Bab 15

Cinta Putih 15

Kesadaranku terkumpul sedikit demi sedikit. Saat membuka mata, aku mensyukuri apa yang kumiliki. Hangat pelukan Mas Galuh, deru napas teraturnya yang terembus di kulitku, dan ... percintaan kami yang selalu membuatku bahagia.

Tidak. Rasanya terlalu picisan jika aku bahagia hanya karena Mas Galuh kerap menyentuhku dan membuatku merasa dicintai. Bahagia ini tercipta karena aku merasa Mas Galuh lebih perhatian dan bersikap jauh lebih baik. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah drastic begini. Kadangkala, aku menduga Mas Galuh berubah karena takut aku pergi dari hidupnya, tetapi aku lebih menyukai dugaan bahwa ia sudah menyadari perasaanku kepadanya.

Kami menjalani rumah tangga ini lebih santai dan nyaman. Aku bahkan tak malu untuk berbusana terbuka di depannya dan memulai kontak intim diantara kami. Mas Galuh tak lagi menolak atau mengatakan kalimat yang seakan tak menginginkan hubungan ini. Ia lebih banyak diam, menurut, dan memberikan apapun yang kumau. Ini menyenangkan dan membuatku merasa dicintai olehnya.

Rasanya berat meninggalkan ranjang padahal waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi. Aku harus lekas membuat sarapan dan bersiap kerja. Hanya saja ... pelukan hangat ini membuatku ingin berlama sedikit lagi. Iya, sedikit lagi saja. Biarkan aku bergelung nyaman dalam hangat tubuhnya dan menikmati ketenangan detak jantungnya yang merdu di telingaku.

Aku sedikit mendongak, menikmati wajah Mas Galuh yang tenang saat terlelap. Mengenang bagaimana kami saling tersenyum dan bertukar pandangan penuh cinta saat bersama. Bagaimana Mas Galuh terkadang berubah menjadi pria yang humoris di mataku meski kadang candaannya terkesan memaksa. Aku tersenyum penuh syukur atas apa yang Tuhan beri kepadaku. Pendamping yang kucintai dan mencintaiku dengan layak.

Sepelan mungkin, aku mengusap pipi dan rahang Mas Galuh dan mengantarkan perasaanku kepadanya. Aku mengecup dagu lalu ke bibir. Aku mencintainya, sangat mencintainya.

"Sudah pagi, Nur?"

Kecupanku ternyata membuat Mas Galuh terbangun. Aku tetap merengkuhnya untuk mempertahankan posisi kami yang saling memeluk. Mas Galuh tak mengurai hanya melepas satu tangannya untuk mengucek mata.

"Sudah pagi, sih, tapi kalau Mas masih mau tidur ya gak apa-apa."

Mas Galuh menggeleng lantas mengurai pelukan kami hingga terlepas sempurna. Ia bangkit dari tidurnya dan duduk menyandar kepala ranjang. Tubuhnya tak berbusana karena semalam kami bercinta hingga lelah. Ia menatapku dan tersenyum sepintas sebelum mengusap wajahnya dengan tangkupan tangan mungkin agar ia benar-benar sadar.

"Tolong bajuku, Nur."

Aku turun dari ranjang dan tak sungkan meski kondisiku sama sepertinya. Aku mengambil pakaian kami yang tercecer di lantai sekitar ranjang dan memberikannya kepada Mas Galuh. Dengan berani, aku bahkan memulai ciuman pagi kami saat memberikan kaus dan celana kepadanya.

Mas Galuh tak menolak. Ia membalas ciumanku dengan pagutan yang sama. Kami saling menyapa dengan cinta sebelum aku terpaksa meninggalkannya untuk lebih dulu membersihkan diri lalu menyiapkan sarapan.

Sarapan baru matang saat Mas Galuh sampai di meja makan dan duduk di sana. Wajahnya segar dengan rambut yang sama basahnya sepertiku. Aku menyajikan nasi goreng bakso dengan telur ceplok di piringnya dan satu gelas air putih di samping cangkir kopinya. Kami makan dengan bersama tenang dan Mas Galuh sesekali menatap layar ponselnya.

"Masak yang banyak, Nur. Hari ini kita ke atas. Eko aku suruh jaga kios saja setelah ngantar pesanan satu rit. Kita ke atas naik mobil, nanti bambu biar diantar truk Tukiman ke kios."

Aku mengangguk. "Nur masak dulu, Mas duluan ke kios seperti biasa kan?"

Mas Galuh mengangguk. "Mungkin Ibu benar, seharusnya aku memiliki dua karyawan. Satu yang jaga kios, satu bagian antar barang, dan aku cukup keliling bertemu orang yang memang harus bertemu denganku." Ia mengernyit, tampak berfikir lebih dalam. "Aku mungkin beli satu engkel lagi untuk jaga-jaga jika pengiriman sangat banyak. Setidaknya, saat aku sortir, kita tidak harus tutup kios dan pengiriman tetap bisa terjadwal."

