Bab 18
Cinta Putih 18
"Selamat pagi, Mas. Saya Nurma Arlita, yang mau melamar kerja di kios bambu ini." Pagi itu, jantungku berdegup kencang, pertama kali melihatnya lagi setelah masa SMA.
Pria itu terlihat semakin dewasa, matang, dan ... tampan. Ada charisma yang menguar dari wajahnya dan senyum indah itu membuat cinta yang kupendam kini mencuat dan menyembur ke permukaan tanpa bisa kucegah. Aku ... jatuh cinta lagi pada orang yang sama.
Aku dan ia berbincang santai, tak terlihat seperti wawancara kerja. Semangat dan debar dalam dada membuatku berusaha masuk dalam obrolan dan membuatnya nyaman.
"Saya baru bisa kasih segini, Nur. Kamu gak masalah?"
"Tidak masalah, Mas. Saya tahu kalau kios ini baru buka kembali setelah lama tutup, kan, jadi Nurma tidak masalah digaji segitu dulu."
Pria itu tersenyum manis dan senyumnya langsung masuk ke dalam hatiku. "Jika kelak omset dan pendapatan bisnis ini meningkat, beban kerja kamu pasti makin banyak. Jika saat itu tiba, saya pasti menaikkan pendapatan kamu juga. Kamu semangat, ya."
Tentu saja semangat! Aku ke tempat ini bukan untuk cari uang, tapi mencari kemungkinan cintaku bisa kuperjuangkan ....
Keesokan paginya, aku resmi menjadi satu-satunya karyawan di kios itu dan dengan penuh semangat aku memperlajari hal-hal baru terkait bisnis yang pria itu jalankan. Semua berjalan lancar. Aku dipercaya mengelola keuangan dan transaksi sementara dia keliling mengirim pesanan.
"Mas, aku mau minta izin. Bagaimana kalau kita promosikan kios ini ke social media? Kayak ... aku mau bikin akun khusus kios bambu ini dan mengunggah video-video kegiatan serta produk kita. Lalu, aku juga mau pasang nama dan alamat kios kita di Google, jadi saat orang melakukan pencarian penjual bambu di daerah kita, alamat dan nama kios kita bisa mereka temukan di Googe gitu Mas. Gimana?"
Pria itu menatapku takjub seakan aku memiliki kecantikan sekelas dewi khayangan.
"Kok aku gak kepikiran gitu ya, Nur?"
Aku tersenyum simpul. "Nurma juga baru kepikiran waktu Sri kemarin cerita kalau profil Mas Bobi sebagai petani di des aini bisa dilihat di Google. Bisa ditemukan gitu, loh, Mas. Lah klo Mas Bobi bisa, harusnya Mas Galuh dan kios bambu ini juga bisa, kan? Lha ini akum au izin coba aktif di sosmed saat kerjaan sedang gak padat."
"Aku belikan ponsel baru untukmu."
"Buat apa?"
"Biar kamu mainan Google-nya semakin mudah."
"Ponsel Nur bisa kok."
Pria itu menggeleng tegas. "Besok aku belikan ponsel baru untukmu."
Rasa semangat itu semakin membara. Aku mempelajari sosial media dan menjadikannya sarana promosi kios usaha Mas Galuh. Tahukah apa yang membuatku semangat membuat konten promosi? Aku bisa berinteraksi lebih dekat, mengabadikan Mas Galuh dalam video singkat atau foto, lalu sebelum tidur aku akan memandangi hasil karyaku dengan senyum bahagia. Rasanya seperti mimpi saat pria yang kau cintai kini begitu dekat dan ramah kepadamu. Sejatuh cinta itu aku kepadanya.
Social media dan Google memberikan banyak pengaruh baik pada penjualan kios. Kami kedatangan banyak pelanggan baru yang menemukan kios ini melalui laman pencarian aplikasi itu. Aku semakin sibuk bertransaksi dan Mas Galuh mulai memiliki jadwal kirim yang lebih banyak hingga kami kerap meminta pengepul yang mengirim langsung karena armada yang Mas Galuh miliki muatannya masih terbatas.
