Bab 8


Bab 8 



Aku berdiri di pinggir hall dengan bangga ketika melihat Dea mengikuti gerakan Kenes dengan serius. Walau geakan tubuhnya masih terlihat kaku, tapi itu tak membuat senyumku surut dan menghilang. Menatap Dea dan Kenes bergantian aku menikmati kesendirianku jauh dari semua orang tua yang menanti anaknya selesai melakukan latihan, seperti diriku. Namun, pikiranku tak bisa jauh dari kejadian yang berlangsung hampir dua puluh empat jam yang lalu.

"Tunggu tunggu ... Cica selingkuh dan kamu tahu tapi enggak ngomong apa-apa sama Ninu?" tanya Putra yang kembali duduk setelah memastikan pintu ruang kerjaku tertutup rapat. "Dan kamu baru tahu semua itu ... hari ini? Setelah Lima tahun." Aku memandang Gigih sesaat sebelum melarikan mata ke arah Putra dan mengangguk.

Bersama mereka berdua, aku tak menyembunyikan apa-apa kecuali perasaan gagal, hingga saat ini. "In my defence ... aku mikirin Dea. Asal kamu tahu, Cica tahu kalau aku tahu tentang perselingkuhannya, Nu." Gigih mentapku tanpa mengalihkan pandangan. Sekali lagi aku tak mempercayai pendengaranku meski suara Gigih jelas terdengar.

"Cica tahu," gumamku semakin tak mengerti.

"Gimana kamu bisa tahu?" Putra menanyakan pertanyaan yang takut kuucapkan sejak Gigih mengatakannya. "Mulai kapan kamu tahu."

"Kayaknya kejadiannya satu atau dua minggu sebelum kamu cerita Cica minta cerai, Nu." Aku tak bisa menghentikan otakku untuk menghitung waktu kejadiannya. Menceritakan pada Gigih tentang permintaan Cica bukan sesuatu yang mudah, aku memerlukan waktu satu minggu setelah kejadian itu. Berarti, Gigih mengetahui semuanya tak lama sebelum Cica mengakui. Itu berarti ....

"Cica minta cerai enggak lama setelah kalian berdua entah gimana bisa bertemu, dan aku enggak tahu." Kenyaatan itu membuat perutku terasa mual. "Goblok banget aku!"

"Cica yang bodoh, Nu. Bukan kamu!" Gigih terdenagr menahan marah ketika mengatakannya. "Ingat enggak waktu aku ketemu sama Mbak Maya di restoran hotel waktu itu?"

Pertemuan mereka bersama klien yang selalu membuat keduanya tidak nyaman selalu berlangsung di kafe atau hotel. Meski aku dan Gigih tak pernah menyembunyikan ketidaknyaman itu, perempuan yang tak ragu memperlihatkan belahan dadanya tersebut tak mempedulikan itu semua. "Ingat," jawabku.

"Siang itu, aku keluar resto setelah menyelesaikan pertemuan dengan Mbak Maya dan bertemu dengan Cica di depan pintu lift." Terkadang Cica mengatakan bertemu dengan temannya untuk makan siang. Satu atau dua kali dalam seminggu dan itu tak membuatku curiga, karena aku menyadari, Cica membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri dan tidak berkutat dengan urusan rumah dan Dea.

"Waktu itu ... dia terlihat tertawa sambil memeluk lengan laki-laki yang enggak pernah aku lihat sebelumnya. Percaya atau enggak, Cica tak terlihat kaget. Mungkin aku gila, tapi mata istrimu—"

"Mantan istri!" selaku tak ingin menyebut perempuan yang mengkhianati sumpah dengan panggilan istri.

"Sorry, mantan istri." Gigih tersenyum kikuk pada Putra yang terlihat diam. "Cica kelihatan lega, Nu."

"Mas Ninu!" Suara Kenes menarikku. "Aku udah manggil berkali-kali, lho!"

Kulihat Dea berkumpul bersama beberapa temannya, duduk melingkar dan sesekali tertawa riang. Aku tak melepas pandangan hingga gadis itu menoleh dan melambaikan tangan padaku, dan hatiku kembali tenang. "Sorry, tadi ngelamun. Ada apa? Ada yang mau diomongin? Tentang Dea atau rumah?" tanyaku gugup mendapati mata Kenes seolah melihat ke dalam hatiku yang paling dalam.

