Bab 4


Piye piye ... Mas Duda cukup bisa bikin teman-teman terhibur enggak?
Jangan lupa kritik, saran, vote dan comment ya guys

Happy reading
Love, ya!
Shofie


Bab 4


Beberapa hari berlalu dan kesedihan masih terasa antara aku dan Dea. Dia lebih banyak diam dan tak terlihat bersemangat untuk melakukan apapun. Tidak ada musik dari negara ginseng yang selalu mengisi kamarnya. Semua usahaku untuk membuatnya tersenyum tak berbuah manis, bahkan ajakanku untuk makan ice cream pun ditolak mentah-mentah.

Malam ini, tak ubahnya seperti hari sebelumnya, kami berdua melewati makan malam tanpa kata. Dea terlihat tak ingin terlalu lama menghabiskan waktu bersamaku, dan itu membuat kegagalan yang kurasakan semakin membesar. "Non ... Papa minta maaf kalau sudah buat Dea sedih," ucapku setelah makan malam.

Tumpukan piring kotor yang menjadi tugas Dea selepas makan malam terlupakan di dalam kitchen zink ketika dia membalikkan badan, terdiam sesaat dan melontarkan tubuh ke arahku. Membuatku terkejut dan hampir terjengkang bersamanya. "Aku enggak mau pindah dan jauh dari Papa, tapi aku juga enggak tega lihat Mama yang selalu kelihatan sedih setiap kali aku pulang ke rumah Papa. Aku enggak." Dea terdiam sesaat, menarik napas panjang yang membuatku sesak. "Aku enggak pengen buat Papa atau Mama sedih, tapi sepertinya saat ini ... cuma itu yang bisa aku berikan buat Papa dan Mama."

Aku tak pernah mau menunjukkan kesedihan di depan Dea, tapi saat ini, air mata tak bisa kutahan ketika mendengar rasa sakit yang terdengar jelas di antara isakannya. Kupeluk erat tubuh Dea tak memberinya kesempatan untuk mundur. "Kamu enggak bikin Papa sedih, Sayang. Maafkan Papa, ya," ucapku meminta maaf dengan tulus. "Mungkin Papa belum siap untuk jauh dari Kamu."

Isak tangis Dea membuat pelukan kami berdua semakin mengerat. "Papa sedih tapi juga senang kalau Dea mutusin untuk ikut Mama. Papa sayang sama kamu, enggak ada yang akan bisa ubah itu. Di manapun Dea berada, sayang Papa hanya untuk kamu."

Dea masih tak ingin melepas pelukannya. Aku masih bisa merasakan pundaknya bergetar. "Mama juga sayang Dea. Papa yakin, Mama ingin yang terbaik untuk Dea. Papa tahu ini semua terlalu besar untuk kamu, terkadang Papa lupa kalau anak Papa masih sepuluh tahun, masih kecil. Dan enggak adil menempatkanmu di tengah-tengah untuk memilih. Jadi, Papa pengen Dea pikir baik-baik. Enggak perlu mikir tentang Papa atau Mama. Pikirkan tentang diri sendiri, dan apapun pilihan Dea, Papa dan Mama enggak akan sedih."

Sebanyak apapun kata penghiburan yang kuucapkan, tak membuat Dea mengendurkan pelukannya. Lengan kecil itu masih melingkar erat di leherku saat ini. Memenjaraku dengan kasih sayang yang yang membuat hidupku semakin bahagia sejak kehadirannya. "Non, bersih-bersih dulu lalu tidur. Papa masuk kalau sudah selesaikan tugasmu cuci piring. Okey," pintaku yang tak segera mendapat anggukan. Namun, setelah beberapa saat, aku bisa merasakan anggukan lemah Dea.

"Maafin Dea, Pa."

"Enggak ada yang perlu di maafkan, Non. Papa dan Mama yang salah karena menempatkanmu di sini."

Dea melepas lilitan lengannya dan berjalan menuju kamar dan hatiku semakin terasa teriris. Setelah menenangkan diri, aku menyelesaikan tugas Dea dan menuju kamar yang pintunya tak tertutup rapi tersebut.

"Aku enggak mau ninggalin papa sendiri, La." Langkahku terhenti mendengar suara Dea yang kembali terisak. "Kalau kamu jadi aku, masih ada Tante Pit yang nemeni papa kamu. Tapi papaku enggak punya siapa-siapa, La. Mama punya Om Ahsan, tapi papa ...." Aku segera mengurungkan niat untuk membuka pintu dan memundurkan langkah memberi ruang pada anak kecil yang harus membuat keputusan besar di usia mudanya.

