Bab 14
Cinta Putih 14
Apakah ada hal yang lebih membahagiakan dari dicintai orang yang kita cintai? Cinta berbalas adalah hal yang sangaaat indah. Aku tidak lagi merasa menjadi beban Mas Galuh karena mampu memberikan hal yang membuatnya senang. Aku selalu melihat ketenangan pada wajah Mas Galuh setiap kami selesai bercinta dan kelembutan di wajahnya saat kami menyatu.
Aku bahkan tak malu memakai pakaian tidur terbukaku meski bukan pakaian tidur yang menerawang dengan potongan menggoda. Aku tidak berani mengenakan itu dan lebih nyaman dengan pakaian tidur tanpa lengan yang dulu biasa kukenakan.
Mas Galuh tidak keberatan dan lebih sering memperlihatkan keinginannya terhadapku, terhadap kegiatan percintaan kami. Aku sangat terbuka dan selalu menyambut permintaannya dengan senang hati.
Seperti saat ini. Aku sedang menemaninya makan malam setelah seharian kami bekerja keras. Aku melayani penjualan di kios dan menerima banyak pesanan, sementara Mas Galuh pergi sortir bersama Eko dan meniadakan pengiriman hari ini. Besok jadwal kirim akan sangat padat dan kami harus lekas istirahat agar tak kelelahan. Usai makan malam, aku membereskan piring kotor dan mencucinya. Mas Galuh memintaku mendekatinya setelah cuci piring dan ia langsung menarikku hingga duduk di pangkuannya.
"Mas," tegurku lembut saat tangan Mas Galuh melingkari pinggangku lalu wajahnya tenggelam di ceruk leherku.
"Kamu lelah?" Mas Galuh berbisik lirih di telinga sebelum mengecup lembut telingaku, menghantarkan gelenyar kenikmatan yang membuatku bergerak gelisah.
Aku menggeleng. Selelah apapun setelah bekerja, aku tidak mungkin melewatkan kesempatkan bersama dengan Mas Galuh dalam keintiman kami. "Enggak, Mas," jawabku seraya menangkup kedua pipinya dan menarik wajahnya hingga kami bisa saling menatap wajah.
Mas Galuh terlihat lelah tetapi ia tetap melengkungkan senyum kepadaku. Aku mencintainya dan menyukai wajahnya yang tampan di mataku. Tanpa ragu, aku mendekatkan wajahku dan memulai ciuman yang ringan dan menggoda.
Hatiku meledak bahagia saat Mas Galuh langsung membalas ciumanku dan memberikan pagutan yang lebih dari yang kubayangkan. Kami saling merengkuh dan berbagi rasa rindu melalui kecupan dan ciuman di sekitar wajah hingga pundak.
Mas Galuh mengangkat tubuhku dan menggendong hingga kami sampai kamar. Tanpa memutus ciuman kami yang bergelora, ia merebahkanku di ranjang lalu tangannya bergerilya ke dadaku. Rasanya nyaman dan memabukkan. Sentuhannya seperti memang tercipta untukku. Tak ada cela dan selalu membuatku menginginkan yang lebih lagi. Mas Galuh adalah dunia dan surgaku. Setiap kenikmatan yang ia berikan, membuatku terlena dan semakin tak ingin lepas darinya.
Pakaian yang kukenakan sudah terlepas entah kemana. Kami bercinta lagi dan saling memberikan desah cinta dan kerinduan. Aku mengakui bahwa kami saling menarik dan nyaman satu sama lain dalam hubungan fisik. Aku tidak tahu apakah ini bukti bahwa Mas Galuh sudah mencintaiku, tapi aku tak peduli karena aku ingin menikmati kebersamaan ini.
"Nurma—cinta Mas," ucaplu lirih di bawah rasa lelah setelah kegiatan kami yang menyenangkan. Mas Galuh masih terkulai di atas tubuhku dan terlihat nyaman menyandar pada dadaku yang tak berbusana. Sama seperti dirinya.
Mas Galuh mengangkat kepalanya demi melihatku, lalu tersenyum sebelum kembali tertidur di dadaku. Aku memeluknya segenap rasa cinta yang kumiliki sebelum ia beralih posisi tertidur di sampingku sambil memelukku.
*****
"Auramu itu loh, bikin aku kepingin cepat-cepat nikah." Meli sejak tadi melirikku dengan sorot judes yang dibuat-buat. Ia sedang mengelap beberapa perabot yang berdebu karena sudah sebulan ini aku tidak membersihkan perlengkapan rumahku. Jika Mas Ibnu memanggil, aku hanya membersihkan lantai dan menyiram tanaman.
