Bab 7
Bab 7
Gigih memasuki ruanganku dengan senyum terkembang. Pria yang akan melepas masa lajang bersama perempuan idamannya tersebut terlihat aneh. Seolah menahan diri untuk tidak mengatakan apapun yang dipikirkannya, tapi juga tak sabar untuk segera mengeluarkannya. "Opo?!" tanyaku kembali meneruskan pekerjaan. “Kalau mau ngomong ... ya ngomong aja. Tapi kalau enggak ada yang mau diomongin, kerja sana!” Hingga beberapa saat, tak ada jawaban dari pria yang duduk diam di depanku.
Gigih bisa sangat menjengkelkan, seperti saat ini. Setelah membuat gaduh dengan menarik kursi di depan mejaku, kini pria yang tak pernah lepas dari kacamata tersebut menupang dagu dan menatapku tajam. Kerling jahil di matanya menandakan apapun yang tersimpan di kepalanya akan membuatku meradang. Hingga beberapa saat, tidak ada kata yang terlontar dari bibiku ataupun Gigih. Namun, keheningan itu pecah ketika suara Gigih membuat gerakan tanganku berhenti.
“Kamu naksir Keke?!”
Dengan tenang, dan berusaha untuk tidak menunjukkan apapun di wajah, aku mengangkat wajah dan menatap Gigih. “Halah! Koyok arek SMA ae naksir naksir, Gih.” Meski saat ini jantungku berdetak kencang saat mendengar kecurigaan bernada tuduhan tersebut. “Lagian kamu ngomong apaan, sih, Gih?”
“Kamu! Laki-laki yang selama ini enggak pernah terlihat dekat sama perempuan kecuali Cica—itupun lima tahun lalu—kenapa tiba-tiba aku dapat cerita kalau kamu jadi sering ketemu Keke.” Persahabatanku bersama Gigih sudah melewati semua ujian. Tidak ada tersinggung atau sakit hati meski kata yang terucap terdengar pedas. Tak ada marah—seperti saat ini— meski tuduhan terdengar jelas dari bibir Gigih. “jangan salah sangka, Nu. Kamu ngerti kalau kam—“
“Sering ketemu Keke karena Dea tertarik untuk belajar nari traditional,” selaku tanpa ragu. “Biasa aja wajahnya!” kataku ketika mata membelalak Gigih menghiasi wajahnya. “Aku ngerti, Dea yang lebih milih main sama anak laki, kini pengen belajar nari. Aku aja kaget.”
Siapapun yang mengenal anak gadisku pasti mengerti dia bukan seperti gadis pada umumnya. Satu-satunya rok yang dia punya, hanya seragam sekolah. Rambutnya selalu pendek. Dia benci anak perempuan—kecuali Lala—karena mereka banyak omong, curigaan dan gampang baper—menurut pendapatnya. Wajah Cantik Dea tak membuatnya ingin berlama-lama di depan cermin, karena bagi anak gadisku, itu membuang-buang waktu.
“Nari, Nu? Dea nari?” Ketidakpercayaan yang terdengar jelas, menarikku dari lamunan dan kembali menatap sahabat, partner kerja juga saudara yang tak pernah kumiliki selama ini. “Aku enggak bisa komen, tapi kalau Dea sudah bertekad untuk melakukan sesuatu … dia pasti bisa.” Seperti dirinya, Gigih mengenal Dea. Seperti aku mengenal Lala. Kedua gadis yang terkadang tak terpisahkan itu membuatku dan Gigih harus mengawasi keduanya.
“Ingat waktu aku bilang Dea enggak ada di sekolah?” Gigih mengangguk. “Ternyata Dea ada di hall melihat teman-temannya latihan nari, dan kamu pasti bisa menebak siapa guru tarinya, kan?” Gigih kembali mengangguk. “Tapi bukan itu yang buat aku nyerahin kerjaan Keke sama kamu. Bukan karena Cica bilang kalau akan segera nikah lagi.” Mata membelalak Gigih tak membuatnya berhenti. “Tapi karena Cica ingin Dea ikut dengannya dan pindah ke Singapore.”
“Hah!” hardik Gigih. “Beneran, Nu?” Aku mengangguk dan mengedikkan pundak tak ingin membuka bibir. “Lalu Dea?”