"Tahu enggak, wajah Mas Ninu kalau lagi diam ngelamun seperi tadi, kelihatan ... berat. Seperti nahan beban berat banget."

Aku masih terdiam, tak menyangka di beberapa kali pertemuanku dengannya, dia mengobservasiku dengan tepat. Karena setiap kali mengingat semua kegagalan dalam hidup, aku merasa bebanku semakin berat. "Kelihatan ganteng, enggak?" tanyaku tak ingin membuat suasanya jadi canggung.

"Siapa yang ganteng?" tanya Kenes tak terlihat terkejut dengan pertanyaanku. "Emang aku pernah bilang kalau papanya Dea enggak ganteng."

Dua hari berturut-turut, aku dibuat terkejut dengan orang lain. Selama ini, aku selalu mengira Kenes adalah perempuan diam, kalem dan tak akan pernah jelas-jelas memuji seorang pria seperti beberapa saat lalu. Namun, ternyata aku salah. Kenes bisa berubah menjadi perempuan yang ceria, tak malu untuk memuji atau menggoda.

"Jadi papanya Dea ganteng?" tanyaku kembali. Meski saat ini, Kenes tak memalingkan wajah dari murid-muridnya, aku tahu pipinya bersemu merah. "Tenang, papanya Dea sadar diri kok."

Tanpa kuduga, Kenes memalingkan wajah dan memandangku dengan senyum tertahan. "Tahu, enggak. Pertama kali ketemu Mas Ninu, aku takut—segan—karena enggak banyak ngomong. Lha kok ternyata orangnya narsis gini." Belum sempat aku menjawabnya, Kenes berdiri dan membalik badan. "Sorry, aku sebenarnya senang-senang aja duduk dan muji kamu, Mas. Tapi anak-anakku udah manggil." Kuikuti arah pandang Kenes dan mendapati semua anak memanggil Kenes sambil melambaikan tangan. "Aku tinggal dulu."

Rambut panjang yang diikat lepas itu terlihat terayun seiring langkah kaki Kenes menuju muid-muridnya. Gadis-gadis dengan selendang yang terikat dipinggang terlihat mengambil posisi dan menunggu aba-aba Kenes dan mereka bergerak seirama. Dea terlihat kesulitan untuk mengikuti tapi senyum di bibirnya membuatku tenang.

Aku berharap, anakku tak patah semangat untuk terus latihan. Bukan untukku agar bisa melihat senyum Kenes kembali, tapi untuk Dea. Setidaknya itu yang aku katakan dalam hati.

Tak ingin terlalu lama menatap Kenes meski dari kejauhan, aku membuka pekerjaan dan dalam beberapa detik, aku memblokir semua yang ada disekitarku dan menyelesaikan tugas. Sesekali aku mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan Kenes yang menatapku. Perasaan tidak nyaman itu kembali datang.

Aku menyadari musik gamelan menghilang dan kulihat beberapa orang mulai berjalan menuju pintu keluar. "Sudah?" ucapku tanpa suara pada Dea yang menatapnya dari kejauhan. Anggukannya memberiku tanda untuk segera merapikan pekerjaan. "Pa, kita bisa anterin Tante Keke dulu enggak? Katanya tadi naik ojek, kan kasihan. Aku bilang aja kalau Papa bisa anterin Tante Keke pulang. Tante Keke nolak sih, jadi Papa harus paksa Tante Keke untuk mau di anterin. Papa selalu bilang kalau kita harus bantu siapapun. Iya, kan?!" Dea tak memberiku atau Kenes waktu untuk menjawabnya. Anak gadis yang terlihat bersemangat itu memborbardirku dengan pertanyaan dan pernyataan yang tak bisa kubantah.

"Tante Keke mau dianterin?" tanyaku ke arah Kenes yang terlihat mengulum senyum. "Papanya Dea enggak merasa repot, kok. Kerjaan udah beres hari ini, kalau Tante Keke pengen tahu."

