Bab 16

Bab 16

Sejak kecil, aku mengalami banyak hal pahit yang hanya bisa ditelan oleh kepasrahan. Mulai dari kenyataan bahwa pria yang seharusnya menjadi pelindungku, malah meninggalkanku dan Ibu demi perempuan lain. Setelahnya, aku besar hanya dengan satu orangtua yang mencari penghidupan dengan menjadi asisten rumah tangga serabutan dan pekerja apa saja yang penting halal. Hal itu membuatku kerap rendah diri dan merasa hidup tak adil kepadaku yang terlahir dengan takdir getir. Demi membeli baju untuk hari raya saja, aku harus berani berjualan makanan ringan selama bulan puasa dan menanggalkan rasa malu dan gugup.

Saat remaja, aku mencintai pria yang terasa tak terjamah. Aku tak pernah mau termakan ucapan manis siapapun yang mencoba mendekatiku. Aku—tidak ingin memiliki nasib yang sama dengan ibuku yang katanya dulu termakan bujuk rayu ayah hingga mereka menikah bawah tangan lalu ditinggalkan. Demi mengalihan segala fatamorgana tentang cinta masa remaja, aku bekerja keras membantu Ibu menjadi pembantu di mana saja atau berjualan di setiap acara bazar. Semua hasil jerin payah kami kumpulkan untuk memperbaiki rumah tinggal kami sedikti demi sedikit. Setidaknya, dengan memiliki hunian yang layak, orang tidak harus mengasihani aku selamanya.

Setelah aku lulus, aku bekerja menjadi buruh garmen dan Ibu tetap menjadi ART lepas yang dipanggil saat dibutuhkan. Rumah yang kami huni sudah terlihat rapi dan aku meminta Ibu agar istirahat lebih banyak karena tubuhnya mulai sering sakit-sakitan. Tiga tahun setelah aku menjadi buruh garmen, sakit Ibu semakin parah dan meninggalkanku seorang diri di kehidupkan ini. Momen ini adalah saat terhancurku. Aku menangisi kesendirianku berhari-hari hingga Meli memutuskan menemaniku satu bulan di rumahku dan Ibu.

Setelah kepergian Ibu, aku melanjutkan hidup dengan keraguan pada Sang Pencipta tentang takdirku. Aku tak lagi mengharapkan apapun bentuk keindahan dalam hidupku yang memang pahit sejak awal. Sri pernah berkata bahwa semua akan manis pada akhirnya. Seperti buah yang awalnya kecil dan pahit, lalu akan berkembang menjadi matang dan manis. Aku menunggu perkembangan kehidupanku sampai pada fase matang dan manis, tapi aku tak juga menemukannya.

Keraguan itu perlahan sirna saat aku mendapat tawaran kerja di kios bambu yang Mas Galuh buka sepulang ia dari kota. Aku bekerja keras dan memperlajari banyak hal untuk membantu mengembangkan bisnis ini. Ibu Mas Galuh baik dan perhatian kepadaku, entah karena kinerjaku atau hidupku yang menyedihkan sejak kecil. Di desa, aku sudah terkenal sebagai anak pembantu yang ditinggal pergi ayahnya sejak bayi. Aku yakin ibu Mas Galuh sudah tahu tentangku sejak awal.

Hidupku terasa manis saat aku dan Mas Galuh akhirnya menyempurnakan hubungan pernikahan kami. Aku berada di atas awan dan merasa Tuhan memberikan semua hadiah atas segala kegetiran yang kulalui selama hidup. Aku berharap sampai mati aku bahagia bersama pria yang kucintai. Aku merasa Tuhan membalas semua pengorbanan Ibu semasa hidup dengan kebahagiaan pernikahanku.

Nyatanya, seperti yang kupikir dulu, bahwa cinta adalah sebuah fatamorgana yang melukai hingga sangat dalam dan mematikan.

Tanganku gemetar saat menyalakan motor dan hendak pergi dari rumah. Aku tidak bisa melihat Mas Galuh dan membuatnya menyaksikan diriku mengakhiri hidup dengan alat tajam yang ada di dapurku. Aku butuh tempat menyendiri dan menangis hebat menyesali kehidupanku yang harus menerima karma yang sama dengan ibuku.

