Bab 17

Maafkan aku yang satu bulan menghilaaaang wkwkkwkwk kesibukan duta bikin aku bener2 gak tahu caranya mengatur segala dengan rapi dan sempurna. Aku minta maaf yaaaa ...


******* 


Cinta Putih 17

Percayalah, bersandiwara itu melelahkan. Aku harus berusaha melakoni peran sesuai scenario yang kubuat sendiri dan menekan keinginanku untuk marah, menangis, berteriak, dan memohon kepada Mas Galuh untuk mencintaiku dengan tulus. Tidak, aku tidak akan memintanya untuk mencintaiku dengan tulus karena aku tidak akan sudi menjadikan diriku pengemis cinta. Aku punya harga diri dan hak untuk membangun bahagiaku sendiri.

Aku menjalani keseharianku dan bersikap seakan tak ada apa-apa. Mas Galuh bertanya dimana aku malam itu yang hanya kujawab dengan senyuman lalu mengalihkan pembicaraan. Untungnya, siang saat aku pulang dair kios untuk memasak dan Mas Galuh memutuskan tutup kios lebih cepat untuk istirahat, Ibu menghubungiku dan menanyakan apakah aku memiliki rebung.

Demi menghindari banyak pertanyaan dari Mas Galuh, aku sengaja memperlama durasi bicaraku dengan Ibu hingga pria itu lelah sendiri menungguiku bicara dengan ibunya dan meninggalkanku untuk tidur siang. Setelahnya, aku menghabiskan sore dengan membersihkan rebung satu karung dan merebusnya agar siap masak.

"Kamu masih main rebung saja sampai aku bangun tidur." Mas Galuh menghampiriku yang sedang duduk di kursi plastic kecil di belakang rumahnya. "Kamu biasanya memberikan Ibu atau temanmu rebung tanpa membersihkannya dulu. Kenapa sekarang jadi repot-repot begini?"

Aku menoleh kepada Mas Galuh yang sedang berdiri di ambang pintu belakang rumah ini. "Nurma bersihkan rebung ini karena ingin dimasak semua, Mas, bukan dibagikan."

Mas Galuh mengernyit. "Kamu masak banyak untuk apa?"

"Ibu ketempatan arisan besok, minta dimasakkin lodeh rebung. Untungnya kita kemarin bawa rebung banyak jadi bisa dimasak untuk acara Ibu. Ini mau langsung direbus biar besok tinggal diolah. Nur kayaknya mau goreng lele dan sambal juga supaya Ibu gak usah repot kotorin dapur sana. Nurma sama Ibu sudah janjian begitu tadi."

Mas Galuh hanya menatapku datar. "Janjian begitu saja ngobrolnya lama banget." Ia langsung berbalik ke dalam lagi, entah melakukan apa.

Aku tersenyum miris dengan hati getir. Aku memang sengaja memutar topik agar Mas Galuh meninggalkanku dan tak menanyaiku lagi tentang malam itu. Meski sulit, aku berusaha untuk membuat jarak sejauh mungkin dan mengurangi interaksi. Aku harus berlatih sendiri lagi agar tidak terlalu terpuruk sasat perpisahan itu terjadi.

Setelah semua rebung bersih, aku merendamnya dalam ember besar sebelum kurebus nanti malam. Aku ingin mandi lalu memasak makan malam untuk suamiku. Kulihat Mas Galuh sedang duduk sendiri di gazebonya seperti biasa dan aku sempat menangkapnya sedang tersenyum di depan ponsel. Tidak ada yang lebih indah dari bercanda bersama orang yang kita cinta. Yah, bahagialah Mas karena aku mencintaimu dan akan pergi agar kamu bisa bahagia.

Kami makan malam dengan tenang. Tidak ada obrolan seperti yang lalu-lalu dan aku tidak ingin membuka topik apapun dengannya. Semua hening, bahkan hingga makan malam selesai, Mas Galuh kembali ke gazebo dan aku menyibukkan diri menyiapkan lodeh rebung untuk Ibu besok.

