Bab 1

Halo! Aku running cerita baru, cerita rumah tangga dan pernikahan karena perjodohan. Cerita ini fast update di Karyakarsa dan akan update di sini satu minggu sekali, setiap Kamis kali yaaa enaknya wkwkwk. Di KK free 3 bab pertama dan berbayar selanjutnya. Kalau kamu mau intip cerita ini dengan cepat, bisa langsung ke sana. Di sini akan aku post sampai tamat dengan jadwal seminggu sekali tanpa ekstra part. Muaaah! 


Cinta Putih 1

Apa kalian tahu definisi dan bentuk dari cinta? Dulu, aku pernah melihat tayangan di televisi yang menggambarkan seorang pria berjuang mati-matian demi mendapatkan perempuan yang ia cinta. Pada tayangan itu, si perempuan memiliki wajah cantik, lembut, santun, dan sikap seakan penuh cinta dan kesabaran, sementara si pria memiliki charisma dan ketegasan, tetapi tak pernah kasar pada perempuan yang ia cinta. Sikapnya lembut dan melindungi layaknya ksatria. Semua yang tergambar pada tayangan itu membuatku bermimpi memiliki pria seperti serial yang selalu mendiang Ibu ikuti setiap malam. Aku yang dulu belum mengerti makna cinta dan hubungan antar lelaki dan perempuan, entah mengapa menginginkan pria seperti tokoh pada serial itu. Tampan, mapan, berkharisma, dan ... mempesona.

Hai, namaku Nurma. Aku sebatang kara sejak ibuku meninggal dunia, tetapi aku baik-baik saja. Aku tak lagi memiliki ayah sejak masih sekolah dasar. Kabarnya, ayahku terjerat pesona perempuan lain dan pergi meninggalkanku dan ibu entah kemana. Ibu tidak menikah lagi dan sibuk mencari nafkah untuk kami berdua. Kami tinggal di rumah peninggalan orang tua ibuku hingga aku dewasa dan menikah dengan pria yang ... di mataku tak berbeda jauh dari tokoh serial yang kutonton dulu bersama Ibu.

Di usiaku yang hendak dua puluh lima, pada akhirnya ada satu Impian yang Tuhan berikan kepadaku. Dua tahun setelah Ibu meninggal, aku dilamar oleh perempuan yang ingin menikahkanku dengan anaknya. Saat aku tahu siapa pria itu, aku menyetujuinya tanpa syarat apapun. Jika aku tak bisa memiliki ayah yang mencintai anaknya, setidaknya aku memiliki kesempatan untuk bersama pria yang mencintaiku seutuhnya. Meski sampai saat ini, pria yang kuharap mencintaiku belum juga membuka hatinya untukku. Hahaha, miris, tapi aku optimis bisa mengubah keadaan kami.

Guncangan mobil akibat jalan berbatu membuatku tersadar dari lamunanku sendiri tentang hidup yang kini kujalani.

"Jangan melamun. Ini sudah petang dan kita masih di tengah hutan." Peringatan itu membuatku menoleh pada suamiku yang masih fokus dengan kemudi mobil bak kami.

Aku meliarkan pandangan ke sekitar dan memang pekat malam mulai menyelimuti suasana ini. Aku menyeringai ringan, mengakui bahwa yang suamiku katakan benar. Lepas magrib dan kami masih di tengah hutan. Akan sangat riskan jika aku mengosongkan pikiran dan memberikan waktu dan tempat untuk makhluk astral masuk ke dalam jiwaku. Amit-amit.

Aku dan Mas Galuh baru selesai melakukan sortir bambu di salah satu pengepul besar yang menjadi rekan kami. Proses sortir bambu yang baru ditebang harus kami lakukan sendiri untuk memastikan kami mendapatkan bambu dengan kualitas terbaik. Lokasi penebangan bambu berada cukup jauh dari keramaian kota. Hutan bambu yang dipanen berada di lokasi yang cukup tinggi dari dataran kota kecamatan. Hal inilah yang membuatku dan Mas Galuh masih berada di tengah hutan dengan jalan setapak berbatu yang untungnya masih bisa dilalui oleh mobil bak kami.