Menjadi orang tua tunggal seperti Gigih—meski Lala bukan anak kandungnya—memaksaku untuk belajar padanya. Pengalaman sepuluh tahun dia menjaga Lala, menjadi sumber informasi, dan aku belajar banyak. Terlebih lagi tentang cara berhadapan dengan remaja, yang terkadang tidak mudah untuk dilakukan. “Percaya atau enggak, dia bilang cama Cica kalau bakalan tetap tinggal sama aku. Tapi yang buat aku merasa gagal adalah, dia merasa kasihan lihat papanya enggak punya siapa-siapa.” Aku terdiam menghindari tatapan mata Gigih. “Selama ini, aku berusaha untuk selalu tegar dan kuat di hadapannya, tapi ternyata—”
“Dea enggak butuh papanya selalu tegar dan kuat. Yang Dea butuhkan adalah kehadiranmu di sisinya, meski dalam keadaan lemah sekalipun. Anak-anak kita enggak bodoh, Nu!” Semenjak kepergian Cica, aku tak ingin orang lain melihat kelemahanku, termasuk Dea.
Pria yang tak berhenti berjuang untuknya. Papa yang akan selalu mencintai dan menjaganya. Ayah yang tak pernah berhenti mengenggam tangannya. Penjaga yang akan selalu membayangi langkahnya. Bukan pria gagal yang tak mampu mempertahankan wanitanya. Bukan suami yang mencekik dan memerangkap istrinya.
“Nu.” Suara Gigih menariknya dari bayangan kelam pikirannya. “Aku enggak pernah ngomong ini, tapi kamu harus berhenti merasa bersalah atau merasa gagal karena tak bisa mempertahankan pernikahan.”
Wajah kuatir Gigih terlihat jelas. Aku tak sepenuhnya jujur tentang alasan Cica meminta cerai dariku. Hanya aku dan Cica yang mengetahui semuanya, bagi orang di luar sana, alasannya hanya ketidakcocokan yang tak bisa diperbaiki. Aku tidak menceritakan dan tidak akan menceritakan pada siapapun. “Kamu enggak tahu, Gih,” ucapku berusaha menghentikan apapun yang ingin Gigih katakan.
“Kamu salah. Aku tahu!” Ada sesuatu dari nada itu yang membuat kepalaku tersentak ke belakang. “Aku tahu, karena sebelum kamu cerita Cica meminta cerai … aku tahu dia berselingkuh di belakangmu selama ini.”
Semua yang kupercayai selama ini hancur berantakan ketika mendengar Cica mengatakan aku mencekiknya, memerangkap dan membuatnya tidak bahagia. Perasaan gagal mengikuti langkahku sejak malam itu. Namun, mendengar Gigih mengetahui tentan ketidaksetiaan Cica, seolah pisau di hatiku diputar kembali. Membuat lukaku kembali menganga.
“Sebelum kamu marah dan merasa di khianati. Aku memilih untuk enggak ngomong apa-apa sama kamu.”
“Kenapa?!” teriakku tanpa peduli saat ini ada banyak telinga bisa mendengar sakit dan marah yang kutahan selama ini. “Jancuk! Kenopo awakmu enggak ngomong opo-opo! Adewe koncoan enggak sediluk, sepuluh tahun lebih, Gih! Tego awakmu!”[1]
Marah, kecewa dan sakit hati ketika mendengar Gigih mengetahui alasan dibalik perceraianku, membuat kegagalanku semakin membesar. Aku menarik napas dan menghembuskan perlahan, berusaha menenangkan hati. Meski saat ini, yang kuinginkan adalah melayangkan pukulan ke wajah Gigih, walau aku tahu ini semua bukan salahnya.
“Mbok kiro aku enggak pengen cerito. Tapi nek aku cerito, opo awakmu percoyo?!”[2] Gigih menjawab tanpa meninggikan suara dan itu membuatku merasa seperti orang brengsek. “Aku ndelok Cica karo wong lanang seng uduk koncoku, padahal aku ngerti nek awakmu cinta mati karo bojomu. Nek awakmu dadi aku, tego ta cerito? Tego awakmu ngomong, Gih aku ndelok bojomu selingkuh? Tego?” tanya Gigih tanpa melepas pandangan dariku. “Aku enggak tego, Nu. Percoyo opo enggak, aku meneng ae karena ndelok Dea!”[3]
Napasku masih memburu tanpa tahu apa yang bisa membuat semuanya menjadi lebih baik. Gigih masih bergeming, duduk tegak dengan mata tertuju padaku. Tidak ada kemarahan di wajahnya. Mata di balik kacamata itu memancarkan pengertian dan bukan kasihan yang terkadang orang berikan setiap kali mengetahui nasib pernikahanku.
