Bab 10
Halo! Maaf ya telat update, lagi flu dan obat flu bikin aku tidur terus wkwkkwk
Cinta Putih 10
Ibu pernah berkata kepadaku, bahwa aku harus bisa mensyukuri apapun yang kumiliki dalam hidup. Setidaknya, meski nasibku tidak sebagus orang lain, Tuhan masih memberikanku kesempatan ada di dunia ini untuk memberikan maanfaat dan melakukan kebaikan. Entah apa yang Ibu pikirkan saat menasihatiku dengan pernyataan klise itu. Nyatanya, kami memang hidup bahagia dalam kesederhanaan tetapi menyimpan luka dalam dan dikasihani banyak orang.
Aku menyayangi Ibu. Terlebih saat menyadari bagaimana terlukanya ibu setelah ayah meninggalkannya dan tak bertanggung jawab kepadaku. Seumur hidup, aku tak pernah berani membantah Ibu apalagi menyakitinya. Saat ini, setiap mengingat Ibu, air mataku seperti mendesak untuk keluar. Satu pikiran terlintas, bahwa aku mewarisi nasib Ibu yang mencintai pria yang lebih memilih perempuan lain.
Perasaanku kian tak menentu. Aku berada di ambang kenyataan dan pikiranku sendiri yang menenggelamkanku dalam kesedihan. Aku seperti antara bertenaga dan tak bertenaga dalam menjalani hari. Aku masih bisa tersenyum kepada pelanggan tetapi selalu menangis dalam kesendirian.
"Kamu sakit, Nur?" Teguran Mas Galuh membuatku menoleh kepadanya. "Itu tempe gorengnya gosong. Asapnya bahkan sudah mengepul tebal." Mas Galuh mendorongku hingga bergeser ke samping lalu mematikan kompor yang tengah menggoreng tempe—gosong?
Aku mengerjap cepat, seolah tersadar dari efek hipnotis. "Kok bisa gosong? Perasaan baru aku masukin ke wajan tadi itu."
Mas Galuh menatapku dengan sorot serius. "Kamu melamun. Kamu terus berdiri menatap wajan tapi gak bergerak sama sekali sampai aku sadar wajan sudah berasap dan tempenya gosong total." Ia lantas menarik tanganku dan memintaku duduk di kursi makan. "Kamu sakit?"
Aku menggeleng cepat dengan pikiran yang masih berjuang untuk kembali ke kenyataan. Mas Galuh ada di depanku dan ia suamiku yang pasti akan mencintaiku suatu hari nanti. Aku tersenyum dengan wajah yang kubuat sesantai mungkin meski sebenarnya panik karena hampir saja menghanguskan dapurku.
"Nurma gak apa-apa, Mas. Tadi itu—aku mikir apa ya?"
Mas Galuh mendengkus keras. "Beresin dapurmu, Nur. Gak usah masak dulu hari ini. Aku tunggu lalu kita jalan ke kios bareng saja. Nanti makan di luar saja sekalian kita jalan sortir ke tempatnya Nanok."
Aku mengangguk setelah menghabiskan minuman hangatku, lalu membereskan dapur yang berantakan. Tak butuh waktu lama karena aku hanya membuang tempe yang gosong dan memasukkan kembali bahan masakan yang jadi kuolah. Setelahnya, aku mengambil tas yang biasa kugunakan untuk bekerja.
Sepanjang perjalanan, aku juga tak begitu banyak bicara. Tak ada obrolan yang ingin kubuka padahal saat-saat seperti inilah biasanya aku dan Mas Galuh membahas segala hal yang ada di keseharian kami.
Mas Galuh memperkerjakan Eko—pegawai lepas yang kemarin dimintai tolong untuk menggantikan Mas Galuh mengirim pesanan—secara permanen dan menjadikannya karyawan kios secara resmi. Aku baru mengetahuinya semalam saat Mas Galuh baru pulang dari bertemu Lira yang kupergoki di depot. Jadi, saat aku dan Mas Galuh ke atas untuk sortir bambu, Eko kami percaya menjaga kios dan mengirim pesanan hari ini.
Perjalanan menuju tempat Nanok memanen bambu tak begitu aral. Jalan desanya sudah dicor dengan baik meski tak begitu lebar. Setidaknya, dua truk masih bisa saling bertemu dan berbagi jalan saat berhadapan. Hamparan hutan dan tumbuhan lebat mengelilingi kanan kiri kami. Aku memindai hutan ini dan menikmati hijaunya alam pegunungan tempatku hidup dan tumbuh.
"Ibu minta cucu lagi dari kamu?"