Saat aku baru selesai memotong rebung matang dan memasukkannya ke dalam wadah, Mas Galuh tiba-tiba memelukku dari belakang. Tubuhku seketika mematung dan waspada karena hatiku berdesir tanpa bisa kucegah.

Mas Galuh mengecup cuping telingaku sebelum berbisik, "Aku minta maaf kalau ada salah, Nur. Kamu marah karena aku tidak jemput kamu ke kios lagi ya kemarin?"

Aku malas menjawab. Ia tidak tahu saja apa yang kudapat saat perjalanan pulang bersama Eko.

"Mas, bagaimana rasanya memeluk perempuan yang Mas cinta?"

Mas Galuh berdeham lirih seraya menyurukkan wajahnya di lekuk leherku dan mengangkat rambutku yang kukuncir demi mempermudah aksesnya menuju tengkukku. "Rasanya menyenangkan, Nur, membuatku ingin memilikinya sekarang juga."

Sejak dulu kamu memang ingin memiliki Lira. Aku tahu itu.

Aku melepas baskom rebung lalu berbalik demi menatap Mas Galuh yang tak melepas pelukannya kepadaku. Posisiku tak lagi dipeluk dari belakang, melainkan direngkuh dan berhadap-hadapan. Senyumku terlengkung samar dengan perasaan getir melihat Mas Galuh berbinar.

"Kalau memang itu yang Mas inginkan, maka milikilah ia dengan cara apapun. Aku rela asal Mas bahagia."

Mas Galuh tersenyum mendengar ucapanku lalu membungkam bibirku dengan ciuman yang menggoda. Kami saling memagut penuh hasrat sebelum Mas Galuh mengangkat tubuhku dan membawaku ke kamar kami. Aku tidak tahu mengapa, tapi ini pertama kalinya aku bercinta dengan tetes air mata kesedihan. Aku ingin menganggap apa yang Mas Galuh berikan kepadaku adalah ungkapan cinta, tetapi yang kupikirkan adalah kemungkinan bahwa Mas Galuh memperlakukanku dengan baik hanya demi menutupi perselingkuhannya dengan Lira.

Iya, ada tipikal pria seperti itu. Bersikap baik dan manis demi menutupi boroknya di belakang banyak orang. Mas Ibnu pernah mengatakannya kepadaku dan bisa jadi salah satunya adalah suamiku sendiri.

******

Satu panci besar lodeh rebung selesai kumasak. Aku juga sudah menggoreng tiga puluh ekor lele berserta tempe dan sambal. Mas Galuh sudah berangkat ke kios dan aku izin tidak membantunya hari ini karena ingin membantu Ibu di rumahnya. Ini sudah biasa terjadi jika Ibu sedang ketempatan acara. Aku akan sibuk membantu Ibu di rumahnya dan Mas Galuh meliburkanku hari itu.

"Kamu yakin gak mau aku antar, Nur? Bawaanmu kayaknya banyak."

Aku teringat ucapan Mas Galuh sebelum berangkat tadi. Ia berkali-kali menawarkanku bantuan mengantarnya ke rumah Ibu yang kutolak terus. Aku sedang malas melihat wajahnya dan mengingat bagaimana eratnya pelukan mereka di persimpangan jalan itu.

Dadaku sesak setiap mengingat mereka dan menyadari bahwa statusku sebagai istri Mas Galuh tak akan lama lagi. Aku tidak akan lagi memasak untuk mertuaku dan berada di kesehariannya. Lira akan menggantikan dan Mas Galuh akhirnya bahagia, lalu aku menghabiskan sisa hidupku sendirian menikmati serial romansa yang bagiku hanya fatamorgana.