Meraih ponsel di atas meja kerja, dan menghubungi nomor yang masih kuhafal di luar kepala setelah memastikan pintu di belakangku tertutup rapat. "Kamu ngelanggar janji yang sudah kamu buat sendiri, Ca!" kataku setelah mendengar hallo di ujung sambungan. "Masih ingat syarat yang kuajukan ketika kamu meminta cerai dariku!"

"Tapi, Mas—"

"Kamu membuat Dea berada di posisi sulit. Kalau kamu lupa, anak kita masih berumur sepuluh tahun dan belum seharusnya berada di posisi sulit seperti ini."

Tidak ada jawaban diujung sambungan, dan aku tak berharap Cica akan mengatakan apapun. Saat ini, tak ada kata yang bisa mengurangi sedih yang kurasakan melihat Dea menahan diri.

"Mas, dengerin aku dulu," pinta Cica yang tak membuat marah di dadaku berkurang. "Aku enggak memaksa Dea untuk memilih. Aku hanya berharap dia mau ikut denganku. Aku bilang—"

"Itu sama aja, Ca!" bentakku. Sepanjang pernikahanku dengannya, tak pernah sekalipun aku meninggikan suara. Namun, melihat perubahan Dea setelah pertemuan terakhir mereka, membuatku tak bisa menahan diri. "Kita sepakat untuk tidak memberikan pilihan padanya, hingga dia cukup dewasa untuk memilih. Kita berdua sepakat untuk tidak menempatkannya di situasi seperti ini."

Tanpa menunggu jawaban Cica, aku memutuskan sambungan dan mencoba menengkan hati. Cica pernah menjadi seseorang yang membuatku tenang. Setiap kali kepalaku penuh dengan pekerjaan, memandangnya tersenyum, mampu mengusir semua kepenatanku. Namun, semenjak mendengar aku membuatnya tercekik, perempuan yang pernah menjadi bagian dari mimpi-mimpiku tersebut selalu menguji kesabaran. Menjadi bagian dari mimpi burukku.

Gih, urusan rumah Kenes bisa kamu handle dulu.
Aku enggak bisa mikir untuk saat ini.

Gigih Irawan
Ada apa? Dea enggak apa-apa?

Persahabatanku bersama Gigih dan Putra menjadi sesuatu yang sangat aku hargai selama ini. Meski pertemuan pertamaku bersama Gigih masih membuatku merasa bodoh, karena anak sableng itu mendengar ketika perempuan yang menjadi incaranku selama ini menolak sebelum aku mengatakan tentang perasaanku. Hal itu menjadi bahan ejekan, hingga saat ini. Namun, di balik sikap santai dan terkadang menjengkelkannya, Gigih adalah pria yang baik. Selalu menepati janji—kecuali saat ghosting Yanti di bangku kuliah—tak ada penolakan setiap kali aku meminta bantuannya dan bisa di percaya. Perhatiannya pada Dea selalu membuatku tenang, karena ia tahu mendidik anak gadis yang terpisah dari ibunya bukan sesuatu yang mudah. Ia tahu hal itu, karena Gigih merasakan hal yang sama.

Aku cerita kalau semuanya sudah beres

Gigih Irawan
Take your time

Setelah membaca jawaban Gigih, kumatikan ponsel dan berjalan menuju kamar Dea. Untuk sesaat, aku berharap anak gadisku sudah terlelap di balik selimut. Namun, aku mendapati mata memerah Dea ketika kubuka pintu kamarnya. "Kok belum tidur, Non?" tanyaku menghampirinya. "Chatinggan sama Lala?" tanyaku lagi ketika tak mendengar jawaban dari bibir mungil Dea.

"Pa. Kenapa selama ini Papa enggak pernah punya pacar seperti Mama?" Aku terdiam dengan otak berpikir keras untuk menjawab pertanyaan yang aku sendiri tak tahu kenapa. "Atau karena Papa masih cinta sama Mama?" Untuk gadis berusia sepuluh tahun, anakku terasa terlalu dewasa untuk umurnya. Saat ini, aku seperti berhadapan dengan anak berusia tujuh belas tahun yang sudah mengenal cinta.

"Anak Papa kok sudah kenal cinta-cintaan, sih," kataku berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Namun, Dea terlalu cerdas, karena ia segera menyadari usahaku untuk menghindar.

"Pa!"

"Seperti yang pernah Papa ceritain dulu. Papa ketemu Mama di tahun terakhir kuliah, dan sejak itu enggak ada kata pisah." Pertemuan pertamaku dengan Cica seperti film usang yang kembali berputar di kepalaku. "Cinta yang Papa dan Mama punya sudah berubah, Non. Dan Papa enggak pernah ngenalin siapa-siapa ke kamu, bukan karena Papa masih mencintai Mama, tapi karena belum ada seorang pun yang bisa menarik perhatian Papa. Enggak ada seorang pun yang bisa mengalihkan dunia Papa darimu."