Hingga tak terasa, enam bulan setelahnya, kios ini sudah terkenal dan memiliki cukup banyak pelanggan tetap. Kami masih bisa menangani semua urusan dan gajiku perlahan naik seiring dengan pendapatan kios yang progresnya signifikan.
Setelah semua hal yang berlalu ... kini aku tahu sudah saatnya aku menyerah, melepaskan semuanya, dan pergi.
Air mataku menetes lagi kala kilas kejadian masa lalu terputar di ingatan. Aku duduk sendiri di rumah dan meratapi nasibku yang memilukan. Aku berfikir keras. Apa salahku hingga nasibku bisa semengenaskan ini? Apa seharusnya dulu aku tidak udah bermain-main dengan hati? Apa seharusnya dulu aku tidak usah menerima lamaran Ibu dan menikah dengan Mas Galuh jika akhirnya hanya diduakan dengan masa lalunya?
Mas Galuh baik. Ia baik sekali tetapi cintanya menyakitiku hingga ke urat nadi. Aku tak ingin menjadi bodoh seumur hidup dan membiarkan diriku tersakiti terus. Aku akan melepaskan diri, memperjuangkan kebebasanku dan membangun kembali bahagiaku yang entah tercecer dimana.
Dering ponsel membuatku mengusap air mata dan menyudahi kesedihanku seorang diri di rumah ini. Meli menghubungi dan aku tak langsung menjawab. Aku butuh minum agar suaraku tak kentara habis menangis.
"Kamu habis nebang bambu? Lama banget angkat panggilanku. Eh ada Mas Galuh gak di sana?" Meli langsung bicara tanpa henti saat aku menjawab salamnya.
Aku tersenyum samar. "Aku gak lagi nebang bambu. Aku lagi di rumah sendirian dan taka da Mas Galuh di sini. Kenapa?"
"Ada gossip baru, Nur. Baru banget dan aku dengar dari dua orang yang beda."
Dua orang sudah pasti orang yang beda. Meli kadang-kadang konyol.
"Gosip apa?"
"Satu, dari si Kokom, petugas antar paketku yang punya area rumah Lira. Waktu antar paketan ke rumah Lira ada keributan besar di rumah itu. Kejadiannya udah hampir seminggu yang lalu tapi dia baru cerita tadi. Dia lihat Lira sama suaminya bertengkat hebat sampe teriak-teriak gitu. Terus, kayak ada suara barang dibanting. Pembantu Lira yang terima paketan, sampe meringis malu ke Kokom. Lha dia itu gak cerita ke aku karena menurutnya gak penting."
"Terus?"
"Lha Koko mini akhirnya buka suara, Nur, waktu pegawainya Lira tadi ke tempatku kirim paketan pesanan Galeri Panda. Paketan domestik."
Aku mengangguk. Galeri Panda memang memiliki kerjasama dengan ekspedisi milik Meli untuk pengiriman pesanan dalam negeri. Pesanan retail dalam negeri. Untuk pesanan luar negeri, aku tidak tahu mereka bekerja sama dengan eksportir mana.
"Kenapa pegawainya?"
"Pegawainya cerita ke aku, Nur. Katanya rumah tangga Lira lagi goncang. Bukan goyang lagi, tapi sudah goncang. Tahu kan kamu bedanya? Katanya ada pihak ketiga dalam rumah tangga itu, relasi bisnis mereka tapi gak tahu siapa relasi bisnis yang dimaksud. Intinya suami Lira udah gak tinggal sama Lira sekarang, wis minggat! Lira sendiri di rumah orangtuanya sama anak-anaknya. Rumah dia kosong sekarang dan gak tau deh kedepannya gimana. Lah, pas si karyawan yang kirim paket ini cerita, Kokom baru nimpalin dan bilang pertengkaran hebat itu pas minggu lalu."
Tubuhku menegang. Pikiranku terlempar pada saat aku melihat Lira dan Mas Galuh berpelukan di pinggir jalan. Mereka bilang penyebab pertengkaran hebat itu adalah relasi bisnis yang menjadi pihak ketiga? Mungkinkah ....