Soal pembelian mobil baru, aku tidak masalah. Mobil itu bisa jadi asset kami dan aku bisa juga menyewakan jika armada sedang tidak digunakan. Hanya saja .... "Kenapa dua karyawan? Satu saja cukup, Mas. Kan kios bisa aku tangani sendiri." Mengurus transaksi dan administrasi tidak sulit. Aku hanya tinggal mendengar apa yang pelanggan baru konsultasikan dan memberikan rekomendasi jenis bambu yang mereka butuhkan. Setelahnya, aku tinggal memberikan informasi harga dan menghitung transaksi jika mereka jadi membeli.

"Kamu di rumah saja," tukas Mas Galuh santai sambil memainkan ponselnya. "Aku pikir-pikir, baiknya kamu di rumah saja. Mungkin ikut denganku kalau naik ke atas atau baru jaga kios kalau aku ajak karyawan ke atas."

Aku hendak membantah, tetapi mulutku yang terbuka seakan tertahan. Tak ada alasan kuat untuk mendebat rencana Mas Galuh. Hanya saja, aku merasa ini terlalu berlebihan. Kios memang padat, tetapi tidak setiap hari begitu padat hingga butuh banyak karyawan. Lagipula, aku sudah terbiasa bekerja di sana dan tiba-tiba harus di rumah saja. Aku bisa apa di rumah? Maksudku, apa yang harus kulakukan di rumah seharian setiap hari? Aku bisa mati bosan jika tak ada kegiatan.

Mas Galuh masih sibuk denga ponselnya, entah berinteraksi dengan siapa. Sarapan kami sudah habis sehingga aku harus membereskan piring kotor ini dan lekas memasak bekal.

"Aku ke kios dulu untuk urus pengiriman. Nota jalan sudah kamu siapkan di tempat biasa, kan?"

Aku mengangguk. "Nurma nyusul satu jam lagi."

"Tidak usah." Mas Galuh menggeleng seraya meninggalkan layar ponselnya. "Aku yang jemput kamu ke sini, lalu kita langsung ke atas, ke tempat Tukiman."

"Ya sudah." Aku hanya bisa mengangguk dan langsung mengambil bahan yang bisa kuolah dari dalam kulkas.

Mas Galuh pamit kepadaku setelah kopinya habis. Ia berjalan menuju garasi mobil dan aku mengikutinya. Eko datang untuk mengambil mobil bak saat kami sudah sampai garasi. Mas Galuh memintanya langsung ke kios dan membuka kios agar mereka bisa segera muat barang sebelum dikirim. Setelah menerima kunci, Eko langsung pergi.

"Hati-hati, Mas." Aku berpesan saat Mas Galuh hendak membuka pintu mobil.

Mendengar ucapanku, Mas Galuh langsung menoleh kepadaku, lalu tersenyum dan mendekatiku.

"Aku jalan, ya, Nur. Nanti aku jemput. Kabarin saja kalau sudah siap." Ia mengecup keningku lalu bibir sebelum tersenyum dan kembali menaiki mobil.

Hatiku meledak oleh cinta, seperti dihujani banyak bunga-bunga indah yang menyenangkan. Saat mobil Mas Galuh keluar garasi dan membunyikan klakson, aku melambaikan tangan dengan senyum lebar. Setelahnya, aku langsung berjalan kembali ke dapur untuk membuat banyak makanan sebagai bekal kami ke atas gunung hari ini.

*****

Lokasi sortir kali ini lebih tinggi dari lokasi biasanya. Pengepul bambu mulai memperluas area pencarian rumpun tumbuhan ini karena mungkin peminatnya masih cukup banyak. Ada saat-saat tertentu para pengepul ini mencari rumpun bambu lebih banyak karena mereka memprediksi permintaan bambu bisa sangat tinggi sehingga mereka mempersiapkan kesempatan itu dengan mencari titik-titik rumpun bambu di lebih banyak area. Mereka bernegosiasi dengan pemilik lahan atau petani agar menjual bambu kepada mereka.

Mas Galuh menemukan tempat ini dari Tukiman yang berhasil mendapatkan rumpun bambu di area yang baru. Meski lebih jauh dari biasanya, aku tetap menikmati perjalanan.

"Harus lewat sini Mas?" Aku mengernyit saat mobil Mas Galuh melewati pinggir jurang dalam yang berisi banyak batu dan pasir. Aku melihat beberapa truk besar menambang pasir di sana. Jika sudah melewati jalan ini, artinya tempat pengambilan bambu kali ini cukup tinggi.

