebarkan.

****      

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top