Bab 2
Cinta Putih 2
"Nur, nyoh pesenanmu." Sri datang ke kios dengan dua tas kain besar yang ia tenteng. Teman masa kecilku ini datang dari kebun palawija tempat ia bekerja hanya demi aku agar tak perlu repot-repot ke pasar. "Yang lagi panen banyak itu jagung sama kacang panjang. Bosku juga panen cabai dan tomat. Semua wis aku masukkan."
"Piro totale?" Aku membuka dua tas itu dan memeriksa apa saja yang Sri bawakan untukku. Aneka sayur mayur hasil panen kebun bosnya, tiga ekor ayam potong yang kutitip sekalian belikan saat akan mampir ke sini dan tiga kilo daging sapi campur dengan jeroannya. Ibu biasa datang ke rumah Mas Galuh untuk memeriksa ketersediaan bahan pangan di dapurku dan aku tidak ingin Ibu melihat penyimpananku di dapur sepi. Meski ini tidak melengkapi yang kubutuhkan, tapi setidaknya aku cukup terbantu.
Sri mengeluarkan buku kecilnya dari kantung celana kargo yang ia kenakan bersama sepatu boots. Ia mencatat dengan wajah mengingat-ingat, lalu menghitung semua angka yang tercatat di sana. "Empat ratus tujuh puluh, Nur. Ayam lagi naik. Sapi juga. Sayurku saja yang harganya masih stabil."
Aku tertawa ringan mendengar penuturan Sri Bestari si teman sebangku saat sekolah dulu. Aku lantas membuka laci kasir kios dan memberikan sejumlah uang dengan nominal yang Sri katakan tadi. "Aku makasih banget ya, kamu mau repot-repot mampir kiosku sepulang tani."
"Gak gratis yo, Nur. Enak aja." Setelah memasukkan uang ke dalam tas pinggangnya, Sri duduk di salah satu kursi plastik depanku. "Belikan aku dawet. Haus." Ia memanggil penjual dawet ayu yang kebetulan lewat depan kiosku. Gerobak dawet masuk ke dalam area parkiran kios dan membuatkan dua gelas untukku dan Sri. "Aku mau ngobrol sama kamu. Udah lama kita gak bergibah, to?"
Senyumku terukir bersamaan dengan anggukan. Sejak menikah dengan Mas Galuh, aku memang mengurangi intensitasku main bersama Sri dan Meli, sahabatku. Jika saat masih menjadi karyawan Mas Galuh aku bisa minta libur dua kali seminggu, saat sudah naik jabatan begini, aku tidak berani lagi. Usaha Mas Galuh artinya milikku juga pun dengan perjuangannya membesarkan usaha ini. Aku bukan lagi bawahan Mas Galuh, melainkan pendampingnya.
Mumpung kios sedang sepi dan Mas Galuh masih memantau pengiriman ribuan batang bambu yang dipesan oleh kontraktor swasta yang membangun pasar di desa, aku bisa berbincang bersama Sri sekalian mendapat berita terbaru tentang perkembangan pembangunan pasar desa kami. Sri pernah cerita bulan lalu saat mendapat informasi bahwa pasar desa akan dikelola oleh swasta dan dibangun menjadi lebih besar dan bersih. Ia mendukung tapi juga mengeluhkan kebijakan baru yang pengelola berikan. Soal ini, aku hanya mendengarkan saja karena tidak tahu menahu tentang pasar.
"Kamu sama Mas Bos gimana?" Sri dan Meli tahu tentang aku dan Mas Galuh. Selain mereka, aku tidak punya siapa-siapa lagi. "Wis tiga bulan, ya? Wis belah duren?"
Aku menggeleng dengan senyum ringan. "Masih perawan aku, Sri. Sini carikan aku laki-laki yang mau bikin anak sama aku," selorohku ringan. "Tapi dia harus cinta aku dan aku cinta dia."
"Yo susah! Wong kamu dari dulu cintanya sama Mas Galuh. Memangnya aku buta lihat kamu waktu pertama kali ketemu Mas Galuh jaman kita SMA. Ilermu sampe netes-netes. Kamu pikir aku lupa gimana girangnya kamu waktu diterima kerja di kios ini padahal gajimu di garmen udah bisa mencukupi kebutuhanmu sendiri. Bosku bahkan nawarin kamu jadi admin penjualan sayur, tapi kamu tolak. Cita-citamu itu cuma satu. Kerja sama Mas Galuh."