Aku menoleh kepada Mas Ibnu yang masih fokus mengemudi. "Tidak," jawabku pelan esraya menggeleng. "Ibu tidak bicara apapun kepadaku, apalagi sejak aku mengintip Ibu memarahi Mas Galuh.
Mas Galuh mengangguk samar dengan mata yang terus menatap jalan. "Kalau ada apa-apa bicarakan kepadaku, Nur."
Entahlah. Aku malas menjawab. Aku tidak ingin membicarakan Lira dan kecemburuanku kepadanya. Melihatnya menggeleng saat ibu menanyakan perasaaanya kepadaku saja sudah membuat hatiku pedih apalagi jika mendengar jika ia mengaku masih mencintai Lira. Aku takut tak kuat menahan sakit dan memilih bunuh diri.
"Sepatu yang aku belikan sudah kamu coba?"
Aku mengernyit seraya menatap Mas Galuh lagi. "Sepatu?"
"Iya." Mas Galuh mengangguk. "Aku meletakkan sepatu yang kubeli untukmu di dekat ranjang. Aku pikir kamu sudah membukanya dan mencoba. Kalau kamu tidak suka, kita bisa beli lagi, tapi saat aku sedan gada waktu longgar. Aku masih mencari sedikit lagi wulung yang harus dipanen untuk dikirim ke Galeri Panda."
"Mas membelikanku sepatu? Untuk apa?" Perasaan aku tidak meminta. Kalaupun butuh, aku bisa membelinya sendiri di pasar.
Mas Galuh menoleh kepadaku sesaat sebelum kembali fokus mengemudi. "Waktu kita jalan-jalan ke Yogya, kamu terlihat kelelahan karena mengenakan sandal tinggi. Ya memang tidak terlalu tinggi tapi aku melihatnya tidak nyaman saja untuk dipakai jalan lama. Waktu aku mampir meninjau kebutuhan bambu untuk proyek pembangunan pasar, aku mampir ke toko sepatu yang kebetulan masih buka malam itu. Aku keingetan kamu dan belikan kamu sepatu kets. Kemana-mana lebih enak pake sepatu kets daripada sandal tinggi."
Aku menganga sedikit. Tak menyangka Mas Galuh memperhatikanku sebegitunya saat kami di Yogya. "Nurma—belum buka sepatunya. Nurma pikir itu punya Mas Galuh."
"Bukan." Mas Galuh menggeleng. "Aku masih nyaman mengenakan sepatuku yang sekarang. Kamu yang tidak punya sepatu padahal butuh. Apalagi kalau kita ke atas seperti sekarang. Meski kamu pakai sandal yang tidak ada hak tingginya, tetap saja tidak senyaman mengenakan sepatu." Mas Galuh melirikku. "Aku juga kenapa baru sadar kalau kamu gak punya sepatu saat kita ke Yogya dulu, padahal kamu sering ke atas sama aku untuk lihat bambu."
Aku melengos, membuang muka demi menutupi hatiku yang bergetar. Andai Mas Galuh tidak terbayang oleh sosok masa lalunya, aku yakin ia memiliki cinta yang besar untukku, melihat banyak hal yang ia berikan tanpa pernah menungguku memintanya. Semua barang-barang yang mungkin saja kubutuhkan pasti ia belikan sebelum aku sadar jika membutuhkannya.
Handuk, tas, kosmetik, hingga perlengkapan dapur ia belikan semua tanpa bertanya. Tiba-tiba sudah pulang dari mengirim barang dan membawa hadiah-hadiah kecil itu untukku. Cara Mas Galuh memberikannya memang tidak pernah romantis. Hanya seperti aku memintanya membeli sesuatu dan ia datang membawakan pesanan.
"Kamu tidur saja kalau tidak enak badan." Mas Galuh bersuara lagi.
Aku hanya berdeham lirih menanggapi ucapannya. Hatiku bimbang apakah aku harus melanjutkan hubungan yang datar ini atau berusaha mempertahankannya.
****
"Nur, kamu sakit?" Ibu datang ke rumah dan langsung bertanya dengan nada setengah berteriak. Wajahnya terlihat kuatir saat menghampiriku yang sedang mengupas bawang di meja makan. "Galuh telepon Ibu, bilang kamu kemarin melamun sampai tempe gosong. Terus gak banyak bicara saat sedang temani galuh ke atas. Kamu gak enak badan? Mau ibu antar ke puskesmas?"
Aku tersenyum seraya mengambil tangan Ibu untuk kucium dengan takzim. Setelah kepergian ibu kandungku, Tuhan masih berbaik hati kepadaku dengan memberikanku ibu mertua yang perhatian dan sayang kepadaku.