Lodeh kupindah ke termos besar yang biasa digunakan menyimpan nasi, sementara lele dan lauk lainnya kusimpan di kotak plastic besar. Aku mengikat kotak plastik di jok belajang motor dan termos kuletakkan di depan, tempat kakiku berpijak selama motor berjalan.

Aku mulai melaju menuju rumah Ibu. Siang hari begini jalanan tidak begitu ramai. Selama mengemudi, aku memikirkan segala hal yang berkecamuk di pikiran. Mulai dari Mas Galuh, ucapan Mas Ibnu, hingga bayangan masa depanku yang akan menua sendiri. Mataku memburam dengan hati yang pilu saat menyadari bahwa nasibku sama persis dengan Ibu. Menua sendiri tanpa mau mencintai pria selain ayah yang jelas meninggalkannya.

Ibu tidak menikah lagi atau berhubungan dengan siapapun. Saat aku bertanya, Ibu menjawab ingin membesarkanku saja seorang diri dan memastikan aku bahagia. Saat aku beranjak dewasa dan bertanya apakah Ibu menginginkan pria sebagai teman hidupnya, Ibu menjawab ia tak lagi bisa merasakan cinta kepada pria manapun sejak ditinggalkan ayah.

Semua itu sama persis seperti yang kualami. Aku mati rasa dan tak bisa mempercayai pria manapun lagi. Aku memilih menggantungkan bahagiaku pada diriku sendiri. Aku akan membuat banyak rencana baru yang tak melibatkan siapapun apalagi masa lalu.

Bunyi klakson yang panjang menyadarkanku jika aku masih berada di jalan. Aku terperanjat dan tanpa sadar membelokkan stang motorku hingga menabrak pembatas jembatan. Termos lodeh jatuh begitu saja dan menumpahkan semua isinya. Aku pun terjatuh dari motor dengan posisi kepala terjedot besi pagar jembatan dan kaki tertindih motor. Aku berteriak kesakitan lalu menangis kencang saat tahu lodehku tumpah semua.

Orang-orang berlarian menghampiriku dan menolongku. Mereka membawaku menepi di depan warung dan memberikanku air mineral gelas untuk menenangkan diri. Aku menangis kesakitan, terkejut, bingung, dan ketakutan. Aku benar-benar berada di tepi jembatan yang nyaris membuatku jatuh ke kali yang besar dan dalam.

"Mbak itu mau kemana, to? Mikir apa sampai nubruk pembatas jembatan dan jatuh. Untuk tidak kecebur kali. Susah evakuasinya." Seorang pria tua menegurku tegas. Ia berjalan pelan mengambil termosku yang teronggok sia-sia di pinggir jalan. "Ini untuk jualan? Sudah tidak usah dipikir barang dagangannya, yang penting masih selamat."

Tangisku pecah lagi saat menerima termos itu. Rok yang kukenakan basah kuah lodeh dan aku merasa bodoh dan gagal.

Sepasang pemuda menawarkan diri untuk mengantarku menuju tempat tujuan. Aku menyebut alamat rumah Ibu dan bersedia mereka antar. Aku menaiki motor pemuda itu dan temannya menaiki motorku di belakang.

Sampai rumah Ibu, aku turun dan menangis meminta maaf karena sayur pesanannya tidak bisa sampai rumah dengan selamat. Ibu menyambutku dengan wajah panik dan memintaku langsung masuk rumah. Aku hanya bisa mempersembahkan lele dan lauk lainnya yang masih selamat di dalam kotak yang kuikat di belakang.

"Kamu kenapa gak diantar Galuh saja, sih? Katanya sudah punya dua karyawan tapi kenapa masih gak bisa ada waktu untuk kamu?" Ibu mendumal seraya memapahku menuju kamar yang biasa kutempati bersama Mas Galuh. Di lemari kamar ini, bajuku dan Mas Galuh tersimpan rapi. "Ganti baju dan istirahat. Tidak usah bantu Ibu dulu. Kamu harus baik-baik saja."