Tawaku meledak. Sri bisa saja membuatku skak mat. Mas Galuh kembali ke desa ini setelah empat tahun kuliah di Yogya, jurusan teknik sipil. Alih-alih kerja di ibu kota jadi pegawai WIKA atau Nindya, dia malah balik ke desa ini dan melanjutkan usaha mendiang ayahnya. Usaha bambu Mas Galuh sudah cukup terkenal di desa dan kabupaten ini. Kami penyedia bambu terbesar dengan pelanggan yang selalu kembali untuk memesan bambu.
Usaha bambu ayah Mas Galuh sempat tutup satu setengah tahun paska kepergian Pak Sunandar, ayah Mas Galuh. Hal yang menurutku wajar karena Ibu tak mungkin naik gunung untuk mengurus bambu karena beliau masih aktif sebagai tenaga pengajar honorer di desa ini.
Waktu aku mendengar kabar kepulangan Mas Galuh, aku berharap memiliki cara untuk bisa dekat dengannya. Aku sudah berubah dari masa SMA dan menurutku, sedikit lebih cantik dan terawat. Gaji sebagai buruh di garmen cukup untuk biaya merawat diri dan membuat penampilanku lebih baik. Doaku terkabul saat satu tahun setelah Mas Galuh membuka kembali usaha bambu ini, aku mendengar dari Meli bahwa Mas Galuh mencari asisten yang bertugas sebagai tenaga administrasi. Aku langsung mendaftar dan Mas Galuh menerima.
"Gak kurang hebat apa aku? Sudah berhasil jadi karyawan, eh melesat jadi istri."
"Tapi kamu bahagia, gak?"
Pertanyaan itu membuatku bungkam. Bahagia tidak? "Aku—bahagia," jawabku santai sebelum menyedot dawet ayu yang gelasnya berembun. "Tapi gak bahagia lihat Mas Galuh kayak terpaksa banget tinggal sama aku." Mataku menerawang pada satu titik embun di dinding gelas. "Kamu tahu gak sih rasanya mencintai orang yang terlihat gak nyaman sama kamu?"
"Mas Galuh kayaknya biasa aja di sekitar kamu."
Aku mengangguk pilu. "Iya, saat bekerja kami memang kompak, tapi saat sudah di rumah malam hari, ia lebih sering menghabiskan waktu di gubuk kecilnya yang tak pernah berani aku masuki. Ia pulang ke rumah, masuk ke kamar kami dan langsung tidur tanpa menyentuhku sedikitpun."
Sri terdiam. Ia mengambil satu tanganku dan menggenggamnya. "Apa mungkin Mas Galuh ...."
Aku mengangguk. "Iya," jawabku yang yakin dengan apa yang Sri pikirkan saat ini. "Ibu mengatakannya saat melamarku dan memintaku menjadi istri Mas Galuh. Ibu berharap cara ini akan membuat Mas Galuh kembali ke jalur yang benar. Kodrat laki-laki selain bekerja adalah berumah tangga dan membangun keluarga. Ia tidak akan bisa memiliki keluarga jika tidak menikah dan memiliki anak. Sementara ...."
"Kamu pasti bisa," ucap Sri dengan nada menyemangatiku.
"Mereka masih saling berkomunikasi dan bertemu. Mas Galuh tidak pernah absen mengurusi kebutuhan bambu yang dipesan dari Galeri Panda. Mas Galuh sendiri yang memilih bambu dari hutan hingga memastikan terkirim dengan baik dan selamat. Ibu pernah bilang, motivasi Mas Galuh meneruskan usaha ini bukan karena ia tak sanggup masuk ke perusahaan kontraktor besar, tapi karena masih mencintai Mbak Lira."
Sri berdecak sinis. "Lanang guoblok. Wong Mbak Lira sendiri saja sudah anak dua. Jelas-jelas ditinggal nikah sama pengusaha kok ya masih saja mengejar."
"Mas Galuh ingin jadi pengusaha juga untuk menyaingi suami Mbak Lira mungkin." Aku mengangkat bahu tak acuh. "Ibu tahu semua tentang anaknya dan memintaku untuk membantu mengeluarkan Mas Galuh dari ketersesatannya terhadap cinta kepada Mbak Lira."
"Tapi kamu yang jadi tumbal!" Sri mengegrutu. "Sebenernya aku agak berat kamu nikah sama Mas Galuh, tapi mau gimana lagi kalau kamu memang sudah bucin dari dulu."
Aku tertawa. "Jadi yang goblok itu siapa ya Sri?"
Sri ikutan tertawa. "Mari kita salahkan cinta mengapa begitu buta dan menyesatkan."
