BAB 16
"Kita akan masak apa, Bu Hima?"
Narsilla bertanya karena belum tahu makanan apa saja akan dibuat oleh sang direktur. Ia pun hanya diminta tolong membersihkan udang tadi.
Tentu, tugas yang diberikan sudah diselesaikan.
"Tom yum, Silla."
"Kesukaan Pram dan suami saya."
Narsilla pun mengangguk-angguk mengerti. Ia bergerak mendekat ke sosok Sahima Paramesti Djaya yang berada di depan kompor yang tengah meracik bumbu untuk kuah tom yum.
"Mantap, Bu Hima." Narsilla berceloteh lantas.
"Apa kamu suka tom yum juga?"
"Saya bisa makan apa saja, Bu Hima. Saya anti memilih-milih makanan. Hehehe."
Sang direktur dibuatnya tertawa.
"Saya buat sedikit pedas, tidak apa kan?"
Narsilla pun segera menunjukkan kesetujuannya dengan anggukan kepala beberapa kali. Tidak lupa terus mempertahankan senyuman ramah.
"Saya suka pedas, Bu Hima."
"Kayaknya kita ngomongnya terlalu formal."
"Terlalu formal gimana, Bu Hima?"
Narsilla spontan juga menaikkan satu alis. Tak memahami arah pembicaraan sang bos kemana. Ia memilih menunggu Sahima Paramesti untuk menerangkan lebih lanjut maksudnya.
"Selama kita tidak di kantor, jangan panggil saya Ibu Hima, ya. Boleh panggil Kak Hima."
Narsilla lumayan kaget dengan permintaan dari sang direktur sebenarnya. Namun tentu tak akan ditolak. Ia memerlihatkan kepatuhan lewat satu anggukan kepala dalam gerakan formal.
"Kak Hima ...," gumamnya sambil tertawa.
"Saya merasa kayak punya kakak baru."
"Kamu boleh menganggap saya ini kakak kamu, Silla. Saya juga tidak punya adik perempuan."
"Benar, Bu Hima?" Narsilla refleks menjawab dalam nada kaget dan mata sedikit membeliak.
Akan apa yang baru saja dinyatakan oleh sang ddirektur padanya, tentu tidak disangka-sangka.
Namun juga senang jika memang dirinya boleh menganggap sang bos sebagai saudari. Sebuah kehormatan yang sangat berharga baginya.
"Benar, Silla. Anggap saya sebagai kakakmu.""
"Makasih banyak, Bu Him–"
"Eh, maksudnya, Kak Hima." Narsilla segera meralat ucapannya yang keliru memanggil.
"Kebetulan saya juga nggak punya kakak, jadi akan senang punya saudara kayak Kak Hima."
Narsilla lalu tertawa, upaya untuk mencairkan situasi. Sang direktur pun terkekeh kembali.
Namun tak lama kemudian, mereka sama-sama mendengar tangisan kencang seorang bayi.
Sahima yang mengenali benar suara putrinya, langsung bergegas meninggalkan dapur, lantas menuju ke kamar tidur utama.
Di sana, buah hatinya tengah bersama sang adik.
Tentu, setelah sampai di ruangan yang ditujunya, kian keras didengar tangisan Yansia Adyatama Djaya yang digendong oleh Pramuda.
Segera diambil alih sang buah hati.
Namun rengekan putri kecilnya belum juga mau mereda, masih kencang dan meliuk-liuk dalam gendongannya. Yansia seperti tak tengah haus.
"Kenapa bisa nangis?" konfirmasi Sahima pada adik bungsunya, siapa tahu Pramuda yang telah menjahili buah hatinya sampai menangis.
"Yayan minta ini, Kak. Nggak aku kasih, ehh malah nangis. Nggak aku apa-apakan, kok."
Sang adik pun menunjuk kotak perhiasan warna merah berisi cincin berlian yang akan dipakai untuk nanti melamar Narsilla Aggrami.
"Nggak ada aku cubit pipinya ...."
"Benaran, Kak Hima. Nggak bohong aku."
"Yansia lagi suka sama benda yang warnanya merah. Pantas nangis mau kotaknya."
Pramuda kian tak tega menyaksikan keponakan kesayangannya terus merengek. Jadi, diputuskan untuk mengeluarkan cincin dari dalam kotak.
Lalu, menyerahkan mainan incaran Yansia pada bayi manis itu yang masih digendong kakaknya.
Begitu ajaib, dalam hitungan detik saja, tangis keponakan cantiknya sudah hilang. digantikan ekspresi semringah dan mata berbinar senang.
"Gemas Om, gemas," celoteh Pramuda sembari mengecup kedua pipi Yansia Adyatama Djaya.
Lalu, aksinya dihentikan ketika teringat akan cincin lamaran yang belum diberikan pada calon istrinya. Segera dipindahkan atensi ke Narsilla.
Wanita itu berdiri di samping sang kakak.
"Silla," panggilnya dengan lembut.
"Kenapa, Pram?"
Pramuda berdeham pelan, perasaannya semakin tegang karena sebentar lagi akan melamar.
Diposisikan diri berlutut di hadapan Narsilla, ia telah latihan sejak kemarin. Jadi, tak akan salah.
Lalu, tangan kanan Narsilla diraih.
"Aku bukan pria yang romantis, tapi aku serius tentang hubungan di antara kita, Silla."
"Aku mau minta kamu menjadi istriku."
"Apa kamu mau menerimanya, Silla?" Pramuda bertanya dengan amat serius seraya memberikan cincin yang tengah berada di telapak tangannya.
"Aku ingin menikahi kamu, Narsilla."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top