Terkadang ada saatnya aku mempercayai semua yang Cica katakan. Aku memang memerangkapnya. Mencekiknya. Membuatnya tidak bahagia dalam kehidupan bersamaku dan Dea. Itu semua terkadang membuatku tak mampu untuk menatap wajah anakku sendiri.
“Nu,”
“Kenapa ruangan ini terasa mencekam.” Panggilan Gigih bersamaan dengan suara Putra di ambang pintu. Pria yang terlihat rapi—tidak seperti biasanya—kini menyandar di kusen pintu dengan kedua tangan tersimpan ke dalam saku celana. “Aku ngerti kalau Ninu enggak suka sama musik kalau lagi kerja, tapi enggak gini juga. Ada apa?” tanya Putra tanpa menyadari pandanganku padanya. Saat ini, aku masih berusaha untuk menahan diri untuk tidak melayangkan pukulan.
Aku tak berencana untuk mengatakan apapun pada Putra. Bukan karena aku tidak mempercayai teman SMA Gigih tersebut. Pria yang semenjak aku dan Gigih mulai bekerja sama sudah menjadi bagian dari lingkaran kita berdua, aku mempercayainya. Namun, kenyataan tentang alasan di balik perceraianku bukan untuk cerita semua orang. Cukup Gigih yang mengetahui ketidakmampuan dan kegagalanku.
“Kamu kenapa, Put!?” tanyaku berusaha untuk mengalihkan perhatian Putra. “Itu muka kenapa kusut gitu?”
“Aku enggak sengaja tidur sama Dara.”
“Jancuk!” Umpatku dan Gigih bersamaan.
“Puput … kamu enggak bisa tiba-tiba datang ngomong kalau kamu udah tidur sama sahabat calon istriku, Puuuut!” Helaan napas panjang Gigih tak membuat kekusutan Putra menghilang. “Aku ngerti Dara seperti apa, tapi enggak sama kamu Put. Aku udah ingetin kamu waktu makan siang, kan!” Nada marah dan kecewa yang terdengar jelas di omelan Gigih juga tak membuat Putra bergerak.
Tiba-tiba keinginanku untuk tertawa terbahak-bahak tak bisa kutahan lebih lama lagi. Menyadari semua kelucuan dan keanehan yang terjadi hari ini membuatku menyadari kekonyolan selama ini. Keheranan Putra dan Gigih tak membuat tawaku mereda. Bahkan saat ini, tanpa kuduga, bibir kedua pria yang duduk di depanku pun melengkung ke atas dan kami bertiga tertawa hingga perlahan semuanya mereda.
“Aku enggak tahu sama kalian berdua,” kataku di sela tawa. “Tapi hidupku sepertinya semakin hari semakin lucu. Aku baru tahu kalau sahabatku sendiri tahu tentang perselingkuhan istriku.” Putra membelalakkan mata tidak percaya, tapi aku tak peduli. “Dan kamu, enggak ada hujan enggak ada angin tiba-tiba bilang kalau sudah tidur sama Dara. Perempuan yang beberapa tahun ini jadi relasi kerja aku dan Gigih, dan sahabat calon istri Gigih.”
“Aku enggak tahu lucunya di mana,” ucap Gigih yang masih terlihat ingin melingkarkan jari di leher Putra.
“Terus lapo melok ngguyu, Gih?”[4] tanya Putra yang terlihat mulai menguasai diri. “Tapi nek di pikir-pikir, aku lapo melok ngguyu, ya?”[5]
Tawa kami bertiga kembali pecah menyadari kebodohan dan kekonyolan kami bertiga. Untuk sesaat, aku tak ingin memikirkan tentang Cica, Dea atapun Kenes yang kehadirannya membuat perasaan tak nyaman di hati semakin besar.
