Bab 9


Bab 9 



Restoran di daerah Citraland menjadi pilihanku dan bersyukur ketika tak melihat adanya keberatan di wajah Kenes ketika melangkah memasuki area restoran. Interior yang membuat kita terasa pulang ke rumah nenek menyambut kami berdua. Gemericik air yang terdengar dari kolam memberi nuansa berbeda. Tumbuhan di setiap sudut menawarkan perlindungan. Suasana nyaman dan tenang seolah mengiringi langkahku dan Kenes.

Kenes masih terlihat diam ketika sesekali melirik ponselnya yang tak berhenti berdering sejak aku mengarahkan mobil keluar dari rumahnya beberapa saat lalu. "Kamu tahu kalau telepon itu enggak bakalan berhenti, kan? Yang di ujung sambungan juga enggak bakalan ngerti kalau kamu enggak mau diganggu." Kenes memandangnya sebelum kembali menatap tajam ponselnya.

"Dia adalah salah satu alasan aku harus menjual rumahku." Ada sendu dan sedih yang terdengar pekat di di setiap kata, menimbulkan banyak pertanyaan di kepalaku. Namun, aku harus menahan diri. Setidaknya untuk saat ini.

"Kenapa tari?" tanyaku memutuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Tari tradisional, pula. Di antara gempuran budaya korea yang harus diakui datang seperti air bah yang enggak bisa dibendung." Tawa renyah Kenes menyambut pertanyaanku. Mungkin untuk menutupi gugup yang masih bisa kulihat di wajahnya, entah.

Wajah cantik itu tak segera menjawabku, ia melarikan pandangan ke segala penjuru restoran, seakan sedang menyusun kata untuk membasuh keingintahuanku. "Aku berasal dari keluarga penari. Kalau lagu anak-anak dulu, nenek moyangku seorang pelaut. Laguku adalah, nenek moyangku seorang penari." Tawaku meluncur mendengar permulaan ceritanya. "Mas Ninu beruntung enggak ketemu eyang. Kalau beliau tahu Mas nertawain garis darahnya, bisa dihukum mendak selama sejam. Dijamin kemeng badannya." Aku segera menutup mulut, meski tak tahu apa itu mendak.

Geli tampak jelas di wajah Kenes ketika melihatku menutup mulut, "ngomong-ngomong, mendak itu apa?"

"Mendak adalah posisi berdiri, badan agak merendah, paha terbuka dan lutut ditekuk. Kalau dilakukan dengan benar, tarian akan kelihatan lebih hidup, ebrah kalau kata eyang. Artinya besar kalau enggak salah. Anyway, pokoknya jangan menertawakan tarian. Eyangku sensi, dan Mas harus bersyukur enggak ketemu beliau."

Cerita Kenes terhenti ketika makanan yang kami berdua pesan datang. Setelah mengucapkan terima kasih, Kenes kembali meneruskan ceritanya. "Menurut cerita eyang, dulu mereka adalah penari keraton dan aku lupa gimana ceritanya sampai berakhir di Surabaya. Eyang pernah cerita, tapi karena waktu itu cerita hanya masuk telinga kanan keluar lagi ... sekarang lupa."

"Jadi karena keluargamu penari, kamu tertarik untuk jadi penari juga."

Tanpa ada keraguan atau bahkan canggung, Kenes mengisi piring makanku dengan beberapa lauk. "Eh, sorry ... aku lancang, ya," ucap Kenes yang salah paham ketika melihatku terdiam. Andai dia tahu, aku bukan merasa dia melewati batas saat ini. Hampir lima tahun tak ada yang meladeniku seperti yang Kenes lakukan beberapa saat lalu. Melihatnya melakukan seolah itu hal yang wajar untuk dilakukan mendatangkan kembali rasa tidak nyaman di hati. "Sorry, Mas."

"Aku enggak protes, kan," kataku tak ingin Kenes menghentikannya. "Lanjut, Ke. Maksudku ceritanya, tapi kalau ini masih mau dilanjut, aku juga enggak keberatan," ucapku lagi sambil melarikan jari telunjuk di atas pilihan menu yang ada di atas meja.

Kekehan terdengar malu dari bibir Kenes, membuat wajahnya kembali santai. "Setiap kali ada yang bertanya kenapa tari, ingin aku jawab kenapa tidak. Tapi kenyataannya adalah, tari ini seperti bisa karena terbiasa. Aku terpaksa belajar menari, akhirnya terbiasa menari dan mencintai dunia tari. Jadi itu jawaban kenapa tari."

Untuk beberapa saat, tak ada kata yang terucap, hingga terdengar suara Kenes. "Maaf, mungkin ini lancang ... tapi aku harus tanya, karena aku enggak mau ada masalah. Meski sebenarnya enggak ada apa-apa antara—"

"Aku sudah bercerai dari mamanya Dea lima tahun lalu, jadi semuanya aman," selaku tak ingin memperpanjang ketidaknyamanan yang terlihat jelas di wajah Kenes. "Itu alasan kenapa Dea ragu untuk ikut latihan tari waktu itu."

