BAB 04


Drrttt ......

Drrttt ......

Drrttt ......

Belum ada sepuluh detik ponsel berbunyi karena panggilan dari sang kakak, lekas saja diangkat.

"Holla, Kak Hima."

"Kak Hima menelepon karena mau memastikan aku dan Silla ada di mana, uhm?" Pramuda pun menebak apa yang ingin sang kakak ketahui.

Dan benar saja dugaannya.

"Aku dan Silla ada di kafe, mau minum kopi."

"Dia akan aman bersamaku, Kak. Oke? Tenang saja. Aku adalah pria yang baik."

Setelah sang kakak mengiyakan, Pramuda pun mengucapkan salam perpisahan. Tentu artinya akan segera mengakhiri panggilan berlangsung.

Tak sampai semenit, telepon sudah berakhir.

Fokus kembali diarahkan pada Narsilla karena wanita itu memerhatikannya sejak tadi. Ia lekas tersenyum ramah sebagaimana mestinya.

"Kak Hima tanya apa aku sudah bersikap baik dengan kamu. Aku katanya harus sopan."

"Mana mungkin aku akan menjahati kamu."

Narsilla tertawa mendengar celotehannya. Ia pun ikut tergelak, walau tak merasa cukup lucu akan kalimat-kalimatnya sendiri yang baru dikatakan.

"Apa kamu ada pacar, Pram?"

"Nggak ada." Pramuda menjawab cepat, meski merasa canggung dalam merespons.

Pertanyaan Narsilla sangat blak-blakan.

"Tapi, kamu mau menikah tahun ini?"

Hening mendadak karena tak ada jawaban yang segera diluncurkan Pramuda Dwima Djaya.

"Iya, kalau dapat calon istri."

Saking merasa tegang menunggu jawaban atas pertanyaan, napas diembuskan Narsilla lumayan panjang. Upaya menghilangkan kegugupan.

Tanggapan Pramuda masih sesuai harapan.

Tentu, ia masih punya pertanyaan yang hendak diajukan pada Pramuda. Namun diberikan jeda sebentar mencairkan suasana di antara mereka.

Sebenarnya seluruh ketegangan ada pada dirinya saja, tidak dengan Pramuda yang tampak tenang. Sudah jelas pria itu belum tahu tujuannya.

"Aku mau daftar." Narsilla pun berujar mantap seraya mengeluarkan buku catatan tangannya.

Lalu, ditaruh di atas meja restoran. Diarahkan ke Pramuda agar lekas mengambil. Dan ia memang sengaja menulis untuk dosen tampan itu.

"Apa ini, Silla?" Pramuda kebingungan kali ini.

Tulisan pada sampul buku segera dibaca.

"Keunggulanku Sebagai Calon Istri."

Seketika wajah Narsilla memanas mendengarkan suara berat Pramuda Dwima Djaya melafalkan deretan kata yang digunakan untuk judul buku catatan ditulisnya sendiri tersebut.

"Aku mau daftar," ujar Narsilla lancar, walaupun semakin malu dengan tindakannya.

"Aku mau daftar jadi calon istri kamu, Pram."

"Andai kamu mau menikah tahun ini, aku juga sama." Narsilla melanjutkan keterangannya.

"Aku belum dapat calon suami. Aku nggak ada pacar." Kembali dijelaskan maksudnya.

"Di dalam buku itu, aku tulis keunggulan apa saja yang ada pada diriku. Bisa kamu baca dulu dan jadikan referensi untuk menilaiku."

"Aku pasti akan bisa menjadi kandidat utama istri yang kamu inginkan, Pram."

Pramuda belum terlalu paham dengan sikap dari Narsilla. Namun tindakan wanita itu unik. Ia pun tertarik akan ide yang ditawarkan padanya.

Tak salah mempertimbangkan bukan?

"Baik, aku akan baca buku kamu, Silla."

"Dan aku punya pertanyaan ...."

"Pertanyaan apa, Pram?"

"Kamu menyukaiku? Kenapa kamu begitu ingin mengajukan diri untuk jadi calon istriku?"

Narsilla langsung memikirkan jawaban yang tak akan membongkar tujuan aslinya. Ia harus beri balasan meyakinkan agar Pramuda tak curiga.

"Karena kamu sosok yang sempurna menjadi suamiku, Pram." Narsilla berkata tanpa ragu.

"Semua yang aku inginkan ada pada dirimu."

Pramuda berdeham. Tiba-tiba ia salah tingkah karena ditatap intens oleh kawan lamanya.

"Aku punya syarat khusus."

"Untuk menjadi kandidat utama calon istrimu?"

Pramuda mengangguk mantap.

"Apa itu, Pram?"

"Datang ke kampusku, kamu akan tahu nanti, Silla." Pramuda sengaja menjawab dengan jenis kalimat yang menimbulkan kesan misterius.

"Ke kampus kamu?"

"Iya, Silla."

Pramuda menyeringai dengan ekspresi andalannya. Ia pun melihat bagaimana wanita itu menampakkan raut bingung.

"Aku akan memperkenalkan kamu ke para mahasiswiku sebagai pacar."

"Mereka menganggapku tidak punya pacar. Mereka menyukaiku secara berberlebihan, aku kurang nyaman."

"Supaya mereka berhenti menggodaku, sepertinya aku harus punya pacar."

"Pacar?" Narsilla kaget sendiri.

"Bukankah kamu mau menjadi calon istriku? Itu artinya kamu harus lebih dulu menjadi pacarku, Silla."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top