Setelah L300ku sampai di rumah, Eko pamit dan aku masuk rumah untuk mengambil kunci motor. Aku lantas menutup pintu lagi dan ingin pergi sejauh mungkin. Tersesat di tengah hutan dan menjadi santapan binatang buas mungkin bisa menjadi satu cara tepat untuk menyelesaikan hidup yang tak pernah membelaiku dengan kelembutan.

Aku lelah, sakit hati, dan tak ingin lagi bernapas.

Dadaku kian sesak dengan air mata yang menderas. Aku melajukan motorku meninggalkan rumah ini dan tak tahu ingin kemana. Sepanjang jalan, tangisku pecah dan aku tak ingin menutupi kecewa akan takdir hidupku.

Aku akan menjadi seperti Ibu yang menghabiskan sisa hidupku sendiri tanpa pria yang kucintai. Bahwa aku akan menjadi perempuan yang kalah oleh perempuan lain yang selalu dicintai oleh Mas Galuh.

Tangisku tak juga reda saat aku tanpa sadar membelokkan motorku ke rumah. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan jika bertemu Mas Ibnu. Aku tak ingin bertemu dengannya. Aku hanya ... ingin di kamarku sendiri dan menangis hingga puas. Namun, apa yang harus kukatakan jika Mas Ibnu melihatku ada di sini? Aku sungguh tidak professional sebagai tuan rumah yang menyewakan rumahku kepadanya.

"Nurma?" panggilan itu bersamaan dengan kilat dan petir yang menggelegar. Hujan turun tanpa rintik yang biasanya memulai.

Aku masih menangis di motorku dan Mas Ibnu menarikku turun setelah memastikan motorku mati. Ia merengkuhku dan mengajakku masuk ke dalam.

"Aku yakin sesuatu yang buruk terjadi kepadamu." Mas Ibnu menatapku dengan sorot tajam dan wajah kuatir. "Aku bisa membantumu mengurus ke pihak berwajib jika itu benar dibutuhkan."

Aku menggeleng dengan mulut yang terus menyuarasakan tangis pilu. Aku melangkah ke kamarku, lalu menyandarkan kepalaku di pintu yang masuh terkunci.

Seakan paham, Mas Ibnu membuka pintu kamarku dengan kunci Cadangan yang kutinggal di kotak kunci rumah itu.

"Istirahatlah. Aku akan memastikan tidak ada seorangpun yang tahu kamu di sini."

Aku memasuki kamarku, menutup pintunya, lalu terjatuh di lantai dan menyandar pada dinding dengan terus menangisi kehidupanku yang tak pernah manis. Sepanjang hidup, aku akan terus berada di bangunan ini, sendiri, dan meratapi kehidupkanku yang tak akan pernah semanis serial romansa di televisi.

*****

Kicau burung menggugahku dari lelap setelah lelah menangis semalaman. Aku membuka mata dan menyadari tengah berbaring di ranjangku dengan selimut tebal yang sejak lama tersimpan di lemari. Kapan aku mengambil selimut dan merebahkan diri di ranjang ini? Seingatku, aku menangis semalam suntuk hingga terkapar di lantai dan terlelap sendiri. Aku mematikan ponselku agar Mas Galuh atau siapapun tak menemukanku di sini dan tak ada yang mengganggu.

Aku curiga Mas Ibnu masuk ke kamar dan memposisikanku ke atas ranjang. Ia mengambil kunci saat aku masuk kamar ini dan tak membiarkanku mengunci pintu kamar dari dalam. Entahlah, terserah ia ingin melakukan apa, aku tak peduli. Yang jelas, setelah Mas Ibnu meninggalkan rumah ini, aku akan mengajukan cerai dan meninggali rumah ini sendiri.

Iya, cerai. Aku memutuskan langkah ini dengan yakin atas segala pemikiran dan pertimbangan.