"Nurma baik-baik saja, Bu ... Nurma hanya tadi sedikit pusing sampai tidak sadar masih nyetir di jalan."

Ibu menggeleng tegas. "Tidur! Ibu tidak mau kamu kenapa-kenapa."

"Bu."

"Ya, Nur?"

"Tolong jangan bilang Mas Galuh kalau Nurma jatuh dari motor dan menumpahkan semua sayur."

Itu mengernyit dengan tatapan tajam. "Galuh harus tahu kondisi istrinya, Nur."

Aku menggeleng. "Mas Galuh sedang memiliki urusan yang sangat penting. Nurma gak mau mengganggu Mas Galuh." Alasanku menolak tawarannya pagi tadi salah satunya adalah karena Lira menghubungi setelah Mas Galuh mandi dan mengajaknya bertemu di Galeri. Setelahnya, Mas Galuh menghubungi Nanok yang katanya menemukan rumpun bambu wulung di kawasan dekat jurang. Mas Galuh ingin mengunjungi rumpun bambu itu untuk memastikan benar jenis bambu yang Nanok katakan dan membuat perjanjian dengan petaninya. Jika Ibu menghubungi Mas Galuh, maka aku akan sangat mengganggunya. Aku tidak mau begitu.

Ibu mendengkus kesal. "Sepenting apa sih urusan bambu sampe istrinya sakit gini dia gak boleh tahu."

"Bu, tolong Nurma ...." Aku memohon. "Nurma akan menuruti Ibu dan istirahat di sini asal Ibu tidak menghubungi Mas Galuh." Ibu tidak tahu sepenting apa Lira di mata Mas Galuh, melebihi urusan bambu manapun.

Ibu menatapku cukup lama sebelum akhirnya mengangguk dan meninggalkanku sendiri di kamar. Aku membersihkan tubuhku, berganti pakaian, lalu merebahkan diri di kasur dan menangis dalam diam. Rasa sakit di sekujur tubuh dan lelah ini membuatku terserang kantuk dan terlelap.

Aku tidak tahu berapa lama tertidur sendiri di kamar ini. Yang jelas, saat aku membuka mata keramaian yang tadinya samar terdengar kini sudah hilang. Prediksiku, arisan Ibu sudah selesai dan aku tidak tahu menu apa saja yang akhirnya Ibu suguhkan mengingat lodehku tumpah tak bersisa di pinggir jembatan. Aku berusaha bangkit dari ranjang lalu berjalan perlahan ke luar kamar.

Saat membuka pintu, aku mendengar suara Ibu menceramahi Mas Galuh di meja makan. Aku mendekat kepada mereka dan mendapati Mas Galuh sedang menikmati camilan sambil menjawab omelan ibunya.

"Ibu gak sayang sama rebungnya, tapi sama Nurma, Luh. Kalau dia kenapa-kenapa itu nanti gimana. Sayur tumpah, bikinnya lagi sebentar, cari menu gantinya gampang. Lah kalo istrimu yang luka badannya, kasihan, Luh ...."

"Iya, Bu."

"Lain kali pikirkan Nurma, Luh."

"Iya, Bu."

"Jangan bangunkan dia dulu. Dia masih tidur. Pasti melelahkan sekali masak dan kecelakaan di jalanan."

"Nurma sudah bangun, Bu." Aku masuk dalam percakapan mereka sambil terus berjalan mendekat ke meja makan. Sesampainya, aku duduk di kursi yang cukup berjarak dengan suamiku. "Nurma gak apa-apa, kok, Bu, hanya sedikit lemas saja tadi sama pusing. Mungkin karena kejedot besi pagar jembatan itu tadi."

"Kita ke dokter untuk periksa setelah ini."

Aku menggeleng. "Gak usah, Mas. Nurma gak apa-apa, kok. Hanya pusing tapi kepalanya gak sakit. Gak muntah juga. Jadi harusnya gak ada apa-apa sama kepala Nurma, kan?"