Mas Galuh mengangguk. "Bambu petungnya pada bagus kata Tukiman. Kamu ingat temanku yang kita ketemu di reuni? Kantornya mau buka bisnis wisata dan resto di daerah utara. Butuh banyak bambu petung untuk buat gubuk. Aku mau lihat sekalian ambil beberapa selain bambu apusnya."

Aku mengangguk saja dan berusaha melihat ke arah lain asalkan bukan kali besar yang menurutku lebih pas sebagai jurang.

Tempat yang kulewati adalah kali besar dan dalam yang lebih mirip seperti jurang. Ada jalan untuk turun ke jurang itu dan naik lagi bagi kendaraan yang ingin turun ke sana dan menambang pasir. Jurang dalam dan besar ini adalah kali mati yang digunakan sebagai aliran lahar jika gunung sedang beraktifitas tinggi. Aku tidak menyukai tempat ini meskipun tidak ada lahar dan banyak aktivitas penambangan pasir yang dilakukan truk-truk besar. Tempat ini membuatku merinding padahal kami melewatinya saat matahari sedang menuju puncak tertingginya.

Sampai lokasi bambu yang Tukiman katakan kepada Mas Galuh, kami langsung bekerja. Tukiman sudah siap dengan truk bak kayu besarnya yang dicat warna hijau dan merah. Sementara Mas Galuh langsung mengawasi proses penebangan bambu dan memilah milah mana yang masuk kualitas nomorsatu dan dua.

Tugasku seperti biasa, mencatat jumlah bambu yang akan kami beli dan menghitung total transaksi. Saat proses muat barang di truk bak Tukiman, aku melihat kuncup-kuncup bakal bambu yang cukup banyak di sekitar hutan bambu ini. Aku mengulum bibir, membayangkan enaknya sayur anak bambu yang biasa kusebut rebung. Sayur ini biasa kuolah menjadi lumpia atau kuah santan seperti lodeh dan disajikan dengan sambal dan tempe serta ikan asin goreng.

Perutku lapar membayangkan lodeh rebung dan ikan asin.

"Kamu kenapa, Nur?" Teguran itu membuatku menoleh kepada Mas Galuh yang menatapku dengan wajah kuatir dan sorot mata tajam.

Aku menggeleng dan tersenyum. "Enggak, itu lihat rebung kayaknya enak kalau dimasak."

Mas Galuh lantas mengangguk pelan lalu memanggil Tukiman. "Aku minta rebung. Pinjam golokmu."

"Mas ngapain pinjam golok?" Aku mengernyit bingung. Aku biasa minta rebung jika sedang sortir dan para petani atau pengepul itu yang menebas untukku. Biasanya aku membawa satu karung penuh rebung dan membagikannya pada Sri, Meli, dan Ibu jika sudah sampai rumah. Mas Galuh tidak pernah ikut mengambil rebung untukku.

"Untuk tebas rebunglah. Kamu mau, kan?"

Aku mengangguk. "Kenapa gak Mas Tukiman atau bapak petaninya saja?"

"Biar aku saja." Mas Galuh tetap menerima golok meski Tukiman menawarkan diri untuk menebas rebung yang kuminta. Ia lantas menebas kuncup-kuncup kecil yang bertebaran di sekitar rumpun bambu, lalu mengumpulkan di karung yang Tukiman berikan.

Aku tersenyum saat Mas Galuh selesai mengikat karung isi banyak rebung itu dan memasukkannya ke dalam mobil. Setelah melakukan transaksi, aku mengucap banyak terima kasih dan menaiki mobil karena hari sudah siang dan kami siap turun ke bawah lagi.

"Bambu yang tadi bagus-bagus, Mas, cuma ambilnya memang lebih tinggi dari biasanya dan harus lewat tempat ini ya." Aku melirik jurang dalam yang menjadi pusat penambangan pasir. "Rasanya kayak gimanaaa gitu."

Mas Galuh tersenyum santai. "Semua gunung aktif punya aliran lahar seperti ini, Nur. Dimanapun itu kamu pasti menemukan kalipasir sisa lahar vulkanis."

Aku hanya mengangguk lalu menoleh ke arah lain yang menurutku lebih indah dipandang. Kami tak saling bicara selama beberapa saat sampai rasa kantuk menyerang dan membelaiku hingga terlelap di dalam mobil.

****

"Nur, bangun."

Guncangan lembut membuatku membuka mata. Aku mengumpulkan kesadaran dan tersenyum kepada Mas Galuh sambil meregangkan badan. Mas Galuh menghentikan mobilnya di satu lokasi yang rimbun pohon—tidak lebat—dan memiliki cukup tempat rerumputan yang rata.

"Ini dimana Mas?"

"Sudah dekat dengan bawah. Aku lapar. Kita makan sekarang ya?"