Aku beranjak dari ranjang dan menyadari matahari sudah bersinar terang. Aku harus ke kios karena akan ada banyak pengiriman hari ini. Aku mengambi ponse dan memandangi layarnya yang mati total. Aku—tidak ingin mengaktifkannya dulu karena butuh ketenangan.

Saat keluar kamar, Mas Ibnu duduk di meja makan dan tersenyum kepadaku.

"Sudah merasa lebih baik?"

Aku tersenyum sepintas seraya menghampirinya dan duduk di hadapannya. Di meja makan itu sudah tersaji nasi pecel bungkusan yang sudah ditata di dua piring berbeda berikut gorengan dan satu teko teh hangat.

"Mas kok belum berangkat?" Aku menatap jam dinding di ruang makan ini. "Sudah setengah delapan, loh, Mas. Bukannya jam tujuh sudah harus sampe tempat kerja ya?"

"Saya izin siangan hari ini. Saya harus memastikan pemilik rumah tinggal saya baik-baik saja agar bisa bekerja dengan tenang."

Aku tersenyum segaris seraya menunduk dan menghela napas. "Saya baik-baik saja kok."

"Lebih baik, tapi tidak baik-baik saja." Mas Ibnu menuang teh ke dalam gelas kosong lalu memberikannya kepadaku. "Semalam aku melihat perempuan yang hancur dan merasa hidupnya lebih baik berakhir."

Apa aku terlihat semengenaskan itu hingga Mas Ibnu bisa menyimpulkan seperti itu? Aku mengulum bibirku sebelum mengambil gelas berisi teh dan meminumnya sedikit.

"Aku—aku sepertinya ingin sendiri saja."

"Maksudnya?"

"Saat perjanjian sewa rumah kita selesai, aku akan meninggali rumah ini sendiri seumur hidupku dan menata bahagiaku yang tercecer entah dimana." Aku menatap gelas dengan pandangan menerawang. "Aku memikirkan tentang bahagia. Sepertinya, aku menang ditakdirkan untuk bahagia sendiri saja. Untuk bahagia dengan tidak mengharapkan apapun dari orang lain."

Aku menarik napas panjang, berusaha meredam kepedihan yang terasa bengkak di dalam hati. Mataku memburam tetapi aku berusaha keras agar tak meneteskan air mata. Rasanya sudah cukup kepedihanku karena cinta. Aku harus mulai berfikir rasional dan meneguhkan diriku sendiri agar lebih tegar. Aku sudah mantap untuk berpisah dengan Mas Galuh dan tak mengharapkan cintanya lagi. Hanya saja ....

"Kamu yakin, Nur?"

Aku mengangguk seraya menatap Mas Ibnu. "Iya, meski ada yang harus aku pikirkan. Aku—tidak mungkin menyakiti mertuaku jika kelak meminta pisah dengan suamiku sendiri. Aku menyayanginya meski sulit bagiku untuk ...." Mendapatkan cinta anaknya.

Mas Ibnu terdengar menghela napas. Ia menatapku dengan sorot serius dan memenjarakanku dalam pandangannya yang dalam.

"Nurma, dengarkan aku." Suaranya tegas tetapi tak keras, membuatku seperti memiliki tempat untuk berlindung padahal aku sadar bahwa Mas Ibnu bukanlah siapa-siapaku. Sepertinya aku memang sudah gila karena lari ke laki-laki yang tak ada hubungan apapun dalam hidupku. "Ini mungkin terdengar gila karena berani-beraninya aku mengatakan ini kepadamu. Hanya saja, ada beberapa hal yang bisa kita pendam untuk kebaikan dan sebaliknya. Untuk kasus ini, aku merasa tidak bisa memendamnya lagi."

"Aku—jatuh cinta kepadamu entah sejak kapan. Awalnya, aku pikir karena kasihan melihatmu berjuang sendiri mencintai pria bodoh yang menyakitimu."

Aku mengernyit bingung mendengar ucapan Mas Ibnu.