"Nur? Kamu masih napas, kan?"
"Ehm—ya iya, lah, Mel. Pertanyaanmu, loh."
"Lha kamu diam terus. Aku takutnya kamu pingsan."
Aku tidak pingsan, hanya nyaris anval karena tubuhku tiba-tiba gemetar.
"Nur?"
"Lha terus maksudmu cerita gini ke aku apa, Mel?"
"Ya maksudnya aku update info ke kamu seperti biasa, kayak kalau kita ada gossip panas di desa ini. Ya artinya kan, rumah tangga orang kaya seperti Lira saja masih bisa kena orang ketiga. Untungnya Mas Galuh wes nikah sama kamu dan sudah baikan sama kamu. Jadi aku yakin si relasi yang dimaksud itu pasti eksportir atau perempuan entah siapa yang menggoda suami Lira. Kamu gak lupa kan kalau suaminya Lira itu ganteng banget? Ganteng, pinter, kaya, dan bakal calon bupati kita."
Tidak. Aku yakin orang ketiga yang dimaksud bukanlah perempuan, tapi laki-laki yang mungkin saja membuat Lira nyaman.
"Mel, ini ada telepon masuk. Mas Ibnu menghubungi. Aku angkat telepon dia dulu, ya?"
"Yo, salam buat Mas Ibnu, ya."
Aku memutus sambunganku dengan Meli dan langsung menjawab panggilan Mas Ibnu.
"Nurma, ini saya minta maaf sebelumnya. Perasaan, saya menggunakan fasilitas rumah ini dengan baik, tapi ada pipa yang bocor karena sepertinya sambungannya bermasalah. Air masih bisa mengalir sampai kamar mandi dan keran cuci, hanya saja pipa di luar jadi terus mengeluarkan air. Apa kamu punya rekomendasi tukang air yang bisa saya panggil? Atau kamu izinkan saya yang membetulkannya sendiri dibantu satu dua orang tim dari proyek saya?"
"Jangan, Mas. Kerusakan rumah adalah tanggungjawab saya," jawabku. "Nurma akan datang besok bersama tukang ledeng. Meli kenal tukang ledeng yang bagus di desa ini. Saya akan minta bantuan Meli untuk menghubungi orang itu. Mas mohon bersabar, ya."
"Terima kasih, Nurma."
"Sama-sama."
"Jadi—sampai bertemu besok kan kita?"
Aku berdeham pelan.
"Kamu—baik-baik saja?"
"Begitulah. Baik jika aku menganggapnya baik, kan?"
"Bersabarlah, Nurma. Kelak kebebasan dan kebahagiaan itu akan kamu dapatkan."
Aku berdeham lagi.
"Aku tunggu kehadiranmu besok, ya."
*****
Meli ingin ikut denganku ke rumah Mas Ibnu, tapi sayangnya ia harus berjaga di kiosnya karena paketan sedang sangat banyak. Tukang pipa yang Meli panggil berjanji akan datang siang hari dan aku menghubungi Mas Ibnu untuk meminta izin masuk rumah pada waktu yang kami tentukan bersama tukang pipa.
Saat sampai rumahku, Mas Ibnu ternyata sudah ada di sana dan menyambutku dengan senyumannya.
"Meli gak ikut? Biasanya dia ngintilin kamu kan?"
Aku tersenyum geli mendengar pertanyaannya. "Kalau Mas kangen sama Meli, dia ada di kios ekpedisinya. Mas pasti tahu kios miliknya karena punya dia itu kios ekspedisi paling besar di desa ini dan lokasinya dekat banget sama pasar."
Mas Ibnu tertawa santai. "Saya lebih kangen kamu sih daripada siapapun di desa ini."
Aku menghentikan langkahku dan menatapnya datar. "Mas gak lupa kan kalau aku ini sudah ada yang punya?"