Aku mengangguk lantas turun dari mobil dan mempersiapkan perbekalan kami. Hanya tikar yang muat sampai empat orang dan satu rantang berisi nasi, lauk, dan sayur. Tiga kotak makan berisi gorengan dan potongan buah sudah habis kami makan selama perjalanan. Tinggal rantang ini yang akan menjadi menu makan siang kami.

Kegiatan ini biasa kami lakukan saat sedang sortir bambu berdua. Jarang ada warung makan yang sesuai selera Mas Galuh jika kami berada di tengah hutan. Paling aman memang bekal. Kami makan dengan santai sambil menikmati pemandangan di bawah sana. Rumah-rumah, jalan, dan hamparan kebun sayur yang sangat luas. Kaki gunung tempat kutinggal sangat indah. Potensi wisatanya bagus dan tanahnya subur.

Setelah makan, kami istirahat sebentar dengan posisi duduk bersampingan berdua. Aku menyandarkan kepalaku di bahu Mas Galuh dan kami menikmati pemandangan hamparan perkebunan dan sawah yang indah.

"Mas ...."

"Ya?"

"Menurut Mas, lebih baik mana, dicintai atau mencintai?"

Aku menoleh kepada Mas Galuh untuk menunggu jawabannya. Namun, apa yang kuinginkan belum bisa kudapat karena seketika ponsel Mas Galuh berdering dan ia berbicara dengan seseorang yang kudengar jelas namanya.

"Oke, aku langsung ke galerimu. Mungkin satu jam lagi sampai. Gak, deh, aku pastikan kurang dari satu jam sudah sampai." Mas Galuh langsung menyimpan ponselnya dan beranjak dari santai sejenak kami di siang ini. "Kamu turun di kios ya, Nur, nanti pulang sama Eko naik L300 ke rumah. Aku mau ketemuan sama Lira di galerinya." Tanpa menunggu jawabanku, Mas Galuh langsung mengambil rantang yang sudah kubereskan sebelumnya dan melipat tikar kami.

*****

Hari sudah sangat sore saat aku dan Eko menutup kios. Tubuhku lelah setelah perjalanan sortir dan lanjut ke kios untuk melakukan rekapan penjualan minggu ini. Malam ini waktunya aku melakukan setor omset penjualan mingguan dan melaporkan rekapannya. Semua baru selesai menjelang magrib sehingga aku dan Eko baru bisa pulang sekarang.

Mobil melaju pelan, entah karena memang begini gaya Eko membawa mobil atau karena dia membawa penumpang lain. Aku dan Eko tidak begitu dekat meski kami sudah kenal lama. Aku tak membuka obrolan apapun dengan Eko dan lebih fokus pada jalanan saja. Aku lelah dan ingin mengisi kembali daya untuk beraktifitas di rumah.

Sebenarnya, aku memikirkan Mas Galuh yang tak bisa dihubungi sejak menurunkanku di kios siang tadi. Ia langsung melaju bersama mobilnya dan tak menjawab atau membaca pesanku sama sekali. Aku hanya bertanya kapan sekiranya ia pulang ke rumah dan mau dimasakkan apa agar aku bisa menyiapkannya. Namun, sampai aku pulang ponselnya bahkan tak aktif.

Eko mengendarai mobil melewati Galeri Panda. Aku menoleh ke tempat itu demi mencari mobil Mas Galuh tetapi tak ada. Kemana suamiku? Apakah ia sudah pulang duluan?

"Ko, agak cepat bisa? Saya takutnya Mas Galuh sudah di rumah."

"Aku belum lincah bawa ini, Mbak, masih belum berani ugal-ugalan," balas Eko dengan nada sungkan.

Aku tidak bisa menyalahkannya dan hanya pasrah pada kemampuan Eko yang masih penyesuaian pada mobil ini. Menghela napas pasrah, aku akhirnya kembali menikmati pemandangan jalan. Tak berselang lama, kami berhenti di pertigaan lampu merah. Eko menerima telepon dari istrinya dan aku menegang sendiri saat mataku menangkap mobil Mas Galuh terparkir tak jauh dari posisi mobilku saat ini.

Lira. Iya, aku yakin sekali itu Lira. Perempuan itu memeluk suamiku dan Mas Galuh membalasnya hingga mereka saling merengkuh dengan erat. Mereka berdiri di belakang mobil tertutupi oleh pohon besar yang ada di pinggir jalan.

Tanganku gemetar dengan emosi yang tiba-tiba menyeruak. Bagaimana mungkin dua manusia yang masing-masing sudah berkeluarga, berpelukan dengan erat di balik pohon besar dan bisa saja mereka ... melakukan hal yang lebih dari ini.

Lampu berubah hijau dan Eko melajukan kembali mobil ini setelah memutus obrolan dengan istrinya. Mataku memburam, dadaku sesak, dan amarahku perlahan menggelegak ....

***** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top