"Aku mendengarnya." Mas Ibnu mengangguk yakin. "Aku minta maaf, tapi bukan salahku jika aku mendengar percakapanmu dengan temanmu di kiosmu dulu. Percakapan yang membuatku tahu tentang perempuan penjaga kios yang menyewakan rumahnya karena tinggal bersama suami yang tak mencintainya. Sangat menyedihkan, tapi dulu aku tidak begitu peduli. Namun, seiring berjalannya waktu dan aku tahu tentang dirimu, aku menyadari bahwa kamu tidak berhak mendapat perlakuan seperti itu karena aku ... bisa memberikan yang kamu inginkan yang tidak diberikan oleh pria bodoh itu."

"Yang Mas sebut dengan pria bodoh itu adalah suamiku."

"Tapi kamu akhirnya sadar bahwa lebih baik tidak bersama pria bodoh itu, kan?"

Seperti skakmat. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Mas Ibnu karena memang benar. Aku perempuan gila yang mencintai pria bodoh. Entahlah apapun sebutannya karena semua terlihat rumit dan melelahkan di mataku.

"Aku menyayangi mertuaku."

"Kamu masih bisa tetap menyayanginya meski kalian berpisah. Itu bukan alasan untuk kamu bertahan pada penderitaan, Nurma. Cinta sepihak adalah hal konyol yang menyesakkan. Tidak akan ada akhir manis pada jenis cinta itu."

"Aku harus bagaimana?" Bibirku gemetar. Aku kembali tenggelam pada kemelut rumah tangga yang membuat panas kepala.

"Bercerai. Memang itu jalan satu-satunya untuk kamu bahagia. Aku berjanji akan ada untukmu saat kamu ingin mengais bahagiamu yang bercecer itu. Aku akan membangunnya untukmu, membuatnya kekal hingga kamu lupa bagaimana sakitnya kamu saat ini."

"Aku—aku tidak mungkin membuat Ibu sakit jika mengatakan ingin bercerai."

"Nurma, ada banyak cara untuk menyelesaikan setiap urusan. Kamu hanya perlu memilah lalu memilih mana cara terbaik yang bisa kamu lakukan. Kamu hanya perlu mencari caranya yang lebih bisa mereka terima."

Aku bingung. Jujur aku bingung. Cara seperti apa yang bisa kulakukan agar aku bisa meminta pisah tanpa membuat Ibu sesak napas lagi. Ini sangat sulit, apalagi Mas Galuh pernah berkata bahwa tak aka nada perpisahan pada pernikahan kami. Namun, aku tidak bisa hidup dengan pria yang membagi hatinya untuk banyak perempuan. Aku tidak bisa, karena aku sadar porsiku di hati Mas Galuh tidak sebanyak milik perempuan itu.

Tangan Mas Ibnu tiba-tiba menangkup tanganku yang masih memegang gelas teh. Ia melepas tanganku dari gelas dan menggenggamnya lembut tapi erat.

"Aku punya cara jika kamu ingin mendengarnya. Percayalah, Nurma, cara ini tidak akan bisa mencegah mereka melepasmu." Mas Ibnu menatapku dengan lembut dan penuh perhatian. Membuatku seketika mengangguk dan memusatkan konsentrasiku pada setiap ucapannya.

*****

Aku menghela napas panjang saat Mas Ibnu akhirnya pergi kerja. Kami bicara panjang lebar dan aku baru sadar bahwa mungkin aku yang salah menangani dan menanggapi setiap kondisi yang kuhadapi. Aku harus lebih bijak dan bisa membaca setiap situasi. Entah aku harus bersyukur atau tidak, tapi aku sudah bertekad untuk melepaskan diriku dari kehidupan Mas Galuh.

Jantungku berdegup kencang saat motorku sampai di kios. Eko sedang memuat bambu-bambu ke mobil bak bersama seorang lainnya yang aku tidak tahu siapa. Melihatku datang, Eko langsung menghubungi Mas Galuh dan mengatakan bahwa aku datang ke kios.