"Nah, ayo Te," ucap Dea menarik tangan Kenes yang tak mampu menolak. Bahkan perempuan yang terlihat malu itu hanya mengikuti dengan pasrah langkah anakku menuju area parkir. "Papa cepetan, aku ada PR!" Tak ingin membantah perintahnya, aku mengikuti langkah mereka berdua sambil menyembunyikan senyum. Aku tak melihat keberatan di wajah Kenes, bahkan perempuan yang sesekali memandang ke belakang—ke arahku—terlihat behagia. Meski aku tidak tahu apa yang membuatnya merasa bahagia.

"Papa anterin aku dulu, ya. Ada PR yang pengen aku selesaikan, karena ntar malam aku dan janji mau main bareng sama Danen." Aku menoleh ke arah Dea yang menyebut nama salah satu temannya di sekolah. "Besok tanggal merah, kan!" kata Dea menjawab pertanyaan tanpa suaraku. Peraturan tidak boleh main game di hari sekolah Dea taati selama ini, tapi mendengar permintaannya untuk pulang sebelum mengantar Kenes pulang membuatku heran.

"Katanya kita yang anterin Tante Keke, kenapa jadi Papa aja yang anterin, Non?" tanyaku melihat ke arah spion tengah, memandang Dea yang duduk di kursi belakang.

Dea tak terlihat terganggu dengan pertanyaanku, "yang bisa nyetir, kan, Papa. Lagian emang enggak berani anterin Tante Keke sendiri." Aku tak menyangka kalimat sarat dengan godaan dan candaan meluncur dari gadis berumur sepuluh tahun. "Jadi Papa anterin aku dulu aja. Mbak hari ini kan sampai malam, karena nunggu di jemput suaminya, kan."

"Mbak siapa?" tanya Kenes yang duduk di samping kiriku.

"Tatik, asisten di rumah. Biasanya pulang sore, tapi hari ini enggak pulang dulu karena nunggu suaminya pulang. Biasanya sampai jam sepuluh, kadang sebelas." Aku menjelaskan tentang Tatik yang terkadang berakhir tidur di kamar yang sudah kusediakan, karena suaminya terlalu lelah untuk pulang. "kita anterin Dea pulang dulu, enggak apa-apa, kan?"

"Mas ... iku itu nunut, lho. Mana mungkin aku protes." Aku kembali melihat senyum terkulum yang banyak dilakukan Kenes hari ini. Seolah menahan diri untuk tidak melepas senyumnya, meski aku lebih memilih mendengar suara tawa itu.

"Turun bentar. Mau?" pintaku sesaat setelah menghentikan mobil di depan rumah. Dea yang sudah melesat tanpa menungguku mematikan mesin, meninggalkanku berdua dengan Kenes yang tak melepas pandangan dari rumah berdinding batu klinker.

"Rumahmu ... rasanya beda, Mas. Seperti ada nuansa-nuansa Bali gitu. Berbeda dengan rumahku yang jawa banget." Reaksi Kenes ketika melihat tanaman kamboja atau frangipani berwarna putih dengan warna kuning di bagian tengah. Bunga yang pertama aku tanam setelah menempati rumah ini hampir lima tahun lalu. Setelah resmi bercerai, aku keluar dari rumah yang kubangun untuk Cica. Aku tak ingin menghabiskan waktu bersama kenangan bernuansa pengkhianatan. Rumah yang menjadi bagian dari harta gono gini, kuserahkan pada Cica dan memutuskan untuk membeli rumah yang terletak tak jauh dari kantor. Semua demi Dea, karena aku ingin bisa menjadi orang tua yang menghabiskan waktu dengannya.

"Tunggu sebentar." Aku meninggalkan Kenes di ruang tamu di depan dinding gallery berisi fotoku dan Dea. Ada beberapa foto bersama Gigih dan juga Fitra di sana, dan tiba-tiba aku berdoa semoga Kenes tidak melihat itu. Kuputuskan untuk mengganti baju, dan kembali keluar hanya untuk mendapati Kenes menatap satu-satunya bingkai foto yang terdapat Fitra di sana. Aku masih bisa mengingat foto itu.