Anggukan penuh pengertian yang Kenes tunjukkan membuatku menduga, ia memiliki pengalaman serupa. "Aku tinggal sama eyang setelah ibu meninggal, dan jangan tanya di mana bapakku, karena enggak ada seorangpun yang tahu, dan aku enggak mau tahu!" Kuangkat kedua tangan tanda menyerah, seolah saat ini Kenes menodongkang senjata. "Bagus!" pujian Kenes membuat kami berdua tertawa.

"Mungkin umur enam atau tujuh tahun waktu itu, Mas Bimo udah enam atau tujuh belas."

"Bimo?" tanyaku heran mendengar nama pria asing dari bibir Kenes.

"Kakakku," jawabnya singkat tak terlihat ingin melanjutkannya, dan aku kembali menelan rasa ingin tahu yang memenuhi hati.

"Jadi umur enam tujuh tahun, pindah Surabaya, terpaksa nari, jatuh cinta dan jadi pilihan karir. Gitu?"

Kenes menggeleng. "Aku benci tari ketika pertama kali eyang memaksaku untuk belajar. Karena enggak bisa protes, aku tetap melakukannya. Kira-kira kelas dua SMP aku mulai jatih cinta, semua karena seorang Adyaraka. Jangan ketawa dulu!" hardik Kenes ketika melihatku tak bisa menahan diri.

"Elang Adyaraka, yang selalu dipanggil Raka memujiku keren waktu lihat aku latihan nari. Dan semenjak hari itu, duniaku berubah." Wajah Kenes seketika terlihat berbinar. "Semua terasa lebih indah. Penderitaan saat eyang memaksaku untuk latihan, hilang tak berbekas. Paha, betis dan punggung terasa pegal pun tak membuatku berhenti." Kenes menerawang dengan senyum di bibir. "Hebat, ya, Mas. Kekuatan cinta monyet bisa membuat seseorang berubah. Kalau Mas Ninu?"

Pertanyaan tiba-tiba itu membuatku sedikit gelagapan. Pasalnya, ketika Kenes menerawang dengan kenangannya, aku menopang dagu mengagumi wajahnya. Kenes memiliki wajah ayu, bukan cantik. Pesona gadis jawa terlihat jelas di wajah dan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya, meski aku tak bisa melihatnya di pertemuan pertama kami berdua. "Aku kenapa?" tanyaku.

"Cinta monyet ngerubah dirimu, enggak?"

Aku terdiam memikirkan masa remajaku, dan tak menemukan satu kenangan cinta monyet seperti yang Kenes rasakan. "Kayaknya waktu aku SMP atau STM dulu enggak pernah suka sama seseorang."

"Enggak mungkin!" jawab Kenes tidak percaya. "Masa sih? Pasti ada lah, Mas. Memangnya masa sekolah kemarin dipakai apa aja." Berbeda dengan Kenes yang memiliki eyang menjadi penyokongnya, memenuhi semua kebutuhannya. "Aku berasal dari keluarga pas-pas an, mungkin bahkan kurang. Tapi bapak dan ibu enggak pernah membuatku merasa kekurangan. Bahkan karena melihat keduanya, aku jadi suka bekerja, Ke. Jadi waktu remaja aku lebih sering bekerja."

Kenes memajukan badan, menopang dagu dan menatapku tajam. "Mas Ninu kerja apa aja di umur segitu?"

"Ceritanya panjang, bisa-bisa kita diusir dari sini," ucapoku menyadari berapa lama kami berdua duduk ngobrol dan makan. "Balik, yuk!" ajakku yang merasa belum waktunya untuk menceritakan bagian hidupku yang itu. Meski terlihat keberatan, Kenes tetap mengikuti langkahku menuju pintu keluar setelah melakukan pembayaran.

Perjalanan menuju rumah Kenes kembali diwarnai dengan keheningan. "Aku kasih tahu rahasia, dan hanya Gigih yang tahu." Dari ujung mata, aku melihat Kenes mengubah arah duduk dan menatapku. "Siap?" tanyaku memperpanjang masa penantiannya.

"Mas Ninu, Ih. Aku udah siap dengerin rahasia ini, Yanti tahu enggak?" Aku menggeleng. "Tapi mungkin Mas Gigih udah cerita, orang itu kan cinta mati sama sahabatku. Sepuluh tahun dan bisa ketemu lagi, emang jodoh ya, Mas. Kita enggak pernah tahu kapan, di mana dan siapa."