Ibu menghela napas panjang. "Ibu buatkan teh panas supaya badanmu enakan. Mau dipanggilkan Yuk Sum biar urut badan kamu?"

"Gak usah, Bu," jawab Mas Galuh. "Nanti biar Galuh yang liat sendiri kondisi Nurma. Kalau memang butuh perawatan, kami akan ke rumah sakit segera."

Aku melengos saat Mas Galuh menatapku lamat. Rasanya menjemukan saat menyadari bahwa Mas Galuh hanya bergerak mengikuti instruksi ibunya, bukan kata hatinya. Wajahnya tertekuk masam, pasti karena diomeli oleh Ibu entah selama apa. Aku tak tahu mengapa Mas Galuh sudah sampai di rumah Ibu sore begini, saat belum waktunya kios tutup. Biasanya, ia akan ke kios dulu untuk menyelesaikan pekerjaan lalu menyusulku ke rumah Ibu setelahnya. Namun, saat ini matahari masih bersinar terang meski hari sudah tak siang lagi. Mas Galuh sudah ada di rumah ini mungkin Ibu yang menghubungi.

"Mas dihubungi Ibu?" tanyaku pada akhirnya.

"Enggak." Mas Galuh menggeleng. "Kamu kenapa gak kabari aku?"

Aku mengangkat bahu tak acuh seraya menggeleng. "Gak kepikiran," jawabku asal. "Aku hanya ingin istirahat saja. Lagipula, aku baik-baik saja."

"Kita pulang setelah ini."

Aku tak menjawab ajakan itu. Saat teh buatan Ibu datang, aku memilih menikmati minuman hangat itu agar tubuhku bisa lebih rileks.

Sepanjang pulang, aku tak banyak bicara. Aku hanya duduk memperhatikan jalan dari kursi yang kududuki di mobil Mas Galuh. Motorku terpaksa ditinggal karena Mas Galuh menemukan kerusakan di beberapa bagian dan akan dibawa ke bengkel segera.

"Lain kali, ikutilah pengaturanku, Nur. Kalau kamu tidak menolak kuantar, kejadian ini tidak akan ada."

Aku tak menjawab. Aku sedang malas memikirkan apapun. Kepalaku pusing dan tubuhku terasa sakit dan tak bertenaga. Seperti darahku berkurang drastic dan aku sulit untuk berpikir.

"Besok tidak usah ke kios. Aku sudah rekrut dua orang untuk membantuku di kios dan pengiriman."

Baguslah. Setidaknya, jika aku pergi nanti, Mas Galuh sudah memiliki penggantiku di kiosnya.

"Tidurlah jika kamu lelah."

Aku masih terdiam, lalu memejamkan mata agar tidak ada lagi obrolan diantara kami.

Aku membuka mata saat mesin mobil mati. Ternyata kami sudah sampai rumah. Aku langsung membuka sabuk pengaman dan perlahan turun dari mobil. Mas Galuh merengkuh pundakku dan memapahku seakan kakiku hancur dan tak bisa jalan. Ia tidak tahu saja jika sebenarnya yang hancur lebur adalah hatiku, bukan kakiku.

Kami masuk ke kamar dan Mas Galuh langsung membaringkanku di ranjang. Setelah memastikan posisiku nyaman, ia membuka celana yang kupakai hingga menyisakan pakaian dalam saja. Aku mengernyit memperhatikan Mas Galuh lalu dadaku kembali bergemuruh dengan jutaan emosi saat tangan Mas Galuh perlahan memijat kedua kakiku dan mengusap pelan beberapa memar di sana.

"Jangan sakit, Nur. Kalau kamu kenapa-kenapa, yang sakit bukan hanya kamu, tapi juga saya."

Aku berpaling muka, menyembunyikan wajahku yang nyaris mengeluarkan air mata.

**** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top