"Liburan lebaran dua tahun lalu. Aku, Dea, Putra, Gigih, Lala dan yang pundaknya aku rangkul itu Fitra. Adik perempuan Gigih." Kenes terlihat terkejut karena aku bisa mengetahui foto yang dilihatnya saat ini.

"Aku enggak tahu Mas Gigih punya adik perempuan. Yanti enggak pernah cerita," ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari foto berbingkai kayu tersebut.

"Aku anterin pulang sekarang?"

Kenes menegakkan punggung, memandangku dan terdiam. "Mas Ninu kok ganti baju?!" protesnya.

"Kotor Ke. Bau keringat," jawabku sambil memasukkn ponsel dan kunci mobil sebelum memanggil Dea. "Masak nganter cewek cantik, bau asem, sih!" godaku bersamaan dengan terdengar langkah kaki Dea. "Salim Tante Keke dulu, Papa pergi dulu."

Aku bisa melihat keakraban Kenes dan Dea meski keduanya baru bertemu beberapa kali. Senyum cerah di bibir Dea terlihat jelas, tak berbeda dengan Kenes yang sempat kulihat memeluk singkat sebelum mengikuti langkahku.

"Enggak adil! Aku juga bau keringat, kan!" protes Kenes tak lama setelah dia menutup pintu mobil. Aku bahkan belum menyalakan mesih ketika bibir cemberut itu membuatku tertawa terbahak-bahak. "Tahu gitu tadi naik gojek aja, enggak harus dianterin gini. Mana berat sebelah, lagi."

Aku tahu Kenes mengacu padaku yang sudah mengganti baju dan dia yang merasa kusam karena kelar mengajar dan berkeringat. Meski saat ini, aku yang merasa timpang, karena Kenes terlihat cantik meski tanpa make up, berbeda dengannya meski sudah mengganti kemeja, masih terlihat kucel. "Orang cantik, meski berkeringat tetap kelihatan cantik, Ke." Setelah itu, aku tak mendengar satu katapun keluar dari bibir Kenes hingga mobilku berhenti di depan rumahnya.

"Hari ini ada kelas, enggak?" tanyaku penuh harap.

"Semua kelas libur, tapi ada beberapa anak yang latihan persiapan pertunjukan bulan depan. Kenapa?" tanya Kenes tak melepas pandangan dariku. "Aku enggak harus ngawasi mereka, kalau itu yang pengen Mas Ninu tanyakan."

Tanpa menyembunykan senyum di bibir, kau bertanya, "mau makan malam sama aku, enggak?" tanyaku yang tiba-tiba tak ingin hari ini segera berlalu. Kenes tak menyembunyikan kaget di wajahnya, matanya membelalak tak percaya dengan ajakanku. "Enggak mau, ya?"

"Yang bilang enggak mau itu siapa!" jawab Kenes. "Tunggu di dalam. Jangan nunggu di mobil." Tanpa menungguku dan aku bersyukur karena bisa menyembunyikan senyum, Kenes membuka pintu pagar sebelum menutupnya kembali setelah aku menghentikan mobil. "Sudah ngopi berapa kali hari ini?" Langkahku terhenti tak mengira akan mendapat pertanyaan seperti itu. Tanpa perlawanan, aku menunjuk tiga jari kananku dan wajah manis Kenes segera berganti.

"Bu, bikinin Mas Ninu teh aja, ya. Jangan kopi!" perintah Kenes pada perempuan yang menyambut kedatangaku dengan senyum lebar. "Aku tinggal bentar." Sekali lagi aku kembali ke dalam rumah yang semakin akrab bagiku. Aku masih bisa mengingat warna sarung bantal di atas sofa menghadap televisi yang menempel di dinding. Bahkan aku mengingat beberapa wajah di foto berbingkai kayu yang tertata rapi di atas credenza kayu jati kombinasi rotan. Salah satu perabot yang langsung menarik perhatianku sejak pertama kali menginjakkan kaki di dalam rumah Kenes.

Nebeng 

Mas Ninu agak terlupakan karena Mas Arka, nih. 
Maaf yaaaa, happy reading

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top