Mas Ibnu mengangguk. "Ingat banget tapi aku juga gak lupa sama perbincangan kita yang terakhir, saat kamu mantap memutuskan untuk memperjuangkan kebebasan kamu."
Aku melanjutkan langkahku menuju pipa yang bocor. Tukang pipa yang Meli panggil sudah datang dan aku langsung memintanya membereskan setiap titik aliran air yang bermasalah.
Sambil menunggu tukang pipa bekerja, aku duduk di kursi teras yang berjarak cukup jauh dari posisi pipa luar yang bocor. Dari sini aku bisa memantau kerja tukang pipa itu tanpa harus berdiri dan kepanasan.
Mas Ibnu datang menyusulku duduk di teras dengan dua minuman kemasan yang dingin.
"Terima kasih," ucapku saat menerima minuman itu. "Mas selalu repot kalau saya ke sini."
"Gak ada yang repot bagiku kalau untuk kamu, Nur. Kamu tahu itu."
Aku tak menjawab dan memilih membuka botol minuman itu. Segar dan manis, tapi anehnya tak bisa membuatku merasa lebih baik.
"Kamu tahu, Nur, bahwa perempuan diciptakan untuk mengimbangi pria. Untuk melengkapi dan menutupi kekurangan kami. Perempuan itu luar biasa dan special. Mereka diciptakan bukan untuk dipermainkan apalagi disakiti. Kewajiban bagi anak menghormati ibunya dan kewajiban bagi suami melindungi dan memenuhi kebutuhan istrinya. Kamu tahu kenapa? Karena pengorbanan perempuan pada keluarga tidak pernah kecil."
Aku hanya melirik Mas Ibnu yang bicara tanpa menatapku. Matanya memandang lurus pada luar dengan sorot menerawang.
"Aku tidak lagi ingin menutupi perasaanku. Aku jatuh cinta kepadamu dan tak terima jika kamu diperlakukan buruk oleh siapapun apalagi suamimu. Kamu memiliki nilai yang tinggi dan tidak pantas disakiti seperti apapun caranya."
"Aku akan mengurus diriku sendiri, Mas."
"Kamu butuh bantuan, Nur, dan aku akan ada untuk kamu."
Aku bergeming, tak menjawab ucapan Mas Ibnu yang terakhir. Kami saling terdiam dengan pikiranku yang mulai keruh dengan segala hal yang terjadi. Andai aku bertemu Mas Ibnu lebih dulu dan jatuh cinta kepadanya juga, mungkin aku tak perlu melalui fase romantika percintaan yang memuakkan jenis ini.
Mas Ibnu benar. Aku memang membutuhkan seseorang yang akan menemaniku menua. Ibu memilikiku sebagai teman hidupnya sementara aku benar-benar akan sendiri jika bercerai nanti. Aku tidak tahu apakah pria di sampingku ini benar jatuh cinta atau hanya bualan semata. Yang jelas, aku tidak tertarik kepadanya dan tak ingin memikirkan penawarannya.
"Mungkin kamu tidak percaya dengan apa yang kukatakan, Nur, tapi izinkan aku memperjuangkanmu saat kamu sudah benar-benar lepas dari pria itu. Bukankah setiap orang berhak memperjuangkan cintanya, terlepas akan berhasil atau tidak?"
Ucapan itu membuatku menoleh kepada Mas Ibnu. "Nurma tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Yang jelas, hal pertama yang akan Nurma lakukan jika lepas dari pernikahan ini adalah membahagiakan diri Nurma sendiri, tanpa bantuan siapapun. Bukankah aku juga berhak untuk mengobati luka hatiku sendiri tanpa bantuan orang lain? Hatimu masih tertutup untuk siapapun, Mas. Aku lebih suka menghabiskan waktuku sendiri di rumah ini nanti."
Mas Ibnu menatapku dengan sorot sendu dan dalam sebelum bibirnya melengkungnya senyum tinggi. Ia mengangguk seakan paham dengan apa yang kukatakan.
"Baiklah," ucapnya seraya mengangguk patuh. "Aku akan menunggu saat dimana hatimu sembuh dari luka-luka itu dan selama itu aku akan berusaha memantaskan diriku untukmu."