"Ada masalah yang sedang kamu pikirkan?"

Pertanyaan Mas Galuh membuatku kembali menatapnya dengan kening berkerut. Apa wajahku kentara sekali jika sejak tadi memikirkan sesuatu?

"Ada masalah?" Mas Galuh menatapku sekilas dengan wajah sungguh-sungguh sebelum kembali fokus pada kemudinya.

Ini pertanyaan mudah yang sulit kujawab. Masalah itu memang ada. Sangat banyak dan sudah mulai bermunculan sejak dulu, sejak sebelum kami menikah. Aku selalu memikirkannya setiap saat, setiap memiliki waktu senggang di tengah kesibukanku mengurus administrasi bisnis bambunya. Bagaimana caranya menyelesaikan masalah ini, bagaimana caranya agar bisa keluar dari kondisi ini dan bagaimana-bagaimana yang lain.

"Nurma." Panggilan Mas Galuh membuatku mendongak meski aku masih mengulum bibirku seakan mengunci rapat. Aku bingung bagaimana menjelaskannya. "Katakan kepadaku, ada masalah apa?"

Aku mengaitkan kedua tanganku, berharap keduanya saling memberikan energi agar aku berani bicara kepada suamiku tentang hal baru yang membuatku terus kepikiran. "Uhm ... Ibu, Mas."

"Ibu kenapa lagi?" Mas Galuh tidak menatapku dan fokus pada jalan yang gelap gulita dan bantuan penerangan kami hanya dari lampu mobil pik up. Hutan bambu yang lebat sudah kami lewati dan sekarang sedang melewati perkebunan palawija yang menjadi salah satu mata pencaharian petani kaki gunung ini. "Aku sudah berpesan kepadamu, kan, untuk tidak terlalu banyak bicara tentang rumah tangga kita, terutama kepada Ibu."

Ibu yang sedang kami bicarakan adalah ibu mertuaku, ibu kandung Mas Galuh yang menjodohkanku dengan anaknya. Aku dekat dengan Ibu, karena memang perempuan itu sangat lembut dan menyayangiku bahkan sejak pertama aku bekerja di kios bambu Mas Galuh sebagai karyawannya. Enam bulan bekerja sebagai admin penjualan merangkap keuangan, Ibu dan aku semakin dekat. Ibu bahkan menganggapku sebagai anak sendiri dan pernah merawatku saat aku sakit dan tidak masuk bekerja tiga hari. Satu tahun menjadi karyawan Mas Galuh, jabatanku naik drastis menjadi istrinya atas permintaan Ibu.

"Aku tidak mengatakan apapun kepada Ibu, Mas. Aku melakukan apa yang kita sepakati di awal pernikahan. Namun, Ibu tidak pernah bisa dibohongi dan tebakannya selalu benar tentang hubungan kita. Aku tidak bisa mengelak dari apapun pertanyaan Ibu." Aku berusaha bicara dengan santai dan tenang. ini bukan topik seputar rebung yang bisa kami ambil sekalian sortir bambu atau tentang strategi pemasaran bambu melalui media social yang dulu pernah membuatku dan Mas Galuh cukup sering menghabiskan waktu bersama.

"Kamu bisa berbohong." Mas Galuh bicara santai, mengimbangiku yang berusaha menjaga suasana kami dalam perjalanan pulang dari atas gunung tadi. "Ibu lebih percaya kamu daripada aku, anaknya sendiri."

"Aku tidak mungkin membohongi Ibu, Mas. Aku tidak sanggup." Aku tertawa lirih. "Ibu itu seperti memiliki radar yang canggih. Tanpa perlu kita beritahu, beliau seperti lebih tahu dari kita. Mungkin ini yang orang-orang sebut dengan jam terbang tinggi tidak akan menutupi keahlian."

"Memangnya Ibu bilang apa ke kamu?"