"Nur gak sakit, kok. Cuma ... kayak sedang malas ke kios aja hari ini, makanya minta izin ke Mas Galuh untuk tidak bantu di kios hari ini. Lagi pengen di rumah saja sendirian. Untungnya Mas Galuh udah punya Eko yang bantu dia di kios."
Ibu mengangguk. "Galuh udah cerita. Hari ini dia jaga kios sementara Eko keliling kirim pesanan. Kamu kenapa? Ibu beneran kuatir."
"Mas Galuh memangnya bilang apa sih ke Ibu sampai Ibu kayak panik gitu?" Aku beranjak dari kursiku dan mengambil dua gelas air putih untukku dan Ibu. "Nurma beneran gak sakit, kok."
"Tapi kamu gak pernah bikin gosong tempe dan melamun terus di tengah hutan," sergah Ibu sambil menerima gelas dariku. Ia lantas meneguk hingga separuh tandas lalu meletakkan gelasnya di meja sebelum menatapku dengan penuh perhatian. "Galuh telepon Ibu pagi tadi. Katanya kamu izin gak ke kios karena ingin istirahat di rumah. Galuh cerita kamu melamun di dapur hingga tempemu gosong, lalu kalian ke atas tapi sepanjang perjalanan kamu diam saja kayak orang sakit. Saat di tempat Nanok, kamu duduk sendiri di bawah pohon pepaya sambil melamun. Matamu kosong dan kamu tidak seperti biasanya yang jeli menghitung jumlah bambu yang naik ke truk. Kemarin saja, kamu salah hitung bambu, kan? Ada selisih sampai delapan bambu, kan?"
Aku mengangguk. Kemarin aku memang tidak becus dalam bekerja. Saat melakukan sortir bambu bersama Mas Galuh, biasanya kami berbagi tugas. Mas Galuh mengecek bambu yang baru ditebang oleh petani dan memutuskan apakah bambu itu kami angkut atau tidak. Jika diangkut, aku akan menghitung dengan membuat gambar lidi ikat per lima di buku keciku. Gambar lidi itu kubuat dengan dua kategori bambu. Kualitas satu dan kualitas dua. Mas Galuh dan pengepulnya yang menentukan standar bambu dan harga kesepakatan.
Pencatatanku masih manual dengan membuat hitungan model lidi ikat karena petani dan pengepul belum begitu paham dengan sistim hitungan digital. Mereka lebih suka melihat hitungan gambar lidi dan mencocokkan dengan bambu yang terangkut di truk Mas Nanok dan mobil bakku. Biasanya aku jeli dalam menghitung agar tidak ada kesalahan dan kerugian yang ditanggung salah satu pihak. Namun, kemarin itu aku memang lebih banyak melamun hingga salah menghitung. Ada delapan bambu yang tak terhitung olehku dan enam bambu yang salah masuk kategori hingga ada selisih jumlah pembayaran kepada pengepul.
"Selama petaninya Nanok tebang bambu, kamu melamun terus, padahal biasanya kamu ngoceh ngalor ngidul sambil cari-cari rebung. Kata Galuh, kamu diam saja sambil melamun seakan gak mau diganggu manusia. Kamu apa mau Ibu bawa ke Mbah Beruk? Barangkali kamu butuh dibaca-bacakan mantra." Ibu malah menyebut dukun yang cukup terkenal di desa ini.
Aku menatap Ibu dengan senyum lemah. Mbah Beruk, ya? Apa mungkin Ibu benar kalau aku butuh Mbak Beruk agar menolongku membuat Mas Galuh mencintaiku? Apakah sepicik itu cinta hingga butuh bantuan yang menurutku tak masuk akal hanya untuk hubungan yang bagitu sakral dan butuh ketulusan?
"Nur!"
Aku tersentak lalu mengerjap dan memusatkan fokusku kepada Ibu.
"Kamu melamun lagi." Ibu menatapku dengan wajah panik. "Kamu butuh orang pintar!"
"Tidak, Bu, tidak usah." Aku menggeleng cepat. "Nurma tidak butuh orang pintar atau Mbah Beruk itu. Nurma hanya ...." Cerita atau tidak ya kepada Ibu?
"Apa?" tanya Ibu lirih dengan wajah menaruh curiga. "Ada masalah antara kamu dan Galuh."
"Tidak." Aku menggeleng. Masalahnya bukan antara aku dan Mas galuh tetapi antara aku dan kecemburuanku pada masa lalu Mas Galuh. "Nurma hanya sedang lelah."
Ibu menggeleng. "Kamu lagi ada masalah sama Galuh. Itu sebabnya Galuh meminta Ibu datang ke sini menemani kamu. Dia takut kamu kenapa-kenapa kalau sendirian di rumah. Ibu pikir kamu sedang tidak enak badan, barang kali berbadan dua. Tapi Ibu melihat tubuhmu bahkan seperti masih perawan dan sehat. Kamu sedang sakit, tapi bukan tubuhmu."