"Mbak kemana semalaman? Saya dimarahin Mas Galuh habis-habiskan karena saat dia pulang ke rumah, Mbak tidak ada dan tidak bisa dihubungi. Saya sampai tidak tidur karena membantu Mas Galuh mencari Mbak. Menurut Mas Galuh, saya ceroboh dan tidak bisa bertanggungjawab karena membuat Mbak tidak sampai rumah dengan selamat. Jelas kemarin mobil dan Mbak saya antar sampai rumah tanpa lecet dan luka sedikitpun!" Eko terlihat marah kepadaku padahal posisiku seharusnya atasannya bukan? Ah, bukan. Atasannya adalah Mas Galuh dan posisiku di sini hanyalah karyawan.

"Aku minta maaf, Ko. Ada sesuatu yang membuatku harus pergi ke suatu tempat dan lupa jika ponselku kehabisan daya." Aku berbohong soal habis daya, karena aku memang sengaja mematikan ponselku. "Aku akan menjelaskan ke Mas Galuh bahwa kepergianku tidak ada hubungannya denganmu dan kamu tidak bersalah atas hilangnya aku semalam."

Aku lantas memasuki kios dan membuka catatan kerja. Aku juga mengaktifkan ponselku dan mendapati ratusan panggilan tak terjawab dari Sri, Meli, Mas Galuh, dan Eko. Tidak ada nama Ibu yang menghubungiku, membuatku yakin Mas Galuh tidak menghubungi ibunya saat mencariku. Aku juga mendapati ratusan pesan dari mereka yang bertanya posisiku dimana. Aku bersyukur tidak ada yang mencariku di rumahku yang ditempati Mas Ibnu.

Tak berselang lama, mobil Mas Galuh datang dan pria itu turun dengan pintu yang ditutup kencang.

"Darimana saja kamu?" Mas Galuh berteriak dengan wajah merah, hampir sama merahnya dengan matanya yang kutebak belum tidur semalaman. "Nurma! Jawab aku! Dari mana kamu semalaman hingga tidak ada di rumahmu sendiri?"

Rumahku sendiri? Di mana rumah yang ia katakan itu? Jika rumahnya adalah rumahku juga, mengapa hatinya bukan milikku?

Diamku membuat Mas Galuh tetap pada posisinya yang menegang akibat amarah. Aku tidak tahu mengapa ia bisa semarah itu mendapatiku hilang jika aku tidak pernah ada di hatinya. Harusnya ia senang jika aku hilang tak pulang dan tak ada jejak. Ia jadi punya banyak kesempatan untuk bisa memiliki perempuan idamannya bukan?

"Nurma Arlita." Mas Galuh menyebut namaku dengan tekanan dan emosi yang menguar tajam.

Aku tersenyum kepada Mas Galuh lalu memeluknya erat dan lembut. Tak peduli dengan Eko dan satu orang lainnya yang masih berada di kios, aku mencium Mas Galuh dengan pagutan singkat sebelum mengusap pelan tanganku di dadanya yang terasa naik turun karena deru napas cepat.

"Nurma minta maaf, Mas. Nurma salah karena tidak mengabari Mas saat menginap di tempat teman."

"Meli dan Sri berkata kamu tidak ada di rumah mereka."

"Aku tidak ke rumah mereka," jawabku selembut mungkin dengan wajah yang kubuat setenang mungkin padahal jantungku berdegup kencang. "Nurma baik-baik saja. Maaf karena sepertinya Mas kurang tidur akibat mencari Nurma bersama Eko." Aku memeluknya lagi. "Mas istirahat saja hari ini, Nurma akan buatkan Mas makanan yang enak."

Mas Galuh tak menjawab ucapanku. Ia hanya terdiam mematung kupeluk.

"Kita pulang? Mas pasti belum sarapan kan?"

"Jangan lakukan ini lagi," desis Mas Galuh dingin. "Jangan pernah pergi tanpa izinku lagi."

Aku tersenyum getir. Aku akan pergi lagi, pergi dengan izin Mas Galuh meski mungkin saja saat momen itu tiba, ia melakukannya dengan berat. Aku akan pergi selamanya dari hidup Mas Galuh.

"Iya." Aku mengangguk seraya melepas pelukan kami. "Suatu hari nanti, saat Nurma ingin pergi jauh, Nurma akan mendapatkan izin Mas Galuh." Karena saat itu tiba, tidak akan ada yang bisa menghalangiku pergi darinya.

***** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top