Aku yang masih menyapu, menatap Meli dengan sorot santai. "Yowes ndang nikah. Kata Sri ada juragan sapi yang tertarik sama kamu."
Meli mendengkus keras. "Duda tua. Aku gak mau. Kamu dan Sri dapat perjaka kok aku dapat orang tua.
Aku menghentikan langkahku saat berada dekat dengan Meli. "Memangnya kamu melihat aku seperti apa, Mel? Memang auraku kenapa?"
Meli menghentikan geraknya yang sedang mengelap buffet. Ia menatapku dengan sorot menilai dan tatapan tajam. "Kamu kelihatan bahagia. Wajahmu beda, Nur. Saat kamu curhat di kebun Mas Bobi, kamu murung dan wajahmu muram. Sekarang cerah banget. Aku tidak tahu tentang rumah tangga, tapi melihat kamu aku merasa kamu dan Mas Galuh sudah beberapa langkah maju dan berkembang."
Aku mengangguk seraya mengulum bibir. "Aku bahkan berharap bisa segera hamil, Mel."
"Hem ... wis kan? Bener tebakanku." Meli memicing penuh arti. "Aku harap Mas Galuh sudah benar-benar cinta sama kamu dan gak bikin kamu galau kayak dulu-dulu."
Suara Mas Ibnu yang mengucap salam, membuatku dan Meli menghentikan kegiatan kami. Mas Ibnu tadi izin pergi keluar, meminjam motor Meli. Ia berkata ingin membeli kebutuhan yang habis tapi lupa mampir saat pulang.
Aku dan Meli kompak membalas salamnya, lalu tersenyum saat pria itu sudah tampak di depan kami.
"Belanja banyak banget, Mas?" Meli memperhatikan Mas Ibnu yang meletakkan banyak kantung di meja makan. "Kupikir ke swalayan doang beli deodorant."
Mas Ibnu tertawa lirih. "Rugi banget pinjam motor kamu Cuma buat beli deodorant." Ia membuka kotak-kotak makanan dan aku mencium aroma martabak telur. "Nurma suka martabak telur kan ya? Saya ingat kapan hari itu kayaknya doyan banget sama martabak telur penjual ini. Saya beli lagi untuk kita makan bersama selepas rumah rapi."
Aku menoleh kepada Meli yang menatap Mas Ibnu dengan sorot tajam. "Padahal aku gak begitu suka martabak telur loh, Mas. Idolaku itu makanan manis. Bakpia, pukis, sama carabikang. Di sebelah penjual martabak telur itu ada penjual carabikang yang enak. Kenapa Mas gak belikan Meli makanan itu? Kenapa ingatnya Cuma sama Nurma?"
"Ah, maaf, Mel." Mas Ibnu menggaruk kepalanya yang kuyakin tak gatal. Ia tertawa garing. "Lain kali aku beli carabikang deh kalau kamu ke sini lagi."
Meli hanya mengangguk ringan lalu melanjutkan kegiatannya. Sementara aku melanjutkan langkahku menyapu lantai area meja makan.
"Aku sih makan apa aja gak nolak sih Mas. Lagian, aku pikir-pikir Nurma memang lagi butuh banget nutrisi. Lagi program hamil. Jadi ya memang butuh asupan gizi yang cukup."
"Apa sih, Mel," sergahku tak nyaman. Aku kurang suka orang di luar lingkaranku mengetahui tentang kehidupan pribadiku.
"Pro—gram hamil?" Suara Mas Ibnu seperti ragu-ragu.
Aku yang berada di sekitarnya pura-pura fokus menyapu, tetapi mencoba mencari tahu dengan melirik diam-diam.
"Memangnya rumah tanggamu baik-baik saja?" Mas Ibnu menatapku dengan penuh tanya.
"Yo baik-baik saja to Mas," jawab Meli dari posisinya yang berada di ambang pintu rumah utama. Pekerjaannya sudah selesai dan ia hendak menyiram tanaman. "Wong dia itu kerjaannya honeymoon saja kok sama suaminya, makanya kemarin-kemarin agak susah kana tur waktu ke sini. Bukan karena bambu lagi rame, tapi ya itu ... jadwal kencannya yang pada merayap."
Aku mendesis malu. "Gak seperti yang Meli katakana kok, Mas. Ya ... rumah tangga Nurma baik-baik saja. Seperti yang Mas bilang dulu ke Nurma kan, kalau lima tahun pertama rumah tangga pasti ada masalah. Lama atau tidaknya, tergantung apa masalahnya dan siapa yang menghadapi. Masalah yang kemarin itu ... sudah selesai dan kami baik-baik saja."