Putra mengulurkan tangan ke arahku dan Gigih. Terlihat mengatur napas dan membuka mulut, “jangan marah, tapi aku enggak terlalu ingat kejadian malam itu.” Umpatan meluncur dari bibirku dan Gigih. “Dara juga enggak terlalu ingat.”
Aku memandang Gigih yang membelalakkan mata ke arahku. Kami berdua tahu track record Putra, dan selama ini, pria yang sukses menjadi pengusaha muda sejak beberapa tahun tersebut tak pernah kelepasan seperti saat ini. Beberapa kali aku dan Gigih mendapati Putra menenggak minuman keras, tapi tak pernah ada kejadian ia tak mengingat apapun.
“Put, kamu—“
“Jangan tanya dulu, aku kesini butuh pengalihan.” Mendengar jawaban tegas itu, aku dan Gigih sepaka tuntuk tidak bertanya hingga Putra menceritakan nanti. Saat ini, aku kembali memandang Gigih dan berusaha untuk berkomunikasi tanpa suara. “Jancuk!” Umpat Putra membuatku dan Gigih terkejut.
“Jancuk! kaget, goblok!” balas Gigih membuatku menggelengkan kepala keheranan melihat kelakuan dua pria yang sudah cukup dewasa untuk tidak bersikap seperti anak SMP. “Kamu kenapa, sih, Puput?!”
Seketika kedua pria yang beberapa saat lalu duduk di depanku kini terlihat siap untuk saling menghantamkan pukulan. “Siapapun yang akan mulai mukul, harus belikan Dea dan Lala ponsel baru!” ancamku. “Dan bukan ponsel harga empat atau lima juta, ya!” ancamku setelah melihat kedua tak segera mundur. “Duduk!” perintahku lagi setelah menunggu keduanya yang masih tak mau bergerak. “Koyo arek cilik ae antem-anteman!” omelku setelah keduanya duduk tanpa memutus pandangan mereka. “Salaman!”
“Jancuk! koyo arek cilik ae atek salaman, Nu!” Gigih mengulurkan tangan dan segera Putra sambut meski keduanya masih menolak untuk saling memandang.
Setelah keduanya tenang, aku memundurkan badan dan menangkup kedua tangan di depan bibir. “Kamu datang kesini ngomong udah tidur sama Dara,” kataku menunjuk Putra. “Dan kamu udah tahu Cica selingkuh tapi enggak ngomong apa-apa sama aku.” Kutatap Gigih yang tak terlihat menyesal dengan pilihannya. “Sepertinya ada banyak hal yang bikin kita mumet hari ini.” Aku berdiri dan keduanya memandangku dengan curiga. “Ayo ngopi diluar!”
Tanpa menunggu persetujuan keduanya, aku berjalan ke luar sambil menenteng ponsel dan tablet di tangan. “Ayo!” tak lama kemudian terdengar suara langkah keduanya seperti anak itik mengikuti induknya. “Pinter,” kataku tanpa melihat ke belakang. “Kamu yang nyetir, Gih. Dan kamu yang bayar, Put!” perintahku lagi.
[1] Kenapa kamu enggak ngomong apa-apa! kita berteman bukan sebentar, sepuluh tahun, Gih! Tega kamu!
[2] Kamu kira aku enggak pengen cerita. Tapi kalau aku cerita, apakah kamu percaya?
[3] Aku lihat Cica bersama lelaki yang bukan sahabatku, padahal aku ngerti kamu cinta mati sama dia. Kamu kamu jadi aku, tegakah kamu cerita? Tega kamu bilang, Gih aku lihat istrimu selingkuh. Tega? Aku enggak tega, Nu. Percaya atau enggak, diamku karena aku melihat Dea.
[4] Terus ngapapin ikut tertawa, Gih
[5] Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa aku ikutan ketawa, ya?
Mas Ninu is back!
Jadiiii ... Jangan marah karena aku gantung cerita segi enggak jelas Aga-Mara-Dipa yaaaa 🤣🤣🤣
Teman-teman bisa ketemu Mas Ninu lagi. Daaaan, aku bakalan post ceria baru yang InsyaAllah open PO barengan sama Mara.
Happy reading guys
Love, ya!
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top