Aku tak menjawab ucapannya. Tak ada sesuatu yang abadi di dunia ini, termasuk cinta dan ucapan. Mas Ibnu bisa saja bicara seperti itu sekarang, tapi tak ada jaminan ia memegang ucapan itu jika proyeknya selesai lalu ia bertemu perempuan lain di proyeknya yang baru. Aku tak ingin percaya lagi dengan ucapan pria manapun apalagi jika itu soal cinta. Percayalah, rasanya dibohongi sangatlah menyakitkan hingga terasa sampai tulang sumsum dan setiap pembuluh darahmu.
Mas Ibnu menawarkan makan siang bersama yang kutolak karena tiba-tiba Mas Galuh menghubungiku dan mengajakku makan siang bersama. Ia berkata mendapati rumahnya kosong saat hendak menjemputku untuk makan siang. Hal itu membuatnya langsung menghubungiku dan memberondongku dengan banyak pertanyaan yang kujawab singkat saja jika aku sedang di rumahku karena Mas Ibnu butuh tukang pipa.
"Aku jemput kamu sekarang," ujar Mas Galuh tegas. "Tunggu di sana dan jangan kemana-mana sampai aku datang."
Aku tidak membawa motor karena Mas Galuh belum membawa motorku ke rumah. Proses perbaikan motor sudah selesai tetapi ia belum membawanya pulang. Aku jadi harus naik ojek untuk sampai rumahku.
Untuk mengakhiri obrolan menyesakkan tentang perasaan Mas Ibnu kepadaku, aku menghabiskan waktu menunggu tukang pipa dengan membersihkan rumah. Mas Ibnu akhirnya yang mendekati tukang pipa dan mengawasi proses perbaikan. Saat aku baru selesai menyapu lantai, mobil Mas Galuh sampai dan bunyi klaksonnya membuatku tahu bahwa pria itu tak memiliki keinginan untuk turun dari mobil dan menyapa Mas Ibnu.
Dengan cepat, aku membereskan sapu dan mengambil tas kecilku yang hanya berisi dompet dan ponsel, lalu berjalan menuju mobil Mas Galuh. Aku berpamitan kepada Mas Ibnu dan tukang pipa sebelum menaiki mobil dan ikut makan siang bersama suamiku.
"Makan mangut lele mau?"
"Terserah," jawabku saat Mas Galuh menanyakan menu makan siang kami.
"Atau nila goreng di resto gubuk yang waktu itu bambunya kita suplai?"
Aku mengangkat bahu tak acuh. "Terserah." Jujur saja aku sedang sangat lapar tapi aku tak memiliki sedikitpun nafsu makan.
"Ya sudah ke resto saja yang pilihan menunya banyak." Mas Galuh memutuskan sendiri dan langsung melajukan mobilnya menuju restoran gubuk yang dulu pernah kamu suplai bambu untuk pembangunan gubuk-gubuk makannya.
Sesampainya di resto, aku dan Mas Galuh langsung memesan menu yang kami inginkan. Saat pramusaji selesai mencatat pesanan kami dan pamit undur diri, Mas Galuh juga pamit ke kamar mandi. Ia meninggalkan dompet dan ponselnya di atas meja dan memintaku untuk menjaganya.
Seperti pertanda alam yang Tuhan berikan kepadaku, layar ponsel itu tiba-tiba menyala dan aku bisa melihat pesan masuk yang kubaca sepintas di ponsel Mas Galuh dan itu dari Lira.
Terima kasih, Luh, karena selalu mengerti dan memahami aku. Sejak dulu kamu memang yang terbaik untukku.
Dadaku sesak. Rasanya seperti pegunungan tempatku tinggal tak lagi memiliki oksigen untuk kuhirup. Aku mencoba meredam gemuruh emosi yang memorakporandakan jiwaku. Aku akan pergi. Aku akan bangkit dan memadamkan api cintaku kepada Mas Galuh hingga tak ada sisa, sekalipun dalam bentuk abu.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top