"Kamu yakin dia mencintai kamu?"
Aku melirik Meli yang sudah berada di luar, sibuk dengan selang dan tanaman. Yakin Meli tak akan intervensi, aku menatap Mas Ibnu selembut mungkin. "Nurma ... terima kasih atas perhatian dan masukan Mas Ibnu tentang rumah tangga. Nurma jadi banyak perfikir dan akhirnya berani melangkah hingga suami Nurma berubah. Rumah tangga Nurma baik-baik saja. Kami mengalami kemajuan pesat dan Nurma ... bahagia."
Mas Ibnu tersenyum kepadaku, tetapi aku melihatnya seperti senyuman yang takt ulus. Entahlah, semoga ini hanya perasaanku saja. "Syukurlah kalau gitu. Aku hanya berpesan satu hal kepada kamu. Jangan memaksakan sesuatu kalau kamu belum siap ya, Nur."
"Maksudnya?"
"Kehamilan itu."
Aku mengernyit bingung.
Mas Ibnu tersenyum lagi. "Jangan memaksakan kehamilan hanya karena suamimu yang menginginkannya. Setahuku, perempuan memiliki banyak tugas berat terkait anak. Kalau belum siap, perempuan bisa tertekan. Aku tidak mau kamu tertekan. Jadi, jangan terlalu memaksakan program kehamilan kalau kamu belum menginginkannya."
Aku tersenyum simpul. Mas Ibnu tak perlu tahu terlalu jauh tentang rumah tanggaku. Agar tidak ada percakapan yang terlalu banyak lagi, aku hanya mengangguk saja. "Iya, Mas. Nurma sekarang menikmati saja kebahagiaan Nurma."
Aku lantas melanjutkan sapu lantai dan saat aku berbalik untuk melihat apakah lantai belakangku sudah benar-benar bersih, aku mendapati Mas Ibnu meremukkan kaleng sisa minuman yang ia konsumsi. Tubuhnya menegang dan wajahnya tampak tak ramah.
*****
"Percaya aku deh, Nur. Mas Ibnu itu suka sama kamu! Kalau kamu mau selamat, mending kamu lepas aja tanggung jawab beres-beres rumah. Nanti ta carikan oranglah. Aku takut dia nanti perkosa kamu saat kamu di rumah berdua sama dia tanpa aku."
Aku dan Meli sedang membeli wedang ronde berdua, sepulang dari rumahku yang disewa Mas Ibnu. Kami sudah kenyang dengan martabak telur dan bakmi goreng yang Mas Ibnu sajikan untuk di meja makan. Namun, Meli memintaku menemaninya jajan wedang ronde dan di sinilah kami, duduk lesehan berdua di tikar yang disediakan penjual wedang.
"Kamu terlalu berhalusinasi." Aku menggeleng dan mencoba mengelak pemikiran Meli. "Mas Ibnu pria sopan. Dia tidak mungkin mencelakai akua tau perempuan manapun."
Meli mengangkat bahu sambil terus menyendok wedang ronde. "Terserah kamu sih, Nur. Aku kan hanya menganalisa segala kemungkinan. Masukanku Cuma satu. Cepetan cari orang yang kamu percaya urus rumahmu. Aku bukane gak mau bantu kamu nyiram tanaman, bukan loh, Nur. Aku Cuma ingin melindungi kamu dari kemungkinan buruk."
"Terima kasih, Mel."
"Aku bisa lihat dia ada rasa beda ke kamu. Hak dia sih, Cuma kamu kan sudah bersuami. Jadi dia gak bisa bergerak sesuka dia."
"Mas Ibnu tidak akan begitu," ujarku menenangkan Meli dan diriku sendiri. "Setidaknya, aku akan membuat Mas Ibnu tidak melakukan itu."
Iya, Mas Ibnu tidak mungkin kan berlaku kasar dan melakukan hal yang melanggar hukum dan agama? Dia pria kota yang berpendidikan dan memiliki pekerjaan mapan. Harusnya, pria seperti itu memiliki etika yang tinggi dan tahu membedakan mana yang baik dan yang buruk.
****
Pikiranku terus memutar obrolanku dan Meli. Aku jadi takut sendiri jika harus bertemu Mas Ibnu lagi. Aku tidak menceritakan tentang Mas Ibnu yang meremukkan kaleng minuman kepada Meli, karena belum yakin pada analisaku sendiri yang menguatkan kecurigaan Meli tentang perasaan Mas Ibnu kepadaku. Tidak mungkin pria kota kaya yang pekerjaannya bagus menyukai perempuan desa sepertiku. Memiliki Mas Galuh saja, aku harus pakai cara dijodohkan oleh ibunya, bukan karena Mas Galuh yang jatuh cinta kepadaku.