Dea terdiam terlihat berpikir. Sesekali ia membuka mulut dan menutupnya kembali. Mengernyitkan kening, dan sesekali mengusap bibir bawahnya seperti kebiasaan Cica setiap kali berpikir. "Atau Papa enggak nyari. Jadi enggak tahu kalau di luar sana ada yang menarik."

"Mungkin," jawabku. "Mungkin karena Papa merasa belum perlu untuk mencari. Sayang, kamu terlalu kecil—"

"Aku sudah cukup ngerti apapun yang mau Papa ucapkan. Jadi jangan anggap aku anak kecil meski umurku baru sepuluh tahun, Pa!" Aku tersenyum bangga mendengar setiap kata dari bibir Dea saat ini. Anak berumur sepuluh tahun itu sudah bisa mengambil sikap.

"Fair enough. Papa enggak akan anggap Dea anak kecil kalau begitu." Aku meluruskan punggung, menatap matanya, berusaha untuk menunjukkan betapa besar sayang dan cinta yang kupunya untuknya. "Mungkin Dea belum bisa mengerti tapi Papa akan tetap mengatakannya. Saat Mama dan Papa pisah, ada perasaan gagal yang enggak mudah untuk dilupakan. Seperti saat Dea gagal enggak lolos seleksi untuk lomba bahasa inggris waktu itu. Papa tahu Dea sudah usaha semaksimal mungkin, dan ternyata Tuhan enggak loloskan Dea, pasti ada perasaan kecewa dan gagal, kan?" Dea mengangguk lemah.

Kuminta Dea untuk menggeser tubuhnya dan naik ke atas ranjangnya. Menariknya masuk dalam pelukan dan sesekali kucium puncak kepalanya. "Itulah yang Papa rasakan selama ini. Papa gagal menjadi suami yang baik untuk Mama. karena itu, Papa enggak mau gagal jadi Papa untukmu."

"Tapi Papa enggak gagal!" katanya tegas. "Papa lakukan semua untuk Dea waktu Mama keluar dari rumah. Aku masih inget hampir tiap malam nangis, dan baru bisa tidur lagi kalau dipeluk Papa, sampai pagi." Dea mengangkat tubuhnya dan bersila menghadap ke arahku. Rambut sepundaknya terlihat mencuat ke segala penjuru dan ia tak mempedulikannya. Berbeda dengan Cica yang selalu memperhatikan penampilannya, Dea terkesan cuek dengan dirinya. Tak telihat ingin tampil cantik seperti teman-temannya.

Aku tahu Dea ingin mengatakan keputusannya, terlihat dari gugup yang bisa kurasakan saat ini. Bibirku terkatup rapat. Jantungku berdetak kencang. Ketakutan mengisi hati membuatku tak mampu untuk berpaling. Kurekam setiap jengkal wajah manisnya, seolah malam ini adalah saat terakhir aku bertemu dengannya.

"Aku enggak mau nyakiti Mama ataupun Papa." Dea mengawali kalimatnya. "Mama sempat bilang semua rencananya kalau aku ikut pindah ke Singapore, dan jujur ... itu semua menarik." Air mataku sudah mengancam untuk menetes mengetahui aku akan kehilangan anakku satu-satunya. Aku tahu Dea menyayangi Cica. Tak pernah ada dalam rencanaku untuk memisahkan keduanya, tapi keputusan harus kuambil ketika Cica memaksa meminta cerai. "Papa enggak punya siapa-siapa kecuali aku. Karena itu, aku mutusi untuk tetap di sini, bersama Papa."

Sepanjang hidup, aku tak pernah merasa lega seperti saat ini. Perlahan kulepas napas yang tanpa kusadari tertahan selama ini. Air mata yang beberapa saat lalu mengancam untuk mengalir, kini menetes membasahi pipi. Aku bukan lelaki yang malu untuk menangis, karena itu bukan berarti lemah. Air mata adalah cara untuk memproses, dan saat ini aku memproses kelegaan yang membuat jantungku kembali berdetak normal.

"Yakin?" tanyaku pelan menangkup pipi Dea. "Jangan lakukan ini untuk Papa, Non. Lakukan ini untuk dirimu sendiri."

Dea menjawab pertanyaanku dengan pelukan erat di leherku. Anak gadis yang beberapa tahun lalu masih bisa kugendong kemana-mana, bahkan ke kantor. Kini memelukku erat, memberiku kebahagiaan yang tak pernah ada dalam mimpiku selama ini. "Aku sayang Papa. Aku juga sayang Mama. Untuk saat ini, aku tinggal sama Papa. Mungkin saat SMA atau kuliah, aku memilih tinggal sama Mama."