Ini pertanyaan mudah yang sulit kuutarakan. Mas Galuh kuyakin tak akan sulit menjawab permintaan Ibu kali ini, tetapi aku yang sulit menerima jawabannya karena aku yakin belum mampu menerima ucapan Mas Galuh atas permintaan ini. Aku sudah bisa menebak kemana arah topik ini akan berakhir.

Aku berdecak remeh. "Biasalah, masalah yang gak perlu kita bahas," elakku berusaha terlihat santai. "Mas gak akan suka dengar permintaan Ibu. Seharusnya kita tidak usah membicarakan ini karena aku akan menyelesaikannya sendiri. Ini urusanku dengan Ibu."

"Nurma, katakan kepadaku sekarang."

"Mas tidak akan mau mendengarya. Ini bukan hal yang—kita inginkan." Aku setengah berdusta. Mas Galuh tidak menginginkannya tetapi aku justru mendamba.

"Nurma." Panggilan Mas Galuh dengan suara menekan, membuatku tahu bahwa kali ini, Mas Galuh tidak akan melepas masalah yang membuatku lebih banyak melamun sepanjang perjalanan menuju pengepulan bambu. "Kamu biasa banyak bicara atau makan selama di perjalanan, tetapi kali ini kamu lebih banyak diam. Ini bukan masalah yang bisa kamu selesaikan sendiri."

Mas Galuh benar. Ini memang bukan masalah remeh yang bisa kuselesaikan dengan negosiasi. Aku membutuhkan Mas Galuh untuk bisa mendapatkan apa yang Ibu inginkan dan aku dambakan. Namun, seperti kehidupan nyata yang jauh beda dengan kisah di serial romansa, aku sadar diri bahwa perjodohan bukanlah sesuatu yang bisa dijalani dengan mudah.

Aku menunduk, berusaha untuk tegar bahwa hidup bukanlah cerita pengantar tidur yang akan membawamu pada mimpi indah. "Ibu ... meminta cucu, Mas."

Mas Galuh terdiam setelah mendengar ucapanku. Hening merajai kami dan hawa dingin melingkupi kami berdua. Dingin ini bukan hanya dari angin malam yang masuk ke dalam mobil bak karena Mas Galuh membuka sedikit jendela, tapi lebih dari apa yang menguar dari Mas Galuh setelah aku mengatakan yang mertuaku pinta.

"Mas tidak perlu menjawab. Aku bisa mengatasinya. Aku akan cari cara agar Ibu bisa sabar." Aku memecah dingin di antara kami. "Kita baru tiga bulan menikah, kan? Tidak mungkin bisa hamil secepat itu. Nanti aku coba bicara sama Ibu saja. Kita bisa bilang kalau kita sudah berusaha tapi memang belum ada. Atau ...." Aku menyeringai dengan wajah yang kubuat seceria mungkin. Mas Galuh tidak boleh kepikiran tentang masalah ini. Aku tidak ingin mengganggunya. "Kita pura-pura ke dokter lalu pulang dengan hasil lab seakan-akan aku mandul. Jadi, Mas bisa bebas dari tuntutan ini, kan?"

Hening. Mas Galuh tidak menjawab dalam waktu yang menurutku cukup lama untuk ukuran durasi berpikir. Aku tahu, Mas Galuh pasti menolak permintaan Ibu dan akan menyetujui Solusi yang kutawarkan kepadanya. Aku harus mempersiapkan hatiku agar tidak kecewa mendengar jawaban suamiku.

"Berikan saja," ucap Mas Galuh lirih namun dengan nada serius. Guncangan mobil tak lagi begitu terasa karena kami sudah sampai di kota kecamatan yang akses jalannya sudah mendapat pembangunan. Jalan beraspal membuat perjalanan lebih terasa lembut karena tak ada lagi bebatuan yang kami lalui.

Aku menoleh dengan wajah kaget kepada Mas Galuh. Aku tidak salah dengar kan? Mas Galuh bilang aku—maksudku kami memberikan cucu untuk Ibu? Apa mungkin setelah tiga bulan pernikahan kami, Mas Galuh akhirnya menerima? Jadi—cintaku akhirnya berbalas dan tak lagi bertepuk sebelah tangan?