Jodoh. Aku mengangguk menyetujui kata-kata Kenes yag disampaikan dengan tepat. Kita memang tak pernah tahu siapa jodoh yang Tuhan persiapkan. Kita juga tak akan pernah tahu kapan dan di mana akan bertemu. Seperti yang saat ini kurasakan setiap kali bertemu Kenes. "Masih mau dengar cerita rahasia?"

"Ya ampun! Aku dari tadi udah nungguin, lho!" teriaknya sambil mengepalkan kedua tangan terlihat menggemaskan.

"Kamu tahu kalau aku sama Gigih sekampus, kan!" deheman Kenes menandakan jawabannya. "Di belakang kantin utama kampus ada pohon jambu kalau enggak salah. Untuk ke sana, kita harus muter dan jalannya agak tertutup tembok. Siang itu, aku ada janji sama teman perempuan di sana, enggak tahunya saat kaki tinggal beberapa langkah Gigih muncul dari arah yang berlawanan. Waktu itu aku udah buka mulut mau nyapa, bersamaan sama suara cewek ngomong. Kalau Wisnu bilang cinta, aku harus ngomong apa, ya? Aku ngerti dia orangnya baik, tapi terlalu pendiam. Enggak banyak ngomong dan kayaknya enggak ada romantis-romantisnya gitu lho. Aku butuh pacar yang bikin aku deg-degan, bukan pacar yang bikin aku salah tingkah karena diem enggak banyak ngomong." Sekian detik aku menyelesaikan cerita, tapi Kenes masih terdiam. Tidak ada kata, tawa atau bahkan komentar. Aku meliriknya dan perempuan itu masih diam menatapku.

"Terus," ucap Kenes.

"Ya aku enggak jadi ngomong apa-apa sama cewek itu. beda sama Gigih, karena dia tahu siapa yang cewek itu maksud. Gigih selalu bilang, masih mending dia yang harus nunggu sepuluh tahun untuk kesempatan kedua, ketimbang aku yang di kesempatan pertama aja udah langsung ditolak, padahal belum ngomong apa-apa."

Sekali lagi, tidak ada suara yang kudengar dari Kenes. Namun, saat aku menghentikan mobil tepat di bawah lampu merah tak jauh dari rumahnya, suara tawa tiba-tiba mengisi keheningan. Untuk pertama kali, aku menyadari ketidaknyamanan yang selalu mencul di hati setiap kali memandang Kenes. Tawa lepasnya membuatku tak bisa memalingkan wajah. "Ya ampun, Mas. Kasihan banget, sih. Aku enggak bisa bayangin gimana perasaanmu waktu itu. Antara malu dan lega kali, ya." Kenes masih menertawakan kemalanganku ketika mobilku berhenti tepat di depan pagar rumahnya. "Turun, yuk!" kata Kenes sambil membuka pintu mobil tanpa menunggu jawbanku.

Entah apa yang terjadi di menit-menit terakhir setelah aku mendengar suara tawa lepas Kenes. Saat ini, bukan rasa tak nyaman yang mendominasi. "Mau di dalam atau di luar?" tanya Kenes yang kembali keluar setelah beberapa saat lalu meninggalkanku di teras rumahnya. Masih terlihat beberapa orang latihan tari meski malam semakin larut. Sepertiku, mereka tak terlihat lelah, karena ada sesuatu yang membara di hati.

"Di sini aja, sambil ngelihat mereka latihan. Enggak apa-apa, kan?" tanyaku. Kursi rotan yang terpisah meja kecil menjadi pilihan malam ini tapi ketika melihat wajah Kenes tampak ragu. Aku segera mengganti jawabanku. "Di dalam aja deh. Biar enggak di lihatin mereka." Aku bisa mendengar helan napas lega Kenes ketika membuka lebar pintu dan memintaku masuk.

Tidak ada kopi ataupun pisang goreng di atas meja. Hanya teh hangat dan beberapa toples kue yang tertata rapi. "Ini jadi kayak lebaran kalau lihat jejeran kue begini," kataku sambil menyandarkan punggung di sofa menghadap halaman belakang.

"Aku suka lihat meja yang terisi kue gini, Mas. Kadang aku suka ngabisin waktu di sini sambil baca." Aku tahu calon istri Gigih gila membaca, tapi kenyataan tentang Kenes pun memiliki hobi yang sama membuatku semakin mengerti bentuk persahabatan mereka bertiga.

Perempuan yang terlihat santai duduk di sampingku kini tampak berbeda di mataku. Senyum yang dulu membuatku terdiam kini seolah menjadi penghuni tetap angan-anganku. Aroma tubuhnya yang sesekali memasuki hidungku, berubah menjadi bagian dari rinduku. Suara lembutnya menjadi musik yang merdu di telingaku. Dalam semalam semua terasa berbeda. Rasa tak nyaman yang mendominasi pun berubah jadi perasaan rindu, sayang dan mungkin cinta.


Happy reading, guys
Love, ya!
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top