Jadi, segala kecurigaan Meli harusnya tak berdasar. Aku tidak boleh termakan ucapan yang hanya prasangka. Aku harus fokus pada apa yang kukerjakan dan kumiliki sekarang.
Mas Galuh sedang di gazebo saat aku sampai rumah. Seperti biasa, ia menghabiskan sisa waktu sebelum istirahat di tempat itu.
"Mas, sudah makan?" aku bertanya dari depan gazebo. Jika belum, aku akan membuatkannya mie instan.
"Sudah, tadi makan di rumah Ibu sepulang dari kios."
Aku mengangguk. Aku memang sudah izin Mas Galuh untuk membersihkan rumah bersama Meli dan suamiku mengizinkan. Ia berkata akan mampir ke rumah Ibu sambil menungguku pulang. Ternyata, aku lebih lama dari yang ia perkirakan.
"Nur,"
"Ya, Mas?"
"Setoran minggu ini tolong antar ke sini, ya."
Aku mengangguk. "Nur masuk kamar dulu ambil uangnya sekalian rekapan. Nanti Nur masuk ke gazebo ya Mas, untuk jelasin kalau-kalau Mas ada yang bingung."
Mas Galuh mengangguk dan tak melarangku masuk ke ruang pribadinya.
Aku langsung melaksanakan perintah suami yang juga bosku itu. Tak berselang lama, aku sudah berada di gazebo dan menjelaskan beberapa hal yang sekiranya Mas Galuh belum tahu.
"Sudah itu saja sih, Mas, penjelasanku. Operasional lebih tinggi karena kita lebih sering pake truknya Nanok dan Parto daripada kirim sendiri." Benar, kan? Sejak Mas Galuh suka keliling cari wulung, biaya transport pengiriman jadi membengkak. "Nur balik ke rumah, ya. Takut ganggu Mas. Nur tunggu di kamar."
"Tunggu di sini saja, Nur," jawab Mas Galuh tanpa menatapku karena ia sedang sangat fokus pada neraca mingguan. "Tunggu di kasur sini gak apa-apa."
Aku mengulum bibir. "Iya, Nur tungguin Mas di sini boleh ya?"
Mas Galuh hanya berdeham seraya fokus pada pembukuan mingguannya. Aku yang enggan menganggu, memilih mundur perlahan dan merebahkan diri di kasur tipis yang mengingatkanku pada penyatuan pertama kami. Pada hujan lebat berpetir dan kegelapan karena listrik padam yang nyatanya tak membuatku takut, justru mengukir kenangan manis tersedndiri bagiku.
Aku berbaring miring ke arah Mas Galuh hingga bisa bebas melihat suamiku yang pekerja keras. Aku mencintainya dan nyaman berada si sampingnya. Menatap punggungnya sambil mengingat setiap kenangan manis kami, membuat hatiku berdesir sendiri. Bayang wajah Mas Ibnu sesekali terlintas dan pikiran-pikiran tentang pria itu juga berputar acak, tetapi aku berusaha mengenyahkan kareka fokusku adalah suamiku.
Mas Galuh menutup bukunya setelah selesai menghitung tumpukan uang yang tadi kuberikan. Ia mengelompokkan uang-uang itu lalu menyimpannya di tas pinggang yang biasa ia pakai.
"Sudah, Mas?"
Mas Galuh mengangguk lantas mendekatiku yang kini beranjak dari berbaring dan duduk bersila di kasur tipis ini.
"Mau masuk rumah?"
Mas Galuh menggeleng. "Di sini saja dulu sama kamu." Ia menarikku hingga mendekat kepadanya dan merengkuh pinggangku. Tanpa perlu perintah, aku mengikuti naluri untuk melingkarkan tanganku di pundaknya dan menyambut kelembutannya yang menyapa bibirku dengan pagutan cinta.
Aku menyukai sentuhan Mas Galuh meski entah mengapa kelebat bayang wajah Mas Ibnu terlintas di pikiran saat aku memejamkan mata dan membalas pagutan suamiku. Tidak, Mas Ibnu tak mungkin menyukaiku dan aku tidak akan terganggu oleh itu andai apa yang Meli pikirkan benar. Aku milik Mas Galuh dan akan bahagia bersamanya. Iya, kan, iya?
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top