BAB 26 (21+)
.SATU TAHUN KEMUDIAN ....
"Kenapa kamu buat bersambung, Beb?"
"Apanya?" Narsilla pura-pura tidak paham akan pertanyaan sang suami. Padahal, ia mengerti.
"Ini di bagian bab dua puluh lima yang kamu tulis, waktu sesi kita ciuman, kenapa malahan bersambung? Seharusnya buat sampai selesai."
"Misalnya gimana?"
Sang suami kemudian berdeham beberapa kali.
Rasanya pria itu akan memulai sebuah rencana. Dan ia pun tak cukup dapat menebak apa yang tengah dipikirkan oleh Pramuda Dwima Djaya.
Namun, dari ekspresi diperlihatkan, pasti sang suami akan mengeluarkan ide jahil. Mengingat Pramuda sangat suka mengguyoninya.
"Aku akan lanjutkan dengan narasiku."
Ahh! Sang suami ingin meneruskan cerita fiksi romantisnya yang tadi sudah dibaca selesai.
Baik, akan diberikan kesempatan pria itu. Siapa tahu Pramuda punya bakat menjadi pengarang.
"Ayo coba buat narasinya, aku mau dengar."
"Kalau kamu kagum dengan narasiku, jangan langsung cium aku, yah. Nanti aku khilaf."
"Mencium kamu?" Narsilla merespons cepat.
Kembali dipikirkan ucapan sang suami dengan pemahaman yang sebagaimana mestinya.
"Dilarang mencium selama aku bernarasi."
Sang suami sudah berceloteh lagi.
Dan kali ini, ia pun langsung mampu membuat sebuah kesimpulan atas ucapan Pramuda.
Pramuda sedang berusaha merayunya.
"Dilarang mencium, oke, Beb? Jangan khilaf."
"Khilaf biasanya mendatangkan bencana."
"Tapi khilaf berciuman mendatangkan nikmat."
Narsilla terkekeh geli dengan betapa percaya diri sang suami dalam melontarkan kalimat-kalimat guyonan dengan nada mesra. Tapi, ia suka aksi suaminya, sangat bisa menjadi menghibur.
"Kamu juga sering khilaf, Pram." Narsilla pun menyindir sembari masih tertawa.
"Lebih banyak kamu yang berbuat khilaf."
Pramuda Dwima Djaya jelas terbahak kencang akan disindirannya. Sudah pasti akan dianggap ucapannya sebagai candaan belaka.
"Jelas dengan istri tercinta, harus sering khilaf."
Dengarlah, masih begitu lihai sang suami dalam merangkai kalimat rayuan kembali untuknya.
"Cepatan buat narasinya, aku mau dengar narasi romantis kamu untuk naskah fiksiku, Sayang."
"Sabar, Istriku. Lagi dipikirkan ini. Menciptakan karangan romantis butuh kata-kata spesial."
Untuk sekian kalinya, tawa terluncur dari mulut dengan keras karena celotehan sang suami yang memang selalu bisa menggelitiknya.
Menghabiskan kebersamaan duduk santai di sofa sambil melempar candaan receh seperti ini, tak akan pernah membosankan baginya.
Malah dapat meningkatkan kemesraan bersama sang suami, tak melulu harus diisi dengan sikap romantis bak pasangan dimabuk cinta.
"Beb ...,"
Sang suami memanggilnya sambil menyeringai yang lebar, biasa ditunjukkan manakala pria itu perlihatkan saat merencanakan sesuatu.
Sejak resmi menikah, tepatnya sembilan bulan yang lalu, ia sudah mulai mengenali sifat-sifat khusus Pramuda, apalagi saat berniat jahil.
Termasuk yang tengah diperlihatkan sekarang.
"Hadiah diawal dulu gimana?"
Narsilla menyipitkan mata. Seolah merasa apa yang dikatakan sang suami adalah bagian dari misi telah direncanakan oleh pria itu.
"Hadiah diawal? Gimana maksudnya?" Narsilla pun bertanya ulang karena tak paham.
Lebih tepat tak menangkap maksudnya.
"Hadiah untuk buat narasi, Sayang."
"Harus dikasih hadiah dulu agar semangat."
"Hadiah ciuman." Pramuda menspesifikasikan jawaban agar mengena langsung pada sang istri.
Ah, ini yang diminta oleh sang suami.
Belum sempat dijawab, mulutnya sudah dipagut lembut. Aksi yang amat tiba-tuba baginya, tapi tak akan ditolak cumbuan sang suami.
Justru segera dibalas dengan ciuman yang sama.
Walau hanya berlangsung seperkian detik saja, tapi sukses dalam mendebarkan keras jantung.
"Narasinya mana?"
"Oke, Beb. Sekarang dibuat."
Sang suami pun berdeham.
Narsilla kira pria itu akan bicara, namun malah kembali mencumbunya. Baiklah, mereka tidak akan menyelesaikan karangan novelnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top