Senyumku terukir tipis dengan harapan bahwa impianku barangkali memang sudah pada langkah akhir menuju pencapaian. "Maksud Mas?"

Mas Galuh menatapku lama saat mobil bak kami berhenti di lampu merah persimpangan jalan. "Kita berikan Ibu cucu, tetapi tidak ada cinta di antara kita. Ini hanya masalah biologis yang harus kulakukan untuk membahagiakan Ibu kan?"

Senyum tipisku redup seketika dan mataku terasa memburam padahal hari ini cerah. Aku melengos, membuang muka agar Mas Galuh tak perlu tahu bagaimana hatiku terguncang hebat akibat apa yang ia katakan baru saja.

"Kita tidak perlu melakukannya jika Mas memang belum mau," jawabku lirih seraya berusaha menahan laju air mata. "Aku bisa mengarang alasan atau mencari cara agar Ibu tidak lagi meminta cucu kepada kita. Aku punya teman bidan, mungkin dia bisa membantu soal kemandulan."

"Ibu tidak bisa kamu bohongi. Kamu sendiri yang bilang begitu tadi. Kamu bisa saja ke bidan atau dokter manapun yang kamu mau, tetapi Ibu tetaplah Ibu yang katamu memiliki jam terbang tinggi."

Aku menyeringai dengan perasaan getir dalam hati. "Jadi, maksud Mas Bos gimana? Aku minta maaf, ya, Mas. Pernikahan ini sepertinya malah semakin merepotkan Mas Galuh. Harusnya dulu aku berkeras menolak dan tetap jadi karyawan Mas saja."

Mas Galuh tak menjawab apapun hingga kami sampai di rumah Mas Galuh yang kami tempati. Sebelum membuka pintu mobil, ia menatapku dengan sorot lembut yang membuatku tenang karena yakin tak ada amarah yang ia simpan untukku.

"Tidak usah minta maaf, Nur. Semua memang scenario Ibu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku belum mencintaimu dan jangan menunggu untuk itu karena aku tidak bisa menjanjikan perasaan itu kepadamu."

"Tapi tidak mungkin ada anak tanpa cinta," ujarku lirih saat Mas Galuh mengambil tas pinggangnya yang ia simpan di dashboard.

Mas Galuh terdiam dengan mata yang menyorot tajam kepadaku. "Bisa, Nur. Anak bisa dibuat tanpa cinta bahkan dengan paksaan. Aku bisa saja melakukannya, tetapi aku tak bisa memaksamu menerimaku sementara kamu tahu kalau aku ...."

"Mas jangan kuatir." Aku mencoba menenangkan diri dan Mas Galuh dengan senyum ringan yang berusaha kulengkungkan. "Kita tidak akan melakukannya tanpa cinta. Seperti yang kita tahu, kita butuh waktu untuk saling menerima pernikahan ini, kan? Jadi, aku rasa Ibu akan mengerti jika aku menjelaskan pelan-pelan kepadanya."

"Satu yang membuatku mau menerima perjodohan ini, Nur. Kamu kooperatif dan selalu bisa kuandalkan." Ia tersenyum sepintas lalu turun dari mobil ini dan meninggalkanku tanpa tahu jika aku sedang mengerjap cepat demi menahan air mata.

Tokoh dalam serial cinta hanya ada di televisi. Kemesraan dua tokoh utama hanya ada pada cerita fiktif yang mereka pertontonkan pada mendiang ibuku yang mungkin saja memimpikan cinta suci yang putih tak bernoda. Kenyaataannya, cinta seperti itu tak yakin ada di kehidupan nyata. Mungkin ada dan dimiliki oleh segelintir orang yang beruntung pada cinta. Sayangnya, aku belum masuk pada segelintir golongan itu dan justru harus merasakan pahit karena pria yang kucintai tak juga mencintaiku.

***** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top