Tawa kami menguar bersama. Menertawakan masalah hidup adalah obat mujarab yang sementara waktu mampu membuat kita melupakan atau justru menerima keadaan dengan terpaksa.
"Permisi, Mbak." Sapaan keras itu membuatku dan Sri tersadar bahwa ada yang berdiri di depan kios, entah sejak kapan.
Ya ampun, apa mungkin berbincang dengan Sri membuat kami tak menyadari sekitar dan abai pada tamu yang mungkin butuh bambu segera?
"Ya, Mas, silakan. Ada yang bisa dibantu?" Aku meminta Sri menggeser posisi duduknya, karena dialah yang membuatku tak bisa melihat depan. Tubuh Sri tinggi besar dan sejak tadi menutupiku karena berada langsung di depanku. "Pemesanan bambu hanya sampai jam dua jika ingin dikirim hari ini. Karena ini sudah pukul empat, pesanan Mas akan kami kirimkan besok mengikuti jadwal kirim." Aku berdiri dengan senyum ramah kepada pelanggan. Aku belum pernah bertemu pria ini sebelumnya. Pasti pelanggan baru.
Pria itu tersenyum malu. "Saya—tidak ingin pesan bambu, Mbak, maaf. Saya ke sini karena kata orang sekitar rumah, pemilik rumah yang dikontrakkan ada di kios ini."
"Rumah?" Aku mengernyit bingung. "Rumah apa?"
"Mas mau kontrak rumah yang pagar hijau itu? Yang ada banner tulisan dikontrakkan dan ada pohon mangganya?"
Pria itu mengangguk cepat. "Mbak dengan pemiliknya?"
Sri menggeleng. "Bukan saya, tapi dia. Mohon maaf, perempuan ini sejak menikah otaknya langsung berubah kayak nenek-nenek. Pikun sama harta bendanya sendiri. Rumah itu sudah kosong tiga bulan, sejak Ibu ini menikah. Jadi, mumpung belum uka-uka, langsung Mas jadikan saja rumah itu. Mau kontrak berapa lama?"
Aku memukul Sri seraya tertawa. "Bagus banget promosimu, Sri."
Nama pria itu Ibnu Ardian. Kami bertiga berkenalan dan berbincang tentang rencana Mas Ibnu tinggal di rumahku dan berapa harga sewa yang kami sepakati berikut perjanjian lain. Obrolan kami nyaris selesai dengan kesepakatan temu besok pagi untuk memberikan kesempatan Mas Ibnu melihat bagian dalam rumah masa kecilku dan mendiang Ibu, saat Mas Galuh datang dari pengantaran pesanan bambu hari ini.
Mas Galuh menghampiri kami dan Sri langsung memberitahu tentang maksud dan tujuan Mas Ibu—aku lebih baik memanggilnya begitu karena dia terlihat berusia lebih dariku—datang ke kios. Sri tidak memberikanku kesempatan bicara karena mulut perempuan itu sepertinya langsung terisi banyak daya setelah menghabiskan satu gelas es dawet.
"Sudah sepakat harga, Mas, sama waktu sewanya. Cuma sampai setahun saja karena kebutuhan Pak Ibnu yang dinas di desa ini hanya beberapa bulan saja." Sri melaporkan dengan rinci kepada Mas Galuh. "Besok pagi mau lihat-lihat rumah kan, Nur? Habis itu ya kalo deal ya jadi."
Kejutan untukku adalah saat Mas Galuh tersenyum ramah kepada Mas Ibnu dan menjabat tangan dengan semangat. "Mas pegawai kotraktor yang sedang bangun pasar, kan? Kita sudah bertemu tadi."
Senyum Mas Ibnu tersungging lebar. "Salam kenal, Mas. Jadi ... kerja sama kita boleh lanjut ke kontrak rumah—istri Mas?" Mas Ibnu menatapku dengan sorot penuh arti.
"Silakan," jawab Mas Galuh ramah dan santai. "Besok kita bertemu di rumah tersebut. Saya akan datang bersama Nurma ke rumah itu sebelum jam yang disepakati."
Mas Galuh selalu bisa tampil profesional dan penuh wibawa. Aku memiliki banyak alasan untuk jatuh cinta kepadanya, tetapi tak memiliki satu cara pun untuk bisa mengambil hatinya. Ada yang bisa memberiku masukan?
****
Cerita ini sudah sampai bab 10 di Karyakarsa. Untuk kamu yang penasaran, bisa ke KK yaaa
Muaaaach!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top