Mengeratkan pelukan dan mengucap syukur dalam hati, aku mencium kening Dea berkali-kali. "Kapanpun Dea ingin tinggal sama Mama ... Papa yang akan membawamu ke sana. Kapanpun." Aku bisa merasakan anggukan Dea, dan tangannya semakin erat memeluk leherku.

"Menurutku, Papa harus mulai memikirkan untuk mencari istri lagi." Aku menarik badan dan mengendurkan pelukan, menatap anak gadis yang pipinya masih terlihat basah dengan. Senyum jahil menghiasi wajah Dea. "Jangan kelihatan kaget banget gitu, dong! Papa kan sudah tua, lebih tua dibanding Om Gih, kan?" Aku masih terdiam dengan menahan senyum. "Aku kan juga pengen lihat Papa nikah lagi, jangan mau kalah sama Om Gih, dong, Pa!"

Aku tertawa sambil mengacak-acak rambut Dea sebelum kembali menariknya masuk dalam pelukan. "Menikah, kan, bukan lomba, Sayang. Kita enggak pernah tahu kapan bertemu, di mana atau siapa jodoh kita. Seperti Papa waktu ketemu Mama, meski ternyata jodoh kami berdua selesai lima tahun lalu."

Dea tak mengatakan apa-apa, tapi aku tahu saat ini otaknya berputar mencari jawaban dari semuanya. "Menurutku," katanya sambil mengetuk dagunya pelan. "Papa harus mulai berpikir tentang itu, mungkin Tuhan akan temukan Papa sama calon mama baruku. Iya, kan."

Berbeda dengan Gigih yang masih memiliki Fitra—adiknya—aku tidak memiliki saudara dan tak ada seorangpun akan bertanya kapan nikah lagi, kecuali Dea. Namun, selama ini, anak gadis yang masih menunggu jawabanku tersebut tak pernah sekalipun mengatakan keinginannya untuk melihatku kembali menikah, kecuali malam ini. "Emang Dea pengen Papa nikah lagi? Ntar kalau sayang Papa ke Dea berkurang gimana?" Dea menggeleng keras. "Gimana kalau istri baru Papa enggak suka sama Dea?" Sekali lagi anakku menggeleng kuat. "Gimana kalau kamu enggak bisa sayang sama perempuan yang bakalan ada dalam kehidupan Dea selain Mama?" Dea masih setia dengan gelengan kepalanya.

"Karena aku tahu, sayang Papa untuk Dea enggak bakalan putus. Papa enggak akan memilih seseorang yang enggak sayang sama Dea. Papa enggak bakalan menikah dengan seseorang yang enggak aku setujui. Betul, kan?"

Siapa sangka anak sepuluh tahun yang akan menjadi penentu kehidupanku. Anak yang belum memasuki usia remaja tersebut seolah siap menjadi penguji. Dea yang akan memilih apakah wanita itu cocok untukku ataupun tidak, dan aku tak keberatan dengan itu. Bahkan aku cukup kasihan dengan siapapun yang harus berhadapan dengannya, karena Dea bukan sembarang anak berusia sepuluh tahun. Sayang yang dia punya untukku memberinya hal untuk menentukan apakah wanita itu cocok untukku ataupun tidak.

"Seratur persen betul. Sayang yang Papa punya enggak bakalan putus, sampai kapanpun. Meski Papa menikah lagi, kamu tetap jadi nomor satu di hati ini." Dea melingkarkan lengan di perutku, dan bergumam, aku sayang Papa.

Akumasih berada di atas ranjang Dea, mendengarkan napas teraturnya. Sesuatu yang selalu kulakukan setiap kalimenemaninya hingga tertidur. Melihatnya terlelap dengan senyum di bibir menjadipenghilang penat dan semua masalah di kepalaku, meski itu hanya sesaat. Anakgadis yang selama beberapa hari berpikir tentang kedua orang tuanya kini bisabernapas lega. Walaupun aku tak akanmenahannya jika memilih untuk mengikuti Cica, tapi membayangkan hal itu, hatikuhancur berkeping-keping. Mengeratkan pelukan, kucium puncak kepalanyaberkali-kali sebelum beringsut dan meletakkan kepala Dea diatas bantal. Menarikselimut hingga menutupi pundaknya sebelum keluar menuju ruang kerjaku kembali,karena saat ini bukan tidur yang kubutuhkan. Kepalaku masih penuh dengan saranDea, dan kemunculan wajah perempuan berambut panjang membuat kantuknya takkunjung datang.


Sesekali aku publish Mas Ninu, tapi harinya enggak tentu ya (publish kalau ingat) whahahhaa
Pokoke, tak publish untuk teman-teman yang udah nunggu Mas Ninu

Love, ya!
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top