Berondongan tuduhan Ibu yang diucapkan dengan nada penuh keyakinan itu membuatku perlahan meneteskan air mata. Aku tidak tahu bagaimana Ibu bisa dengan jelas menebak semua yang kupendam sendiri. Aku menutup wajahku dengan tangkupan tangan karena tak bisa menahan lagi isak tangis yang mendesak untuk dikeluarkan. Tangisku pecah dan terdengar memilukan.
"Galuh menyakitimu," ucap Ibu lirih seraya menarikku ke dalam pelukannya. "Apa yang anak Ibu lakukan kepadamu, Nak?"
Aku tak langsung menjawab karena ingin melepaskan segala emosi yang kubendung sendiri. Itu memelukku dari samping lalu mengusap pelan punggungku hingga ketenangan perlahan mengaliri hati dan pikiranku.
"Nurma minta maaf, Bu," ucapku lirih di tengah sengguk yang menyerangku. "Tapi kadang Nurma merasa ini terlalu berat dan Nurma gak kuat." Aku berusaha bicara lancar tetapi tak bisa karena tenggorokanku seperti tersendat. Ucapanku terbata-bata, sekeras apapun aku berusaha untuk tenang. "Nurma merasa bahwa Nurma menanggung karma. Apa yang ibu Nurma dapatkan dulu dari ayah Nurma, kini Nurma alami juga. Nurma cinta Mas Galuh, cinta sekali hingga berahap pernikahan ini bisa berjalan sebagaimana mestinya, tetapi Nurma tidak bisa memaksakan perasaan Mas Galuh jika memang masih menyimpan rasa kepada perempuan lain."
"Kamu melamun berhari-hari karena memikirkan ini?" Ibu terperanjat. Terlihat jelas dari nada bicaranya dan wajahnya kepadaku.
Aku mengangguk sambil terus meredam isak.
"Astaga, Nur."
"Nurma gak kuat, Bu."
"Biar Ibu yang bicara kepada Galuh. Mungkin sekarang Ibu harus lebih keras dan tegas kepada dia."
"Jangan," tolakku seraya menggenggam tangan Ibu. "Jangan bertengkar dengan Mas Galuh karena Nurma. Di sini, Nurmalah yang menciptakan rasa sakit itu sendiri, Bu, bukan Mas Galuh. Dari awal, Nurma yang menyetujui pernikahan ini, bukan Mas Galuh. Mas hanya menuruti Ibu sebagai wujud baktinya kepada anak. Nurma tidak bisa memaksakan kehendak atas Mas Galuh."
"Masalahnya bukan itu, Nur."
Aku menggeleng. "Masalahnya adalah kita yang tidak bisa peka terhadap apa yang Mas Galuh rasa. Mas Galuh belum siap pada pernikahan ini karena memang belum mencintai Nurma. Ia bahagia dengan orang lain dan tidak sepatutnya Nurma memaksakan bahagia Nurma pada Mas Galuh. Nurma ingin—bebas. Bebas dari rasa bersalah terhadap diri Nurma dan Mas Galuh. Nurma ingin ... Mas Galuh bahagia."
"Maksud kamu apa, Nur?"
Aku menatap Ibu dengan pandangan kabur karena air mataku kembali mendesak keluar. "Nurma mohon ampun, Bu. Ampuni Nurma. Mohon jangan benci Nurma atau Mas Galuh." Dadaku kian sesak dan oksigen terasa sulit untuk masuk ke dalam tubuhku dan memberikan tenaga. Kalimatku terpatah-patah tetapi aku berusaha untuk bisa bicara dengan jelas.
"Kamu ngomong apa sih?"
"Nurma mohon restu Ibu untuk—bercerai."
"Apa?" Teriakan ini bukan suara Ibu. Teriakan ini menggema dan berasal dari pintu masuk rumah ini, bersamaan dengan derap langkah tegas yang terdengar penuh emosi.
Tangisan Ibu pecah saling bersahutan dengan tangisanku yang menginginkan perpisahan. Aku merasa tak bisa mempertahankan bahtera yang hanya dikayuh oleh satu orang saja. Tidak akan pernah maju dan hanya berputar di situ-situ saja hingga perahu itu bocor lalu tenggelam.
"Kamu bilang apa, Nur? Coba katakan sekali lagi. Kamu mohon ampun kepada Ibu untuk apa? Untuk apa?" Teriakan Mas Galuh menggelegar seakan memecah rumah ini dan seisinya.
Ibu menangis meraung dan aku tak tahu lagi harus bagaimana.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top